Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Page 18: Showtime

BAB 18 – Showtime

Pertunjukkan yang dinanti-nanti ini akan segera dimulai. Telah lama, ia mempersiapkan dengan sedemikian rupa agar semuanya berjalan lancar. Mengunci pintu, sudah. Semua alat dan bahan, aman tersedia. Jam kunjungan yang sepi.

"Berani-beraninya, melakukan hal itu lagi ...."

Ia berujar pelan sembari mendorong keras tubuh seorang gadis hingga punggung yang nampak lemah itu menabrak keras dinding gedung. Gadis itu tak mengaduh kesakitan, terlihat masih tertidur, tetapi sang pelaku tidak menghiraukannya dan malah mengunci pintu. Iris hitam yang dulu masih terdapat cahaya, sekarang tak lagi ada sepercik pun, gelap gulita bagai kehilangan seluruh harapan. Lantas, ia melemparkan tatapan dingin, seolah kapan saja ingin membunuh si gadis melalui tatapannya.

Sembari ia menyiapkan berbagai peralatan dan bahan, beberapa menit kemudian gadis itu mengerjap dan terbangun lemas, mungkin saja karena efek obat tidur yang diberikan padanya. Mulutnya telah disumpal oleh kain, begitu pula tangan dan kaki yang telah diikat.

Ada yang tidak beres dengan keadaan saat ini.

Gadis dengan helaian biru tua itu meronta-ronta, mencoba melepaskan ikatannya. Namun nihil, semakin ia melawan, semakin sakit pula yang ia rasakan pada pergelangan tangannya. Ichigo, gadis itu, melirik sang pelaku dari balik iris sapphire miliknya. Meskipun memakai masker dan mengenakan sarung tangan, namun ia mengenal jelas sosok berambut dan beriris hitam tersebut.

"Ah ... sudah bangun, ya?" ujar si pelaku, tak lain adalah Ryoume Takuma. Di tangannya, terdapat kamera yang telah memotret beberapa pose tak berdaya milik Ichigo. Memori kamera itu masih bersih, sehingga tak ada yang curiga saat ia membawanya di dalam tasnya setiap hari. Kala ia tertabrak, tas itu ikut terbawa di ambulance dan saat ini bersamanya. Sungguh, sebuah takdir.

Ingin sekali Ichigo meneriakkan kalau Takuma mempunyai hobi yang aneh, mengabadikan momen para korbannya. Gadis itu sudah menduga bahwa ada orang lain yang melakukan tindakan teror bunuh diri ini. Jika bukan Iori atau Akari, Ichigo menebak bahwa pelakunya adalah Takuma. Pikiran itu ternyata benar, mengingat saat ini ia berada di lokasi kejadian, terlebih lagi sebagai calon korban.

Dadanya bergemuruh, jantung sang gadis berdetak kencang akibat adrenalin yang kian meningkat tiap detiknya. Ia ingin berteriak, namun dicegah oleh sumpalan di mulutnya. Keringat dingin nan hebat mulai mengalir, badannya bergetar. Seumur hidup, ia tidak pernah menyangka akan berada di posisi seperti ini. Ia bisa melakukan apa pun di sekolah karena pengaruh ayahnya. Tetapi, bagaimana sekarang?

Apa yang akan terjadi padanya setelah ini?

Jujur saja, Ichigo tidak ingin membayangkannya. Sosok di hadapannya saat ini nampak sangat berbahaya dengan sebuah botol berisi cairan yang ia pegang. Takuma menghela napas, menatap miring gadis itu. Ia bertanya sembari menggoyangkan botol tersebut dengan mudahnya, "Apa kau tidak ingin bertanya, air apa ini? Kau pintar dan cantik, tetapi terlalu egois. Melukai orang-orang yang tak kau sukai demi keuntungan dirimu sendiri dan kau masih menyebut dirimu sendiri sebagai manusia?"

Iris sapphire itu membulat, dengan cepat menyadari isi botol tersebut, air keras. Salah satu yang ia gunakan pada Akane agar gadis itu tidak lagi bisa melukis apa pun, menghancurkan mimpinya dengan mudah. Tetapi, terlambat. Takuma tidak akan mengampuninya. Ia bahkan tampak sudah bersiap dari dulu untuk menuangkan cairan tersebut.

Ia tidak bisa lari.

Tidak ada jalan ke luar.

Lantas, sepersekian detik selanjutnya, air keras itu sudah mengalir di tangan Ichigo, membuat kulit putih sang gadis melepuh perlahan. Ia tak mampu berteriak karena mulutnya masih disumpal. Tetapi, ia merasa sangat perih, kesakitan, dan geram. Akibat luka dan dirinya yang meronta-ronta seperti cacing kepanasan, Takuma menarik kerah belakang baju Ichigo dan menyeretnya mendekati pagar atap, membuat ia hanya mampu meringis.

Angin sepoi-sepoi berembus, mentari sore terlihat seolah tengah menjadi saksi atas pengadilan yang Takuma adakan. Di belakang gedung rumah sakit ini terdapat hutan kecil. Saat ini, hanya satu yang terlintas di pikiran Ichigo. Dia akan segera mati, menyusul Akane dan seluruh gadis yang bunuh diri akibat ulahnya. Ia menggeleng kuat, menangis, mencoba melawan, namun rasa perih di tangannya itu kian menyebar semakin ia banyak bergerak.

Pintu di belakang mereka berdua terdengar seperti tengah diketuk.

Takuma memutar irisnya, jengah. Sepertinya, rencananya akan diganggu oleh beberapa tamu tak diundang. Ia melirik ke arah Ichigo yang seolah kembali mempunyai harapan untuk tetap hidup. Takuma mendesah kesal, "Aku akan berbaik hati untuk melepaskanmu. Asal, kau mengakui semua dosamu pada tiga tahun yang lalu dan juga agar tidak berteriak. Apa kau sepakat?"

Ia mengangguk, pasrah. Lantas, Takuma memotong tali yang mengikat kedua lengan Ichigo, beserta kain yang disumpal di mulutnya. Ichigo terduduk, terkulai lemas karena tidak mampu lagi menahan rasa sakit yang ia rasakan. Saat bibirnya ingin membuka, berniat untuk berteriak, Takuma dengan cepat menarik kembali kerah baju Ichigo, mengangkat lalu membuang gadis itu dari atas atap gedung.

"Yah, aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Kau 'kan licik."

Takuma berucap dingin, menaruh sandal khas pasien yang digunakan oleh Ichigo sebelumnya, memalsukan tindakan bunuh diri. Ketika ia berniat untuk membereskan tempat kejadian, ia berhenti. Ia mengira panggilan dan ketukan sebelumnya telah mereda karena sosok di balik pintu itu telah menyerah.

Perkiraan Takuma salah. Suara dan ketukan yang berasal dari pintu itu kian membesar. Di antaranya, terdengar sebuah suara yang familiar di indra pendengarannya. Takuma terdiam, menduga jika ia tengah berhalusinasi. Namun, saat ini, setelah memastikan dengan seksama, ia sedang tidak mengkhayal. Suara itu benar-benar memanggil dirinya, bersama dengan orang lain. Takuma segera menutup telinga sembari berjalan mendekati pintu itu perlahan.

"Taku! Apa kau ada di dalam?!"

Apa ia harus menjawab?

Tidak, jika ia menjawab sekarang, maka akan ketahuan jika ada seseorang yang berada di atap gedung. Pintu atap rumah sakit ini tak mempunyai jendela dan dikunci oleh petugas semenjak tiga tahun lalu, sebab itulah ia bisa melancarkan aksinya dengan bebas. Diam-diam keluar dari rumah sakit, membawa botol berisi air keras, membuat kunci duplikat, dan susah payah menyembunyikan barang-barang yang ia punya. Semua yang ia lakukan akan sia-sia, bila sosok yang ia sayangi tersebut mengetahui tindakannya saat ini.

"Jika kau berada di sana ... aku ingin minta maaf karena telah meninggalkanmu dalam kesendirian. Menjadi satu-satunya yang hanya mengingat kenangan kelam akan Akari bunuh diri itu ... sulit, bukan? Kau bodoh, kau adalah manusia paling bodoh sebab mencoba menjagaku yang penuh akan kekurangan ini," jelas Akari dengan suara bergetar. Ia mendekat pada pintu besi tersebut, menyandarkan diri.

Takuma masih tidak menjawab, wajah pemuda itu nampak pucat, badannya mulai bergetar ketika mengetahui bahwa memori Akari mengenai Akane telah kembali. Tidak apa, ia meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia masih mampu menjalankan peran sebagai sepupu yang bertingkah bodoh setiap saat. Ia bisa meminta maaf karena tidak menjelaskan dengan baik. Selama aksi balas dendamnya belum terkuak—

"Senpai, aku mendapatkan kuncinya!"

Pemuda berambut pirang itu terengah-engah, lalu menginterupsi Akari. Hal ini terdengar oleh Takuma di balik pintu. Segera saja ia beranjak menjauh, berlari mendekati pagar atap. Pembatas antara mereka bertiga lantas terbuka. Iris hitam di balik kacamata itu bertemu dengan iris hitam milik sang sepupunya. Akari mengedarkan pandangan, mendapati sandal, botol, tali dan juga kain.

Terlambat.

Takuma sudah membunuh orang lagi, tak lain adalah Ichigo.

"Berhenti! Jangan mendekat," seru Takuma, berteriak dengan ekspresi marah. Ia mencengkram erat pagar besi itu, seolah siap untuk menghancurkannnya kapan saja, walaupun ia tidak mampu. Ia menodongkan cutter ke arah Akari, memberi titah agar gadis itu segera saja menjauhi dirinya. Tawa miris lolos dari bibirnya, "haha, kau pasti menertawakanku, 'kan? Benar, sesuai dengan perkataan Akari, aku sangat bodoh. Melakukan hal ini, meskipun tahu kalau ... dia tak akan pernah kembali pada kita berdua."

Hati Akari terasa teriris ketika memperhatikan Takuma yang berada di fase terburuknya. Selama ini, pemuda berambut hitam itu tidak pernah bertindak seperti itu di hadapannya. Ia bukanlah tipikal orang yang senang memberikan afeksi. Tetapi untuk saat ini, ia ingin memeluk sepupunya tersebut. Sementara Iori diam, memperhatikan kedua orang tersebut dalam keheningan.

Akari melangkah perlahan, "Aku benar-benar minta maaf, membiarkan hanya dirimu sendiri yang mengingat hal itu."

Takuma mengepalkan tangannya, mengabaikan darah yang mengalir dari luka akibat tergores oleh kukunya sendiri. Ia menggeram kesal, "Kenapa kau malah minta maaf? Harusnya mereka yang meminta maaf padamu! Karena membuat Akane pergi dari kita berdua! Kau dan aku sama-sama sakit karena kehilangannya. Lihat, mereka sudah membayar dosa mereka, bukan?! Aku ... melakukan ini untukmu dan Akane."

"Taku—"

"Kubilang jangan mendekat!"

Iris hitam itu telah kehilangan cahayanya secara sempurna. Pertunjukkan yang ia rancang sesempurna mungkin telah gagal akibat kedatangan penonton yang tak diundang. Takuma menunduk, menurunkan cutter yang ia pegang, lalu mengulas seringai miring seraya melirik antara Akari dan Iori, "Ah, andai saja kau tidak bertemu dengannya. Mungkin saja, aku masih bisa tertawa bersamamu saat ini. Kau benar, aku bodoh."

Perlahan, Takuma mundur, semakin mendekat pada pada pagar itu. Seperti menonton film yang direka ulang, Akari tahu sosok itu akan ke mana. Lekas saja, saat Takuma berniat untuk loncat. Akari berlari, bergegas untuk memeluk sepupunya tersebut.

"Kenapa Akane dan dirimu tidak pernah menghargai aku yang selalu ditinggal seperti ini!?"

Akari berteriak marah, frustasi. Ia berpikir, apakah mereka berdua tidak pernah menghargai betapa berharga dan bernilainya sebuah kehidupan? Dan jika bunuh diri seperti ini, bagaimana dengan mereka yang ditinggal? Apakah tidak pernah sekalipun terpikirkan perasaan sayang yang ia miliki pada mereka? Mengakhiri segalanya berarti tidak akan ada lagi jalan keluar, sekeras apa pun kau mencoba. Gadis berkacamata itu benci pada mereka yang menyerah tanpa menyadari ada banyak kasih di sekitarnya, memutuskan ikatan secara paksa, menoreh luka tak kasat mata.

"Kalau kau ingin mati, maka bawa aku juga! Kalau kau masih merasa sakit, maka buat aku ikut menderita bersamamu, bodoh!" Akari mengancam, masih memeluk Takuma dari belakang.

Pemuda pirang yang sedari tadi hanya menonton, ikut mengulurkan tangan dan membantu Akari untuk menarik Takuma agar tidak terjatuh dari gedung. Mengabaikan rasa sakit yang berada di lengan satunya.

Kini, Takuma terduduk di lantai. Ia tidak menatap ke arah Akari dan Iori sama sekali. Ia sibuk mengatur pikirannya, mencoba menormalkan napas dan seluruh kejadian yang baru saja terjadi. Ia tidak ingin semua berakhir untuk Akari. Jika masih terus melanjutkan tindakannya dan hanya akan melukai perasaan Akari, maka apa bedanya ia dari Ichigo yang egois?

"Apa ... kau sudah tenang?" tanya Akari, ikut mengambil tempat di samping Takuma. Ia menggenggam tangan pemuda itu, kecemasan nampak terlihat dari sorot matanya. Akari lantas melanjutkan seraya menatap lekat Takuma, "kalau kau masuk penjara, maka aku akan ikut menemanimu di sana."

Terkejut, Takuma mengerjapkan mata dan tertawa kecil. Ia mendekap Akari, membuat gadis itu kebingungan akan tingkah Takuma, namun tidak juga melawan seperti biasanya. Hari mulai gelap, dan pemuda bermarga Ryoume itu masih ingin berada dalam posisi seperti ini. Tetapi, kedatangan suster yang ia tangkap dari pandangannya, mau tak mau harus membuat ia berhenti. Ia melepaskan pelukan tersebut, melirik ke arah pemuda pirang lalu bangkit dan berpamitan dengan santainya, "Jaga sepupuku yang manis, ya. Aku yang baik ini tidak bisa selalu menemaninya."

Sayang sekali, walaupun tidak cukup, sensasi euforia ini hanya bisa Takuma rasakan sejenak. Lain kali, ia akan mencoba untuk lebih jujur pada Akari.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro