Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Page 17: Believe

BAB 17 – Believe

Tiap hari, gadis itu selalu berusaha untuk menipu dirinya sendiri, mengabaikan suara pertolongan dari sosok yang dekat dengan ia. Kegelapan menyelimuti mereka berdua. Karena tak ada ikatan, salah satu telah berjalan sendiri, menuju kehancuran. Jika bisa, Akari ingin mencegah hal itu terjadi. Belum terlambat, ia mengulangi sugesti itu kepada dirinya sendiri. Takuma belum melakukan rencana selanjutnya.

Ia kembali tiba di kamar Iori, mengernyit tiap kali menatap keadaan tangan pemuda pirang tersebut. Menyadari ekspresi dari Akari, tawa kecil lolos dari bibir Iori. Ia menghela napas, paham betul akan kekhawatiran dan rasa bersalah yang dirasakan olehnya. Namun, mengapa gadis berkacamata itu napasnya nampak terengah-engah? Seolah telah berlari dengan sangat terburu-buru dari jalan yang panjang, padahal ia sendiri tidak meminta Akari untuk cepat datang ke sini.

"Ada apa, Senpai? Kau terlihat sangat lelah. Jangan-jangan, kau berlari?"

"Kalau kau sudah tahu, tak perlu tanyakan lagi. Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu," ujar Akari, tergesa-gesa seraya mendelik sebal. Lalu, beberapa menit kemudian, hening melanda. Membutuhkan waktu dan keberanian hingga ia melanjutkan perkataannya, "aku ... tahu siapa pelakunya dan itu bukanlah Nishiyama-san."

Iori terdiam, menelisik ucapan tersebut dari iris hijaunya dengan tajam. Belum lama ini, gadis di hadapannya itu mengatakan ingin berhenti. Lantas, sepersekian jam lainnya, ia malah berkata hal yang bahkan Iori sendiri belum yakin akan jawabannya. Desahan pelan keluar dari mulutnya, Iori pun bertanya, "Atas dasar apa Kujou-senpai berkata seperti itu? Apakah perlakuan Nishiyama-senpai kepadamu tidak cukup untuk membuktikan semua kejadian ini?"

"Bukan! Maksudku ... bukan seperti itu. Dia juga ada kaitannya dengan insiden bunuh diri ini. Malah, memegang kunci yang besar, walaupun bukan mengarah kepada pelaku teror di sekolah kita saat ini."

Cengkraman Akari pada rok yang ia kenakan mengerat, merasa sedikit frustasi dan bingung harus menjelaskan seperti apa. Rasanya, ia ingin sekali untuk memukul Iori, dalam artian menyadarkannya. Menyadari kegelisahan sang gadis berambut hitam itu, Iori mengulas senyum dan menatapnya. Dalam situasi ini, yang perlu Akari lakukan adalah tenang. Ia berusaha memahaminya semenjak kali pertama bertemu dan ia tidak berniat untuk berhenti.

"Mah, mulai pelan-pelan saja dengan menyebutkan namanya dan kita bisa mengulik satu persatu bukti yang mampu kita dapatkan selama ini."

"Hah ... baiklah. Maafkan aku karena bertindak bodoh seperti ini."

Santai. Rileks. Hanya dua hal itu saja yang perlu ia lakukan.

Tatapan yang dilemparkan Iori kepadanya menyiratkan seperti itu. Lekas saja, jari-jemari lentik milik Akari itu menyisir rambut hitamnya sendiri. Ia mengambil tempat, mencoba mendinginkan kepala dan menormalkan deru napasnya. Iris hitam pekat tersebut ikut menatap lekat pada Iori seraya berdesis, "Pelakunya adalah ... Taku."

Ryoume Takuma, ya?

"Hm ... Ryoume-senpai?"

Iori tidak menampakkan keterkejutan sama sekali, malah terlihat cukup tenang dengan jawaban yang ia bawa tersebut.

Entah sejak kapan, suasana ruangan kamar itu terasa dingin. Padahal, suasana sore hari di musim semi ini tidak seharusnya seperti ini. Iori berdehem pelan, mengusap dagunya dengan tangan kiri, berpikir akan segala hal yang terjadi selama ini. Lalu, ia pun membalas sembari melirik ke arah jendela, "Sebenarnya, memang ada yang aneh dari aura Ryoume-senpai dan Nishiyama-senpai jika diperhatikan lebih. Aku pikir kadar aura kebenciannya sama sepertiku, namun selama enam hari ini bersama mereka, ternyata memang berbeda. Itu lebih dari yang kubayangkan. Kupikir, ia semakin membenci Nishiyama-senpai karena gadis itu mencoba untuk membunuhmu. Namun, bukan, ya?"

"Lalu, alasan mengapa aku terluka parah adalah karena ... ia menarikku sewaktu kami jatuh—yah, tidak seharusnya aku membicarakan ini. Tetapi, aku sendiri tidak ingin mencurigainya, haha," lanjut Iori seraya terkekeh pelan.

Mungkin saja, karena pemuda pirang itu hampir dibutakan oleh kebenciannya akan Ichigo. Ia jadi mengabaikan segala kemungkinan agar segera mencobloskannya ke penjara. Iori berhenti berbicara, keheningan kembali mengalir di antara suasana mereka berdua. Ia perlu berpikir agar dapat merangkai seluruh hal yang ia temukan pada pencariannya selama ini.

Pertama kali, Hanakawa Iori bertemu dengan Ryoume Takuma adalah saat pemakaman Kujou Akane dan Matsukawa Nana. Meskipun ia tidak mengingatnya sama sekali karena hanya sekedar berpapasan saja.

Kedua, mereka berdua sama-sama kehilangan sosok yang disayangi.

Dan yang terakhir, balas dendam pada Nishiyama Ichigo.

Iori bangkit, namun segera mengerang kesakitan karena tak sengaja menyenggol tangan kanannya yang terluka. Iris hijau itu berkilat, mengarah pada sang gadis berkacamata. Ia tidak ingin menyangka, namun semua dugaannya mengarah pada satu jalan terang. Mendapati sang pemuda pirang yang nampak gusar, Akari memilih untuk mengangkat suara, "Ada apa, Hanakawa? Kau terlihat pucat."

"Kujou-senpai, informasi apa lagi yang sudah kau kumpulkan?"

Srek. Srek. Akari lantas mengeluarkan handphone-nya dan memperlihatkan foto-foto yang sempat ia abadikan sebelumnya, lalu menuliskan beberapa catatan kecil sesuai dengan yang ia lihat sebelumnya.

Dengan gesit, Iori membaca dan memperhatikan satu persatu bukti tersebut. Tanpa Akari menjelaskan semuanya pun, dugaan yang ia terka tadi mengarah pada kebenaran. Iori menghela napas, menyisir helaian rambut pirang itu seraya memasang senyum kesal.

"Kita sudah kena banyak rupanya. Sepupumu itu benar-benar penipu ulung, ya, Senpai," sindirnya. Menyadari kegelisahan Akari, senyum tersebut berubah menjadi lembut. Ia pun kembali melanjutkan, "jadi, apa yang ingin Senpai lakukan? Kau akan menghentikannya, bukan?"

"Aku ...."

Akari bimbang, suaranya terasa tercekat di tenggorokan, seolah tak mampu untuk keluar. Jantungnya berdebar kencang, namun bukan karena kegirangan, melainkan ketakutan yang besar. Ia bertanya-tanya, apakah ia berhak untuk memutuskan padahal selama ini meninggalkan Takuma dalam jurang kegelapan? Dengan segala hal ini, pikirannya jadi semakin panjang.

Jika ia membiarkan Takuma beraksi, bukankah ia bisa mempertahankan kehidupan damainya yang ia bangun selama ini bersamanya?

"Dengan Ryoume-senpai yang melancarkan aksi balas dendamnya, apakah dengan begitu, Kujou Akane dapat kembali dalam kehidupan kalian berdua?" tanya Iori sembari memicingkan mata. Bukannya ia tidak paham akan perasaan itu, malah, ia sangat memahaminya. Kebencian yang mengakar dalam. Namun, apakah dengan melakukan hal tersebut, semua yang meninggal akan terselamatkan?

Iori merasa, Akari paham betul akan kenyataan pahit tersebut.

Tanpa disadari, tetes demi tetes air mata turun, membasahi pipi Akari. Panik, Iori segera mengedarkan pandangannya, berusaha mencari sapu tangan atau tisu. Beruntung, di meja samping kasurnya terdapat kotak tisu. Lekas saja, ia mencoba memberi kotak tersebut kepada sang gadis berambut hitam itu, mengalihkan pandangannya.

"Ah, sial. Maaf, aku lemah sekali, bukan?"

Pemuda pirang itu diam sejenak, lalu melirik ke arah jendela.

"Siapa yang bilang jika menangis itu tanda lemah? Manusia kan hanyalah makhluk yang tidak sempurna. Menangis, marah, dan tertawa, semua itu justru adalah bentuk dari perwujudan manusia itu sendiri. Emosi dan pikiran adalah hal yang membentuk kita untuk berbeda dari makhluk lainnya. Dan menurutku, itu membanggakan, apalagi untuk ukuran dirimu yang selalu memasang ekspresi seolah tak tertarik dengan dunia. Senpai tak perlu malu."

Mendengar hal itu, senyuman tipis Akari sunggingkan. Membuat sang pemuda hanya mampu membalas dengan tawa kecil sembari mengulurkan tangan. Dengan ringan, Akari menerima ulurannya. Selama ini, ia pikir, ia hanya khawatir tanpa beralasan, walau bukan seperti itu. Apakah ia pantas diperlakukan baik seperti ini olehnya?

Saat Akari tenang beberapa menit kemudian, Iori berdiri seraya menggenggam tangan Akari dengan erat. Namun, ekspresinya tidak lembut lagi. Iori telah memasang raut wajah yang serius. Tanpa Akari tanyakan pun, ini pasti berkaitan dengan kasus yang mereka bahas tadi. Akari tidak boleh kembali membebani orang-orang di sekitarnya. Kali ini, ia pasti akan menyelesaikannya.

"Kita akan segera pergi ke Taku, bukan?"

"Ya, Senpai benar. Kita mungkin perlu mencarinya di kamar Ryoume-senpai atau Nishiyama-senpai. Mah, jika kita ... sempat."

"Kalau kita tidak menemukan mereka berdua di kamarnya. Maka, kita perlu mengecek atap gedung," usul Akari dengan tatapan tegas pada Iori. Pemuda itu pun mengangguk, menyetujui tanpa bertanya lebih jauh lagi, seakan mengisyaratkan bahwa ia percaya akan segala sikap yang Akari lakukan.

Terkadang, Akari kebingungan. Mengapa sosok pirang yang tengah menggenggam tangannya saat ini seolah dapat membaca dirinya? Ia ingin menanyakan hal itu, tetapi ada sesuatu yang lebih penting saat ini untuk diurus terlebih dahulu.

Akari bahkan tidak tahu apakah keputusannya saat ini benar atau tidak. Yang pasti, ia sudah bertekad akan menghentikan tindakan Takuma. Jari-jemari lentik itu mencengkram kerah bajunya sendiri, berusaha untuk menenangkan berbagai pikiran buruk. Selama beberapa minggu ini, ia sudah menjalani keseharian bersama suara-suara penghasut di kepalanya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro