Page 16: Evidence
BAB 16 – Evidence
Telinga Akari berdenging keras, pikirannya dipenuhi akan suara yang tak ia dengar. Gugup yang ia rasakan seolah tengah mencoba untuk membakar dadanya. Dengan menahan segala rasa sakit tersebut, jari-jemarinya membuka helaian lembaran buku merah, memperhatikan tiap untaian kata satu persatu. Diari itu hanya berisi coretan sketsa mengenai dirinya dan tulisan tentang ilmu seni rupa apa yang Akane dapatkan di tiap agenda.
Hingga, sampailah ia di halaman terakhir.
Iris hitam milik Akari mengenali tulisan tersebut, itu bukanlah milik kembarnya, melainkan Takuma. Tiap kalimatnya ditulis dengan tinta merah dan kanji yang bahkan ia sendiri cukup ngeri untuk memandangnya terlalu lama. Seperti memainkan peran di dalam film horor, itulah yang ia rasakan saat ini.
Kecurigaannya makin besar. Jika semua hal yang ia duga adalah imajinasi semata yang diciptakan oleh otaknya sendiri, perlukah ia merasa lega? Tetapi, kenyataan tidaklah semudah itu. Kata-kata yang dirangkai menjadi kalimat, lalu paragraf itu telah menjadi bukti.
'Akane, apa kau masih di sini bersamaku?
Hei, jawablah aku.
Haha, aku ngapain, sih? Tentu saja, ia sudah tiada.
Akari bahkan sampai melupakan kehadiranmu.'
Lalu, halaman lainnya,
'Mati ... mati ... MATI!!!
Mereka semua harus mati! Membuat Akane dan Akari jadi seperti ini!
Kau ditindas sampai kehilangan harapan lalu memilih mengakhiri hidup.
Meskipun aku tahu, nyawa mereka bertiga tidak cukup untuk mengembalikanmu ..."
Dan halaman yang terakhir,
'Suicidal Message.
Aku akan merencanakan ini demi dirimu.
Tenang saja, aku tahu.
Kau pasti marah dengan mereka, bukan?'
Kirihara Eri, Shinkai Kasumi, dan Nishiyama Ichigo terbukti adalah kelompok yang senang menindas para siswi club seni lukis yang mempunyai bakat lebih dari sang ketua, Ichigo. Kalau begitu, Ichigo bukanlah pelaku dari pembunuhan yang tengah berlangsung di sekolah mereka saat ini. Kejadian ini adalah panggung yang disusun sedemikian rupa oleh seseorang demi membalas dendam akan semua dosa yang telah mereka perbuat.
Ia tidak ingin mengakuinya, tetapi sepupunya, Takuma, adalah seorang pembunuh berencana yang ia cari selama ini. Tertawa miris, selama ini, sosok yang paling dekat dengan ia itu berhasil mengelabuinya. Bukankah ia yang mendapatkan takdir seperti saat ini benar-benar membutuhkan bantuan? Di satu sisi, ada perasaan yang menyetujui pilihan jahat tersebut. Namun, di sisi lainnya, mengambil nyawa orang lain secara paksa bukanlah hal yang benar.
Haha, meskipun mereka telah mengambil nyawaku, Karicchi?
Betapa bermuka duanya dirimu.
Bagaimana bila kau berada di posisiku? Kehilangan segalanya dalam sekejap.
"Ugh, diamlah!"
Tak ingin mendengarkan suara-suara di kepalanya yang entah datang dari mana itu, Akari menoleh, berusaha mencari tahu informasi lebih lagi. Ia menemukan komputer berwarna hitam di meja belajar. Dahulu, ia mencoba meminjam benda itu demi keperluan tugasnya saat menginap. Tetapi, sang pemuda tidak berniat untuk meminjamkannya sama sekali. Nampaknya, memori tak berguna itu kembali bangkit dari dasar ingatannya.
Ia menyalakan komputer dan tentu saja harus berhadapan dengan password.
"Hm, biasanya orang-orang akan menggunakan tanggal lahirnya sendiri," gumam Akari, berpikir keras. Namun, notifikasi di layar hanya berujung mengecewakan dirinya. Lantas, ia bergumam lagi, "apa mungkin ... kesukaan? Hal yang ia paling sukai adalah ... Akane."
Ulang tahun kami berdua, mungkin, tanggal tujuh bulan July.
"Bercan—huh? Benar-benar ulang tahun kami?"
Ia mengerjap, tak percaya. Sebenarnya, rasa suka pemuda itu pada Akane seberapa besar? Ia sudah tak ingin berpikir lebih jauh lagi. Sebuah fakta yang tak Akari beritahukan pada siapa pun, ia menyadari bahwa Takuma jatuh cinta pada Akane. Sosok yang sehangat mentari sore itu memang mampu untuk meluluhkan orang-orang di sekitarnya, terutama lelaki. Akari berujar pelan, "Dibandingkan denganku ... ia lebih pantas untuk hidup dan mengejar mimpinya."
Berandai-andai tak akan segera menyelesaikan masalah. Segera, ia mengubek-ubek folder yang berada di dalam komputer, menemukan sebuah folder mencurigakan yang dikunci. Hanya file itu saja yang satu-satunya mendapat perlindungan berbeda, bernama xxxx. Akari mencoba membuka folder itu sesuai dengan tulisan yang berada di belakang lembaran foto, 'suimes'.
'File is unlocked!'
Rasa bahagia setelah berhasil membukanya segera sirna ketika melihat berbagai tampilan foto yang tak cocok dengannya, darah. Foto-foto tersebut adalah orang yang ia kenal, dua korban bunuh diri, tak lain adalah Kirihara Eri dan Shinkai Kasumi. Lalu, saat ia mengecek file yang berada di bawah, sosok tersebut membuat jantungnya berdegub kencang lebih dari yang tadi. Gadis dengan wajah mirip seperti dirinya, namun berhelai rambut cokelat. Siapa lagi kalau bukan dia?
"Ah, benar juga. Bagaimana bisa aku ... melupakan hal itu?" Memori yang ia kunci rapat-rapat segera mengalir, layaknya sungai. Memaksa dirinya untuk kembali mengingat kenangan kelam tersebut. Badannya bergetar, ia lagi-lagi kehilangan keseimbangan.
Akane melangkahkan kakinya menuju Akari. Lantas, ia berbisik dan mengulas senyum miris, "Oyasumi, watashi no kawaii imouto."
Helaian berwarna cokelat itu sesekali diterpa oleh angin sembari ia menjauh dari sosok Akari dan mendekati pagar atap. Gadis itu mencoba menyeberang sebelum sebuah suara samar-samar menginterupsi tindakannya. Di belakang, Akari terbangun setelah mendengar bisikan dari Akane.
"Akane ..."
Iris onyx itu melebar ketika sang kakak menoleh padanya dengan senyuman penuh kesakitan. Akari segera saja bangkit dari duduk, namun badannya menolak untuk bergerak. Suara gadis itu tertahan, tak mampu menghentikan keputusan dari kembarannya sendiri.
"J-ja ... jangan."
Entah kemana perginya semua sikap tegas milik Akari. Tapi, saat ini, Akari merasa sangat lemah. Iris Akane terlihat sangat gelap, seolah tak ada lagi cahaya yang bisa menggapainya. Firasat Akari benar, ada yang aneh dengan gadis itu, "Ah, ketahuan, ya? Maaf, Karicchi. Maaf ... karena aku tidak bisa lagi melukismu."
"A-apa yang kau bicarakan? Jangan bercanda, Akane!"
Akari mencoba memaksakan kakinya untuk melangkah meskipun hanya satu langkah, lantas, gadis dengan helaian rambut ikal berwarna kehitaman tersebut berteriak kencang dan mengepalkan tangannya.
"Aku tidak suka hal seperti ini!"
Akane membalikkan badannya, melambai kecil dan berucap pelan, "Kuharap kau tidak mengingat kenangan buruk ini dan bisa hidup bahagia. Sekali lagi, maaf, tapi melukis adalah hidupku. Tanpanya, aku terasa kehilangan arah dan tujuan." Bersamaan dengan selesainya kalimat perpisahan tersebut, gadis itu telah menghilang sempurna dari hadapannya.
Sesak menghampirinya, "Ugh ...."
Ia kesal akan kelemahan dirinya sendiri, keringat dingin kembali mengucur, bahkan hendak muntah. Seluruh tujuan hidup Akane ia fokuskan kepada melukis dan ketika kehilangan arah, Akari tak mampu untuk membantunya. Ia geram memaksakan sesuatu bukanlah hal yang bagus, tetapi kini, ia harus tetap lanjut. Sebelum ia hendak keluar dari folder tersebut, sebuah catatan kecil bernamakan 'Suicidal Message' menarik perhatiannya. Lantas, ia pun membukanya, menemukan jajaran nama familiar dan rencana Takuma.
Iris hitam di balik kacamata itu membelalak, jika rencana ini benar, maka nyawa Ichigo selanjutnya sedang dalam bahaya. Mencoba menormalkan napasnya, ia pun mengambil bukti atas beberapa catatan yang ia temukan lalu keluar dari folder tersebut, memastikan telah terkunci kembali. Segera, ia mematikan komputer dengan terburu-buru. Meskipun, Ichigo adalah salah satu dari pendosa yang membuat Akane bunuh diri, tetapi ia tidak ingin gadis itu menjadi korban selanjutnya.
Mengapa kau perlu menolongnya?
Masih banyak yang perlu ia tanyakan. Mungkin, ini hanyalah alasan agar ia mampu menghadapi Akane dengan wajah yang tegap. Bukankah dirinya saat ini sama saja seperti Ichigo dan yang lain? Sesama menjadi dalang dari rasa depresi Akane.
"Bodoh, bodoh, bodohnya aku!" teriaknya frustrasi.
Hanya saja, ia tidak ingin Takuma kembali mengotori tangannya. Walau, Ichigo hampir saja membunuh Akari. Seperti yang dikatakan oleh suara di kepalanya, perlukah ia menolong gadis pendosa itu?
"Apa mungkin ... aku harus ikut dalam balas dendam Takuma?" gumamnya dilemma, menggigit kuku jarinya, mengabaikan rasa perih dan darah yang nampak lolos dari lapisan kulitnya tersebut. Tepat di saat ia sedang dilanda kebingungan, sebuah panggilan berdering, menggetarkan ponsel genggamnya. Dengan cepat, ia menerima panggilan tersebut, mendengar suara khas seseorang, tak lain milik Iori.
"Ah, Senpai, apa kau masih di luar? Kalau kau senggang, bagaimana jika mengobrol denganku sebentar? Di handphone pun tak masalah," tuturnya dari seberang sana. Mungkin saja, kesepian.
Tanpa ragu, Akari menjawab persetujuannya dengan tegas. Iris hitam itu nampak berkilat sejenak, "Tidak, kebetulan aku juga ingin berbicara denganmu. Tunggu aku di sana." Belum sempat sang pemuda membalas, gadis berkacamata itu memutuskan panggilannya.
Lantas, ia pun bergegas sembari membawa beberapa bukti melalui kamera handphone-nya, catatan di komputer tadi telah ia abadikan, tinggal buku diari merah tersebut. Setelah selesai, ia tidak ingin kehilangan waktu lebih lagi. Ia harus segera menyelesaikan masalah ini sebelum terlambat. Dengan ini, ia pergi meninggalkan kawasan keluarga Ryoume, melangkah pergi keluar dari sana.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro