Page 14: Near
BAB 14 – Near
Gebrakan meja terdengar menggema di ruangan, namun hanya tatapan datar yang diberikan pada pelaku. Iris hijau itu mendelik, memperhatikan dengan seksama emosi pemuda berambut cokelat yang tengah meluap, membiarkan orang lain menonton rasa frustasinya. Sedangkan, pemilik iris hitam hanya mencatat di buku catatannya, berusaha menahan kantuk juga lelah yang sedari tadi menghinggapinya. Akibat insiden tadi siang, perasaan gelisah membuncah di dada pemuda itu.
Sebuah informasi yang tak mereka duga dari Hinami. Tangan yang mendorong gadis itu sewaktu insiden bukan terasa seperti tangan perempuan, namun lebih sedikit kuat dan tegas layaknya lelaki. Hal inilah yang membuat Katsuya sangat memikirkannya.
Ada orang lain yang mengincar mereka atau hanya suruhan dari Ichigo saja?
Menyadari tingkah memalukan yang ia lakukan, Katsuya terdiam dan memasang tawa canggung. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kembali duduk dan berusaha untuk terlihat tenang. Meskipun nampak jelas perasaan gusar yang tengah berada dalam dirinya. Embusan napas kasar terdengar dari sang gadis, "Keluarkan saja di sini mengenai sesuatu yang mengganggu pikiranmu, bodoh."
Iori tersenyum, wajahnya menoleh dan memperlihatkan tatapan lurus. Kemudian, suaranya terdengar sedikit berat. Tidak ada yang tahu, bahkan dirinya sendiri, alasan dari sikap dingin terhadap sang kakak kelas yang notabene adalah pemain basket tersebut. Tetapi, Iori berusaha sekuat mungkin untuk tidak memperlihatkan ketidaksukaannya pada suasana ini. Ekor matanya melirik, sementara dalam hati berandai-andai, bisa jadi ia sudah ingin sesegera mungkin untuk menghakimi Ichigo.
"Kujou-senpai benar. Ini berkaitan dengan Manami-senpai, bukan?" Ia tidak ingin mengakui kalau ia tengah kesusahan untuk berhadapan dengan perasaannya sendiri. Seperti yang Akari katakan, dirinya terlihat buruk rupa bila bertindak dengan kepala panas.
Begitu perkataan yang dilemparkan padanya tepat sasaran, Katsuya pun menunduk dan mengenyit. Akari hanya memperhatikan teman sekelasnya itu dari iris hitamnya tanpa perlu mengangkat kepala dari meja. Tentu, dalam keadaan ini, hanya ada satu kemungkinan dari sekian banyak pilihan yang akan diputuskan oleh Katsuya.
"Sepertinya ... aku akan mengundurkan diri dari penyelidikan ini."
"Ah, begitu ya. Semangat dalam melindungi Manami-san," balas Akari dengan mudahnya. Buru-buru, Katsuya menahan suara sejenak, mengerjap dan berusaha memproses respon yang diterima. Ia bangkit, terkejut. Apa karena ia tidak berguna dalam perkumpulan ini, maka gadis itu dengan cepat melepas eksistensinya di sini?
Sebelum Katsuya berhasil membuka mulut, Akari mengangkat kepalanya dari posisi baring di meja. Lantas, suara gemelatuk gigi terdengar seraya menjauhkan wajah milik Katsuya yang sudah siap mengeluarkan air mata kapan saja. Paham akan Akari yang tengah kesusahan, Iori pun menginterupsi, "Selama ini, Nanase-senpai sudah banyak membantu. Maa, kami tidak bisa merepotkanmu lebih dari ini. Tidak ada yang tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya jika Senpai masih terus bersama kami."
Iris cokelat kemerahan itu beralih, menyiratkan rasa bersalah tanpa harus terucap dari bibirnya. Secara perlahan, Akari mengulurkan tangan, memberikan tatapan datar namun terasa hangat. Katsuya tersentak, kebingungan. Karena terlalu lama merespon, Akari mencebik kesal dan menghardiknya, "Jangan membuatku terlihat seperti orang jahat, bodoh!"
"Maaf, maaf, hum! Habisnya, jarang sekali melihatmu berinisiatif untuk berinteraksi denganku. Terlebih lagi, jabat tangan? Si Kujou yang itu?!" Katsuya tak berniat untuk mencibir, namun malah jatuhnya seperti itu. Setelah obrolan teman tersebut, Katsuya pun siap menjabat tangan sang gadis. Senyum tipis terpasang di wajahnya. Setidaknya, kekhawatiran ia berkurang satu. Mereka berdua berdiri, membiarkan keheningan melanda. Bahasa tak menjadi komunikasi mereka saat ini, hanya tatapan penuh kepercayaan antara teman.
"Aku tahu kalau kau menyukai Manami-san, sedari dulu, bukan? Jadi, lindungi dia," tutur Akari, melepaskan genggamannya seraya memejamkan mata sejenak.
Wajah pemuda berambut cokelat itu memerah, membuat Iori mengernyitkan dahi karena tak mampu menyembunyikan rasa kagetnya. Namun, entah mengapa, terbersit perasaan lega di dada lelaki bermarga Hanakawa tersebut. Hubungan di antara mereka berdua murni persahabatan, meskipun sang gadis sudah pasti tidak ingin mengakuinya.
Katsuya berdehem, mengulas senyum riang dan menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. Ia berseru, "Tetapi, aku akan mundur setelah diskusi terakhir kita hari ini! Hanakawa-kaichou, kau harus segera menemukan pelaku sialan yang berani mendorong Hinami-chan!"
Helaan napas terdengar sepanjang ruangan, iris hijau itu melirik ke arah jendela ruangan. Ia mengatur emosinya, tidak senang karena pelaku selangkah lebih jauh bertindak dan menertawakan kesengsaraan mereka. Tangan Iori menopang dagunya, berujar dengan penuh penekanan, "Jujur saja, aku tidak menyangka kalau ada tersangka lain. Atau kemungkinan terburuknya, selama ini, Nishiyama-senpai bersekongkol dengan lelaki lain dalam rencananya untuk menghapus jejak dosanya."
Akari menangkupkan tangan, seketika ikut merasakan kemarahan dari Iori. Dapat dipastikan saat ini, Iori tengah menahan mati-matian untuk menyeret Ichigo ke dalam sel, membuka segala kebusukan gadis itu. Katsuya mengerang, jengah karena kembali dihadang oleh masalah, meskipun mereka sudah dekat dengan pelaku sebenarnya.
Iori memperbaiki posisi duduknya, pasalnya terasa sangat kesal akan kondisi yang terjadi saat ini. Padahal, sisa mengumpulkan bukti yang kuat untuk mendorong Ichigo mengakui kesalahannya. Namun, malah terjadi hal yang tak diinginkan pada korban dua hari setelah interogasi mereka di rumah sakit.
Terlebih lagi, Iori juga sudah mengetahui kejadian Ichigo yang mendorong Akari dari atap gedung rumah sakit. Mengingat hal tersebut, membuat darahnya mendidih.
"Gadis itu benar-benar gila," umpat Iori pelan, kehilangan kendalinya. Tak ada lagi senyum seperti biasa yang ia pasang, sudah termakan amarah sepenuhnya. Katsuya dan Akari terdiam, hanya dalam ruangan dan di antara mereka bertiga saja, sang adik kelas bertingkah bebas seperti ini. Akari menjitak kepala Iori pelan, membuat Iori seketika tersentak kaget, "Se-Senpai?"
"Dinginkan kepalamu, Hanakawa." Akari memperbaiki posisi kacamatanya.
Mendengar itu, Iori mengatur deru napasnya untuk kembali normal. Ada yang bilang kalau napas adalah inti dari kehidupan dan emosi. Lalu helaan napas lolos dari mulutnya sembari menyunggingkan senyum miring. Meskipun terasa diperintah, ia tetap menuruti senior perempuan tersebut. Lantas, ia menghamburkan catatan Akari di atas meja seraya kembali berbicara, "Let's put all of these on the table, shall we?"
"Re-re-retsu—apa tadi?" tanya Katsuya, ragu-ragu sekaligus kebingungan akan aksen Inggris milik Iori.
Akari memicingkan mata, mendesis sebal, "Diam dulu, Nanase."
"Alasan kenapa aku sangat membenci Nishiyama Ichigo karena ... ia pernah menindas sepupuku sewaktu SMP dulu," jelas Iori, membuka awal dari kisah yang tak diketahui oleh mereka berdua. Tak ada yang berani memotong, hanya diam dan mendengarkan, "namanya Matsukawa Nana, seorang gadis lugu dan rapuh yang hanya mempunyai lukisan sebagai pusat dunianya. Semenjak masuk ke dalam club melukis Yuigaoka, ia terlihat selalu tertekan dan bahkan mulai tak ingin berbicara selain padaku."
Iori mengepalkan tangannya dengan kuat, iris hijau itu menatap lekat gadis berambut hitam yang berada di ruangan bersamanya, "Nishiyama-senpai menindasnya hanya karena Nana memiliki bakat yang lebih darinya. Kujou-senpai mungkin tidak tahu akan hal ini, tetapi ketiga orang itu—Nishiyama-senpai, Kirihara-senpai, dan juga Shinkai-san selalu pergi bersama jika ingin melancarkan aksinya. Sebagian besar korban akan berusaha untuk keluar dari club atau yang lebih parah, bunuh diri, tak terkecuali Nana."
"Hum! Aku pernah dengar mengenai rumor 'memasuki club melukis berarti sudah menyerahkan jiwa ke iblis' karena insiden bunuh diri ini dari Hinami-chan dulu."
Anggukan cepat Iori berikan, menanggapi tanggapan dari Katsuya. Ia pun menjejerkan catatan yang berserakan di atas meja, mengurutkan sesuai tanggal. Mendengar penjelasan itu, iris hitam milik Akari membulat, tangannya gemetaran sembari mencoba menutupi mulutnya yang membuka. Prasangka yang tak ingin ia ketahui, namun harus. Akari mengabaikan perasaan mengganjal di dadanya seraya melemparkan pertanyaan dengan lirih, "Akane dulu berada di club yang sama. Apa benar ... ia bunuh diri juga?"
Hening.
"Maa, itu ... Senpai sudah mengetahuinya?" balas Iori, setelah sempat memberi jeda karena terkejut. Iris hijau itu beralih, ekspresinya sedikit pahit, merasa tidak enak. Ia sama sekali tidak menduga, memori sang gadis telah kembali secepat itu, "kapan kau mengingatnya?"
Kalau boleh jujur, Akari tidak mengingat dengan jelas memori tersebut, hanya samar-samar. Tetapi, tidak ia duga jika tebakannya benar. Akari memijat pelipisnya, berusaha menghilangkan rasa pusing yang kembali melanda.
"Hanakawa, dari dulu kau mengetahuinya? Apa lagi yang kau ketahui mengenai kembaranku, huh?"
Iris hitam pekat itu menatap lurus, mengernyit, meminta jawaban sesegera mungkin. Katsuya merasa tidak nyaman akan atmosfer suasana di ruangan saat ini, tetapi ia tak mampu untuk membuka mulut. Lagipula, ia tidak mempunyai hak untuk menginterupsi dengan tanggapan tak bergunanya di saat penting seperti ini. Rasa penasarannya pun meningkat, ingin mengetahui mengapa Akari tidak tahu menahu akan kondisi dari kembarannya sendiri.
Iori hampir mengulas tipis, jika saja ia tidak mendapati ekspresi putih pucat yang dimiliki oleh Akari. Iori menghela napas, lantas mengernyit, "Tidak banyak. Hanya tentang penindasan dan juga kakak kembarmu yang meninggal bunuh diri."
Jantungnya berdetak lebih cepat saat mendengar informasi tersebut.
"Apa-apaan ini? Aku mengingat ia meninggal karena sakit. Apa memoriku dan Taku berbohong?" Gemeletuk gigi terdengar jelas dari mulut Akari. Sesekali, ia menggigit kukunya hingga berdarah. Namun, tingkahnya itu segera dihentikan oleh Katsuya. Tatapan khawatir tersirat jelas dari balik iris cokelat kemerahannya, membuat ia berhenti dan kembali dalam obrolan, "karena itulah kau ingin menyudutkan Nishiyama-san sesegera mungkin?"
"Fufu, tak perlu aku jawab, Senpai pun sudah mengetahui jawabannya sendiri bukan?"
"Baiklah, mari kembali menginvestigasi dan mengumpulkan semua bukti agar Nishiyama Ichigo dapat mengakui semua dosanya," ujar Akari, mantap.
Orang yang dulu hanya mampu ia tatap dari jauh setelah dua tahun lamanya menyelidiki sendirian, kini berdiri menatap lurus dengan iris hitam pekatnya tersebut. Meskipun menulis ingatan palsu di memorinya, tetapi ia berusaha melawan dan kembali membuka kebenaran itu. Iori terkekeh, bukan merasa lucu, malahan senang. Bagaimana ini? Iori sama sekali tidak bisa mengatur ekspresi di wajahnya saat ini.
Cukup bangga karena kedua sosok itu telah kembali dalam kapal yang sama, Katsuya pun berpamitan, meninggalkan ruangan. Berakhirnya diskusi mereka, menandakan waktu pulang. Beberapa puluh menit setelah beres-beres, sosok lelaki berambut hitam yang familiar telah berada di depan pintu, menyandarkan punggungnya dan menyapa Akari, "Sudah selesai?"
"Hm, ayo pulang, Taku."
"Ah, Senpai, izinkan aku mengantarmu juga!" Iori mengangkat suara, setelah menitipkan ruangan pada Katsuya untuk dikunci.
Kini, mereka bertiga berjalan bersama, ke luar dari koridor menuju halaman depan gedung sekolah. Cahaya jingga yang nampak hangat, namun udaranya mendingin. Dari balik kacamata Akari, ia dapat melihat dengan jelas dunia tersebut, keberadaan yang banyak menarik perhatian manusia tak terkecuali dirinya. Helaian bunga sakura yang gugur di atas trotoar jalan, lampu hijau yang menandakan para pejalan kaki telah dapat menyeberang dengan aman.
Ketenangan ini, tak dapat ia dapat di mana pun. Dan kejadian bunuh diri itu merusak masa muda damainya.
Akari melangkah, mengikuti punggung lebar Takuma. Pemuda pirang di sampingnya mengangkat suara, "Tak perlu sekhawatir itu, Senpai. Sekarang, kita dapat melangkah maju, bukan? Penolakan dari Ryoume-senpai juga nampaknya tidak seintensif kemarin."
Diam-diam, gadis berambut hitam itu berniat untuk menyetujui perkataan adik kelasnya tersebut. Tetapi, napasnya terhenti ketika mendengar seruan keras dan dorongan kencang dari Takuma. Bingung, Akari berusaha untuk memproses rekaan memori sebelumnya.
Mobil?
"Senpai ... kau baik-baik saja?"
Apa ini? Padahal baru saja mereka mengobrol denganku.
"O-oh iya, aku ... harus menelpon ambulans—" Akari ingin mengambil ponsel genggam miliknya, namun tangannya terlalu lemah. Jantungnya berdebar-debar, terlebih saat mendapati sosok Takuma yang tergeletak di jalan seraya dilumuri oleh darah, "—Taku! Hei, jangan main-main, bodoh!"
Ia tak kunjung menjawab.
Panik, pikirannya tidak jernih. Bagaimana bisa di jalan yang sepi, sebuah mobil melaju dengan kecepatan penuh? Akari mengumpat dalam batin, tak sempat melihat platnya. Bahkan, bisa dibilang, ia sama sekali tak merasakan kehadiran pengendara itu. Gadis itu melepas kacamatanya, baru tersadar kalau lensa benda itu retak. Perlahan, pelipisnya terasa nyeri.
Gawat, kepalaku mulai pusing lagi.
"Senpai, kau harus menelpon ambulans segera," rintih Iori, menahan perih di tangannya. Nampaknya, luka pemuda itu tidak terlalu parah. Anggukan pun Akari berikan sebagai respon.
Dengan sigap, jari-jemari itu membuka layar, berniat untuk menelpon nomor ambulans. Tetapi, sebuah e-mail dari pengirim tak dikenal menghentikan niatnya. Susunan alamat yang cukup familiar di matanya, mau tak mau membuat ia membukanya.
'From: [email protected]
Subject: Peringatan
Bagaimana? Kau menyukai hadiah dariku?
Bukankah sudah kubilang untuk tidak menggali lebih dalam lagi?
Selamat!
Sayang sekali ya, harusnya kesayanganmu benar-benar pergi, sama seperti sebelumnya.'
Iris hitam itu membelalak, amarah memenuhi di dalamnya. Akari sudah tidak mengerti lagi dengan kinerja tubuhnya yang mengedepankan emosi lebih dulu. Namun, hal itu sekarang tidak penting, ia perlu menghubungi ambulans secepatnya demi Takuma dan Iori. Dalam kegelisahan tersebut, ia berandai-andai langkah apa lagi yang harus dilakukannya agar semua ini berakhir dengan cepat?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro