Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Page 13: Unfortunate

BAB 13 – Unfortune

Sore itu, seperti biasa, Takuma melakukan check-up karena insomnianya yang tak kunjung membaik. Namun, ketika mendapati sosok yang ia kenal juga berada di rumah sakit, Takuma secara tak sadar mengikuti mereka bertiga. Ia tidak suka mendengar pembicaraan orang lain, bahkan dirinya dan Akari masih dalam keadaan bertengkar. Hanya saja, ia tak mampu untuk meninggalkan kepeduliannya akan sang gadis.

Ketika sosok pemuda pirang dan cokelat masuk ke dalam bangunan dan berjalan dari atap, mereka menitipkan gadis itu agar tak terjadi hal yang diinginkan. Benar saja firasat Iori, Ichigo melakukan sesuatu yang berbahaya di depan matanya. Tetapi, dalam dadanya ada sesuatu yang bergejolak, mampu untuk membuat Takuma enggan menolong sang sepupu dalam sejenak. Bagaimana jika saat itu Akari yang meninggal dan Akane lah yang hidup?

Sungguh munafik sekali alam bawah sadarnya.

Ia sempat ragu untuk menolong, padahal jelas-jelas sudah kehilangan dirinya. Bila Akane mengetahui pemikirannya saat ini, sudah pasti ia akan dihardik. Dalam waktu dekat itu, Takuma tergesa-gesa dan berusaha untuk membantu Akari. Iris hitam pemuda itu mendelik, memberikan tatapan maut kepada gadis bermarga Nishiyama tersebut. Semua kesalahan dan kesialan Akane dimulai dari gadis berambut biru tua tersebut.

Mengapa ia harus menyalahkan sepupunya sendiri yang tak tahu apa-apa akibat kehilangan gadis yang ia sukai? Memang benar, cinta mampu membuat seseorang menjadi gila.

"Taku!" seru Akari, kesal.

Takuma tersentak, kembali bergerak setelah berdiam diri menuangkan teh dalam gelas. Cairan pekat berwarna hijau bening itu telah tumpah. Membuat pemuda itu mengerjap panik dan membersihkan dengan segera. Melihat tingkahnya tersebut, Akari hanya mampu mendengkus pelan dan membantu dengan malas, memaklumi setelah pulang dari rumah sakit. Pemuda berambut hitam model belah tengah itu tertawa canggung seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Ahaha, maaf, Akari. Aku tidak fokus. Tadi, kau mengatakan sesuatu?"

"Tch, kau sedang melamunkan apa, sih?"

Akari berkacak pinggang sembari mengerutkan dahinya, sebal. Lalu, ia menghela napas dan kembali melanjutkan obrolannya, "Aku tidak menyangka, kalau Nishiyama-san orangnya seperti itu. Bodoh sekali, aku."

Senyum ceria Takuma sunggingkan, ia tidak peduli betapa bodohnya sepupunya tersebut jika sudah berhubungan dengan manusia lain. Takuma hanya menyukai suasana damai seperti ini, berinteraksi berdua dan tidak ada ancaman, membuat memori bersama. Tawa mengejek lolos dari bibirnya, lantas Takuma mengendikkan bahu dan menyeringai kecil, "Makanya, selalu dengarkan perkataan dari orang baik sepertiku tahu."

"Terserah kau. Tetapi ... aku memang ingin meminta maaf padamu karena terlalu keras kepala. Maaf, Taku," tutur Akari seraya menundukkan kepala. Berusaha untuk mengalah pada egonya adalah hal yang susah untuk dilakukannya. Namun, ia tetap harus melakukannya demi mengembalikan keadaan seperti semula lagi. Dada pemuda itu terasa hangat, berniat untuk memeluk sang gadis dengan cepat.

Handphone milik Takuma berbunyi, menginterupsi suasana, membuat pemuda itu bergegas untuk mengeceknya. Raut datar nampak di wajah Takuma, lalu ia menatap Akari dan memasang ekspresi kecewa juga lelah. Takuma berdehem pelan, "Sepertinya ... aku sudah harus pulang, Akari."

"Huh? Apa Oba-san dan Oji-san sudah pulang ke rumah? Bukannya mereka berdua akan kembali ke Jepang saat musim dingin?" Akari bertanya, mengangkat sebelah alisnya. Ia tahu persis kalau hubungan orang tua dan anak itu tidak bagus, mirip seperti dirinya semenjak Akane meninggal. Mendapati nada khawatir yang tersirat dari pertanyaan sepupunya tersebut, Takuma hanya terkekeh pelan dan menggeleng. Ia memperlihatkan foto sebuah game kepada Akari, membuat sang gadis paham hanya dengan satu gambar digital tersebut. Tatapan datar ia lemparkan, lalu memalingkan wajah dan berucap ketus, "oh, paketmu sudah tiba, ya. Sudahlah, pergi saja sana."

"Haha, apa Akari merasa kecewa?"

"Buat apa? Tch, sia-sia saja aku merasa cemas padamu."

Senyum tipis Takuma ulas, lantas ia berbalik dan melambaikan tangan. Segera berpamitan dan berjalan keluar dari pintu rumah keluarga Kujou. Akari menghela napas, memperhatikan punggung Takuma yang lantas menghilang dari pandangannya saat ini.

***

Bel istirahat telah berbunyi, membuat para murid segera berhamburan menuju kantin. Desahan pelan keluar dari mulut seorang gadis berambut hitam ikal dan berkacamata, menatap roti melonnya tanpa ekspresi. Memang benar, ia merasa lapar, tapi apa perlu untuk bertindak seagresif itu? Terkadang, ia tidak mengerti akal pikiran manusia.

Beruntunglah, ia membawa beberapa bungkus roti, meskipun ingin mencicipi yakisoba kantin. Tetapi, ia harus memanfaatkan waktu seefisien mungkin. Lantas, setelah mengganjal waktu, gadis itu bangkit dari kursinya dan melangkah menuju perpustakaan yang terletak di lantai bawah. Sudah lama, ia tidak menenangkan diri dengan tumpukan buku. Namun, langkah penuh riang itu segera terhenti ketika mendapati seseorang terjatuh, menghantam dahan pohon dan berada di tanah dari balik jendela kaca koridor. Iris hitamnya membulat, terkejut ketika menemukan wajah familiar seorang gadis yang tengah terduduk di sana.

Tanpa membuang waktu, Akari pun berlari keluar dan menghampiri gadis twintail dengan badan penuh goresan luka. Akari berseru, "Manami-san! Kau tidak apa-apa?"

Hinami menengadah, mengulas senyum kikuk. Sesekali, ia mengusap bagian yang sakit dan mengeluh pelan. Akari berdehem, lantas ikut menengadahkan kepalanya, mendapati jendela ruangan Houkago Club yang terbuka lebar. Lalu, ia kembali menatap Hinami.

Iris hitam dari balik kacamata itu mendapati lutut yang berdarah dan terlihat agak memar. Lagi, rasa pusing menghampiri Akari. Namun, dengan cepat berusaha ditepisnya, meskipun ia kembali berkeringat dingin. Gadis berkacamata itu mendengkus kasar. Lantas, Akari menyamakan tinggi dan menawarkan punggungnya untuk menggendong Hinami.

"Cepat naik, lukamu harus diobati."

"E-eh? Tidak perlu, Kujou-san. A-aku bisa sendiri, kok," sanggahnya dengan rona merah yang mulai memenuhi wajah. Mendengar penolakan sang lawan bicara, membuat Akari hanya mampu mengulurkan tangan, masih berusaha untuk membantu. Walaupun rasa pening di kepalanya kian meningkat. Hinami menatap khawatir, "Ku-Kujou-san? Apa kau baik-baik saja?"

Ah, ketahuan, ya? Maaf, Karicchi. Maaf ... karena aku tidak bisa lagi melukismu.

Mual menghampiri. Padahal, hanya melihat setetes darah saja yang keluar. Harusnya, ia mampu menahannya. Atau karena adegan Hinami yang jatuh tadi? Sekarang, Akari tidak mengerti apa pun lagi.

Berhenti!

Gadis dengan ikat dua itu ingin bangkit, tetapi tidak bisa karena kakinya yang terluka. Ia menoleh ke kanan dan kiri, berusaha mencari orang lain untuk dimintai tolong. Namun, nihil, tidak ada satu pun yang lewat. Hinami membatin, panik, apa karena kantin masih ramai? Ia menyesali keputusannya untuk datang ke Houkago Club sendirian.

Kuharap kau tidak mengingat kenangan buruk ini dan bisa hidup bahagia. Sekali lagi, maaf, tapi melukis adalah hidupku. Tanpanya, aku terasa kehilangan arah dan tujuan.

Akari menggeram, menahan rasa sakit di kepalanya. Yang barusan itu apa? Lagi-lagi kilas memori yang tak ia ketahui?

"Ugh, yah. Aku ... baik-baik saja."

Segalanya buram, pandangan Akari mulai perlahan menghilang. Sakit, seluruh badannya terasa menyakitkan. Keseimbangannya pun juga ikut goyah. Sebelum gadis berambut hitam ikal itu bertemu dengan tanah, pemuda pirang dengan sigap menangkap Akari. Siapa lagi kalau bukan Iori?

"Kujou-senpai, akhir-akhir ini kau terlalu sering pingsan. Maa, aku sih tidak keberatan untuk membawamu ke UKS lagi," sindir Iori, masih dengan posisi menahan Akari agar tidak terjatuh. Di sampingnya, terdapat Katsuya yang telah berlari dari gedung olahraga. Iori menghela napas, mengulas senyum dan kembali mengangkat suara, "Nanase-senpai juga, segera obati Manami-senpai. Masih ada yang belum sadar kalau ia terjatuh dari ruangan club."

"Bagaimana kau tahu kalau aku ... terjatuh dari sana?"

Iori masih memasang senyum, tetapi sebuah garis lengkung yang dingin, " Saat aku masuk, pintunya terbuka setengah dan jendela terbuka lebar. Sayangnya, masih ada bekalmu di meja sana, Senpai. Jadi, aku melihat ke bawah dan mendapati Kujou-senpai yang menghampirimu."

Refleks, Hinami merasa dingin akan iris hijau yang menatap ke arahnya tersebut, seolah berusaha untuk memperingati agar tidak bertindak gegabah lagi. Hinami menegak ludah, diam dan menyesalinya dalam hati. Meskipun fisiknya cukup kuat akibat latihan basket yang diterimanya selama ini, tak menutupi kemungkinan jika ia akan terluka lebih parah dari ini. Perasaan jatuh akibat didorong tersebut masih belum bisa ia lupakan.

Siapa yang mendorongnya? Bukannya kemarin, Katsuya sudah memastikan kalau ia hanyalah korban pengalih saja? Berbagai pertanyaan itu muncul di benaknya, namun Hinami memutuskan untuk tak mengangkat suara dan membiarkan dirinya di bawa ke UKS terlebih dahulu.

Beberapa saat sebelum waktu istirahat berakhir. Kelopak mata Akari membuka, menampakkan iris hitam sekelam mata yang masih mengernyit, mencoba menyesuaikan dengan takaran cahaya yang bisa ia terima. Perlahan, setelah terbuka sempurna, ia membelalak, menyadari telah tidur di paha seorang pemuda. Iori menyunggingkan senyum kecil, geli melihat reaksi gugup dari seniornya tersebut. Ia pun membuka mulut, "Selamat pagi, Senpai. Apa sudah merasa baikan?"

"Kau gila! Kenapa tidak membawaku ke UKS dan membiarkanku tidur di tanah?" desis Akari tidak terima seraya mengepalkan tangannya.

"Habisnya, aku tidak cukup kuat untuk menggendong Senpai."

Akari mendelik, tahu kalau sosok di hadapannya tersebut tengah berbohong. Bukannya ia hanya ingin mempermalukan dirinya saja? Jika teman sekelasnya tahu—selain Katsuya, maka akan beredar rumor bahwa dirinya memang suka tidur di mana saja, bahkan di paha adik kelas yang notabene adalah lelaki. Bukannya ia peduli akan pandangan orang lain terhadapnya, tetapi itu membuat kepalanya semakin sakit saja dan bukannya sembuh.

Gadis berkacamata itu mengerjap, menoleh ke arah Iori dengan cepat, "Kita harus segera mendiskusikan ini di Houkago Club. Aku melihatnya terjatuh dari sana."

"Huft, Senpai ini semangat sekali, ya. Padahal beberapa menit tadi, kau menjadi putri tidur."

"Bodoh. Memangnya sekarang itu penting, kah?"

Iori menggeleng, lalu bangkit dan mengulurkan tangan, mencoba memberi bantuan. Mau tak mau, gadis itu menerimanya meskipun terasa enggan. Ia tidak suka jika kelemahannya dilihat, tetapi tidak masalah, mereka mempunyai tujuan yang sama untuk saat ini. Setelah semua berakhir, ia akan memutuskan segala hubungan ini dan kembali ke suasana damai yang ia miliki. Iori pun berujar, menyipitkan mata akibat senyum hangatnya, "Baiklah, kita bicarakan ini nanti saat sepulang sekolah. Bel masuk akan berbunyi sebentar lagi, Kujou-senpai."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro