Page 10: Their Discussion
BAB 10 – Their Discussion
Angin hari itu terasa sepoi-sepoi, menyejukkan sepasang kembar yang tengah menikmati makan siang mereka di ruangan serba putih dan penuh akan bau obat-obatan. Sang gadis berkacamata memperhatikan dengan tenang kakaknya yang berada di kasur berbalutkan selimut, menahan mulutnya untuk membuka agar tidak memecah keheningan tersebut. Menyadari adiknya ingin mengangkat suara, sosok pucat dengan helaian rambut cokelat itu terkekeh, lantas menyahut, "Apa ada yang ingin kau tanyakan, Karicchi?"
Akari, gadis berambut hitam yang merupakan adik kembar Akane tersentak lalu memalingkan wajah. Ia merasa berbagai pertanyaan yang ada di kepalanya tersebut tidak penting untuk ditanyakan saat ini. Benar, ia memutuskan untuk menanyakannya di saat Akane akan keluar dari rumah sakit nanti.
"Tidak, bukan apa-apa. Hanya menyadari raut wajahmu sedikit pucat saja," jawabnya datar. Akane mengerjap, terkekeh pelan lantas perlahan-lahan tawa tersebut terdengar mengerikan di indra pendengarannya. Iris cokelat milik Akane menatap lekat Akari, membuatnya kebingungan sekaligus merinding.
"A-Akane ...?"
Akari menegak ludah, "Sebentar, kau kenapa, Akane? Jangan bercanda seperti ini."
Sosok yang selalu menyembunyikan tangannya dibalik perban dan selimut itu mulai memperlihatkan luka di hadapan mata Akari. Bau anyir dan bakar tercium pekat di ruangan, mau tak mau membuat Akari menutup hidungnya. Semakin lama, tawa Akane semakin melengking dan tidak karuan. Jantungnya berdebar cepat, untuk pertama kalinya ia melihat sang kakak bertingkah seperti ini. Tak ingin sesuatu terjadi pada Akane, Akari pun mencoba mendekatinya, namun napas Akari tercekat ketika mendapati leher Akane yang patah dan berlumuran cairan merah.
Iris cokelat itu melotot, seolah siap kapan saja untuk keluar dari tempatnya. Air mata lolos dari mata Akane, lantas ia merintih dengan suara pelan, "Kau jahat sekali, Karicchi. Bagaimana bisa kau tidak menolongku di saat aku membutuhkanmu? Ini ... sakit sekali, tahu."
Setelah mengatakan hal itu, Akane dengan kepala patah dan badan yang telah dingin memeluk Akari. Gadis berambut hitam itu menerima pelukannya dengan pasrah, ia sudah tak mampu untuk melawan, bahkan bergerak sama sekali.
***
Akari tersentak dan bangkit, mencoba untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya karena sesak yang ia rasakan. Dada gadis itu berdegub kencang, seolah ia baru saja merasakan sesuatu yang lebih mengerikan dari kematian. Ia lantas mengeluh kesakitan, baru mengingat kalau tangannya tengah terluka. Lekas saja, ia melirik arah jam yang menunjukkan sudah sore hari, lalu beranjak dari kasur.
"Apa-apaan ... mimpi itu?"
Tangannya gemetar, keringat dingin mengucur dari seluruh badannya.
Sebuah bunga tidur yang membuat ia gelisah tak karuan. Lantas, jari-jemari yang putih itu menyisir helaian rambut hitamnya. Ia mengenakan kacamata, keluar dari kamar tidur, dan menuruni tangga. Sudah dua hari ia beristirahat di dalam rumah karena Takuma yang tak mengijinkannya untuk pergi sekolah. Dua hari pula telah berlalu, pola makannya yang tak beraturan diakibatkan berbagai beban pikiran tersebut.
Mungkin saja, stres itu berubah menjadi sesuatu yang menghantuinya secara tak langsung dari alam bawah sadar. Ia berniat untuk memasak, tetapi badannya bergerak membuka kulkas. Akari pun bergumam, "Masih ada cemilan. Hm, tidak baik selalu memakan makanan seperti ini. Hanya saja, sayang sekali, keadaan memaksa."
Benar, perutnya telah memanggil. Tak bisa menunggu waktu yang lama lagi.
Akari menghabiskan beberapa cemilannya, hingga mendengar bel rumah ia berbunyi. Gadis itu berdiri dan berjalan menuju pintu depan, mengintip dari door viewer. Tidak mengejutkan ketika ia mendapati sosok Katsuya, mengingat pemuda itu pernah kerja kelompok bersama di rumahnya. Namun, kehadiran Iori sedikit membuatnya terkejut.
"Hei, Kujou! Apa kau ada di dalam, hum?" seru Katsuya seraya melambaikan tangan. Sementara Iori hanya melirik pemuda berambut cokelat itu dalam diam, tak bersuara sama sekali. Helaan napas keluar dari mulutnya, lantas gadis berkacamata itu pun memutuskan untuk membuka pintu, menyambut kedatangan para tamu yang tak diundang. Hanya saja, ia menahan kedua pemuda itu di depan pintu rumahnya. Ia pun melemparkan pertanyaan sembari berkacak pinggang, "Ada hal apa kalian berdua ke sini?"
"Ah, itu—"
Katsuya berdehem pelan, cukup kaget dan merasa kikuk dengan penampilan Akari yang hanya memakai piyama. Masa bodoh, pemuda yang paling muda di antara mereka bertiga pun mengangkat suara. Sudut bibirnya melengkung, menyipitkan mata, tak merasa terganggu akan pemandangan di hadapannya. Iori meletakkan telapak tangannya di dada, lalu menyahut dengan nada yang cukup serius meskipun tengah tersenyum, "Kujou-senpai, apa kau sudah sehat?"
Jujur saja, Akari tak ingin basa-basi. Tetapi, tidak sopan untuk mengabaikan di saat ia menangkap sirat kekhawatiran dari mereka berdua secara terang-terangan. Ia mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.
"Oh, ya, dan ... apa bisa kita bicara di dalam?" tawar Iori, menyambung kembali kalimatnya. Namun, ia tak tersenyum seperti biasanya. Menemukan tingkah Iori yang seperti ini di hadapannya, mau tak mau gadis itu paham akan kode yang diberikan. Akari pun mundur, memberikan jalan masuk kepada dua pemuda itu dan menutup pintu.
Sosok berambut cokelat itu berusaha mengambil tempat di dapur tanpa izin tuan rumah, sementara Iori hanya berdiam diri mengawasi tingkah laku seniornya. Akari mendengkus kasar, menarik Katsuya dan membawanya kembali ke ruang tamu. Setelah ketiga murid sekolah itu duduk di tatami, Iori pun lagi-lagi mengangkat suara. "Senpai, mengenai isi handphone Shinkai-san. Apa kau sudah melihatnya?"
"Memangnya kenapa dengan isinya? Apa hal ini berkaitan dengan e-mail yang ia terima?"
"Benar," balas Iori dengan senyum kecil. Ia melirik ke arah Katsuya yang mengeluarkan plastik bening berisikan handphone dari dalam totebag Iori, lalu melanjutkan kalimatnya, "aku tidak sengaja memungutnya saat kejadian itu. Sayang sekali, untuk kasus Kirihara-senpai, aku tidak berhasil mengamankannya."
Cengiran pelan lolos dari bibir Katsuya, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan berujar bangga, "Hum, haha! Hanakawa-kaichou benar-benar bisa diandalkan, bukan, Kujou?"
"Ya, Nanase. Sejak hari senin, tanggal dua belas maret, Kirihara-san mulai bertingkah aneh. Kalau tidak salah ingat, hal itu berlangsung selama tiga hari dan puncaknya saat hari rabu. Mejanya penuh dengan kertas yang dilumuri cat merah. Aku sempat melihat isi pesannya. Hanya saja, saat pukul lima sore, ia sudah meninggal karena bunuh diri di atap."
"Apa kau tidak menemukan bukti sama sekali di sana, Hanakawa?" tanya gadis berkacamata itu yang sempat memberi jeda akan penjelasannya. Ia meremas piyamanya dengan erat, melemparkan tatapan penuh harapan pada sosok di hadapannya.
Senyuman miris terpasang di wajah Iori, lantas ia menggeleng kecil sebagai jawaban atas pertanyaan dari seniornya tersebut. Iris hijau itu terasa dingin, seolah mampu menusuk badannya hanya melalui tatapan saja, "Aku sempat mengakses atap, tak lama setelah sejam kejadian berlalu. Namun, aku tidak menemukan handphone yang terjatuh dan tidak ada bukti kalau ini adalah pembunuhan berencana. Maa, mau tak mau, aku beranggapan kalau benda itu berada di tangan pelaku demi menghilangkan jejak terornya."
"Dan ... sampai pada kesimpulan saat aku membandingkan kedua pesan antara Shinkai-san dan Manami-senpai," lanjut Iori pelan. Lalu, ia melirik ke arah Katsuya, memberi tanda. Membuat pemuda berambut cokelat itu mengeluarkan handphone Hinami dan melemparkan tatapan serius kepada satu-satunya gadis yang berada di ruangan itu.
"Kujou, kau sudah melihat isi pesan Hinami-chan, 'kan, hum? Oh, ada baiknya kau tak melihat foto yang tertaut di bagian bawah! Ini demi kenyamananmu sendiri!"
Akari membalas dengan gumaman kecil, mengikuti titah paksa dari teman sekelasnya tersebut. Lantas, memperhatikan seksama kedua ponsel genggam tersebut. Setelah beberapa menit fokus, ia pun menarik kesimpulan seraya tertawa sarkas, "Isi pesan Shinkai-san, mirip dengan punya Kirihara-san. Target yang sebenarnya adalah 'Membayar dosa di masa lalu' sementara pengecoh adalah 'Jangan melihat ke masa lalu'. Benar-benar bodoh sekali, pelaku ini mengelabui kita dengan sangat mudah, haha."
Lantas, Akari menunjuk alamat e-mail pelaku.
"Jika diperhatikan bagian ini, mungkin dosa di masa lalu itu berkaitan dengan nama dosa yang diselipkan pada alamatnya," sahut sosok berkacamata itu, lagi. Dengkusan kasar keluar dari bibir mungilnya, lalu ia kembali menatap kedua pemuda di hadapannya tersebut. Akari bertanya seraya menautkan jari-jemarinya sendiri, "Apa kalian ada gambaran, siapa yang melakukan ini? Perkiraanku, untuk bergerak bebas, mungkin saja ia adalah salah satu murid di sekolah kita."
Katsuya menggeleng kuat, sedangkan Iori membalas pertanyaan tersebut dengan seringai dingin. Pemuda pirang itu lantas mengepalkan tangannya, erat, hingga warna biru seolah mampu memenuhi telapak tangannya yang putih. Iris hijau itu memberikan tatapan tegas. Suara baritonnya pun terdengar memenuhi ruangan yang hening.
"Nishiyama Ichigo."
Sedari dulu, Akari sadar akan perasaan penuh amarah dari Iori. Tetapi, ia terkadang tidak mengerti alasan, mengapa pemuda itu memendam perasaan seperti ini pada sosok lemah lembut sepertinya. Ia tahu, kalau ia tidak boleh menilai seseorang dari sampulnya. Hanya saja, Akari membutuhkan penjelasan lebih mengenai tindakan Iori yang seolah berusaha untuk menyudutkan gadis itu. Tidak ada salahnya menjadikan ia tersangka, namun untuk menetapkan kebenaran bahwa ialah pelakunya bukanlah tugas yang mudah.
"Senpai, apa kau tidak pernah berpikir kalau Nishiyama-senpai yang notabene adalah anak dari yayasan sekolah kita mampu untuk memalsukan alibi dari para guru? Lagipula, kau harus memperhatikan lebih mengenai sosoknya yang mulai kembali bersekolah bertepatan dengan hari di mana Kirihara-senpai mulai bertingkah aneh."
"Dua belas maret, ya?"
"Benar. Aneh sekali bukan, jika hal seperti ini kebetulan terjadi secara bersamaan?"
Jeda sejenak akibat tepukan pelan dari Katsuya yang diarahkan ke meja. Pemuda itu menginterupsi dengan antusias dan cengiran lebar, "Hum! Aku pernah berpapasan sekali sewaktu kelas kita tengah berolahraga. Ia keluar dari kelas sendirian dan terlihat cukup lemas. Tapi, karena ia anak orang kaya, jadi tak pernah terpikirkan olehku untuk mengira ia melakukan kejahatan! Misal, mencuri atau melakukan penindasan terhadap yang lain."
"Lihat, Senpai? Maa, ia memiliki latar belakang sekolah yang sama dengan korban, bahkan pernah terlihat dekat dengan mereka. Mengenai dosa, kita akan mencari tahu lebih lanjut mengenai hal itu. Lazy dan Envy yang berarti kemalasan dan iri dengki, apa aku benar? Berarti, alasan balas dendam kepada Kirihara-senpai dan Shinkai-san berkaitan dengan dua dosa tersebut. Terakhir, seperti yang Senpai bilang sendiri, pelaku kemungkinan adalah murid dari sekolah kita."
Seringai makin lebar di wajah Iori, ia tak mampu untuk menahan rasa senangnya, menemukan titik terang setelah menghabiskan banyak waktu. Tak lama lagi, ia akan berhasil untuk mengungkapkan pelaku yang sebenarnya. Semua pernyataan Iori masuk akal di logikanya, namu perasaan Akari mengatakan ada hal yang tidak benar. Ia masih belum yakin ketika melihat Iori yang sangat bergairah untuk menentukan hasil akhir.
"Ada dua kemungkinan mengenai alibi dari Nishiyama-san, benarkah pernyataannya atau ia berbohong," sahut Akari, menyetujui perkataan itu.
Iori menggebrak meja, iris hijau itu terlihat berbinar dan seolah cahaya harapannya kembali. Katsuya hampir ikut merasa senang, jika saja kalimat dari mulut gadis berambut hitam itu tidak kembali membuka dan terdengar di indra pendengaran mereka, "Namun, aku tidak yakin saat melihatmu bertingkah maniak seperti itu. Hei, Hanakawa, mengapa kau ingin mengetahui identitas pelaku? Apa untuk menghukumnya di penjara?"
Mendengar ucapan dari seniornya tersebut, Iori terdiam lalu terkekeh pelan. Ia kembali duduk dengan rapi dan sopan, memejamkan matanya sejenak. Lantas, Iori membuka kelopak mata lentik itu, menatapnya seraya tersenyum, namun lagi-lagi sebuah tatapan yang dingin dan terasa mampu untuk menusuk kulit Akari.
"Maa, Senpai kembali menanyakan hal itu? Bukannya kita semua punya tujuan masing-masing untuk mengungkapkan pelaku. Memang benar, tujuan utamanya agar tidak ada lagi korban berjatuhan. Tetapi, Senpai juga punya 'kan? Alasan tersendiri ... agar bunuh diri seperti ini tidak terjadi ... lagi."
Maaf ... karena aku tak bisa lagi melukismu.
Sontak, kepala Akari terasa sakit, membuat ia mengaduh dan memegang pelipisnya. Katsuya dengan sigap memegang gadis tersebut, tetapi Iori hanya menatap kedua sosok di hadapannya dalam diam. Pemuda pirang itu memperhatikan dengan tenang, tak berniat untuk ikut andil dan menenangkan sang gadis. Namun, tindakan itu tak berlangsung lama ketika Katsuya meminta tolong kepadanya untuk mengambil air di dapur. Ia pun menghela napas, pasrah dan mengikuti titah dari seniornya tersebut.
Sepertinya, akan membutuhkan usaha dan waktu yang lama agar sosok senior yang ia idamkan sedari dulu untuk naik di kapal yang sama dengannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro