Page 1: Beginning
BAB 1- Beginning
Dorongan keras diterima oleh seorang gadis dengan helaian rambut berwarna cokelat, punggungnya bertubrukan dengan canvas setengah jadi hingga mendarat ke lantai. Iris hazel itu menatap lekat pada beberapa sosok di hadapannya seraya menengadah mantap, tak ada ketakutan sama sekali yang tersirat. Membuat para pelaku geram akan tingkah berani sang gadis. Akane, si pemilik rambut cokelat tersebut bangkit dan menghadang, mencoba melindungi juniornya. Mereka berdua bernasib sama, ditindas, namun Akane tak ingin para pelaku melakukan hal lebih dari apa yang pernah ia alami terhadap sosok rapuh berhelaian pirang dan iris emerald.
Merasa penindasan yang mereka lakukan sia-sia, para pelaku mulai meninggalkan ruang seni lukis dengan berbagai raut wajah. Akane menghela napas, melirik ke arah Nana, junior yang juga berada satu ekstrakurikuler bersamanya. Gadis itu baru saja masuk sebagai freshman, namun sudah mendapatkan hal yang tidak mengenakkan.
"Matsukawa-chan, apa kau tidak apa-apa?" tanya Akane sembari memasang ekspresi khawatir, tak memperdulikan lengan putih mulusnya yang sedikit lebam. Mendapat respon hening dari lawan bicara, Akane kembali mengangkat suara dan mengulas senyum kecil.
"Baiklah! Aku tidak akan memaksakanmu untuk membalasku. Tapi, kau harus segera merawat pipimu yang tergores kuku mereka tadi. Menyebalkan sekali mereka bertindak seperti itu hanya karena iri dengan lukisan kita, bukan?"
Gadis yang lebih pendek dari Akane tersebut hanya melemparkan tatapan penuh diam padanya, lalu menunduk. Hal ini membuat Akane merasa awkward karena lagi-lagi tak mendapatkan respon. Dengan cepat, sosok berhelai rambut cokelat itu langsung memungut beberapa canvas miliknya yang rusak dan menumpuk barang-barang tersebut di dekat tasnya. Tak lama kemudian, handphone Akane bergetar.
"Huh ... e-mail? Ah, ini dari siapa, ya?"
Nana mulai menaruh sedikit perhatian, penasaran dengan isi pesan Akane. Namun, gadis itu terkekeh kecil dan menghela napas, "Huff, apa ada orang yang bermain prank denganku? Minta tolong untuk membantunya di atap sekolah?"
"Well, tidak ada salahnya mencoba! Mungkin saja orang itu benar-benar butuh pertolongan," ujar Akane sembari berkacak pinggang, kembali melanjutkan perkataannya. Gadis itu menoleh, menatap Nana seraya mengulas senyum, "sebaiknya Matsukawa-chan langsung pulang saja, ya. Hari sudah sore. Aku harap kita bisa benar-benar berkompetisi bersama lain kali!"
Sore itu, sang gadis dengan senyum secerah mentari masuk ke rumah sakit. Sementara anak tunggal dari keluarga Matsukawa tersebut mengalami putaran neraka berturut-turut.
***
Iris berwarna onyx menatap tajam Akane, penuh teliti dan seolah menuntut sang gadis untuk memberikan jawaban langsung padanya. Akari, adik kembar dari Akane, memasang ekspresi stoic, meskipun tersirat kemarahan dari aura yang ia keluarkan. Gadis berhelai rambut hitam tersebut mendengkus kasar, lantas melepas kacamatanya dan mengambil tempat untuk duduk.
"Ini sudah hari keberapa di rumah sakit, Kane? Kau bahkan tidak mau memberitahu secara detail apa yang terjadi padamu hari itu," ujar Akari sinis, mengendikkan bahu seraya menyandarkan kepalanya di atas kasur.
"Haha, bukankah aku sudah bilang kalau ada orang yang tidak sengaja menaruh botol asam di atas atap dan itu tumpah di lenganku karena tertiup angin? Karicchi terlalu curigaan, deh!"
"Omong kosong. Bagaimana bisa botol HCL yang berasal entah dari mana jatuh tiba-tiba? Lagipula, botol dari lab saja sudah diatur keasamannya agar tidak sampai melepuh saat melakukan percobaan. Apa kau sebodoh itu sampai tidak tahu, Kane?"
Akane terkekeh kecil sebagai balasan dari sarkasan kembarannya sendiri. Iris hazel itu pun menatap ke arah jendela, semburat oranye di langit menghiasi, membuat lengan kanan gadis itu mencengkram erat selimut berwarna putih bersih. Lengan kirinya yang melepuh membuat ia merasa gelisah, tangan yang menemani ia untuk selalu menorehkan goresan demi goresan di atas canvas. Semua sudah terlambat, ia tak lagi bisa melukis sosok kesayangannya.
Badan Akane kembali bergetar serta keringat dingin mengucur hebat dari pelipisnya ketika sekelebat memori buruk datang menghampirinya.
Tak butuh waktu lama, gadis berhelai rambut cokelat tersebut telah kembali bernapas dengan normal seolah telah terbiasa dengan rasa sakit yang selalu menghantuinya selama seminggu lebih ini. Ia pun menoleh, menatap Akari yang juga ternyata mencoba memperhatikannya dengan setengah mengantuk. Akane menarik sudut bibirnya, "Akari ... bisa temani aku ke atap? Kurasa aku butuh udara segar."
"Huh?"
Sudah lama, gadis itu tak memanggil utuh nama depannya, bahkan sampai diiringi dengan nada sendu di setiap katanya. Mendengar sang kembaran yang bertingkah cukup aneh, Akari mengangguk mengiyakan dan berjalan ke luar ruangan bersama, menuju atap gedung rumah sakit.
Setelah berhasil menaiki tangga dengan perlahan, iris milik Akari mendapati pemandangan kesukaan kembarannya, senja dan kegelapan. Gadis itu sangat suka melukis dirinya ketika tengah berada di bawah naungan kedua suasana itu, berbagai canvas dengan Akari sebagai objeknya telah menghiasi kamar gadis berhelai rambut cokelat tersebut. Padahal, Akari juga sesekali ingin melihat sosok yang tengah berdiri di hadapannya saat ini sebagai objek. Sesuai namanya, Akane pasti akan sangat cocok jika bersanding dengan senja.
Akari berjalan mendekati kembarannya tersebut, berdiri di samping dan mendapati Akane tengah memejamkan kedua matanya sembari menikmati embusan angin.
"Karicchi mengantuk? Kalau iya, aku sarankan kau tidur sejenak di bangku sana. Aku ingin menikmati kesejukan ini sejenak. Ah! Nanti kubangunkan, kok," tutur Akane tanpa berniat membuka kedua matanya.
Melihat Akane yang penuh kenyamanan, Akari bergumam kecil dan mengikuti perintah Akane layaknya anak kecil penurut. Sedari tadi, ia mencoba menahan kantuk karena merasa khawatir akan keanehan Akane. Namun, mungkin saja firasatnya salah karena lelah akan tugas sekolah. Akari mengambil tempat dan bersandar di dinding, kelopak mata milik Akari perlahan-lahan mulai memejam.
Tak lama kemudian, Akane melangkahkan kakinya menuju Akari. Lantas, ia berbisik dan mengulas senyum miris, "Have a nice dream, little sister."
Helaian berwarna cokelat itu sesekali diterpa oleh angin sembari ia menjauh dari sosok Akari dan mendekati pagar atap. Gadis itu mencoba menyeberang sebelum sebuah suara samar-samar menginterupsi tindakannya. Di belakang, Akari terbangun setelah mendengar bisikan dari Akane.
"Akane ..."
Iris onyx itu melebar ketika sang kakak menoleh padanya dengan senyuman penuh kesakitan. Akari segera saja bangkit dari duduk, namun badannya menolak untuk bergerak. Suara gadis itu tertahan, tak mampu menghentikan keputusan dari kembarannya sendiri.
"J-ja ... jangan."
Entah kemana perginya semua sikap tegas milik Akari. Tapi, saat ini, Akari merasa sangat lemah. Iris Akane terlihat sangat gelap, seolah tak ada lagi cahaya yang bisa menggapainya. Firasat Akari benar, ada yang aneh dengan gadis itu, "Ah, ketahuan, ya? Maaf, Karicchi. Maaf ... karena aku tidak bisa lagi melukismu."
"A-apa yang kau bicarakan? Jangan bercanda, Akane!"
Akari mencoba memaksakan kakinya untuk melangkah meskipun hanya satu langkah, lantas, gadis dengan helaian rambut ikal berwarna kehitaman tersebut berteriak kencang dan mengepalkan tangannya.
"Aku tidak suka hal seperti ini!"
Akane membalikkan badannya, melambai kecil dan berucap pelan, "Kuharap kau tidak mengingat kenangan buruk ini dan bisa hidup bahagia. Sekali lagi, maaf, tapi melukis adalah hidupku. Tanpanya, aku terasa kehilangan arah dan tujuan." Bersamaan dengan selesainya kalimat perpisahan tersebut, gadis itu telah menghilang sempurna dari hadapannya.
Tidak ...
Ini tidak benar ...
TIDAK!
Ini tidak nyata! Ini hanya mimpi!
Tubuh Akari membeku, seketika rasa mual menghampirinya, begitu pula dengan rasa pusing. Air mata ikut mengalir bersama inner buruk yang menolak kenyataan di hadapannya. Perlahan-lahan, kesadaran sang gadis bermarga Kujou itu mulai menghilang. Mengabaikan suara samar-samar dari seorang lelaki yang mencoba untuk memanggilnya.
***
Rintik hujan membasahi bumi, seolah mendukung suasana hati para penduka yang tengah menangisi kepergian tersayang mereka. Akari menatap kosong figura berwarna abu-abu milik Akane yang sedang tersenyum serta batu nisan. Sementara sosok lelaki dengan model rambut belahan tengah serta berwarna hitam ikut berdiri di sampingnya, ia memegang pundak Akari, mencoba memberi kekuatan.
"Akari, sudah waktunya pulang. Dia pasti tidak senang jika kau bertingkah seperti ini," ujar Takuma, mengingatkan. Jejeran haka berwarna abu-abu membuat suasananya semakin dingin. Lelaki itu cukup merasa pegal setelah terus-terusan memegang payung karena Akari terlihat sama sekali tidak berniat untuk pindah dari tempatnya.
"Benar. Kalau bertindak bodoh seperti Akane, mungkin aku juga akan meninggal karena sakit."
"Hah? Karena ... sakit? Jelas-jelas Akane bu—"
Ucapan Takuma terhenti ketika mendapati iris onyx yang sewarna dengan matanya tersebut terlihat sangat gelap, aura yang dikeluarkan sama seperti sosok Akane saat terakhir kali ia melihatnya. Takuma menutup mulutnya, lantas terdiam dan ditelan oleh keheningan, tak mampu berkata-kata.
Tak butuh beberapa menit kemudian, gadis itu membalikkan badan dan berjalan meninggalkan Takuma, membiarkan dirinya basah kuyup. Akari sama sekali tidak ambil pusing dengan apa yang terjadi padanya, bahkan di saat ia tak sengaja menabrak pemuda dengan helaian rambut pirang.
Pemuda tersebut tersentak, iris emerald-nya yang terlihat lelah melirik ke arah Akari yang mengabaikan eksistensinya. Sementara Takuma mengejar punggung Akari lalu kembali memayunginya. Sang pemuda hanya menghela napas dan tersenyum miris, kemudian berjalan menghilang dari pemakaman dengan ekspresi penuh dingin.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro