Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

bab 2

Sehabis mandi aku cepet-cepet lari ke kamar pakai handuk doang. Untung Mas Ali masih di depan nyuci motornya. Aku tadi lupa nggak bawa baju ganti sekalian. Biasanya ganti bajunya di kamar mandi kok. Kecuali kalau Mas Ali lagi nggak ada di rumah, aku bisa leluasa ganti baju di kamar.

Mas Ali emang suamiku sih, tapi aku masih malu kalau masalah privasi begitu. Biarlah semua ini mengalir apa adanya. Aku harap rumah tanggaku bisa harmonis. Tapi untuk mencapai tujuan itu, kami butuh waktu.

Sesampainya di kamar, aku langsung memakai bra dan hot pant sebagai dalaman. Niatnya aku mau pakai daster rumahan aja mumpung hari libur. Sehari-hari kerja udah capek banget pakai baju kantoran yang formal.

Saat mau mengambil daster favoritku, mataku malah salah fokus ke ponsel. Aku jadi tergoda dan berujung scroll Instagram.

Unggahan foto pantai di siang yang terik lewat berandaku. Itu akun Mas Ali yang meng-upload. Aku tekan love untuk menyukai fotonya. Kemudian jari-jari pendek ini iseng mengunjungi profil akun Mas Ali. Isi Instagram laki-laki itu kebanyakan tentang pemandangan. Dari ratusan foto yang diunggah, hanya ada tiga foto yang menampilkan wujud dirinya. Pertama, saat dia lulus SMA. Kedua, di pesta ulang tahun keponakan kami. Yang terakhir, foto pernikahan kami.

Setelah puas melihat-lihat, aku lanjut mengunjungi bilah yang khusus berisi foto-foto dari orang lain yang men-tag Instagram Mas Ali. Unggahan paling baru ada foto model pakai bikini seksi warna kuning. Darahku langsung mendidih panas, kontras dengan warna bikini itu yang cerah.

"Sil, aku mau ambil baju. Kamu lagi apa?"

Tiba-tiba suara Mas Ali terdengar dari luar. Aku kaget banget karena belum sempat pakai baju. Karena panik, mulutku jadi seperti terkunci. Aku nggak bisa jawab panggilan Mas Ali. Tanganku juga nggak bisa diajak bekerjasama. Otakku menyuruh segera membuka lemari dan ambil baju. Tapi si tangan justru bergerak-gerak gelisah di udara. Kakiku juga kalang kabut mondar-mandir. Aku tuh bingung karena belum sempat beresin kamar juga. Maunya ketika Mas Ali masuk, aku udah pakai baju dan keadaan kamar rapi.

"Kamu tidur? Kalau gitu aku mau masuk ya?"

Terlambat.

Kenop pintu telanjur dibuka. Akhirnya aku membeku dan hanya mampu berdiri menghadap cermin di lemari pakaian menatap bayanganku sendiri. OMG! Penampilanku sangat tidak wajar.

"Dipanggil nggak nyahut kirain tidur, Sil."

Mas Ali bersikap santai. Berarti aku harus tenang. Tapi nggak bisa! Aku malah nyerocos sampai nangis segala. Hawa mau datang bulan tuh selalu bikin emosi jiwa. Untung Mas Ali pengertian. Dia ngajakin ngomong empat mata. Terus aku dikecup dong pipinya! Kakiku meleleh kayak plastik yang kebakar. Mau jungkir balik! Mau teriak kenceng! Mas Ali pengen gantian aku cium. Tapi aku salting tau!

***

Mas Ali masih cuci piring disaat aku lagi mengisi stoples dengan keripik pisang buatan mama mertua. Sarapan kami yang agak kesiangan ini lumayan hening dari biasanya. Mas Ali lebih banyak diam. Sendok garpu yang biasanya berdenting waktu dia makan pun tadi seolah bisu. Padahal Mas Ali itu tipe yang berisik kalau makan. Aku sering mengingatkan supaya sendoknya jangan digesek terlalu kuat ke dasar piring biar nggak bunyi nyaring. Ternyata hari ini aku merindukan keramaian itu.

"Sila, mau aku buatin kopi sekalian?" Mas Ali yang sudah selesai dengan tugasnya bertanya.

Diam-diam aku menghela napas lega. Mas Ali masih mau ngomong sama aku.

"Nggak usah, Mas. Makasih," jawabku.

Mas Ali nggak menyahut lagi. Dia sudah sibuk di depan kompor untuk mendidihkan air. Meskipun belum bisa cinta, tapi aku bersyukur karena nikah sama Mas Ali. Dia mau berbagi tugas rumah tangga. Itu memang basic manner seorang suami sih. Tapi bagiku yang dibesarkan oleh papa yang patriarki, bertemu dengan Mas Ali merupakan suatu keberuntungan.

"Aku ke ruang tengah ya, Mas." Tanpa menunggu jawaban aku langsung melenggang pergi. Merupakan peraturan yang tidak tertulis, jika ingin ngobrol serius ruang tengah menjadi tempatnya.

Untuk seseorang yang sudah lihai menyeduh kopi, sangat aneh Mas Ali malah nggak selesai-selesai daritadi. Aku jadi panik karena ngira Mas Ali akan membatalkan rencana deep talk kami.

Beberapa menit kemudian akhirnya Mas Ali muncul. Dia meletakkan secangkir kopi di meja dan mengangsurkan satu mangkuk kecil berisi es krim rasa cokelat kepadaku. Mungkin Mas Ali nggak mau kerongkonganku kering selama sesi obrolan ini.

"Perut kamu sakit?" tanya Mas Ali setelah duduk dengan jarak dua jengkal di sebelah kiriku.

Aku hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaannya.

"Kamu masih kesel?" Mas Ali menatapku dengan sorot siaga.

"Udah mendingan sih. Tapi masih ada yang ganjel." Aku ngomong gitu sambil menunduk.

"Apa kamu kurang suka kalau aku terima job dengan tema foto semacam 'itu'?" Mas Ali memberi tanda kutip pada kata terakhir yang dia ucap.

Meski dikatakan secara tersirat aku langsung paham. Mas Ali tidak suka basa-basi. Dia pasti akan langsung bicara pada intinya. Maka tugasku di sini adalah berperan sebagai partner bicara yang sepadan. Aku harus lugas menjawab pertanyaannya. Mas Ali tidak suka kode-kodean. Tapi aku malu mau ngomong inti permasalahan ini. Rasanya mau nangis lagi deh!

"Aku percaya kamu kalau kerja pasti profesional, Mas. Aku nggak akan membatasi pekerjaan kamu," jelasku sebagai pembuka jawaban.

"Terima kasih karena berpikir seperti itu ya, Sil." Mas Ali menanggapi dengan nada suara yang bersahabat. Lalu dia diam. Seolah menunggu lanjutan kalimat dari mulutku.

"Aku cuma kesel karena Mas Ali aja belum pernah anu, tapi udah gitu-gitu," kataku dengan bahasa aneh. Siap-siap aja kena omel Mas Ali.

"Sil, kamu pintar menyusun kalimat lho. Aku percaya. Ayo coba tenang dulu. Jelasin dengan rinci maksud kamu gimana?" Mas Ali ternyata masih bersabar. Ia menungguku sambil menyeruput kopinya yang mulai menghangat.

Aku ikutan membasahi mulut dengan menyendok es krim yang sedikit mencair. Rasa manis lembut membuatku rileks. Aku bersiap-siap membuang rasa gengsi. Perkembangan rumah tangga ini jadi taruhannya kalau aku menye-menye nggak jelas terus.

"Mas Ali aja belum pernah lihat aku tampil seksi, tapi malah fotoin model dengan pose seksi. Aku nggak cemburu sama modelnya, tapi ngerasa jadi istri yang gagal karena belum bisa memberi apa yang udah jadi hak suami." Kayaknya kalau ada audisi jadi rapper aku berhak ikut deh. Barusan aku ngomong panjang lebar dengan kecepatan tinggi. Entah Mas Ali paham atau nggak, aku enggan mengulangi kalimat itu karena masih gugup.


Mas Ali belum menyahut. Tapi dari sudut pandangku, Mas Ali terlihat duduk tidak nyaman.

"Emm... Sil, aku izin mau elus punggung kamu boleh?"

Aku kontan menoleh. Apa-apaan sih. Ngapain harus izin segala? Harusnya langsung gas aja kan? Biar nggak ngerusak momen penting. Tapi aku ingat lagi keadaan rumah tangga kami memang nggak normal. Jadi maklum kalau semuanya masih tertatih-tatih.

"B-boleh aja Mas." Aku memberi titah dengan perasaan kosong.

Telapak tangan lebar milik Mas Ali akhirnya kurasakan menyapu punggungku yang kecil. Dia juga mengusap pundakku. Pasti Mas Ali merasakan tulang yang menonjol karena aku memang kurus.

"Aku nggak nyangka kamu mikir sampai jauh. Ya, yang kayak kamu bilang Sil, aku kerjanya profesional. Nanti komunikasi kita pasti makin baik, jadi pelan-pelan aku akan mendapatkan dari kamu," kata Mas Ali dengan suara lirih.

Pembahasan ini memang sedikit bikin merinding sih. Tapi aku tahan-tahan demi rumah tangga yang sehat.

"Makanya tadi aku ci.... um pipi kamu!" Suara Mas Ali sedikit bergetar. Mungkin karena tegang? Takut aku marah kali ya.

Aku malah ketawa santai. Mengetahui kalau kami sama-sama salah tingkah ternyata lucu juga.

"Ya, makasih udah ngasih hadiah," sahutku masih dengan tawa kecil.

"Berarti hari ini ada perubahan aturan ya. Ganti baju setelah mandi boleh di kamar dan setiap aku berangkat kerja aku mau kiss. Kening, Sil." Mas Ali sampai menepuk-nepuk pelipisnya.

"Iyaaaa." Aku menjawab gemas.

"Jadi hari ini clear ya." Mas Ali bersandar di punggung sofa dengan hati ringan.

Aku mengangguk. Kemudian aku beranikan diri menggeser pantat. Duduk menjadi semakin mepet dengan Mas Ali. "Setiap abis ngomongin masalah, aku pengen dipeluk."

Entah keberanian dari mana yang tiba-tiba aku rasakan. Sangat beruntung Mas Ali mau menerima ide itu. Ia pelan-pelan membuka kedua lengannya, dada bidang suamiku pun terpampang. Tidak mau pikir panjang lagi, badan dengan perut yang mulai terasa nggak enak pun rebah di dekapan Mas Ali. Siang ini sampai sini dulu. Aku kedatangan tamu rutin tiap tanggal 12!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro