Bab 16
Pulang kuliah, Kyomi bergegas ke kafe. Kali ini menaiki ojek motor karena tidak diantar sopir. Seperti biasa, bertemu dengan Yurika di ruang ganti dan omelan gadis itu membuat telinganya berdenging. Ia heran, kenapa ada orang yang suka sekali mengomel dan tidak pernah kehabisan kata-kata. Ada saja masalah yang menjadi alasan Yurika mengomel. Seperti hari ini, Kyomi yang baru saja datang berpapasan dengan Ikbal. Kebetulan, ia sedang makan permen dan menawarkan pada manajernya.
"Pak, permen susu enak sekali. Teman bawa dari Singapura."
Kyomi menyodorkan permen dalam genggamannya pada Ikbal yang menerima dengan wajah semringah.
"Wah, terima kasih, loh. Sudah memberiku permen." Ikbal makan satu dan mengakui kalau enak.
"Pak, sudah nonton film Mencuri Raden Saleh?"
"Sudah, dong."
"Seru, ya, filmnya."
"Sangat, katanya mau ada yang kedua."
"Kurang tahu, Pak."
"Kita nonton barengan kalau memang ada."
Sebuah percakapan biasa tentang anggota band Coboy Junior. Kyomi tidak ada niat apa pun, hanya ingin berusaha ramah dan akrab dengan manajernya. Siapa sangka, Yurika mendengar percakapannya dan gadis itu sangat tidak senang.
"Sudah telat, genit lagi! Jaga sikap kalau mau kerja!"
Kyomi tidak rela dituduh sembarangan, membalas omelan Yurika. "Siapa yang telat? Aku datang tepat waktu. Malah belum sampai waktu kerja, masih lima belas menit lagi!"
"Eh, jadi pelayan, tuh, tahu diri. Lo pikir kerja jadi manajer? Bisa seenak jidat!"
Kyomi memutar bola mata, selalu hal yang sama diperdebatkan oleh Yurika. "Lo kenapa, sih? Naksir sama Pak Ikbal? Hah!"
Yurika melotot dengan tangan berada di pinggang. "Apa-apaan, sih, lo?"
"Lo yang kenapa, dah! Sama gue ada masalah apa?" Kyomi berteriak jengkel. Ia sudah menahan diri selama ini, menganggap kalau Yurika memang tidak bisa berteman dengannya. Tidak lantas semua hal harus ditimpakan padanya.
"Lo masih nggak tahu masalah lo apa?"
"Bukan nggak tahu tapi nggak mau tahu. Denger Yurika, lo mau naksir Pak Ikbal, itu urusan lo. Gue nggak ada minat atau niat buat jadi saingan lo. Gue di sini cuma mau kerja. Sebaiknya mulai sekarang, kita urusa masalah kita masing-masing!"
"Lo pikir lo hebat?"
"Ya, gue hebat. Nggak naksir sama manajer sendiri. Lo suka sama Pak Ikbal, bilang sama dia! Akui perasaan lo, bukannya malah cemburu nggak jelas lalu nindas orang. Apa-apaan, sih?"
Kyomi menutup pintu loker dengan sedikit keras, melirik pada Yurika yang terdiam dengan wajah merah padam. Dugaannya benar, kalau gadis itu suka dengan Ikbal. Masalahnya adalah, Yurika menganggap dirinya saingan dan itu mengesalkan. Ia tidak pernah tertarik pada Ikbal, kalau pun akrab hanya sebagai atasan dan bawahan. Ikbal baik dan ramah tapi bukan seleranya. Ia lebih suka dengan Renjiro.
"Gimana mungkin gue naksir Ikbal kalau di rumah ada Raylee," gumam Kyomi tanpa sadar. Di pikirannya ada sosok sang suami yang memang jauh lebih tampan dari pada Ikbal.
Ia bergegas ke dapur, bertukar shift dengan satu pelayan dan mulai melayani pelanggan. Musik diputar dan tetap seperti kemarin, lagu-lagu Cowboy Junior mendominasi. Sesekali Kyomi ikut berdendang dan bergumam gembira. Ia tidak boleh kalah semangat hanya karena Yurika mengomel.
Saat berdiri di depan laci peralatan makan, ujung matanya menangkap sosok Yurika. Gadis itu baru saja kembali dari ruang ganti dan bersiap sama seperti dirinya.
"Hai, kalian ada yang bisa bantu aku melipat serbet?" Ikbal muncul. "Ada banyak serbet baru yang belum dilipat dan ditata."
Yurika mengacungkan jari. "Saya saja, Pak."
Ikbal mengangguk. "Boleh, tapi pesanan untuk mejamu sudah jadi."
Yurika menggigit bibir, menatap nasi goreng di atas nampan dan Kyomi yang bersikap seolah tidak melihat dan mendengar apa pun.
"Kyomi, minta tolong antarkan," pinta Yurika dengan keramahan yang sangat tidak biasa.
Kyomi tercengang lalu mengangguk. "Oke."
"Jangaan! Yurika, kamu tetap antar pesanan. Biar Kyomi saja yang membantuku. Lipatannya cukup rapi."
"Tapi, Pak—"
"Ayo, Kyomi. Buruaan! Mumpung kafe belum ramai."
Kyomi tidak berdaya, mengikuti langkah Ikbal menuju ruang samping. Ia yakin, Yurika saat ini berniat membunuhnya. Semua karena Iklbal dan ketidakpekaannya. Kenapa juga harus dirinya yang diminta bantuan kalau ada Yurika? Kyomi menyimpan sendiri semua pertanyaan-pertanyaan itu dalam hati. Ikbal adalah atasannya, semua perintah harus dituruti. Perkara Yurika marah dan cemburu, bisa diurus nanti.
Ternyata memerlukan waktu lebih dari setengah jam, dibantu satu pelayan lain untuk merapikan serbet dan juga peralatan makan yang baru. Saat pekerjaan selesai, pengunjung mulai ramai. Padahal, jam makan siang sudah berlalu. Kyomi bergerak cekatan, mengelap meja, membereskan bekas makanan, mencatat pesanan dan mengantar ke pengunjung. Hingga satu kejadian membuatnya terdiam. Ia meringis karena perutnya nyeri. Ia menghitung cepat dan tersadar sedang mengalami PMS. Pantas saja perasaannya murung dan perutnya nyeri.
"Lo tadi nulis apa buat meja nomor lima?" Yurika bertanya padanya."
"Capcay kuah, nasi dan fuyunghai," jawab Kyomi.
"Orangnya marah. Bukan capcay kuah tapi goreng."
"Gimana bisa?"
"Itu. lo lihat aja sendiri kalau nggak percaya."
Kyomi bergegas meninggalkan pekerjaannya yang sedang mengelap meja, menuju pelanggan di meja nomor lima. Pelanggan di sana adalah sepasang suami istri muda dan terlihat wajah sang istri yang mencebik tidak suka.
"Maaf, apakah pesanannya salah? Bisa say lihat struknya?"
Kyomi meminta catatan pesanan denga sopan.
"Gimana kerja kalian? Pesanan gini aja bisa salah?" ujar si istri dengan ketus. "Kami nggak mau tahu, harus ganti masakan dan sebaiknya cepat dihidangkan. Kami lapar!"
"Maaf, maaf, saya cek dulu."
Kyomi mengernyit heran, jelas-jelas tadi memberi tanda pada capcay kuah, kenapa sekarang yang terconteng justru di capcay tumis. Ia yakin sekali tidak salah tulis, karena merekomendasikan langsung pada mereka. Entah siapa yang salah di sini.
"Kak, sepertinya ada kesalahan," ucap Kyomi bingung.
"Memang ada salah, kamu saja nggak sadar! Ganti cepat!"
Kyomi tidak mengerti kenapa bisa begini. Mengucapkan maaf bertubi-tubi, mengambil capcay goreng. Ia siap potong gaji asalkan pelanggan senang. Meskipun tidak mengerti di mana masalahnya. Ia berbalik dan tanpa sadar kakinya tersandung sesuatu. Tubuh Kyomi oleng, piring berisi capcay jatuh. Pecah dan makanan berserakan di lantai.
"Apa-apaan, sih, lo! Nggak becus kerja, ya!" teriak Yurika. "Lihat, capcay kena badan gue. Panas tahu!"
"Sorry," gumam Kyomi kikuk. Ia mencari sesuatu yang menyandung kakinya dan tidak menemukan apa pun. Melotot ke arah lantai di mana makanan dan pecahan piring berserak. Pasangan suami istri di meja nomor lima mulai bicara keras untuk protes.
"Pelayan nggakl professional. Kerja berantakan!" cemooh sang istri.
"Sana, ngapain bengong! Pungutin piringnya!" perintah Yurika.
Otak Kyomi kacau, antara bingung dan malu. Ia bersiap untuk berlutut membersihkan lantai saat sebuah tangan yang kokoh menahan lengannya.
"Kamu mau ngapain?"
Kyomi mendongak heran. "Pak Ray!"
"Bangun! Jangan jongkok, panggil temanmu buat bersihin."
"Tapi—"
"Kyomi, tenang. Kamu panik."
Kyomi ingin menangis sekarang, perasaannya campur aduk. Mengernyit saat rasa nyeri menyerang perutnya dengan hebat. "Pak, saya. Maafkan saya."
Raylee menggeleng. "Kenapa kamu nangis dan minta maaf?"
"Karena salah."
"Namanya orang kerja. Salah itu wajar."
Seakan berada di restoran sendiri, Raylee memanggil pelayan yang lain dan meminta agar pecahan piring serta makanan yang tumpah dibersihan. Yurika menatap Raylee tidak berkedip. Ia tidak mengenal laki-laki tampan yang sekarang sedang berusaha menenangkan Kyomi. Apa hubungan mereka? Kenapa terlihat sangat dekat?
Ikbal muncul tergopoh-gopoh, Yurika berujar cepat tanpa bisa dibendung. "Pak, Kyomi bikin kacau. Salah tulis menu, bikin pelanggan marah, dan malah pecahin piring! Lihat, berantakan semua!" Ia menunjuk ke lantai yang kotor.
Ikbal menatap Kyomi yang menangis lalu ke Raylee.
"Pak Ray, apa kabar?" sapa Ikbal.
Raylee mengangguk. "Kabar baik, Pak Ikbal. Bisa kita bicara sebentar. Sepertinya kita harus itung-itungan kerugian."
Raylee mengajak Ikbal dan Kyomi ke meja kosong. Yurika mengekor tanpa kata, tentu saja tidak mau ketinggalan. Ia penasaran, siapa laki-laki tampan ini. Kenapa Iklbal terlihat sangat hormat padanya.
"Itung-itungan apa, Pak?" tanya Ikbal.
Raylee mengambil tisu dan menyodorka pada Kyomi. "Hapus air matamu. Lihat, di meja nomor sepuluh ada Papa. Jangan sampai dia melihatmu menangis."
Kyomi menerima tisu dan menghapus air mata. Menoleh ke arah meja nomor sepuluh dengan heran. "Pak, kapan datang?"
"Tepat saat kamu dimaki." Raylee menatap Yurika yang terdiam. "Kamu siapa?"
Yurika menunjuk dirinya sendiri. "Saya?"
"Iya, kamu!"
"Yurika."
"Pelayan juga?"
"Benar!"
Raylee menghela napas panjang, mengalihkan padangan pada Ikbal. "Aku nggak ngerti gimana cara kerja kalian. Tapi, Yurika ini sangat arogan dan semena-mena. Dari mejaku kelihatan sekali ada dendam di antara mereka."
Yurika menggeleng."Nggak, Pak. Itu salah! Sama sekali nggak ada dendam di antara kami!"
"Benarkah? Tapi kamu terus berteriak dan mencemooh Kyomi. Sebagai pelayan, ada teman kerja yang kesulitan harusnya saling membantu bukan malah memaki."
"Maafkan Yurika, Pak. Memang anaknya agak kurang sopan," ucap Ikbal.
Yurika menunduk, malu dengan pembelaan Ikbal. Baru kali ini ia dengar pendapat laki-laki itu tentang dirinya yang ternyata dianggap kurang sopan. Yurika merasa sedih.
"Itung semua, harga piring dan makanan tadi. Juga ganti rugi yang lain, aku akan membayarnya."
Semua yang mendengar tercengang, termasuk Kyomi. "Paak, maaf merepotkan."
Raylee menggeleng. "Setelah masalah ini selesai, Kyomi akan membereskan barang-barangnya. Setelah ini, tidak boleh lagi bekerja di sini."
Ikbal ternganga lalu mengangguk. "Saya mengert, Pak. Baiklah, saya minta catatan harga dulu."
Setelah Ikbal meninggalkan mereka, Raylee kali ini menatap Yurika yang menunduk. "Kamu ada masalah pribadi apa dengan Kyomi?"
Yurika menggeleng. "Nggak ada, Pak."
"Bohong!" sergah Kyomi. "Dia cemburu Pak, sama saya. Dikira naksir juga sama Pak Ikbal."
"Memangnya kamu naksir?" tanya Raylee.
Kyomi menggeleng cepat. "Sama sekali tidak."
"Kalau begitu, kamu resign. Jangan kerja di sini lagi."
Kyomi menurut pada perkataan Raylee. Laki-laki itu membayar denda, meminta Kyomi berganti pakaian dan ikut duduk bersama mereka untuk makan. Pipo tertawa saat mendengar Kyomi resign.
"Bagus kalau begitu, magang saja di tempat suamimu."
Kata-kata Pipo membuat Yurika yang tanpa sengaja melewati samping meja mereka tercengang. Menepuk telingannya keras, hanya untuk memastikan tidak salah mendengar. Bagaimana mungkin laki-laki tampan dan kaya itu adalah suaminya Kyomi?
**
Extra
Kyomi ikut pulang dengan mobil Raylee. Merasa gembira karena mulai hari ini tidak perlu bekerja. Raylee mengantar sang papa pulang lebih dulu. Tersisa hanya mereka berdua. Kendaraan berhenti di lampu merah, ada banyak pengemis dan pengamen. Saat melihat anak kecil dengan wajah kotor meminta-minta, membuat Kyomi bersedih dan terisak.
"Ngapain kamu nangis?" tanya Raylee heran.
"Anak kecil ta-tadi kasihan. Huaaa, mana kita nggak kasih uang."
Tangisan Kyomi yang makin nyaring membuat Raylee kebingungan. "Tapi'kan orang lain banyak yang ngasih?"
"Tetap saja kasihan, Pak Ray pelit. Mana nggak mau ngasih, huaaa!"
Kebingungan Raylee karena sikap istrinya yang mendadak melankolis terjawab saat Kyomi meminta berhenti di minimarket untuk membeli pembalut. Raylee berdecak heran, karena PMS membuat seorang gadis menjadi begitu cengeng, emosian, dan juga mengesalkan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro