Bab 12
Kesibukan dan jadwal padat antara kuliah dan kerja, membuat Kyomi tidak punya waktu untuk menyiapkan gaun. Ia datang ke acara makan malam bersama Raylee dengan memakai mini dress abu-abu. Dengan model yang sangat sederhana dan warna yang tidak mencolok, Kyomi merasa minidressnya lebih cocok dipakai ke mall dari pada ke rumah mertua.
"Maaf, Pak. Saya nggak ada gaun untuk acara resmi. Ada, sih, beberapa tapi di rumah dan saya nggak ada waktu untuk ambil."
Raylee mengamati penampilan Kyomi dan merasa tidak ada yang salah. "Kita hanya makan bersama, bukan ke pesta. Santai saja."
Kyomi menarik ujung gaunnya agar menutupi lutut. "Takut saja, dianggap tidak pantas."
"Orang tuaku tidak akan begitu. Tenang saja. Mereka tidak peduli dengan pakaianmu, asalkan kamu datang memenuhi undangan. Bahkan kalau ke sana pakai gaun dari daun pisang sekalipun, mereka tetap senang."
Kyomi berharap sekali apa yang dikatakan Raylee benar. Orang tuany laki-laki itu tidak mempermasalahkan penampilannya. Ia memang pernah mengobrol dengan mereka di acara pernikahan dulu. Setelah itu nyaris tidak ada komunikasi. Kyomi berharap makan malam kali ini berjalan lancar dan ia tidak berbuat sesuatu yang memalukan.
"Jangan tegang, Kyomi. Santai, dan anggap saja kamu datang ke rumah keluargamu sendiri."
Kyomi mengeluh dalam hati saat melihat rumah besar bergaya eropa dengan delapan pilar menyangga langit-langit teras. Mana mungkin ia menyamakan orang tua Raylee dengan orang tuanya sendiri? Jelas-jelas tempat tinggal mereka saja berbeda. Rumah Sejawat Abadi ada di dalam gang yang sempit dan ramau. Rumah sederhana dengan tiga kamar, dan ubin lantai yang mulai menguning. Sedangkan rumah Pipo, sangat luas bahkan mirip dengan istana yang sering dilihat di film-film atau drama.
"Kalian sudah datang? Ayo, masuk!" Dona menyambut mereka, memeluk Raylee dan Kyomi bergantian. "Papa sudah menunggu di ruang makan."
"Adik-adik kemana, Ma?" tanya Raylee.
"Pergi, yang satu ada party, yang satu lagi sedang tamasya ke Maldives."
Hanya mereka berempat duduk mengelilingi meja kayu besar dan panjang. Kyomi mencium punggung tangan Pipo dan menyapa takut-takut.
"Pak, apa kabar?"
Pipo berdecak. "Jangan panggil Pak. Tapi, papa. Ingat, Kyomi."
Kyomi hanya menyengir mendengar permintaan itu. Ia melirik Raylee dan suaminya sedang terlibat pembicaraan serius dengan sang mama. Pelayan menghidangkan makanan pembuka berupa sup dan pastel daging.
"Kamu tetap sibuk biarpun menikah," tegir Pipo pada anak laki-lakinya. "Mana bisa begitu? Pengantin baru harusnya sibuk bermesraan dan kamu malah sibuk bekerja."
Raylee mengangkat bahu. "Yang sibuk kerja nggak cuma aku." Ia menepuk lembut bahu istrinya. "Kyomi juga. Sibuk kuliah dan juga bekerja."
Dona menatap heran pada menantunya. "Kamu juga kerja, Kyomi? Di mana? Jadi apa?"
Kyomi merasa dadanya berdebar dan tubuhnya menegang. Keringat dingin keluar dari tubuhnya, meski begitu tetap berusaha berani menjawab pertanyaan Dona.
"Jadi pelayan kafe."
Dona mengerjap. "Kamu jadi pelayan kafe?"
Kyomi mengangguk lemah. "Iya, Nyonya, eh, maksudku, Mama."
"Kafe di mana?"
"Di Jalan Setiabudhi."
"Wow, berapa gajimu?"
Kyomi menjawab dengan rasa malu. Bagaimana tidak, gajinya terhitung sangat kecil dibandingkan uang jajan yang diberikan Raylee padanya. Bahkan jatah harian, sepuluh kali lebih banyak dari gajinya di kafe. Entah apa yang dipikirkan Dona dan Pipo perihal pekerjaannya.
"Memangnya nggak capek kerja di kafe?" tanya Pipo. "Gajinya tidak besar juga."
Untuk kali ini Kyomi menjawab dengan mudah. "Nggak capek, Pa. Sambil cari pengalaman."
"Kamu bisa bantu suamimu kalau memang mau kerja," usul Dona. "Biar kami yang menggaji."
Kyomi menggeleng. "Terima kasih, Ma. Tapi, aku ingin merasakan sulitnya bekerja. Hitung-hitung buat belajar kalau nanti benar-benar sudah bekerja, tidak membuat orang kecewa."
Raylee tetap diam sebagai pendengar. Tidak ikut campur percakapan antara Kyomi dan orang tuanya. Ia merasa, kalau Kyomi memang harus belajar menghadapi orang tuanya. Selesai bicara soal pekerjaan, mereka mengobrol tentang seni. Setelah sang papa tahu Kyomi mengambil jurusan teknik.
"Berarti kamu pintar menggambar?" Dona bertanya penuh semangat.
"Bisa, Mama."
"Bagus, lain kali kalau datang bawa peralatan menggambarmu. Sesekali lukislah wajahku ini."
Raylee berdehem. "Maa, Kyomi anak teknik bukan pelukis."
"Tapi, dia jurusan seni."
"Memang, sih."
"Ya sudah, bisa kalau begitu."
Makan malam berhasil dilewati dengan baik saat Kyomi yang hendak berpamitan pulang diberi hadiah berupa sebuah kalung berlian dari Dona.
"Ini hanya hadiah kecil. Terima, dan pakai kalau sedang ada acara bersama suamimu."
Kyomi menerima dengan tidak enak hati. Merasa sudah menerima banyak hal dari sebuah pernikahan kontrak. Timbul rasa bersalah dalam dirinya saat jemarinya mengusap permukaan kalung yang halus.
"Orang tuamu sangat baik, Pak."
"Memang, mereka sangat baik. Kamu suka kalungnya?"
"Sangat suka."
"Bagus."
Kyomi menggigit bibir, meletakkan kalung ke dalam kotak. Salah satu hal baik yang diterima dalam hidup adalah punya mertua yang begitu istimewa. Tidak peduli kalau dirinya hanya menantu pura-pura.
"Pak, kemarin aku bertemu sahabatmu."
Kendaraan berhenti di lampu merah. Raylee menatap Kyomi lekat-lekat. "Sahabatku? Siapa?"
"Tomi."
Wajah Raylee mengeras seketika saat mendengar perkataan Kyomi.
"Dia datang ke kafe?"
Kyomi mengangguk. "Benar, dan juga menitip pesan untuk Pak Ray. Apakah saya boleh bilang?"
Raylee menimbang-nimbang sesaat lalu mengangguk. Kakinya menginjak pedal gas dan kendaraan kembali meluncur di jalanan.
"Baiklah, apa katanya?"
Kyomi menghela napas panjang. "Katanya, dia ingin bertemu untuk menjelasakan banyak masalah. Ingin menjelaskan yang sebenarnya terjadi."
"Basi!" umpat Raylee.
"Saya setuju, Pak. Karena itu saya menyuruhnya ke neraka dulu sebelum menemui Pak Ray."
Raylee tercengang lalu tertawa terbahak-bahak. Ia bisa membayangkan wajah Tomi saat mendengar perkataan Kyomi.
"Kamu hebat Kyomi. Tidak sia-sia menikahimu."
Kyomi mendengkus. "Terima kasih, loh. Tapi, saya juga merasa menikah dengan Pak Ray bukan hal buruk. Buktinya, dapat kalung."
"Ckckck, Kyomi. Matre sekali kamu!"
"Biarin, weak!"
Raylee tersenyum dari balik kemudi. Setelah mengantar Kyomi pulang, ia berpamitan keluar. Suasana hatinya sedikit memburuk setelah mendengar cerita sola Tomi. Raylee berniat menghabiskan malam liburnya dengan bersenang-senang di bar bersama teman-temannya yang lain.
Tidak ada perubahan dalam hubungan mereka, bahkan setelah bersama-sama datang ke rumah keluarga Anderson. Meskipun Pipo dan Dona memperlakukan Kyomi dengan sangat baik, tetap saja Raylee tidak berubah. Tetap acuh, dingin, ketus, dan kurang ajar seperti biasa. Kyomi berpikir, jangan-jangan dirinya bisa berubah menjadi setan karena bersuamiku iblis. Sikap Raylee yang terkadang semena-mena padanya memang mirip dengan iblis.
"Jangan berpikir untuk mengambil keuntungan yang lain dari pernikahan kita, Kyomi. Hanya karena orang tuaku memberi kalung berlian. Kalung itu jenis yang murah, jangan geer.,"
Kata-kata Raylee membuat Kyomi menyesal pernah merasa kasihan pada laki-laki itu karena sudah dikhianati. Ia berjanji dalam hati, lain kali tidak akan pernah membela Raylee lagi, apa pun yang terjadi.
Rutinitas hari-hari berjalan seperti biasanya. Tidak ada yang berbeda meski status sudah berubah menjadi menikah. Kyomi tetap merasa dirinya lajang. Ia tetap bersenang-senang bersama sahabatnya, yang sayangnya sekarang menjadi terbatas hanya di kampus. Karena ia belum punya waktu untuk pulang dan main ke kosan Jihan.
"Kyomii! Akhirnya ketemu lo juga."
Suara Renjiro yang mencegat langkahnya, membuyarkan lamunan Kyomi. Ia tersenyum manis pada cowok tampan di depannya.
"Hai, ada perlu sama gue?"
Renjiro mengangguk. "Iya, perlu penting. Bisa kita ke tempat biasa?"
"Sekarang?"
"Iya, sekarang. Memangnya lo ada kelas?"
Kyomi menggeleng. "Nggak, sih."
"Bagus kalau begitu. Ketemu di perpustakaan tiga puluh menit lagi.Gue ambil barang-barang dulu."
Kyomi menghela napas panjang, merasa tidak berdaya pada Renjiro. Harusnya ia menolak ajakan cowok itu tapi tidak tega melakukannya. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan Renjiro padanya. Jalan satu-satunya adalah datang ke perpustakaan.
Kyomi memilih meja di depan kaca yang letaknya di sudut. Tempat favorit dirinya dan Renjiro karena ada rak yang menghalangi pandang orang-orang ke arah tempat duduk mereka. Sambil menunggu Renjiro, ia mengambil tabletnya. Gadget bekas yang diberikan Raylee padanya saat tahu dirinya membutuhkan untuk menggambar. Kyomi menggunakan pen untuk menggambar tokoh dalam pikirannya. Laki-laki tampan, berambut cekelat, dan popouler. Alih-alih menggambar versi Renjiro, baginya yang terlihat justru sosok Raylee.
"Apa-apaan ini?" gumamnya sambil menghapus gambar.
"Sorry, gue telat. Banyak hambatan."
Renjiro muncul dan mengenyakkan diri di sampignya. Kyomi tersenyum. "Nggak apa-apa, santai aja."
"Nggak ambil buku?"
"Lagi nggak mood baca. Lo bisa belajar dengan tenang, gue gambar biar nggak ganggu."
Suasana sangat hening, dengan Renjiro mengambil buku-buku untukl referensi mengerjakan tugas, sedangan Kyomi asyik menggambar. Perhatian dan konsentrasinya pecah saat mendengar bisikan Renjiro.
"Sepertinya, kita sudah lama berkencan di perpustakaan tapi tidak pernah kencan di luar."
Kyomi tertawa lirih, takut terdenar yang lain. "Memangnya lo pikir selama ini di perpustakaan kita berkencan?"
Renjiro mengangguk tegas. "Iya, buat gue tempat ini adalah ruang kencan kita. Meski begitu, gue tetap pingin ngajak lo kencan di tempat yang sebenarnya. Bagaimana Kyomi? Mau kencan sama gue? Makan dan nonton?"
Sebuah ajakan yang sangat tiba-tiba, Kyomi terkejut sampai tidak bisa bicara. Ia tidak percaya kalau cowok yang disukainya akan mengajaknya berkencan.
"Mungkin lo bingung, kenapa mendadak gue ajak lo kencan. Tapi, lo harus percaya Kyomi." Renjiro dengan diam-diam meraih jemari Kyomi di bawah meja dan meremasnya. "Udah lama, gue suka sama lo."
**
Extra
Pipo mengajak anaknya merokok dan mengobrol di teras sementara Dona bicara dengan Kyomi di ruang tengah.
"Gimana rasanya jadi suami? Ada yang beda?"
Raylee menggeleng. "Nggak, biasa aja."
"Itu karena dalam otakmu hanya ada pekerjaan. Sampai-sampai hari Minggu juga kamu kerja. Ngomong-ngomong, Hestama mengajakmu bertemu?"
"Iya, Pa. Kami bicara di lounge."
Pipo menghela napas panjang. "Papa nggak tahu kalian bicara apa, tapi ingat satu hal, Ray. Kamu sudah menikah. Apapun keputusanmu, pasti berpengaruh pada istrimu. Ingat itu."
Tentu saja Raylee tidak lupa kalau sudah menikah. Sayangnya, ia sering lupa kalau dalam hidupnya kini ada satu perempuan yang harus menjadi pertimbangan pertama dalam segala kondisi.
.
.
.
Tersedia di google playbook.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro