Serpihan 4
Pagi ini langkah Mystina terhenti di dekat kerumunan para siswa. Mereka sedang berkumpul di depan papan pengumuman sekolah. Seperti ada magnet kuat yang menarik mereka mendekat. Pasti ada pengumuman penting sehingga tak satu pun siswa yang lewat tak menghentikan langkahnya. Hanya sekedar untuk memuaskan rasa ingin tahunya atau bahkan benar-benar menikmati pengumumannya.
Nanti sajalah, batin Mystina. Terlalu ramai. Sulit melihat apa yang terpampang di sana dengan jelas jika berdesak-desakan seperti itu.
Mystina berlalu. Namun arah pandangan berpuluh-puluh pasang mata itu berubah haluan saat seseorang berteriak. "Orangnya datang."
Serta merta suara dengungan layaknya suara koloni tawon menerjang. Ada yang saling berbisik. Ada yang melontarkan pandangan sinis. Ada yang terkagum-kagum. Ada juga yang cuek.
"Besar juga nyalinya, ya," celetuk seseorang. Disambut suara-suara riuh yang lainnya.
Mystina yang bingung, cepat-cepat melangkah. Menjauhi kerumunan siswa-siswi itu. Langkahnya berderak menuju kelas. Sepanjang selasar, Mystina merasakan dirinya menjadi pusat perhatian banyak orang. Dan itu membuatnya tak nyaman.
Mystina sampai di kelasnya. Sekilas pandang dari sudut matanya, Mystina melihat teman-teman sekelasnya yang sudah lebih awal berada di kelas, memperhatikan kedatangan Mystina. Seperti sedang menunggu tayangan film perdana. Cepat-cepat Mystina duduk di bangkunya. Menanti sampai jam pelajaran di mulai.
Tiba-tiba kelas menjadi riuh. Mystina menoleh. Rupanya Cindi, anak kelas IPA 2, masuk ke kelas XIC. Bisik-bisik terdengar. Ada yang memperhatikan langkah Cindi. Ada yang langsung menatap Mystina. Mystina tetap cuek. Dia tidak tahu apa yang terjadi.
Brak!
Cindi menggebrak meja Mystina dengan sehelai kertas di bawahnya. Telapak tangannya diangkat, lalu menunjuk kertas kusut yang tertinggal di meja. Telunjuknya berulang-ulang mengetuk kertas itu. "Apa maksud lo?!" bentak Cindi. "Diam-diam ternyata besar juga nyali lo!"
Mystina bengong. Memandang wajah marah Cindi. Lalu beralih ke kertas yang ditunjuknya tadi. Lalu beralih lagi ke wajah Cindi. Dan kembali lagi ke kertas itu.
"Nggak usah sok suci deh lo! Pake tampang pura-pura bego gitu. Elu pikir gue bakal kasihan lihatnya!?" Cindi semakin ketus. Disilangkan tangannya di dadanya. Berlagak menantang Mystina dengan mengangkat dagunya tinggi.
Mystina malah semakin bingung. Dia merasa dirinya tak pernah sekali pun mengusik hidup Cindi tapi kenapa hari ini Cindi malah begitu murka padanya. Bahkan berbicara pada Cindi pun, sepertinya Mystina tak pernah lakukan.
"Heh bisu! Memang benar-benar bisu, ya, elu? Sampe-sampe karena nggak bisa ngomong lagi, elu tempel kertas beginian di papan pengumuman?" desak Cindi. Kesal. Jengkel. Semua jadi satu. "Cemen banget sih, lo!"
Mystina bergeming. Sebenarnya ini apa sih, batin Mystina. Kenapa tiba-tiba Cindi marah-marah padaku, batinnya bergejolak. Namun magnet kuat seolah meredam kekuatan bicaranya. Membuat suaranya tak kunjung terdengar. Mystina berusaha mengintip apa yang tertera di selembar kertas yang hampir koyak karena genggaman Cindi.
"Hei! Jawab pertanyaan gue dong. Elu kan bukan batu. Kenapa diem aja?!" sentak Cindi. Emosinya mulai bertambah tinggi. "Apa maksudlo? Mau ngajak ribut, ya? Udah sakti elu, ya?!"
Mulut Mystina terbuka. Ingin mengucap sesuatu. Sayangnya, bel tanda pelajaran dimulai telah berbunyi. Seolah-olah arena tinju, ketika bel berdering, Cindi langsung terdiam. "Hhh!" Cindi menghela napas kesal. "Kali ini elu selamat. Jangan coba-coba kabur elu! Urusan kita belum selesai!"
Suasana kelas tetap hening. Puluhan pasang mata yang haus akan tontonan seperti itu tetap mengikuti gerak-gerik Mystina dan Cindi. Seolah-olah jika mereka bernapas sedikit saja, mereka akan jadi sasaran amukan Cindi.
Cindi masih geram. Rahangnya mengencang. Sepertinya dia masih belum puas. Sesekali dia masih berbalik menatap Mystina. Seraya mengepalkan tangannya ke arah Mystina. "Awas lu, ya!" ancamnya tanpa suara.
Setelah Cindi keluar kelas, tanpa aba-aba lagi, seisi kelas langsung mengembuskan napas. Kompak. Tak terkecuali Mystina.
Lalu pandangan beberapa pasang mata menatap Mystina tajam. Layaknya Mystina seorang penjahat yang telah berbuat kejam dan tak patut diampuni. Sorot mata menuduh, menghakimi, menyalahkan, tertuju pada Mystina.
"Apa salahku?" Masih saja Mystina membatin. Dia benar-benar bingung dengan apa yang telah terjadi. Tak ada penjelasan. Hanya ada tuduhan serta amarah. Apa sebenarnya yang ada dalam kertas jelek itu, batin Mystina.
Cepat diraihnya kertas kusut di hadapannya itu, saat guru memasuki kelas dan teman sebangku Mystina duduk secepat kilat di sisinya.
Gerald memimpin teman-temannya mengucap salam pada guru. Sedangkan Mystina mengamati kertas lusuh yang ditinggalkan Cindi padanya. Dibacanya perlahan isi kertas itu demi menghapus rasa keingintahuannya.
Berbarengan dengan guru menjawab salam murid-murid, Mystina teriak spontan. "Apa!?"
**
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro