-05.2-
Reinald mengalihkan pandangan dari layar monitor laptop pada ponselnya yang sedang bergetar di samping mouse portable. Ia meraih ponsel dan mendapati nama Jonathan terpampang pada layar ponsel. Jonathan meneleponnya.
Reinald segera mengusap layar ponselnya sebelum menempelkan pada telinga. Tidak terdengar suara apapun dalam sambungan telepon mereka sampai Jonathan mengajukan protes ringannya, "Hei! Kalau terima telepon, bisa bilang halo dulu tidak?"
"Ada apa?" tanya Reinald. Ia mengabaikan protes Jonathan. Ia kembali sibuk memandang layar monitor yang menampilkan grafik prestasi karyawannya satu tahun terakhir ini. ia sudah harus mulai mengolah data yang diberikan agar karyawan yang paling berprestasi dapat sesegera mungkin memperoleh tiket liburannya.
"Sibuk? Kalau gitu aku gak jadi kasih informasi terbaru tentang Celine, takut ganggu kamu. Bye!" Jonathan mencoba untuk menggertak Reinald, ia tahu bahwa Reinald pasti akan menghentikan pekerjaannya ia terlalu mengenal temannya ini, orang yang akan berhenti melakukan kegiatan paling penting sekali pun untuk orang yang menarik perhatiannya.
Reinald mengerutkan kening tanpa mengalihkan pandangan dari layar monitor, "kamu coba menggertakku? Katakan saja sebelum aku matikan."
"Ya sudah, bye!"
Sambungan telepon antara Reinald dan Jonathan benar-benar putus begitu saja. Jonathan yang memutuskan sambungan telepon mereka, membuat Reinald merasakan sedikit hawa panas naik dari tubuhnya menuju otak. Ia tidak suka dipermainkan oleh Jonathan, apalagi ketika ia sudah mendapat spoiler yang Reinald yakin disengaja oleh Jonathan.
Reinald segera menyelesaikan olahan datanya dan memilih satu nama yang mendapat hadiah liburan menuju Tokyo, Jepang sebagai bentuk apresiasi atas kinerja memukaunya selama satu tahun. Reinald segera menelepon Jonathan, ia mengetukkan jari tangan kanannya ke atas meja marmer hitam miliknya dengan tidak sabaran.
Sepuluh menit ia habiskan untuk menelepon Jonathan berkali-kali, Jonathan masih belum menerima panggilannya sama sekali sampai ia mendengar deringan tajam telepon kantornya. Reinald segera membatalkan panggilannya lalu meraih gagang telepon.
"Siang, Pak. Bapak kedatangan tamu atas nama Ibu Celine yang sedang menunggu di lobi. Boleh dipersilakan masuk?" tanya Maria, sekretaris kepercayaannya selama tiga tahun terakhir ini.
"Iya, persilakan masuk," jawab Reinald, setelah itu ia meletakkan kembali gagang telepon yang dipegangnya pada tempat semula.
Sekarang ia tahu alasan Jonathan meneleponnya tadi. Ia tidak membutuhkan Jonathan lagi.
Reinald segera berdiri dari kursi empuk yang ia duduki, lalu berjalan menuju sudut ruangan di mana jas navynya sedang tergantung rapi. Ia mengenakan jasnya dengan lugas melewati lengannya yang terbalut kemeja putih berlengan panjang, lalu menarik kerah jasnya ke atas untuk merapikan bagian punggung yang sedikit terlipat.
Reinald kembali duduk di atas kursinya, kemudian menutup layar laptop yang masih menyala. Ia memangku kepala di atas tangannya yang disatukan di atas meja sambil menunggu kedatangan Celine.
Ia tahu, Celine datang untuk menanyakan mobil yang baru saja ditolaknya. Ia sudah mendapat laporan dari dealer yang merasa tidak nyaman terhadap Reinald karena gagal menjalankan tugas.
Reinald mendengar ketukan pada pintu ruangannya, disusul dengan suara pintu terbuka. Reinald segera menegakkan punggungnya. Ia mengamati Celine yang sedang berjalan pelan mendekatinya dalam diam.
"Sebelum menanyakan maksud kedatanganmu. Mungkin pertemuan kita kali ini bisa kamu mulai dengan meminta nomor ponselku? Agar kamu dapat berbicara denganku melalui telepon tanpa perlu dengan susah-payah datang ke kantor hanya untuk menemuiku."
Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Reinald disusul dengan senyum geli yang tertahan. Ia suka sekali menggoda Celine, pria sejati suka tantangan bukan? Dan ia menemukan tantangan yang tepat di dalam diri Celine.
"Hah?" cetus Celine begitu saja dengan raut bingung. Keningnya berkerut tajam.
"Mana ponselmu," pinta Reinald yang sudah menyandarkan punggungnya pada kursi. Hal sederhana yang dilakukan Reinald tadi menciptakan bayangan gelap karena posisi Reinald yang membelakangi cahaya matahari yang masuk melalui dnding kaca kantornya yang terlapis gorden tipis.
"Buat apa? Gak mau," tolak Celine cepat. Ia berkacak pinggang menatap Reinald, sedikit pun ia tidak terpesona oleh berkas cahaya yang melewati rambut hitam Reinald.
"Aku hanya ingin memudahkanmu dalam menghubungiku... atau kamu lebih suka datang ke kantor setiap ingin menghubungiku?" Reinald mengangkat kedua bahunya.
"Boleh duduk dulu gak?"
Celine menginterupsi rasa percaya diri Reinald. Kakinya yang bengkak mulai berdenyut.
"Silakan," ucap Reinald sambil ikut berdiri dan mengarahkan Celine untuk duduk di sofa tepat di sudut ruangan di mana di belakangnya terdapat tirai abu-abu gelap polos yang masih terikat rapi di tepi dinding.
Celine berjalan tertatih-tatih mendekati sofa itu, ia mengikuti langkah Reinald yang tidak memerdulikannya sama sekali. Kepalan tangan sudah ada di tepi tubuhnya siap untuk di arahkan pada belakang kepala Reinald. Namun ia urungkan, ia lebih memilih untuk mengutuk Reinald di dalam hatinya. Betapa tidak gentle dirinya sebagai pria!
Reinald duduk di sofa tunggal sambil menunggu Celine, ia menyilangkan kaki yang terbalut rapi celana kain navy yang senada dengan jas.
Celine baru sadar bahwa setelan yang dipakai oleh Reinald masih sama dengan setelan yang dipakainya tadi pagi. Sebuah bola lampu menyala terang di atas kepalanya.
"Kamu belum mandi, ya? Pasti bau," ejek Celine dengan mata yang ia sipitkan. Ia memiringkan posisi duduknya agar dapat melihat Reinald dengan jelas.
"Belum," jawab Reinald singkat, tanpa mengalihkan pandangannya dari tatapan mata Celine. Saat ini, jika aliran listrik bisa keluar dari mata mereka masing-masing... mungkin akan ada aliran biru dan merah yang sedang bertarung.
Celine segera mengalihkan tatapannya dari mata Reinald. Tiba-tiba kalimat yang pernah ia dengar melintas begitu saja melewati otaknya. Bertatapan dengan seorang pria lebih dari sepuluh detik dapat membuatmu jatuh cinta padanya.
Celine segera menggelengkan kepala untuk menghilangkan pemikiran menggelikan itu.
"Kenapa? Kenapa menghindar? Bukannya kita lagi perang tatapan?" tanya Reinald dengan sebelah alisnya yang terangkat.
"Siapa bilang? Perasaan kamu saja," bantah Celine tanpa memandang Reinald sama sekali. Ia selalu menghindari tatapan Reinald yang masih saja terarah lurus padanya.
"Ada apa? Apa kamu kira aku benar-benar bau karena belum mandi?"
"Bukan," jawab Celine sambil menunduk, menatap kakinya yang bergerak gelisah.
"Jadi?" desak Reinald yang mulai menegakkan punggung serta melepaskan silangan kakinya.
"Gak, gak ada jadi-jadian."
"Gak mungkin gak ada apa-apa."
Reinald mulai berdiri dari sofa yang ia duduki kemudan melangkahkan kaki secara perlahan mendekati Celine yang masih asyik mengamati ibu jari kakinya yang bergerak naik turun.
Reinald menghentikan langkah kakinya. Ia memosisikan ujung pantofel hitam mengkilatnya tepat pada ujung ibu jari kaki Celine. Reinald ikut mengamati ibu jari kaki Celine dengan menundukkan tubuhnya.
"Kenapa ibu jarimu seperti itu? Panjang sekali."
Mendengar suara berat Reinald yang begitu dekat dengan telinganya membuat Celine terkejut. Ia segera mengangkat kepalanya namun yang didengarnya kemudian adalah suara benturan yang sangat amat keras antara puncak kepalanya dan dagu Reinald.
Ia memegang puncak kepalanya sambil mengelusnya pelan, kemudian menatap Reinald yang sedang memegang dagu dan rahangnya dengan wajah berkerut menahan sakit.
Rasa panik memenuhi tubuh dan pikirannya, bahkan ia sudah melupakan rasa sakit pada kepala dan kakinya. Ia segera berdiri dan ikut memegang rahang Reinald yang tiba-tiba menimbulkan sensasi aneh dalam perutnya.
***
Sambil menunggu, silahkan baca Help Me, Chris!
(kisah Christopher dan Cia--kelanjutan Sweetest Karma dan My Lovely Devils)
Follow akun IG :
sendlyanyourmails && christopherkurnia
Group Line : sendlyanyourmails [silahkan chat aku, dan aku akan invite]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro