-05.1-
-I just took one look at you, and then—there was just no turning back.-
"Kak! Kamu beli mobil, ya?"
Dengan langkah tertatih-tatih, Celine berhasil mencapai pintu rumah di mana Felix tengah bersandar sambil bersiul dengan pandangan mengejek padanya, "katanya gak ada duit, kenapa bisa beli mobil?"
"Bukan punya kakak, kamu jangan asal omong deh. Kakak gak beli mobil," jawab Celine sambil ikut melirik mobil kuning kecil yang terparkir rapi di depan pagar rumah mereka dari balik kepala Felix yang menutupi sebagian penglihatannya. Celine menangkap keberadaan dua orang yang memakai seragam abu-abu bertuliskan nama dealer mobil terkenal di balik punggung mereka. Mereka terus-menerus menunjuk rumah Celine sebelum masuk dari pagar yang terbuka dengan map cokelat yang terlihat cukup tebal di genggaman mereka.
Celine mengerutkan kening, tidak mengerti dengan apa yang ia lihat saat ini. celine mendorong badan Felix agar menepi kemudian menghampiri dua orang itu.
"Selamat Siang!" sapa dua orang itu secara bersamaan sambil mengulurkan tangan mereka pada Celine.
Celine mengelap telapak tangan kanannya pada celana kain yang belum sempat ia ganti tadi, kemudian membalas uluran tangan mereka satu persatu.
"Dengan Ibu Celine?" tanya pekerja dengan potongan poni rata dan kacamata berbingkai bulat dengan nametag Rudi.
"Ya," jawab Celine tanpa menutupi raut bingungnya. Celine merasakan keberadaan Felix di balik badannya.
"Mobil itu atas nama Celine?" tanya Felix sambil menunjuk mobil kuning yang sedari tadi menarik perhatiannya.
Rudi membuka amplop yang dipegangnya sebelum menganggukkan kepala kepada Felix. "Iya, atas nama ibu Celine."
"Namanya Celine."
Felix menunjuk Celine dengan jari telunjuknya diikuti dengan sebelah alisnya yang terangkat.
"Boleh kami masuk terlebih dulu? Kami membutuhkan kartu identias Anda untuk memastikan bahwa data telah sesuai sebelum mengalihkan satu unit mobil atas nama Anda."
Petugas lainnya, Anto, berbicara dengan nada tegas sambil mengalihkan pandangannya pada Felix dan Celine secara bergantian.
"Saya gak ikut undian apapun. Saya juga tidak beli mobil," kata Celine.
"Tapi, mobil ini dibeli atas nama Anda," kata Rudi. "Bagaimana jika Anda membiarkan kami mencocokkan data kami dengan data Anda terlebih dahulu?"
"Baik."
Celine menganggukkan kepalanya sebelum mempersilakan mereka masuk. Ia memilih untuk mengabaikan keberadaan Felix yang ikut masuk ke dalam rumah dan duduk di atas kursi kayu sambil mengamati Rudi dan Anto yang sedang membuka amplop mereka masing-masing, sepertinya Felix sudah melupakan jadwal kuliahnya.
Celine meninggalkan mereka di ruang tamu kemudian mengambil kartu identitas dan ponsel di dalam kamar.
"Ini."
Celine menaruh kartu identitasnya di atas meja setelah duduk di samping Felix.
"Baik," Anto mencocokkan data diri Celine dengan kertas yang ia pegang. Anto juga mengiri beberapa kolom yang ada pada kertas yang saat ini diulurkannya pada Celine.
"Maaf, sebelum saya tanda tangan. Saya ingin tegaskan sekali lagi, saya tidak membeli mobil. Kalian tidak salah alamat kan?" tanya Celine sambil mendorong kertas yang diulurkan Anto.
"Oh iya, maaf! Mobil itu dibeli atas nama Bapak Reinald Kurnia, untuk Ibu Celine," jelas Anto sambil membaca kertas yang tadi ulurkannya pada Celine.
Celine segera menarik kertas itu kemudian membaca tulisan-tulisan yang tertera di atasnya dengan cepat dan cermat, ia tidak ingin dan tidak boleh melewatkan sedikitpun informasi yang bisa ia dapat. Ini bukanlah hal sepele, ia harus teliti agar tidak terlibat dalam kasus penipuan yang bisa terjadi di mana dan kapan saja.
Celine menemukan nama Reinald Kurnia pada kolom pembeli dan namanya pada kolom penerima serta pemilik. Celine menaruh kertas yang telah ia baca ke atas meja, "saya tidak mau tanda tangan."
"Tapi, Bu... mobil ini sudah selesai diproses. Hanya perlu Ibu tanda tangani," tolak Rudi dengan halus. "Mobil itu sudah menjadi hak milik ibu. Ini kuncinya."
Rudi mengulurkan kotak kecil berwarna hitam pada Celine.
"Tidak, saya tidak akan menerimanya sebelum mendapat panggilan resmi dari Bapak Reinald selaku pembeli. Lain kali, jangan menerima orang yang beli tapi atas nama orang lain," tegur Celine. Ia berdiri dari kursi yang ia duduki kemudian membimbing Rudi dan Anto secara paksa untuk keluar dari rumahnya, "tolong keluar."
Rudi dan Anto segera merapikan kertas dan kunci mobil. Mereka berjalan keluar melewati pintu. Celine segera membalikkan badan ketika melihat Anto hendak berbicara padanya.
Celine dapat mendengar sayup-sayup suara Felix yang sedang bertanya kepada Rudi dan Anto, "mobilnya dibayar tunai atau cicil?"
"Tunai."
***
Celine masuk ke dalam kamar lalu duduk di tepi ranjang. Ia menyalakan layar ponsel dan mencoba menghubungi Reinald. Namun, ia baru sadar bahwa selama ini ia berhubungan dengan Reinald melalui Jonathan. Jonathan yang mengatur janji temu mereka.
Celine belum memiliki nomor ponsel Reinald.
Celine segera menelepon Jonathan, ia mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas kasur dengan tidak sabaran.
"Halo?" sapa Celine setelah panggilan teleponnya diterima.
"Maaf, saya teman Rachael... Celine."
Celine memutuskan untuk mengenalkan dirinya terlebih dulu, ia takut Jonathan tidak menyimpan nomor teleponnya.
"Iya, saya tahu. Ada apa? Ada yang bisa saya bantu?" Suara Jonathan terdengar sangat ramah.
"Saya ingin meminta nomor ponsel Reinald," jawab Celine dengan ragu, volume suaranya semakin kecil.
"Ah... nomor ponsel Reinald? Saya kira kalian sudah betukar nomor ponsel. Maaf ya... saya tidak bisa memberitahu Anda nomor ponsel Reinald. Dia tidak suka nomor ponselnya disebar-sebar." Terdengar nada penuh penyesalan dari suara Jonathan.
"Seharusnya saya yang minta maaf karena sudah merepotkan."
"Tunggu sebentar, bagaimana jika Anda datang ke kantor Reinald saja? Paling tidak Anda bisa menghubunginya melalui sekretaris. Saya yakin Anda pasti bisa bertemu dengannya," saran Jonathan.
"Iya, boleh."
"Kalau begitu, kamu bisa pergi ke Kurnia Oil Company."
"Terima Kasih atas bantuannya."
"Sama-sama."
Celine memutuskan sambungan telepon lalu meraih handuk. Ia memutuskan untuk membersihkan diri sebelum pergi ke kantor Reinald. Semuanya harus dimulai dengan mandi bersih dulu, kan?
***
Celine mengamati sekeliling lobi tempat di mana ia berdiri sekarang. Lobi yang sangat luas dengan pohon yang entah asli atau palsu dengan daun berwarna hijau kemerahan di sudut lobi serta karyawan-karyawan berkemeja warna-warni berlalu lalang sambil membawa gelas kertas yang Celine yakini berisi kopi untuk menemani sisa waktu kerja mereka.
Celine berjalan mendekati meja panjang berwarna cokelat gelap di tengah-tengah lobi. Ia memberikan senyum terbaiknya pada wanita dengan rambut tersanggul rapi di belakang tengkuk dan riasan yang sedikit terlalu mencolok—menurut Celine.
"Selamat Siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita itu dengan sopan, terbukti dengan kedua telapak tangannya yang tersatu di depan dada serta wajahnya yang menampilkan senyum sopan.
"Saya ingin bertemu dengan Bapak Reinald Kurnia," kata Celine langsung pada inti tanpa mencoba untuk berbasa-basi sama sekali. Ia sudah pernah melihat kejadian ini melalui sinetron yang biasa ditontonnya saat senggang di kantor guru.
First impression itu sangat penting, karena itulah yang menentukan dihormati atau diremehkan nantinya.
"Maaf, apa sebelumnya Ibu sudah membuat janji dengan Bapak Reinald?"
"Belum, tapi Anda bisa memberitahu Bapak Reinald bahwa Celine yang datang mencarinya."
"Boleh saya lihat kartu identitasnya, Bu?" tanyanya dengan sopan.
Celine segera mengeluarkan dompet untuk menarik keluar kartu identitas dari slot kartu lalu mengulurkannya, "ini."
Celine menunggu selama beberapa menit sampai karyawan itu mengangkat gagang telepon dan menekan tombol satu. Celine tidak dapat mendengar jelas apa yang sedang dikatakan oleh karyawan itu, namun ia dapat melihat anggukan singkatnya.
"Bu, Anda bisa langsung naik ke lantai tiga puluh. Nanti ibu akan bertemu dengan sekretaris Bapak Reinald yang bernama Maria... untuk saat ini Ibu akan dibantu oleh Bapak Leo," jelas karyawan itu sambil menunjuk satpam yang sedari tadi berdiri di samping meja resepsionis.
Celine dibimbing dengan baik sampai ia bertemu dengan Maria, sekretaris Reinald yang sedang duduk tegap di atas kursi kerja yang diyakini Celine sangat nyaman dan empuk. Maria mengangkat kepalanya yang tadinya sedang menatap lurus ke layar monitor ketika Celine dan Leo berdiri di depannya.
Terlihat senyum ramah di bibirnya yang terpoleskan lipstick merah gelap. "Ibu Celine? Ikut saya ya, Bu."
Maria berdiri dari kursi yang ia duduki kemudian berjalan lebih cepat dari Celine. Ia berhenti di depan pintu kemudian mengetuknya beberapa kali sebelum membuka pintu. "Silakan masuk, Bu." Maria mempersilakan Celine masuk.
Celine melangkahkan kakinya dengan penuh keraguan. Sekilas ia mendengar suara derit pintu yang tertutup dari balik punggungnya. Ia menemukan Reinald sedang duduk berpangku tangan di balik meja kerja marmer hitamnya yang sangat berkilau.
"Sebelum menanyakan maksud kedatanganmu. Mungkin pertemuan kita kali ini bisa kamu mulai dengan meminta nomor ponselku? Agar kamu dapat berbicara denganku melalui telepon tanpa perlu dengan susah-payah datang ke kantor hanya untuk menemuiku," tawar Reinald dengan senyuman geli.
***
Sambil menunggu, silahkan baca Help Me, Chris!
(kisah Christopher dan Cia--kelanjutan Sweetest Karma dan My Lovely Devils)
Follow akun IG :
sendlyanyourmails && christopherkurnia
Group Line : sendlyanyourmails [silahkan chat aku, dan aku akan invite]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro