-01.2-
Celine meraih beberapa potong gaun sederhana dari lemari kayu tanpa pintu miliknya. Ia mematutkan gaun itu satu persatu pada tubuh yang masih mengenakan seragam kerja. Rambutnya sudah tergulung asal di bawah tengkuk.
Ia menghabiskan waktu kurang lebih tiga puluh menit untuk memilih pakaian yang pantas untuk dikenakannya pada pertemuan pertama dengan orang asing. Benar-benar sulit!
Celine meraih handuk yang ada di atas kasur. Ia mendecakkan lidah ketika mendapati kasurnya basah karena handuk yang tadi pagi lupa dijemur olehnya... atau tidak sempat dijemurnya... entahlah~
Ia menyampirkan handuk setengah basah itu pada pundak kemudian berjalan keluar dari kamar empat kali empat meternya. Ia mengetuk pintu kamar mandi ketika mendengar suara percikan air dan nyanyian dari dalam kamar mandi, yang menandakan bahwa ada orang lain di dalam kamar mandi dan ia tidak dapat menerobos masuk begitu saja.
"Dek," panggil Celine. Ia berkacak pinggang di depan pintu kamar mandi, kemudian menangkat tangan untuk mengetuk pintu. "Cepat, dong. Kakak mau mandi, nih. Mau ketemu sama orang satu jam lagi! Oh, bukan! Empat puluh lima menit lagi."
"Cepatan, Dek!" Ketukan tangan Celine pada pintu semakin cepat, ia juga menggerakkan kaki dengan tidak sabar sambil sesekali melirik jam dinding putih yang ada di dinding ruang makan, tepat di belakang posisi ia berdiri saat ini.
"Iya! Makanya, daritadi gak mandi-mandi. Mana aku tahu kalau kakak mau ketemu orang. Huh! Aku buang airnya setengah-setengah, kan?!" protes adik laki-laki Celine, Felix, yang sudah berjalan keluar dari kamar mandi dengan rambut pendeknya yang tengah meneteskan air, serta handuk putih yang sudah berwarna keabu-abuan yang melilit pinggang.
Celine hanya diam, tidak menanggapi keluhan kasar dari Felix. Ia langsung berjalan masuk ke dalam kamar mandi sambil mendorong Felix agar menepi. Baru saja masuk ke dalam kamar mandi, Celine melongokkan kepalanya, "aduh! Kenapa WCnya bau sekali? Kamu habis makan pete ya?"
Setelah itu hanya terdengar debaman pintu dan suara percikan air dari dalam kamar mandi.
Celine mematutkan gaun hitam polos selutunya, ia mengurai rambut setengah punggung hitam miliknya setelah menjepitnya dengan jedai¸jepit rambut yang sedang tren dan dianggap bisa membuat rambut bergelombang secara alami. Celine menyisir rambutnya dengan jari tangan, kemudian menarik ujung gaunnya agar terlihat sedikit lebih panjang.
Ia juga menarik kain di bagian ketiaknya. Ketiaknya terjepit sehingga ia merasa tidak nyaman.
Celine duduk di depan kaca rias, kemudian memompa foundation ke atas telapak tangan. Ia mengoleskannya dengan tipis kemudian menepuk bedak tabur tipis-tipis pada wajah, tidak lupa memoleskan lipstick nude yang baru dibelinya dari gaji bulanan kemarin.
Setelah merasa dirinya sudah cukup pantas untuk bertemu dengan seorang pria, Celine berjalan keluar dari kamar sambil menjepit clutch hitam pada ketiaknya. Ia mengeluarkan ponsel untuk memesan ojek online untuk mengantarkannya ke Kafe BlackBean.
Sepuluh menit menunggu, akhirnya suara klakson yang ia yakini sebagai milik dari ojek online terdengar. Celine segera mengenakan sepatu hak tingginya lalu berjalan mendekati tukang ojek berseragam yang tengah menatapnya sambil memegang ponsel yang tersambung dengan kabel putih.
"Neng Celine?" tanyanya ketika Celine sudah berdiri di sampingnya.
"Iya."
"Mau ke Kafe BlackBean?" lanjutnya lagi setelah mendengar jawaban serta anggukan kepala singkat dari Celine.
"Iya."
"Kalau begitu tolong tunjukkin jalannya ya, Neng."
Celine tidak benar-benar mengira jika sepanjang perjalanan ia akan terus-menerus menunjukkan arah kepada tukang ojek ini. Ia kira, tukang ojek akan mendapatkan inspirasi atau mengenal jalan setelah beberapa kali ia menunjukkan jalan.
Celine merasa punggungnya mulai gerah karena keringat, meskipun cuaca saat ini tengah mendung. Ia menghela napas sebentar, "Itu pak, di depan. Stop! Stop!"
"Baik, Neng," ujar tukang gojek sambil menepikan motor di tepi jalan. Ia menekan-nekan layar ponselnya yang tertempel di atas motor.
Celine turun dari boncengan, kemudian merogoh sejumlah uang yang lebih dari tarif. Ia menggelengkan kepala ketika melihat tukang gojek itu menolak uang lebih yang diberikannya, "lebihnya untuk bapak saja."
Sesudah mengucapkan kalimat itu, Celine memilih untuk meninggalkannya tanpa ingin tahu responnya lebih lanjut.
Celine mendorong pintu kaca Kafe BlackBean sambil mengamati penampilan dirinya dari pantungan bayangan dirinya pada kaca. Ia ingin memastikan bahwa penampilannya saat ini tidak terlalu buruk meskipun penuh keringat.
Celine merasakan hawa dingin menyambut tubuhnya seiring dengan pintu kaca yang terbuka. Ia bernapas lega sesaat sebelum mengedarkan pandangan untuk mencari Jonathan, kemudian melirik jam tangan untuk memastikan bahwa ia tidak terlalu terlambat dari jam pertemuan dan pada nyatanya... ia sudah terlambat sepuluh menit.
Celine kembali mengedarkan pandangan untuk mencari Jonathan karena bisa saja ia tidak mendapati keberadaan Jonathan karena ia kurang teliti. Namun, setelah benar-benar tidak menemukan Jonathan... Celine memilih untuk duduk tepat di samping jendela kaca, di sudut belakang kafe. Ia menatap lalu lintas yang sangat padat, serta banyak orang yang berhenti di sisi jalan untuk memakai jas hujan mereka.
Jalan raya penuh dengan jas hujan aneka warna, serta pengemudi yang mnutup kaca helm mereka rapat-rapat.
Celine mengalihkan pandangannya, kemudian terhenti pada punggung tangannya yang terlihat sangat gelap di bawah lampu temaram kafe. Ia mengamati tangannya yang memiliki tiga perbedaan tahap warna, mulai dari lengan atasnya yang terang, lengan bawah yang agak kecokelatan, dan yang paling parah adalah punggung tangannya yang cokelat gosong!
Haah~ seharusnya ia memakai kemeja lengan panjang saja saat ini.
Suara dentingan bel halus terdengar dari arah pintu, pertanda ada tamu yang datang. Celine segera memofuskan pandangannya pada pintu tersebut. Ia mendapati Jonathan tengah berjalan masuk diikuti oleh pria berbadan tegap. Pria berkulit putih itu memakai setelan kantor yang sedikit basah pada bagian bahu, serta rambut yang disisir rapi ke belakang.
Dari sisi ketampanan... Jonathan? Kalah.
Melihat mereka yang sudah semakin dekat, Celine segera berdiri kemudian menarik turun gaunnya yang sedikit mengkerut ke atas. Celine mengangkat sebelah alisnya secara tidak sadar ketika mendapati seorang anak kecil yang digandeng oleh pria itu. Anak kecil itu masih mengenakan seragam sekolah yang sangat dikenalnya.
Pria itu pasti Reinald, kan? Dan anak kecil itu pasti Christopher.
Celine mengiyakan pemikirannya di dalam hati.
Celine melihat Christopher menggenggam erat tangan besar Reinald sambil mencoba untuk menyembunyikan dirinya di belakang tubuh tegap Reinald.
"Hai!"
Sapaan Jonathan membuat Celine sedikit terkejut karena ia terlalu fokus pada Reinald dan Christopher. Celine segera merubah ekspresi wajahnya dengan senyum simpul. Celine segera mengulurkan tangannya, meminta Jonathan, Reinald, dan Christopher untuk duduk.
Reinald dan Jonathan duduk bersampingan, sedangkan Christopher masih berdiri di samping kursi Reinald.
"Chris duduk di kursi itu, ya?" bujuk Reinald, ia menunjuk kursi kosong di samping Celine.
"Gak mau!" tolak Christopher tegas. Ia mengeratkan pegangannya pada Reinald sehingga pria itu menghela napas kasar sebelum mengangkat tubuh Christopher untuk duduk di atas pangkuannya.
Jonathan berdeham, kemudian berkata, "kenalin... ini teman saya, Reinald."
"Nama saya Celine."
Celine tersenyum simpul kemudian mengulurkan tangannya, yang langsung dibalas oleh Reinald dengan genggaman kuat serta tegas—benar-benar genggaman tangan seorang pengusaha.
"Reinald Kurnia," ujar Reinald. "Dan ini anak saya, Christopher Kurnia," lanjut Reinald sambil menunjuk Christopher menggunakan tangannya yang kosong, karena tangannya yang lain digunakan untuk memeluk tubuh Christopher erat agar tidak terjatuh.
"Bilang apa sama tante, Chris?" tanya Reinald.
"Hai, Tante," ucap Christopher sambil memainkan jempol besar Reinald dengan kedua tangan.
Celine tersenyum tipis, mencoba untuk tenang padahal kedua telapak tangannya sudah basah karena gugup sehingga ia harus sering-sering mengelap telapak tangannya pada gaun yang tengah ia kenakan saat ini.
Lima menit berlalu, dan mereka menghabiskan waktu itu hanya untuk menatap satu sama lain dalam diam.
Jonathan melirik jam tangannya sekilas, "oke. Aku pulang dulu, habiskan waktu berdua ya? Tidak apa-apa, kan?"
Jonathan bangkit tanpa menunggu jawaban Reinald dan Celine. Ia menepuk bahu Reinald ringan, kemudian melambaikan tangan pada Celine sebelum berjalan keluar dari kafe, meninggalkan Reinald, Celine, dan Christopher tanpa ragu sama sekali.
Reinald membuka percakapan, "nama kamu hanya Celine?"
"Hmm," gumam Celine. Kedua bola matanya mengamati gerakan Reinald yang sedang memindahkan Christopher ke kursi yang tadi diduduki Jonathan.
Pelayan datang menghampiri meja mereka, menanyakan kepada mereka makanan apa yang ingin mereka pesan. Mereka memesan dengan cepat karena pesanan mereka didominasi oleh makanan ringan untuk Christopher, serta dua cangkir kopi dan cokelat susu dingin.
Hening.
Celine benar-benar tidak tahu apa yang harus ditanyakan atau diceritakan sampai dering ponsel terdengar dari saku jas Reinald yang diyakini Celine sebagai maha karya dari penjahit terkenal.
Reinald menatap Celine sekilas sebelum merogoh saku dalam jasnya untuk mengeluarkan ponsel hitam dengan layar mengkilap. Reinald menatap layar ponselnya selama beberapa detik sebelum berjalan menjauh dari Celine dan Christopher.
Mata bulat lucu Christopher berubah menjadi mata penuh rasa kesal. Christopher melipat kedua tangannya di depan dada tanpa berkata apa pun, membuat Celine balas menatapnya dengan pandangan bingung serta kening yang berkerut.
Pelayan menginterupsi mereka dengan menyajikan minuman, kentang goreng, serta roti bakar yang ditata rapi di atas piring keramik persegi panjang berwarna putih. Setelah meletakkan piring tersebut, pelayan itu menata sendok dan garpu besi kecil yang dibalut apik dengan tisu.
"Pesanannya sudah lengkap ya, Bu. Selamat menikmati," kata pelayan itu sebelum berjalan pergi.
Celine mengamati Christopher yang sedang meraih garpu kecil kemudian membersihkannya dengan tisu. Tiba-tiba garpu dalam genggaman Christopher terlepas dan jatuh ke atas lantai. Christopher segera turun dari kursi, kemudian berjongkok untuk meraih garpu itu, begitu juga dengan Celine yang khawatir jika kepada Christopher akan terbentur meja. Namun, mata Celine menangkap gerak-gerik Christopher yang sedang merangkak mendekati kakinya yang terbalut sepatu hak tinggi hitam.
Christopher menggenggam garpu itu dengan tangan kanannya, kemudian menusukkannya pada punggung kaki Celine membuat Celine memekik kuat sambil memegang punggung kakinya yang mulai terasa perih.
***
Sambil menunggu, silahkan baca Help Me, Chris!
(kisah Christopher dan Cia--kelanjutan Sweetest Karma dan My Lovely Devils)
Follow akun IG :
sendlyanyourmails && christopherkurnia
Group Line : sendlyanyourmails [silahkan chat aku, dan aku akan invite]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro