-01.1-
-You can't start the next chapter if you keep re-reading the last.-
Celine berulang-ulang kali melirik jam tangan berwarna cokelat yang melingkari pergelangan tangannya, jam tangan usang namun masih bisa berfungsi dengan baik tanpa malfungsi apapun kecuali warnanya yang mulai memudar serta kulit yang sedikit demi sedikit mulai mengelupas.
Celine benar-benar mengutuk keinginan sederhana dari Jonathan, kekasih dari sahabat baiknya—Rachael. Hanya karena mereka berdua berhasil membina hubungan yang baik serta romantis, Jonathan berniat untuk mengenalkan—nope—menjodohkannya dengan Reinald yang juga merupakan sahabat baik dari Jonathan.
Duda berteman dengan duda.
Single berteman dengan single.
Begitu kata Jonathan ketika menjelaskan maksud dari perkataannya saat itu, hari perayaan ulangtahun Rachael yang ketiga puluh.
Celine mencoba menyadarkan dirinya yang mulai mengingat kembali kejadian hari itu sebelum ia lupa bahwa ia masih mengajar di ruang kelas. Celine kembali melirik jam tangannya, dan mendapati waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang, empat jam sebelum waktu janjinya dengan Reinald.
Celine benar-benar gugup. Bertemu dengan orang baru bukanlah keahliannya, ia akan berubah menjadi bukan Celine... tidak akan ada Celine yang judes dan banyak bicara, namun Celine yang duduk dengan rapi serta senyum kaku yang terpasang pada wajahnya.
"Bu! Ibu Celine!"
Celine tersadar dari lamunannya, lagi, ketika mendengar pekikan kencang dari murid-muridnya. Murid-murid yang sudah berdiri mengelilinginya dengan kepala yang terdongak ke atas.
"Ya?"
Celine balas menatap dua puluh lima pasang mata bulat yang tengah menatapnya satu persatu.
"Kami sudah boleh makan siang? Sesil lapar... sekarang kan sudah waktu istirahat," kata Sesil, murid perempuan dengan rambut yang diikat dua di atas kepala.
Celine kembali melihat jam tangannya, lagi dan lagi, kemudian mengumpat di dalam hati. Setelah berhasil menjaga ekspresi serta menelan umpatan di dalam hati, Celine mencoba tersenyum manis kepada murid-muridnya, "Baik, Anak-anak! Kalian boleh makan siang. Sampai jumpa!"
"Selamat siang, Ibu Guru! Terima Kasih!" ucap murid-murid dengan nada mengalun namun kompak. Setelah itu, mereka semua berlari menuju meja mereka masing-masing untuk makan siang maupun bermain.
Celine berjalan keluar dari ruang kelas sambil membawa kotak pensil besar yang sulit ditutup karena terisi bolpoin, pen merah, type-ex, dan beberapa batang spidol papan tulis warna-warni.
Kelas tadi adalah kelas terakhir Celine. Ia berjalan dengan langkah ringan menuju kantor guru, kemudian meraih gelas dari rak untuk diisi dengan air minum. Celine meneguk air itu dengan cepat, lalu menghela napas dengan kasar sambil berjalan menuju meja kerjanya. Ia merapikan buku-buku tulis murid yang harus diperiksa, membuang bungkus biskuit ke dalam tong sampah, dan meletakkan kembali bolpoin dan penggaris yang ada di atas meja ke dalam laci.
Celine berdecak bangga ketika meja kerjanya kembali terlihat rapi. Ia menginjakkan kakinya di luar kantor guru setelah menempelkan ibu jarinya pada alat pemindai sidik jari untuk absensi. Ia memutuskan untuk pulang ke rumah dan bersiap-siap.
Celine berjalan santai keluar dari komplek sekolah, ia berdiri di trotoar kemudian melambaikan jari untuk menghentikan kendaraan umum yang lewat. Ia memasuki kendaraan umum sambil menundukkan kepala agar tidak terbentur. Setelah mendapati Celine duduk dengan nyaman, supir mulai menjalankan kendaraan umum dengan pelan. Celine melihat ke langit dari jendela geser yang terbuka, langit sudah penuh dengan awan kelabu.
Hanya satu hal yang Celine minta untuk hari ini. Ia ingin agar pertemuannya... berjalan dengan lancar tanpa kendala apa pun.
***
Reinald terbangun dari tidurnya. Ia mengusap wajah dengan kasar, kemudian menatap kosong ke arah Christopher—putranya yang masih tertidur lelap. Ia mengusap kepala Christopher yang tidur meringkuk sambil mengisap ibu jari.
Reinald menggelengkan kepala sambil terkekeh kecil ketika matanya menangkap keberadaan selimut yang sudah berada di bawah kaki mereka. Reinald menarik selimut itu untuk menyelimuti Christopher sambil mengecup keningnya.
Mata Reinald menatap Christopher, namun pikirannya melayang ke mana-mana. Ia sedang mencoba untuk mengingat kembali mimpi yang membuatnya bangun dengan keringat bercucuran pada suhu kamar yang cukup rendah.
Reinald mengusap keringat dari kedua pelipis menggunakan punggung tangan.
Reinald ingat. Ia bermimpi tentang istrinya, wanita yang sangat ia cintai, terjatuh dari atap gedung yang sangat tinggi. Jatuh ke dasar sambil menatapnya dan tersenyum lembut. Bahkan sambil melambaikan tangan! Ya, Tuhan!
Ia adalah suami terburuk di dunia!
Di dalam mimpi saja, ia tidak dapat meraih tangan istrinya...
Mimpi yang menambah jumlah kegagalannya. Reinald gagal meraih tangan istrinya, baik di dalam mimpi maupun dunia nyata.
Sebelum air mata mengalir keluar dari matanya, Reinald segera menghilangkan bayang itu dari benaknya dengan mencoba untuk memikirkan hal lain.
Tiba-tiba ia teringat pada percakapan singkatnya dengan Jonathan tadi malam. Jonathan ingin mengenalkannya pada seorang wanita. Meskipun Jonathan hanya memintanya untuk bertemu serta berkenalan dengan teman Rachael, kekasih dari sahabat baiknya itu... Reinald tahu maksud Jonathan yang sesungguhnya. Jonathan ingin menjodohkannya.
Apakah ia sudah siap untuk membina hubungan baru?
Apakah ada jaminan bahwa hubungannya kali ini akan berhasil?
Dan... ia bukan lagi lajang yang bisa sesuka hati menjalin suatu hubungan, ia sudah memiliki anak. Christopher memiliki andil penting dalam keputusannya kali ini.
Apakah Christopher benar-benar membutuhkan ibu baru seperti perkataan Jonathan?
Mengingat hidupnya yang terlalu sepi, dan Christopher yang selalu ia titipkan pada Thomas dan Santi... mungkin benar apa yang dikatakan oleh Jonathan.
Christopher butuh seorang ibu.
Reinald menghela napas kasar, kemudian menutup mata seakan-akan dua hal itu bisa menghilangkan beban dalam hatinya.
Setelah merasa lebih ringan dan lebih tenang, Reinald membuka matanya.
Pandangannya terarah ke atas nakas, menatap jam. Reinald menggeser tubuhnya kemudian menggantungkan kaki di tepi ranjang. Dengan malas, Reinald mencari sandal rumah lalu memakainya. Ia turun dari ranjang kemudian menyalakan lampu kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah membersihkan diri dan berpakaian, Reinald kembali naik ke atas kasur. Ia membangunkan Christopher dengan ciuman di sekujur wajah hingga putranya terbangun sambil tertawa geli.
"Papa! Sudah... sudah... Chris sudah bangun, hihihi," ujat Christopher yang sudah duduk di atas kasur. Rambutnya mencuat ke sana kemari. Ia tersenyum lebar pada Christopher masih sambil sesekali terkikik geli. "Hari ini Chris mau makan nasi goreng buatan papa, ya! ya! ya!"
"Tidak, Chris," tolak Reinald. Itu semua hanyalah godaan, ia suka sekali melihat wajah cemberut Christopher.
"Papa!!!" protes Christopher. Ia menggembungkan kedua pipinya, kemudian melipat dua tangan pada pinggang.
"Papa gak mau masak untuk Chris yang belum mandi sampai sekarang..." ujar Reinald kemudian menggelitiki perut buncit Christopher sampai dia tertawa meminta ampun.
"Ampun... ampun... ampun, Papa! Sudah~" Christopher mencoba menjauhkan tangan besar Reinald dari perutnya.
Reinald menghentikan gelitikannya, namun bukan berarti ia berhenti mengerjai Christopher. Reinald mengangkat atasan piyama Iron Man milik Christopher, lalu mendekatkan mulutnya pada perut Christopher.
"Burbbb! Burbbb!" Reinald meniupkan angin pada perut Christopher melalui mulutnya.
"Papa! Berhenti! Geli! Hahaha! Geli!" pekik Christopher. Ia semakin menguatkan tenaga untuk mendorong kepala Reinald agar menjauh dari perutnya, "air liur papa kena perut Chris! Aaaa!"
"Oke... oke... anak papa harus mandi!"
***
Sambil menunggu, silahkan baca Help Me, Chris!
(kisah Christopher dan Cia--kelanjutan Sweetest Karma dan My Lovely Devils)
Follow akun IG :
sendlyanyourmails && christopherkurnia
Group Line : sendlyanyourmails [silahkan chat aku, dan aku akan invite]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro