Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

07.


Keesokan harinya pada akhirnya gue berakhir duduk di dalam mobil bersama Pak Arya untuk mencari cincin pernikahan.

Jangan tanya kenapa gue mau, karena paksaan nyokap gue dan juga WA yang berisi ancaman dari Pak Arya.

Bagaimanapun juga gue masih sayang nilai gue.

Gue gak memilih tempat duduk di samping Pak Arya, tapi di belakang.

"Kamu ngejadiin saya supir?" Tanya Pak Arya kayak gak abis pikir sama kelakuan gue.

"Yang penting saya ikut kan om? Om gak bilang saya harus duduk dimana," jawab gue cuek.

"Berapakali saya harus mengulang ke kamu kalau jangan panggil saya om kalau di luar!"

"Ini di dalem mobil om, om gak spesifik menyebutkan kata di luar yang om maksud itu dimana, jadi menurut saya sah sah aja saya manggil om sekarang."

Gue bales deh tuh! Rasain lo! Emang lo doang yang bisa!

"Gak ada pembenaran kalimat untuk saat ini om, udah sana jalan!"

Liburan masih dua bulan ke depan, dan gue akan mikirin cara untuk bisa bebas dari dosen gila ini.

Tanpa gue duga, Pak Arya langsung membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi, dan mengerem dengan mendadak saat lampu merah yang membuat jidat gue terpentok sama jok bagian depan. Gue yakin ini dia lagi bales dendam! Kaya anak kecil aja!

"Om membahayakan keselamatan orang lain kalau gini ceritanya!" Umpat gue kesel.

"Kamu suruh saya jalan doang, tanpa memberitahu kecepatan yang harus saya tempuh secara spesifik," timpal Pak Arya datar.

SETAN BANGET SIH INI DOSEN SATU!

Gue akhirnya sampai di toko perhiasan yang untungnya dengan kepala yang utuh, gue rasa Pak Arya berbakat untuk jadi pembalap liar, siapa tau dia bisa jadi cameo di sinetron yang lagi hits itu.

"Sana pilih," kata Pak Arya dengan kedua tangan yang ditaruh di dalam saku celananya.

Tch. Sok model!

"Mba, cincin pernikahan yang paling mahal yang mana ya?" Tanya gue tanpa basa-basi.

Gue gak peduli sama bentuk dan model, yang penting mahal, siapa tau Pak Arya gak ada duit buat belinya dan gak jadi nikahin gue.

Mba-mba nya pun mengeluarkan beberapa kotak sebagai pilihan.

"Ini tiga koleksi teratas di toko kami mbak," kata mba-mba itu.

Gue sebenernya suka sama tiga-tiganya karena terlihat simple dan elegan, gue jadi bingung mau pilih yang mana.

"Cepet pilih," kata Pak Arya gak sabaran.

Gue cuma berdecak kesal sebagai balasan.

"Yang nomor dua mba," jawab gue.

"Bungkus yang nomor tiga," kata Pak Arya sambil ngeluarin kartu miliknya.

KALO DIA YANG MILIH UJUNG-UJUNGNYA KENAPA HARUS NGAJAK GUE KESINI?!

*****

Gue yang kapok karena kejedot terus-terusan di kursi belakang akhirnya memilih duduk depan untuk perjalanan pulang.

Gue masih diem gak mengeluarkan sepatah kata pun karena ngerasa sangat amat kesal.

Percuma ngajak gue kalau ujung-ujungnya pilihan dia yang di beli!

Dia pun mengeluarkan undangan dari dalam goody bag yang ada di belakang, dan dia turun dari mobil tanpa ada basa basi sama sekali yang membuat gue mencibir dalam hati.

Dia yang gak ngeliat gue turun dari dalam mobil pun membuka kembali pintu mobil dan melihat kearah gue dengan tajam.

"Kalau gak mau turun kamu saya kunci di dalem," kata Pak Arya, setelahnya dia menutup lagi pintu mobilnya dan berjalan menjauh.

Gue masih diam dan belum beranjak sampai gue mendengar suara khas suara pintu mobil terkunci.

ANJIR DIA BENERAN NGUNCI GUE!

Gue yang ngerasa panik mencoba membuka kunci dari dalem, tapi gak bisa.

KALAU GUE MATI GIMANA????!!

"Dosen sialan!" Umpat gue sambil menggedor pintu mobil.

Gak lama kemudian gue mendengar suara khas jika kunci pintu mobil terbuka yang membuat gue buru-buru keluar dari dalem mobil.

"Bapak udah gila ya?! Kalau saya mati gimana?!" Teriak gue gak terima.

"Buktinya kamu gak mati kan?" Kata dia seakan gak punya salah.

GUE MAU NANGIS AJA KALO PUNYA SUAMI BEGINI MODELNYA!

*****

Gue masih mengurung diri di dalam kamar setelah keputusan sepihak oleh orangtua gue akan perjodohan gue sama Pak Arya. Dari tujuh miliar orang di dunia, kenapa harus Pak Arya?

Gue masih belum yakin, apalagi setelah melihat sikap Pak Arya saat membeli cincin tadi. Pulang dari membeli cincin gue protes ke bokap dan nyokap gue untuk tidak melanjutkan perjodohan ini dan mengurung diri di dalam kamar.

"Git? Mamah masuk ya,"

Gue bisa mendengar pintu kamar gue terbuka setelahnya, dan nyokap gue mendudukan dirinya di samping gue.

"Git..."

"Pokoknya Inggit gak mau di jodohin! Inggit udah punya pacar mah!" protes gue dengan sedikit histeris.

"Kamu tau gak impian papah apa?" Tanya nyokap gue dengan nada yang lembut yang membuat gue merasa aneh, selama ini jika gue menggunakan nada sedikit tinggi sedikit aja nyokap akan membalas dengan nada yang tidak kalah tinggi. Tapi kenapa kali ini enggak?

"Papah cuma pengen ngeliat anak satu-satunya menikah dengan dia sebagai walinya.," kata nyokap gue yang membuat air mata gue menggenang.

"Itu bukan alasan mah," kilah gue meskipun di lubuk hati gue yang paling dalam pun memnginginkan hal yang sama, untuk menikah dan disaksikan oleh kedua orangtua gue yang masih lengkap.

"Kondisi papah akhir-akhir ini lagi turun, tapi yang di pikirin sama dia cuma kamu, git. Tentang gimana kamu hidup di sana, gimana kalau sewaktu-waktu kamu butuh kami untuk segera nemuin kamu di sana sedangkan kondisi papah sama mamah lagi kebetulan gak bisa kesana. Satu-satunya jalan keluar yang papah pikir ya cuma dengan ngejodohin kamu ini."

"Papah... gak lagi sakit parah kan mah?" Tannya gue dengan ragu.

Nyokap hanya menggelengkan kepalanya dan juga mengulum senyum keibuannya.

"Papah emang lagi nurun kondisinya, tapi dia bilang umur gak ada yang tau jadi ya beginilah jadinya," ucap nyokap yang membuat gue merasa sesak.

"Setiap orangtua pasti ingin anaknya mendapatkan jodoh yang terbaik, baik itu dari agamanya, kepribadian, dan juga pekerjaannya. Semua demi kebahagiaan kamu juga kan?"

Pekerjaan? Kara bahkan belum kerja...

"Dengan melihat kamu nikah, itu akan jadi kebahagiaan tersendiri untuk papah dan juga mamah, apalagi dengan orang yang kami pilihkan."

"Coba kamu pikir lagi, kalau kamu nolak di saat semua persiapan udah hampir siap siapa yang paling sedih? Pasti papah dan juga mamah. Mamah harap kamu bisa pikirin lagi soal ini, git."

"Mamah sama papah gak pernah ngomong akan masalah ini sebelumnya..." kata gue dengan lirih.

"Kalau papah sama mamah ngomong emang kamu akan mau pulang ke rumah?"

Suara bokap gue yang turut bergabung ke dalam percakapan kami membuat hati gue semakin mencelos.

"Tapi aku udah punya pacar pah..." kata gue mencoba memberi pembelaan.

"Kalau kamu gak mau gak apa-apa, papah gak maksa. Papah cuma pengen ngeliat kamu bahagia dengan orang pilihan papah sebenernya. Kalau kamu mau pilih pacar kamu silahkan... cuma satu pesen papah, jangan lama-lama karena umur papah udah tua, git. Papah pengen ngewaliin kamu dengan tangan papah sendiri, anak papah kan cuma kamu," kata bokap dengan wajah yang terlihat sedih.

Di dalam dua puluh tahun kehidupan gue, bokap gue gak pernah protes tentang apa yang gue lakukan termasuk dengan siapa gue berpacaran. Beliau juga jarang mengajukan permintaan ke gue sebelumnya, baru kali ini bokap gue bersikap kaya gini.

"Mah, ayo... anaknya mungkin butuh waktu untuk mikir," ucap bokap yang membuat gue semakin berpikir.

Mau gak mau, siap gak siap, dua minggu lagi saya akan tetap kesini untuk nikahin kamu agar gak malu-maluin keluarga saya. Kalau kamu mau malu-maluin keluarga kamu, itu terserah kamu.

Ucapan Pak Arya kembali terngiang di benak gue. Sebagai anak satu-satunya, gue sama sekali gak mau mengecewakan kedua orangtua gue.

"Tunggu pah..."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro