Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tea 6. Gaya Panglima

-

Gadis mana yang tak rindu akan dikau

Gayamu yang perkasa mirip gaya panglima

-Kopral Jono (Cipt. Ismail Marzuki)-

-

-

Kaki Lea melangkah ringan menuju lobi kantor pagi ini. Bukan semata-mata karena lagu riang dari earphone yang terpasang satu di telinga Lea, apalagi sinar matahari yang menerobos malu-malu dari balik gedung. Namun, ini soal akhir pekannya kemarin.

Dalam otak Lea masih terbayang-bayang senyum manis Djuan dan tiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Dia jadi tersipu sendiri bila teringat akan hal itu. Rasanya seperti anak SMA yang baru merasakan cinta pertama. Malu tapi pengen.

Nyit! Blak!

Spontan Lea menoleh ke kiri. Aura merah muda di sekelilingnya berubah suram khas Jumat Kliwon. Apalagi jika bukan akibat sosok Wangsa di tempat parkir VIP.

Lea berdecih melihat pakaian rapi di tubuh Wangsa yang mengingatkan dirinya dengan gaya makhluk 90 an, rapi dan necis tetapi minus rambut klimis. Lebih-lebih dengan adanya Vespa milik Kuntjoro.

Buru-buru Lea berlari masuk ketika kepala Wangsa yang sudah terbebas dari helm menoleh ke arahnya. Kalimat lelaki itu seminggu yang lalu agaknya masih membekas di dada Lea.

Akan tetapi, kedua kaki Lea berhenti mendadak saat ada Djuan di dalam coffee shop. Mata lelaki itu terlihat serius saat menata gelas-gelas pada rak di sisi dinding. Segera, Lea melambaikan tangannya meminta perhatian.

"Hai!"

Dari jauh, Lea melihat Djuan menoleh dan menyapa Lea. Lelaki itu bahkan mengeluarkan ponsel dan meminta Lea mengecek pesan darinya.

Djuanda_Basque :

Hari ini bahagia banget kayanya sampai cuaca di luar kalah cerah sama kamu.

Lea tersenyum lebar, kemudian membalas pesan Djuan.

Lea :

Geli! Asli!

But thanks to you. Gara-gara kamu berat badan saya bisa-bisa naik 5 kilo.

Djuan tergelak di tempatnya. Tanpa menunggu lama, dia kembali mengetikkan balasan untuk Lea sambil mengamati sosok mungil perempuan itu dari balik pintu kafe.

Djuanda_Basque :

Serius. Ngapain juga saya bohong.

Tapi gak kapok kan kalau saya ajak makan lagi?

Lea :

Hm... kapok gak ya...

Tergantung kamu mau ajak saya ke mana nanti sih.

Lea menoleh ke kanan ketika denting lift lamat-lamat terdengar. Agaknya dia harus segera pergi sekarang.

Lea :

Udah jam 9 lewat. Saya duluan ya.

Bye.

Djuanda_Basque :

Ok. Malam ini mau pulang bareng lagi?

Lea :

Maybe next time.

Saya ada tugas ngeliput prescon di luar sampai malam.

C u.

Djuanda_Basque :

Too bad.

Anyway, C u. Happy working Le.

Djuan melambaikan tangannya dan tersenyum manis ke arah Lea. Dari balik pintu, Lea terkikik geli dan berlalu menuju lift.

Tawa Lea lenyap dalam sekejap melihat kerumunan manusia di depan pintu besi itu. Padahal, belum genap lima menit rombongan sebelumnya naik ke atas. Lift memang selalu penuh tiap jam pagi seperti sekarang.

Tak lama, pintu lift yang lain terbuka. Dengan cekatan Lea menyelinap masuk dan merangsek ke tengah.

Setelah meminta bantuan seseorang untuk menekan angka tujuh, Lea kembali sibuk dengan alunan musik di telinganya. Sampai aroma teh bercampur bergamot diam-diam mengusik hidung Lea.

Wangi parfum ini seperti membuka kotak memori di kepala Lea. Mengingatkan dia akan seseorang. Lea pun mendongak.

Kedua mata Lea membundar. Sementara tubuhnya yang memang sudah terjebak di tengah, makin tegang melihat wajah Wangsa terpampang nyata. Terlebih posisinya jelas-jelas berimpitan dengan dia. Lea otomatis menyilangkan kedua tangannya ke dada.

Was-was, Lea mulai menggerakkan bahunya ke kanan dan kiri. Berusaha menciptakan ruang yang sialnya malah dihadiahi pelototan dari Ibu-ibu sosialita di belakang.

Alih-alih menjauh dari dada bidang Wangsa, tubuh Lea malah makin menempel ketika di lantai selanjutnya tiga orang wanita ikut masuk ke dalam lift. Lea bahkan kini dapat mendengar deru nafas milik Wangsa dengan jelas.

Kontan saja, Lea merutuk kesal. Lelaki itu pasti mengira dia sengaja menempel kepadanya seperti ini. Demi ribuan helai rambut milik Ellisabeth, Lea justru benci posisi ini setengah mati.

Ting!

Akhirnya pintu lift pun terbuka di lantai tujuh. Terburu-buru Lea menerobos keluar, begitu pula Wangsa.

Di luar, keduanya membisu. Sampai kemudian mereka melangkah canggung menuju pintu kaca Fermata dengan mulut tetap terkunci rapat. Lea bahkan dengan sengaja berjalan cepat untuk kabur dari Wangsa.

"Le!"

Kaki Lea berhenti di tempat. Dia mendengkus dan berbalik malas, ini pasti soal the profesional bullshit itu lagi.

"Kasih tahu tim production, kita meeting jam sepuluh," perintah Wangsa tanpa segan dan meluncur begitu saja.

Otak Lea jadi kosong melompong. Dia sampai-sampai hanya mengangguk pelan saat Wangsa melangkah tak acuh usai mengucapkan kalimat tadi.

Lea berdecak. Pikirannya jadi lucu dan sulit berpikir positif dengan adanya si botak tiga senti itu di sini. Aura negatifnya memang tidak main-main.

"Kampret!" ringis Lea malu sendiri.

***

"Jadi, ini report yang dikasih Mas Ares ke gue," terang Wangsa menunjukkan gambar grafik yang bagi Lea lebih mirip trek roller coaster serupa dengan kondisinya sekarang. "Dan Jumat kemarin Mas Ares minta saya untuk rombak program Maguru atau Malam Minggu Seru. Kenapa?"

"Pertama. Kurang dinamis," ketus Wangsa ke arah Lea dan Bonita.

"Kedua, playlist-nya garing," kata Wangsa ganti melayangkan tatapan mengintimidasi kepada Tyan, si Music Director. "Terakhir, materinya kedaluwarsa."

Bonita melirik Lea. Sementara divisi produksi Fermata yang terdiri dari music director, tiga orang penyiar tetap, dua orang operator siaran, dan Lea sebagai creative assistant saling tatap, sarat dengan kode-kode siap julit.

"Let's say, kalian beralasan ini acara malam. Mana ada juga orang yang denger radio malam-malam, ya kan?" lanjut Wangsa memandangi satu per satu wajah orang-orang di ruangan. "Tapi apa harus dengan bikin program malam Minggu seboring ini?! Ini Jakarta guys! Dan kalian pasti tahu dinamisnya tren di sini kayak gimana."

"Pantas radio kita masih kalah tenar sama tetangga sebelah. Dan kalian tahu, dari semua program siaran cuma ini yang jarang ada iklan masuk menurut divisi marketing."

"Tapi, Mas--" Yanuar mengangkat tangannya untuk mengeluarkan pendapat.

"Saya kasih waktu kalian seminggu buat mikirin ide yang lebih fresh untuk ngerombak Maguru," potong Wangsa. "Buat Bona, mulai minggu ini lo bantu anak marketing buat bikin materi series. Karena kemarin mereka usul ke Mas Ares soal pembuatan sketsa series buat branding di digital."

"Siap, Mas."

"Oke, sekian dari gue. Terima kasih."

Wangsa mengemasi laptop dan berkas di atas meja. Kemudian pergi begitu saja meninggalkan wajah-wajah penuh tanya di ruang meeting. Dia bahkan mengabaikan beberapa pertanyaan dari tim menguap begitu saja.

"Anjay! Serius dia anaknya Pak Kun?" celetuk Oddy mantan model majalah Ibukota yang sekarang menjadi salah satu penyiar tetap bersama Vey. "Jangan-jangan ketuker lagi waktu di rumah sakit."

"Kebanyakan nonton sinetron lo!" Bonita melemparkan pulpen ke arah Oddy.

"Ini mah kayak punya dua modelan Mas Ares, gila!" timpal Yanuar.

"Masih better dia ke mana-mana lagi dari pada Mas Ares," bela Vey bersiap keluar ruang meeting. "Lagi pula ada benernya kok. Maguru kan program lama dan udah hampir lima tahun. Enggak ada salahnya lagi dirombak. Ya enggak, Le?"

Lea mengedik tidak peduli seraya bangkit dan keluar dari ruang meeting.

"Bon!"

Bonita yang berjalan di belakang Lea menghampiri Wangsa. "Ada apa, Mas?"

"Gue udah kirim ke email lo sama Lea soal daftar reportase, narasumber, dan kerjaan buat minggu ini," jelas Wangsa dari arah mejanya. "Jangan lupa kasih tahu Lea."

"Oke." Bonita mengernyit. Kepalanya bergerak ke arah Wangsa dan Lea bergantian.

"Le, lo udah denger sendiri, kan?" kata Bonita di samping meja Lea.

"Udah," jawab Lea melirik malas ke arah Wangsa. "Profesionalitas... profesionalitas upil kuda!"

***

Belum genap dua minggu Lea bekerja satu tim dengan Wangsa, faktanya cukup membuat dia penat dan lelah hati. Bila Shirly sang perfectionist saja sudah membuat dia kehilangan banyak rambut akibat stres, maka hancur sudah kehidupan karir Lea dengan campuran Ares pada sosok Wangsa.

Tidak hanya Lea yang lelah dengan cara kerja Wangsa, tetapi nyatanya hampir semua tim produksi merasakan tekanan batin. Terkecuali Bonita yang dari gelagatnya malah semakin ceria.

Lea termangu. Matanya bergerilya mengeja tiap kalimat dari ide program yang diminta oleh Wangsa. Masih kacau. Padahal deadline tinggal beberapa hari lagi. Sementara timnya yang lain sudah angkat tangan dan memilih pasrah di meeting Senin depan.

Tarikan nafas panjang lolos dari tubuh Lea, saat kepalanya kembali teringat sosok Wangsa. Dia kira durasi lima tahun bisa membuat orang benar-benar berubah.

"Lho, udah di sini?"

Lea terkesiap mendengar suara Djuan dari samping. "Sorry. Saya lupa buat ngabarin kamu tadi."

Djuan melirik laptop Lea. "Pasti kerjaan lagi?"

Lea mengangguk lesu.

"Mau pesan minum dulu?"

"Boleh. Macchiato satu ya. Kali ini pakai voucher dari kantor. Maklum tanggal tua."

Djuan terkekeh. "Saya jadi iri sama atasan kamu yang sering kasih voucher gratis buat karyawan."

"Tapi enggak sama anaknya," rutuk Lea menggumam.

"Kenapa?"

"Enggak."

Djuan kembali ke balik meja untuk membuatkan pesanan Lea. Kurang dari lima belas menit, dia menyerahkan segelas Macchiato di atas meja. Aroma kuat kopi dan manisnya karamel langsung menyapa Lea.

"Thanks," ucap Lea segera menyeruput kopinya. "Djuan! Kamu lagi sibuk?"

Djuan yang akan pergi, menggeleng. "Enggak terlalu. Kenapa?"

"Bisa-- temenin saya sebentar?"

Djuan merenung. "Lama juga enggak apa-apa, Le."

Lea tersenyum mencibir, apalagi Djuan malah cengengesan dan duduk di depan Lea.

"So, what can i help you?"

"Saya mau tanya, kamu sering dengerin radio?"

"Jujur nih?"

"Menurut kamu?"

Djuan menggeleng pelan. Kontan saja, wajah Lea berubah sebal.

"Hey, kamu yang bilang saya kudu jujur kan?"

Bibir Lea maju beberapa senti. "Iya sih."

"Kenapa tiba-tiba tanya soal ini?"

"Saya butuh ide buat program malam Minggu di Fermata, tapi sampai sekarang saya stuck dan belum tahu ide garis besarnya. Kamu mau kan saya tanya-tanya sedikit?"

"Serius kamu mau tanya saya?"

"Terus saya kudu tanya siapa? Orang lewat depan lobi?"

Senyum terpatri di bibir Djuan. "Sorry. Jadi, apa yang bisa saya bantu?"

"Dasar dulu deh, apa yang ada di kepala kamu kalau denger radio?"

Djuan menyatukan kedua tangannya ke atas meja. Sedangkan ekspresinya berubah serius.

"Teman."

"Kok teman?"

Kepala Djuan bergerak ke atas dan ke bawah. "Karena separti namanya, ngedengerin radio, which is kita enggak lihat orangnya secara langsung dan kita cuma denger suara dia. Nah, suara penyiar ini yang menurut saya bisa munculin imajinasi dan gambaran tersendiri kepada pendengar."

"Semacam kita lagi dengerin temen kita ngomong atau dengerin temen kita curhat," jelas Djuan sambil memandangi Lea. "Dan buat yang lagi kesepian atau suntuk, mungkin suara penyiar bisa jadi temen mereka."

Lea mengangguk setuju sambil memainkan gelas Macchiato nya yang tinggal setengah. Bola mata Djuan terangkat, teringat sesuatu.

"Dan satu lagi, romantis dan intim."

"Maksudnya?"

"Sama kayak kedai kopi kemarin. Meskipun sama-sama tua, keintiman dan interaksi antara penyiar juga pendengar bagi saya kerasa romantis. Meskipun cuma satu arah," imbuhnya menunjuk gelas kopi Lea. "Oh iya, saya juga masih inget gimana serunya kirim salam lewat radio. Apalagi enggak semua pesan dibacain sama penyiar, kan? Berasa jadi orang beruntung tiba-tiba."

"Rasa yang kayak gitu yang bikin saya kangen sama radio."

"Terus kenapa kamu enggak pernah denger radio lagi?"

"Waktu Le, mana bisa tiap waktu saya denger radio," jawab Djuan. "Makanya podcast kamu sebenernya oke loh buat orang-orang macam saya."

"Peres," cibir Lea menahan malu.

"Mana mungkin saya bohong. Saya udah denger semua kok. Kenapa enggak ajuin podcast kamu aja?"

Lea melipat bibirnya menahan gejolak keinginan untuk tersenyum lebar. "Seperti yang saya bilang, program itu udah saya ajuin ke shirly berkali-kali tapi ditolak. Shirly aja nolak apalagi dia. Lagian temanya kan masih random. Semua tema saya masukin. Jadi, kayaknya mustahil."

"Dia?"

"Program Kordinator yang baru, atasan saya. Pengganti Mbak Shirly."

"Saya tebak, orangnya pasti nyebelin?"

"Banget! Gabungan perfectionist nya Mbak Shirly sama ketusnya Mas Ares. Apalagi dia---"

"Apalagi?"

Lea meringis dan menggeleng cepat. "Tapi ngomongin soal kirim salam, di Fermata ada semacam urban legend loh," sahutnya mengalihkan pembicaraan.

"Urban legend?"

Lea mengangguk. "Jadi, ada pendengar tetap Fermata yang selalu kirim salam tiap morning show, hampir setiap hari dengan pesan yang hampir mirip dan buat orang yang sama. Namanya Po, buat Meru."

"Aneh amat."

"Makin aneh kalau kamu tahu kelakuannya. Kata Disa yang udah kerja lima tahun di Fermata, si Po ini udah ngelakuin itu dari empat tahun yang lalu," terang Lea terlihat amat serius. "Pernah sekali pesannya enggak dibacain, dan si Po malah ngomel-ngomel. Pakai segala ngancem mau bikin heboh di media sosial lagi."

"Dan sampai sekarang kita enggak tahu siapa Po. Feeling kita sih dia mungkin ABG yang mau sok romantis dengan kasih pesan lewat radio ke cowoknya."

Kepala Djuan terangguk-angguk sambil tersenyum tipis. "Bisa jadi."

Lea yang memandangi area lobi yang ramai dengan kendaraan keluar-masuk dari jendela Basque tersenyum. "Tapi dipikir-pikir, kalau saya masih ABG pun itu so sweet banget sih. Dapet salam dari pacar dan didenger sama semua orang."

"Kenapa enggak bikin begitu aja?" cetus Djuan. "I mean, diganti jadi ucapan sebelum tidur mungkin."

"Tapi kalau sekadar salam-salam kayak gitu apa bedanya sama morning show?"

Baru saja Djuan akan menimpali, Openg, karyawan Basque yang lain, sudah memberi isyarat lelaki itu untuk mendekat.

"Saya udah dipanggil. Kelar kerja nanti saya samperin kamu lagi."

Lea mengangguk.

Sambil berlalu Djuan secara refleks mengusap kepala Lea lembut. "Selamat cari ide, Le."

Lea yang sempat kaget malah terkekeh malu-malu sambil melirik Djuan yang kembali bekerja. Rasa karamel dari Macchiato di gelasnya bahkan langsung hambar dibandingkan aura Djuan ketika meracik kopi di depan mesin espresso.

"Astaga!" Lea berjengit kaget tiba-tiba, saat kepalanya menghadap lurus ke depan.

Pasalnya, makhluk dunia lain yang sempat dia gosipkan bersama Djuan malah duduk anteng pada meja di seberang. Sesekali menyesap kopinya kemudian menyantap cheese cake dengan tenang.

Tidak hanya itu, kini kedua matanya menatap Lea tanpa berkedip. Mati kutu, Lea mengeluarkan setumpuk kertas dari dalam tas dan pura-pura mengeja tiap kata di sana. Sebuah usaha mengalihkan eksistensi Wangsa.

Beruntung, lima menit kemudian Wangsa yang sudah menghabiskan kopinya berlalu pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun kepada Lea.

"Si botak enggak denger yang aneh-aneh, kan?"

***

TBC

Acuy's Note :

Nah... nah... nah... udah sedikit ada gambaran ceritanya mau ke mana?

Sedikit clue, problem nya lebih dari itu. Hehehehe dan next part bakal ada drama konyol. Tentang apa? Tungguin aja hari Minggu ya.

Jadi, kalian pilih...

Djuan

Atau

Wangsa

Jangan lupa vote, comment & share! Thank you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro