2. Perempuan Hitam Putih
-
-
"Mas ganteng... Mas ganteng mau ke bawah ya?"
Pange yang baru saja mengeluarkan sebelah kakinya keluar dari pintu transparan NCVision, berbalik. Suara centil tadi tanpa disangka langsung membuat bulu kuduknya berdiri.
Dengan terpaksa dia tersenyum masam, mengangkat tangan kanan untuk menyapa seorang perempuan bertubuh mungil dengan pakaian serba mini satu meter di hadapannya.
"Iya, mau nyebat di bawah. Kenapa?" jawab Pange sambil menganggukan kepalanya.
Sebagai laki-laki, Pange akui wajah dan lekuk tubuh Tata memang di atas standar. Namun, gaya centil bak cacing kepanasan dari HRD perusahaannya itu, membuat banyak lelaki mundur teratur. Tentu saja termasuk dia.
"Boleh Tata titip ini enggak?"
"Itu apaan?" tunjuk Pange curiga ke arah kardus di pelukan Tata.
"Buku," jawab Tata mengulurkan kardus tadi ke depan dengan mata berkedip sok imut. "Akang Bule udah janji mau ikutan program donor buku dari perpustakaan yang di bawah. Boleh bantuin Tata kasih ke perpus bawah?"
Pange mengangguk seadanya. Lantas dengan amat hati-hati mengambil kardus di tangan Tata berusaha sebisa mungkin tidak menyentuh jari-jari centil perempuan itu. Meskipun Pange tahu, Tata pun sedang berusaha mencari kesempatan untuk dapat bersentuhan dengannya.
"Oke. Gue bawa ke bawah." Pange yang berhasil memindahkan kardus tadi ke tangannya dengan selamat, buru-buru berjalan keluar tanpa sedikitpun menoleh kembali ke arah Tata. Walau dia tahu, perempuan centil itu pasti sedang kecewa melihat dia pergi begitu saja.
***
Matahari mulai turun ketika tubuh Pange keluar dari gedung. Dia lantas melangkah menuju bangunan perpustakaan berada tepat di sebelah kanan.
Bangunan berlantai tiga itu terlihat suram. Mungkin karena gedung tua dan beberapa karyawan sudah mulai meninggalkan area perpustakaan. Lantaran seingat Pange, jam buka gedung ini hanya sampai pukul lima sore.
Sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, Pange membaca catatan milik si Bule Nyasar di atas kardus. Pandangannya berputar mencari pintu masuk di lantai satu. Dia mengangguk pelan ketika sebuah pintu kaca dengan poster-poster kegiatan perpustakaan tampak dua meter di depan.
Kepalanya menggeleng tak habis pikir, ketika mengamati poster-poster di sana yang mengingatkan dia akan dokumen keluar dan dokumen masuk perusahaan. Terlalu banyak tulisan dan kurang aestetik. Pantas saja perpustakaan selalu sepi.
Suara decitan muncul saat Pange membuka pintu kaca bertanda OPEN di depan hidungnya. Kepala lelaki itu bergerak mencari seseorang yang mungkin bisa membantunya di sini.
"Permisi."
Pange berjalan perlahan menapaki ruangan dengan rak tinggi berjejer pada bagian tengah hingga ke belakang. Mungkin sekitar tiga puluh atau bahkan lima puluh rak yang berderet di sana. Dia tidak dapat menebak, lantaran beberapa lampu di area tengah padam. Sehingga terkesan remang-remang.
Sementara di area depan, sebuah meja panjang dengan dokumen serta komputer dekstop tertata apik, tetapi justru kosong sepertinya ditinggal sang pemilik.
Jujur. Ini memang kali pertama Pange mengunjungi perpustakaan kota. Selain karena dia memang bukan tipe lelaki pecinta buku, jam kerjanya membuat dia tidak bisa mengunjungi tempat ini. Walaupun hanya berjarak selemparan kolor.
"Permisi."
Pange yang sudah meletakkan kardus sedang tadi di atas meja, makin kebingungan. Sedangkan kepalanya terus bergerak mencari seseorang.
"Ada apa ya?"
Suara seorang perempuan muncul, kedua alis Pange menyatu. Pasalnya dia tidak melihat ada orang lain selain dia di sini. Perlahan lelaki itu menelan ludah ketika bulu-bulu halus di tubuhnya mulai meremang.
Pange akui, dia memang paling anti dengan benda-benda berbau mistis. Simpelnya, dia memang takut hantu. Walaupun tidak pernah sekalipun dia mengaku di depan orang banyak.
Baru beberapa langkah dia memundurkan tubuhnya, sebuah tepukan pelan terasa di bagian bahu. Pange bergeming. Takut-takut dia mulai menggerakkan kepalanya ke belakang.
BRUK!
Bukannya takut, Pange justru terpaku di tempat. Pasalnya, sosok di depannya yang malah terlihat lebih kaget melihat Pange. Bisa jadi karena wajahnya yang memang terlampau tampan atau mungkin, justru kebalikannya.
"Maaf." Perempuan berkemeja putih dengan renda di bagian depan serta rok midi bercorak kotak-kotak, buru-buru memunguti buku yang jatuh di kakinya.
Kedua mata Pange mengerjap cepat. Pasalnya, pakaian perempuan berambut ikal hampir keriting dengan panjang sebahu ini, entah kenapa mengingatkan dia dengan gaya busana dari film hitam putih milik sang nenek.
Sangat antik.
"Saya cuma mau antar buku dari Brian Maxey, NCVision. Gedung sebelah," terang Pange menepuk-nepuk kardus berukuran sedang di atas meja.
"Untuk acara donor buku?" tanya perempuan itu lagi, sambil menyiapkan sesuatu di mejanya. "Mas...?"
"Pangeran. Panggil aja Pange."
Perempuan itu tiba-tiba tersenyum, lantas menyerahkan secarik kertas di depan Pange.
Sambil menarik kertas formulir di atas meja, Pange memandangi si-Perempuan-hitam-putih itu seakan curiga dengan senyumnya barusan.
"Isi datanya dulu di situ," kata perempuan itu tanpa basa-basi. "Ini bukunya? Saya bawa ke dalam ya."
Pange mengangguk. Lantas tak lama, dia mulai mengisi semua data di formulir itu dengan lengkap.
Sepintas dia melihat jam di ponselnya, baru pukul setengah lima. Masih ada setengah jam lagi sebelum perpustakaan tutup.
Berhubung belum ada game baru yang harus dia tes dan melihat perpustakaan yang sepi lagi sejuk sore ini, beristirahat sejenak sepertinya pilihan yang tepat. Pange melangkah semakin dalam seraya memperhatikan rak-rak tinggi di depannya.
Sebuah troli penuh buku teronggok di depan koridor bersebelahan dengan ruangan yang bertuliskan discussion room. Sementara beberapa tanaman hidup berukuran sedang, berdiri kokoh di pojok-pojok ruangan. Pange pikir, tempat itu lumayan cocok untuk tempat istirahatnya sore ini.
"Mbak, kalau mau baca enggak harus jadi member kan?" tanya Pange ketika perempuan tadi sudah kembali ke balik meja.
Perempuan-hitam-putih tadi mengangguk sambil memeriksa formulir yang sudah Pange isi.
"Kalau itu ruangan apa? Boleh saya baca di dalam?"
"Itu ruang diskusi, harusnya sih enggak bisa," jawabnya masih tanpa nada. "Tapi kalau mau pakai, pakai aja. Enggak ada yang mau gunain juga kok."
Pange mengangguk. Setelah mengantongi ijin, segera dia masuk ke celah di antara rak, dan memilih tiga buah buku tebal secara acak. Setidaknya cukup untuk mengelabui penjaga perpustakaan tadi.
Sebelum dia masuk ke dalam ruang diskusi, ekor matanya sempat melihat Perempuan-hitam-putih itu melirik ke arah buku di tangan Pange. Mungkin dia takjub melihat buku bacaan lelaki itu, bisa jadi. Pikir Pange pongah.
Begitu dia tiba di dalam ruang diskusi, Pange justru menjatuhkan tubuhnya ke sofa sambil mengarahkan tatapannya ke langit-langit ruangan, membiarkan buku-buku tadi tergeletak berantakan.
Pange mulai menarik napas lega, kala angin dingin dari AC menyentuh kulitnya. Benar-benar tempat sempurna untuk beristirahat. Sepi, sejuk, dan empuk.
Akan tetapi, saking sepinya pikiran Pange justru melanglang buana tak tentu arah. Atau lebih tepatnya kembali kepada Mika.
Pange menarik napas panjang. Sebenarnya, lelaki itu tahu arah pembicaraan Mika siang tadi. Namun, keadaan dia yang seperti ini lah, yang membuat Pange merasa belum percaya diri untuk bersama Mika. Menghidupi diri sendiri saja pas-pasan apalagi anak orang.
Setelah memikirkan Mika, otak Pange langsung kembali ke pekerjaannya sebagai Tester. Dia akui, semua hal soal pekerjaan Tester yang terlihat keren itu hanya omong kosong yang biasanya lelaki itu munculkan sebagai hiburan terhadap diri sendiri.
Sebab bila sedikit mundur ke belakang, Pange jadi menyesal sudah termakan janji manis si Bule Nyasar saat interview beberapa tahun silam. Kemampuannya yang lebih dari sekadar mengetes game, mencari glitch dan bug dari sebuah game, lagi-lagi harus kalah dengan mereka yang lebih beruntung.
Jadi, meskipun Pange sebenarnya melamar untuk menjadi game designer saat pertama kali bertemu Brian, dengan terpaksa dia harus menandatangani kontrak untuk menjadi Game Tester. Tentu dengan iming-iming, dia bisa berpindah divisi suatu hari nanti.
Entah kapan.
Kelopak Pange yang semula terbuka lebar, mulai berat. Sejuknya ruangan ditambah mata yang sudah lelah akibat enam jam menatap layar komputer yang jadi penyebabnya. Tanpa sadar, dia menarik salah satu buku tebal dan menjadikannya sebagai pengganti bantal.
Hingga tak lama kemudian kedua mata Pange tertutup rapat, dengan suara dengkuran teratur muncul samar-samar.
***
Tok! Tok! Tok!
Pange mendengkus. Ini pasti si Nyonya besar alias Ibunya yang membangunkan dia. Namun, keningnya mengernyit. Pange lupa bila dia masih berada di Jakarta belum pulang ke kampung halamannya di Bandung. Suara ketukan meja kayu kembali terdengar, kali ini lebih dekat dan keras.
Dengan terpaksa Pange membuka kelopak matanya pelan-pelan. Pupil memerah lelaki itu melebar saat sosok serupa Mak Lampir sudah berkacak pinggang dan menatap dirinya jengkel.
"Ini ruang diskusi, bukan kamar hotel!"
Mata Pange mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk tiba-tiba ke retinanya. Akan tetapi, perempuan tadi malah makin memelotot sambil menunjuk pipi kanan Pange panik.
Masih belum paham juga, Pange mengikuti arah telunjuk si-Perempuan-hitam-putih dan mengusap pipi kanannya. Wajah lelaki itu langsung pasi, mendapati sesuatu menempel di sana. Lebih-lebih kala matanya melihat robekan melintang pada halaman depan buku yang dia jadikan bantal.
Perempuan tadi makin geram, dan langsung menyita semua buku di sana, merebut sobekan buku di tangan Pange, dan meninggalkan lelaki itu terbengong-bengong seorang diri.
Setelah satu menit termangu mengumpulkan kesadaran, Pange buru-buru merapikan barang-barangnya dan berjalan cepat mengejar perempuan dengan dandanan bak film hitam putih tadi.
"Sorry, gue... enggak sengaja buat-" ucap Pange tergagap. Apalagi kedua mata kecil perempuan itu menyipit membentuk garis lurus, yang otomatis membuat nyali Pange langsung ciut.
Masih tanpa kata, perempuan itu meletakkan dua buku yang utuh ke atas troli dan membawa buku yang sobek ke dalam ruangan di belakang meja penjaga perpustakaan.
Beberapa menit berlalu, Pange yang merasa bersalah masih bergeming di depan meja, menunggu perempuan itu untuk kembali.
"Gue ganti deh buku yang tadi, gimana?" tawar Pange lagi begitu si Perempuan-hitam-putih sudah kembali dengan membawa tas di bahunya.
"Yakin mau ganti?! Tapi emang peraturannya begitu sih," ketus perempuan itu membereskan buku-buku dan berkas di meja ke dalam laci dan mematikan komputer.
Pange mengangguk tanpa berpikir dua kali.
"Tujuh ratus delapan puluh ribu. Itu pun kalau bukunya masih ada, setahu saya itu buku langka, bahkan enggak tahu stoknya masih ada atau enggak untuk sekarang."
Bibir Pange bergerak-gerak menahan ringisan. "Mahal amat!"
"Baru tahu kalau harga buku mahal?!"
Perempuan tadi dengan cuek berjalan ke arah tembok dan mematikan setiap lampu di sana. Setelah semuanya beres, dia kembali menghadap Pange.
"Gimana? Jadi mau ganti?" tanya perempuan itu to-the-point dengan matanya bergerak ke bawah membaca lanyard milik Pange. Perempuan itu tersenyum sinis.
"Pantes enggak bisa ngehargain buku."
Pange melirik perempuan tadi dan lanyard-nya bergantian. "Maksudnya apaan nih?" tanya lelaki itu lagi sambil meletakkan tangan kanan ke pinggang.
"Kamu masih mau di sini? Perpustakaan udah mau tutup, kalau mau nemenin penjaga di sini silahkan aja," ujar si Perempuan-hitam-putih berjalan mendahului Pange.
Pange mendengkus keki, lantas keluar dari sana menyusul perempuan tadi.
"Mbak, sebentar! Maksud yang tadi apa ya?" tanya Pange lagi menunggu perempuan itu menutup pintu perpustakaan.
"Saya enggak setua itu. Panggil saya Magda," koreksi perempuan itu masih cuek sambil mengunci pintu perpustakaan. "Magdalena."
Pange meringis. Bahkan namanya pun seklasik penampilan perempuan ini. Ajaib.
"Halo, Mas. Perpustakaan udah saya tutup. Besok ada Gea yang bakal dateng pagi," ujar Magda pada ponsel di tangannya. "Malam."
Selesai dengan urusan telepon, Magda diam. Kedua tangannya dia lipat ke dada, tatkala lelaki yang seenak jidat merusak koleksi perpustakaan tadi masih menatapnya tidak terima.
"Apa lagi?"
"Maksud lo apaan ngomong gitu waktu lihat lanyard gue?"
"NCVision kan? Perusahaan game yang diatas?" tanya Magda datar seraya menunjuk bangunan tinggi berwarna biru di belakang tubuh Pange.
Pange mengangguk. "Kenapa? Ada masalah?"
Magda menggeleng dan melangkah lebih dulu di depan Pange. "Ciptain benda yang enggak tahu manfaatnya, cuma mikirin untung-rugi tanpa peduli sebab-akibatnya. Pantas aja enggak bisa ngehargain buku."
"Maksudnya apaan nih? Lo pikir semua yang ada di game negatif?" tanya Pange makin tidak terima.
Magda mengedik tak acuh. "Yang saya tahu game justru lebih banyak ruginya ketimbang manfaatnya, bikin kecanduan, dan halusinasi."
Pange terkekeh mendengar penjelasan Magda. "Mbak lahir dari jaman batu? Enggak tahu kalau game bagian dari inovasi?"
Magda berdecak. "Inovasi tanpa substansi sama aja basa-basi."
Pange kalah telak. Lelaki itu diam seribu bahasa. Sementara perempuan tadi sudah tersenyum sinis berdiri di hadapannya.
"Kenapa? Enggak bisa jawab apa substansinya?" Magda terkekeh pelan. "Yang ciptain aja bingung apalagi yang mainin."
"Gimana dengan perpustakaan?" tanya Pange mulai panas. "Percuma kalau disebut gudangnya ilmu kalau yang baca pun enggak ada. Enggak ada bedanya dengan museum bersejarah, kan?"
Giliran Magda yang bungkam. Ucapan Pange memang ada benarnya. Sudah hampir tiga bulan perpustakaan ini semakin sepi pengunjung. Padahal banyak program yang sudah dibuat karyawan untuk meningkatkan minat baca di perpustakaan. Namun, selalu gagal.
"See? Menurut gue ilmu tanpa inovasi enggak lebih baik dari inovasi tanpa substansi," ucap Pange telak. "Dan masalah buku, sekali lagi gue minta maaf. Nanti bakal gue ganti."
Keduanya terdiam sesaat di posisi masing-masing.
Sampai alis Pange tiba-tiba menyatu ketika matanya menyadari sesuatu.
"Shit!" Kepala lelaki itu bergerak panik ke segala arah mendapati lampu jalanan dan antrian kendaraan berkelap-kelip di kejauhan. Sementara langit yang semula jingga kini sudah gelap sempurna.
"Sekarang jam berapa?!" tanya Pange panik.
"Setengah tujuh."
"Mati gue!" Tanpa permisi Pange berlari meninggalkan Magda seorang diri.
Magda mengedik. Bibir tipisnya melengkung sempurna, sambil memandangi punggung Pange yang makin menjauh.
"Jadi, namanya Pange."
***
TBC*
Acuy's Note :
Jangan lupa cek juga karya author #Jobseries yang lain ya!
- I'm Radiographer (Tentang radiografi) : inag2711
- Geronimo (Tentang Arkeolog) : IndahHanaco
- Impromptu (Tentang Web developer) : pramyths
Happy Sunday! Cuma mau ingetin kalau besok Senin. Hehehe ✌😆
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro