Yang Perlahan Menemukan Kehilangan
kita
kata terasing
yang mulai terbiasa
menerima
bahwa kita
bisa tertawa
"Too ... Ditoo ...."
"Apaan, sih, Ra? Hari ini lo jadi manja banget."
"Dima, To."
"Ya kenapa emangnya si Dima? Dima cowok buluk yang kemarin itu, kan?"
"Jewerin dia, To. Dia nakal."
"Hah, maksud lo?" Kali ini Dito bertanya terkejut. "Emangnya apa yang udah si Dima lakuin ke lo?"
Zara mengembuskan napas panjang. Perjalanan waktu kalau perasaan sedang kacau seperti terasa beribu-ribu kali lebih panjang. Serangkaian peristiwa tak terduga itu selalu muncul begitu saja dengan ringannya dari kepala Zara. Hari ini Zara mengajak Dito untuk sarapan di kantin kampus.
"Ini nggak kayak yang lo duga, To."
"Dih, dasar wanita. Kalau cerita emang suka nggak jelas."
"Atuhlah ... To ...."
"Apaan sih, Ra? Tahulah. Mending ke kelas aja gue."
Sayangnya tidak kepada orang selain Dito, Zara bisa bersifat manja seperti ini. Bahkan untuk ayahnya sekalipun. Hanya saja, sudah terlanjur malas, pada akhirnya Dito pergi meninggalkan Zara. Menurutnya, wanita lebih misterius daripada lautan sekalipun.
Zara melipat sebelah tangannya lalu menenggelamkan kepala di atasnya. Memangnya, kebebasan apa yang sedang aku cari ini? Kenapa Dima? Kenapa harus aku?
***
"Rupanya masih ada satu bidadari yang lupa jalan pulang."
"Dima?"
"Aku Dima."
Zara sedikit terkejut dengan kehadiran Dima. Ia kira, setelah peristiwa tadi pagi, laki-laki itu setidaknya akan menghilang selama beberapa hari. Akan tetapi, kedatangannya kali ini terasa seperti Dima yang ia kenal. Bukan Dima yang tadi pagi.
"Kenapa belum pulang? Ini sudah hampir malam."
"Aku sedang tidak mau pulang."
"Kenapa?"
"Karena aku tidak mau dipenjara lagi, Dima."
"Penjara itu untuk orang-orang yang jahat, Zara. Memangnya kamu sudah berbuat apa sampai harus pulang ke penjara?"
"Bukan itu maksud aku. Di sana pasti sedang ada orang jahat yang sedang menunggu kepulangan buat memenjarakan aku."
"Kalau begitu, mau pulang ke tempatku?"
"Hah, maksud kamu?" tanya Zara.
"Mungkin di sana kamu bisa mendapatkan kebebasan yang sedang kamu cari?"
"Apa kamu serius mau mengajakku?"
Dima tersenyum. "Sudah kubilang, kalau kamu memiliki cinta dan kasih sayang yang cukup buat aku dan diriku, apa pun maumu, tidak masalah."
"Kalau gitu, aku ikut."
"Baiklah. Seperti yang kamu minta."
***
"Zara, sebelum ke indekosku, kita harus beli makanan dulu. Di sana tidak ada apa-apa selain kamar buluk milik seorang bujangan."
"Kamu percaya, gak, kalau gini-gini aku juga bisa masak?"
"Aku sih maunya percaya. Tapi kalau terjadi apa-apa setelah aku makan masakanmu, tolong kasih aku napas buatan."
"Enak aja!" Zara mencubit lengan Dima. "Lagian masakanku juga nggak seburuk itu."
"Ya udah. Iya-iya."
"Jadi, sekarang kita harus ke pasar."
"Kita ke toserba. Jam segini di pasar pasti udah pada layu, Zara."
"Emang kamu punya uang?"
"Aku punya sebanyak apa pun yang kamu mau."
"Oke deh."
Zara dan Dima akhirnya memutuskan untuk belanja di toserba. Karena mereka tidak punya kendaraan pribadi dan motor Hardi sudah diambil, Zara dan Dima memilih untuk menaiki angkutan umum. Lagipula jarak dari kampus ke toserba tidak terlalu jauh. Hanya sedikit macet saja. Sesampainya di sana, Zara dan Dima mengambil satu buah keranjang lalu mulai berbelanja.
"Memangnya kita mau masak apa, Zara, sampai-sampai harus bawa keranjang?"
"Kita masak soto bandung."
"Kamu bisa memangnya?"
"Dari tadi kayaknya kamu nggak percayaan banget." Gadis itu mendengkus kesal.
"Ya habisnya gadis suram kayak kamu nggak kelihatan bisa masak sama sekali."
"Dih, sembarangan!"
Jika dilihat dari pandangan umum, Zara dan Dima terlihat seperti seorang kekasih. Padahal pada kenyataannya mereka hanyalah sepasang manusia yang sedang mencari kehilangannya. Semesta entah menyembunyikannya di mana. Untuk sekadar merasa lapang saja, perjalanannya tidak akan semudah itu.
"Dah, selesai. Tinggal bayar."
"Setelag ini mau langsung pulang?"
"Emangnya kita mau ke mana dulu dengan belanjaan sebanyak ini?"
"Siapa tahu kamu pengin main-main dulu."
"Kagaklah. Capek aku."
"Ya sudah"
Kemudian Zara dan Dima mengantre membayar semua belanjaannya untuk malam ini. Setelah selesai, Zara dan Dima melangkahkan kakinya keluar dari toserba dengan dua kantok kresek belanjaan.
"Zara?" panggil Dima.
"Ke indekos akunya mau jalan kaki, nggak? Nggak terlalu jauh, sih, cuma nggak dekat juga."
"Kenapa? Nggak mau, ah. Entar nggak ada tenaga aku buat masak."
"Tidak tahu saja. Tiba-tiba aku merasa harus menghabiskan banyak waktu denganmu."
"Apaan, sih, Dima."
Karena meski begini-begini, Zara tetaplah seorang gadis normal yang jika ia diperlakukan seolah-olah sebagai orang yang berharga, tentu saja wajahnya bisa memerah. Hanya saja, jangan sampai Dima tahu. Laki-laki itu pasti akan berbuat yang tidak-tidak. Sudah terikat dengannya saja adalah merupakan kesialan.
"Ya udah, terserah kamu saja."
Cakrawala memang jingga, tetapi senja masih tersesat dan lupa jalan pulang. Jalanan sedang padat. Kota terdengar sangat ramai. Orang-orang yang sedang dalam perjalanan pulang setelah lelah bekerja terlihat seperti tomat yang merah. Bunyi klakson nyaring di setiap sudut jalanan.
Dima dan Zara membicarakan banyak hal selama dalam perjalanan pulang. Mereka terdengar seperti sepasangan jatuh yang merangkak utuh. Kisah yang terdengar terasa merdu tentang sisi gelap dunianya sendiri-sendiri. Walau sadarnya masih beteriak direngkuh semesta.
"Tapi Zara, aku benar-benar lupa bagaimana rasanya dicintai tanpa syarat oleh semesta."
"Tapi Dima, kamu tidak akan pernah bisa mengerti bagaimana rasanya semesta memenjarakanmu di dalam genggaman tangan seorang manusia."
Saling diam untuk sesaat, pada waktu yang singkat ini, sebelum matahari benar-benar tenggelam, sepasang manusia itu saling menatap. Cukup lama. Sebelum pada akhirnya mereka tertawa bersama-sama mengejek semesta yang kadang-kadang memang tidak tahu diri kalau mau bercanda.
Sampai tiba di depan pintu indekos pun, Dima dan Zara belum berhenti tertawa sepenuhnya. Masih ada sisa-sisa tawa kecil yang terdengar di setiap langkahnya.
"Haa ... jadi ini indekosmu?"
"Tidak besar. Tapi cukup nyaman."
"Tidak apa-apa."
Zara hendak masuk ke dalam indekos dan menyimpan barang belanjaannya. Akan tetapi sebelum sampai tangan Zara meraih knop pintu, Dima mencekalnya.
"Zara?"
"Kenapa?"
Namun Dima tidak berkata apa-apa. Laki-laki itu hanya tersenyum.
"A-apa, sih, Dima. Dasar aneh!"
Jantung Zara berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Entah kenapa, setiap kali melihat Dima tersenyum ke arahnya, rasanya benar-benar berbeda. Walau laki-laki yang sedang berdiri di hadapannya ini adalah Dima sebaik-baiknya, tetapi kehadirannya terasa asing baginya. Seolah-olah dia adalah bukan Dima yang sebenarnya, atau memang dia bukanlah Dima. Sial. Laki-laki ini terlalu jauh untuk ia jangkau.
Kali ini, aku persembahkan senyum Dima buat Coffee_latte11 🙈
Eh, tapi ini kagak tau senyum apa ketawa wkwkwk.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro