Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Yang Mulai Ingin Tahu Namun Memilih Menutup Mata

manusia,
dengan manusia,
dan penantian
entahlah

lara,
atau cinta










Daripada menjemput luka, banyak manusia lebih memilih untuk bersekutu dengan semesta agar mereka pura-pura menutup mata dan tidak tahu. Padahal, sebenarnya mereka hanya sedang menunda. Tanpa diminta, tanpa disengaja, dengan cara yang paling tidak pernah bisa manusia duga, lukanya akan datang dengan sendirinya sekalipun tidak pernah ia semogakan.

Barangkali ia adalah sebuah perwujudan dari rintihan-rintihan syahdu yang menangis pada gelapnya malam dan senyuman, hatinya adalah sebuah suara. Dari nalar yang sudah tidak bisa lagi berbicara, gelisah akan penerimaan yang tidak pasti dan dosa. Semesta, boleh tidak jika manusia menjadi makhluk yang sepengecut itu?

"Itu buku punya siapa, Ra?" tanya Dito.

"Nggak tahu, To."

"Loh, kok nggak tahu?"

"Ya nggak tahu, To. Kemarin ada yang nyebrang jalanan, dan kayaknya dia nggak sadar kalau tasnya jebol."

"Terus lo pungut?"

"Kenapa bisa ada di gue juga, ya, gue pungutlah, To." Zara memutar bola mata malas.

"Padahal kagak usah lo pungut juga kagak apa-apa, kali."

"Nggak tahu, To. Pengin aja."

"Dih, ini anak cuek amat. Gimana kalau yang punya nyari-nyari? Emangnya di sampulnya nggak ada namanya, gitu?"

"Nggak ada."

"Terus, udah lo periksa dalamnya?"

"To?"

"Apa, Ra?"

"Itu kan punya orang, Dito. Masa gue buka, sih?"

"Ya nggak apa-apa, Ra."

"Kagak-kagak."

Dito mengembuskan napas panjang. Gadis dengan sifat keras kepala bawaan lahir memang yang paling menyebalkan.

"Terus, mau lo apain itu buku sekarang?"

"Ya, nggak gue apa-apain. Palingan entar juga ada yang nyari."

"Kalau nggak ada yang nyari?"

"Boleh gue buang, ga?"

"Anjir, serah lo dah," ujar Dito sembari berdiri dan merapikan tasnya. "Abis ini gue ada rapat dulu sebentar sama anak-anak UKM. Jadi gue duluan, ya, Ra."

"Oh, ya udah."

Sebenarnya, jika boleh dikata, Zara memang sedikit penasaran dengan buku yang ia pungut kemarin. Meskipun yang ia pungut tidak hanya buku, tetapi yang paling menarik perhatiannya adalah buku kumal itu. Sial. Ia jadi sangat penasaran.

"Sedikit doang boleh kali, ya?"

Pada akhirnya, Zara membuka sampul buku itu setelah Dito pergi. Di halaman pertamanya, tidak apa-apa. Hanya kosong. Lalu ia membalik halaman selanjutnya. Di sana, ada catatan kecil. Ya. Hanya catatan kecil. Tidak ada nama, atau apa pun itu yang menunjukkan identitas sang pemilik.

Aku tidak tahu semesta memiliki cinta yang cukup untuk setiap manusia yang menginjakkan kaki di atasnya. Akan tetapi, pertemuan kita sudah dipastikan. Aku dan kamu pasti akan segera bertemu.


"Dih, apaan banget dah!" Zara memutar bola mata malas.

Ia kira, buku seperti apa yang ia temukan. Ternyata, isinya hanya serentetan kalimat yang tidak penting.

***

"Dim, lagi gambar apaan?" tanya Hardi.

"Ah, ini? Gue lagi ngeramal, Di."

"Lo bisa ngeramal, emang?"

"Nggak."

"Dih, sok-sokan banget."

Hardi duduk di sebelah Dima yang sedang menggambar. Katanya, sebentar lagi akan ada sebuah pertemuan paling manis. Hanya saja, entah kapan. Dalam gambarnya, ada seorang gadis yang sedang menangis terduduk di atas sebuah bangku taman dan seorang lelaki berdiri di belakangnya.

"Di, lo punya kerjaan apa gitu buat gue? Lagi butuh duit, euy," tanya Dima.

"Kenapa tiba-tiba?"

"Nggak apa-apa. Gue cuma lagi butuh aja, kok. Rasanya tabungan gue masih belum cukup."

"Buat apa?"

"Ya buat hidup guelah. Gue butuh makan woi!"

"Hmm ... sebentar." Hardi terlihat berpikir. "Kalau lo senggang, entar malam ikut gue aja. Gimana?"

"Tenang, aja. Gue pengangguran, kok," ujar Dima.

"Ya jangan bangga juga, dong!"

"Hehe. Emang mau ngapain entar malam? Skidipapap? Ayok banget, deh."

"Ya ada, deh. Makanya ikut kalau mau tahu," ucap Hardi sembari tertawa.

Dima tersenyum. Namun Hardi rasa itu bukanlah senyum yang bersahabat. Sial. Orang ini benar-benar menakutkan. Ia tidak tahu apa yang ada di pikiran Dima, hanya saja, Hardi rasa apa pun yang bersangkutan dengan laki-laki itu pasti akan berakhir menarik. Meskipun ia belum lama kenal dengan Dima, tetapi ketika ia sedang berada di dekatnya, Hardi benar-benar merasa seperti sedang diintimidasi.

"Jadi, lo ikut?"

"Tentu saja."

"Sialan emang ini orang satu."

***

Ada satu tempat pada semesta yang benar-benar membuatnya terusik. Tempat ia pulang tidak akan pernah menjadi istananya. Bahkan, bisa dibilang lebih mirip penjara dan ia adalah seorang tahanan yang bebas dan terkekang.

"Zara, bagaimana dengan kuliahmu?"

"Baik-baik saja, Pak."

"Tetap perhatikan nilai dan tugas-tugasmu. Bapak tidak mau kamu menjadi mahasiswi yang bodoh dan terbelakang."

"Hmm."

"Ah, iya. Bapak juga sudah membelikan kamu beberapa buku tentang Psikologi. Kamu harus membacanya!"

"Hmm."

"Zara?"

"Apa?"

"Kamu dengar apa yang Bapak bicarakan, tidak?"

"Bapak tenang saja. Karena aku bidak Bapak, aku tidak akan macam-macam."

"Zara!"

"Sudah, ya, Pak. Zara capek!"

Rasanya, lucu saja jika dipikir-pikir. Selama ini, Zara selalu mengkhayal setiap kali ia pulang sekolah dulu atau kuliah sekarang, ia akan disambut dengan hangat dan penuh penerimaan tentang apa pun. Tentang kesukaannya, tentang bakatnya, tentang pendapatnya, tentang minatnya, apa pun itu tentang dirinya, bukan orang tua itu yang berhak. Sial!

Lalu ia bergegas menuju satu-satunya tempat paling aman di istana penjaranya ini. Kamar. Setidaknya, sepetak ruang itu adalah semestanya. Benar-benar dunia miliknya. Ia rebahkan raganya, ia tarik napas dalam-dalam, membuangnya perlahan. Ah, buku kumal itu. Zara mengambilnya dari tas lalu kembali berbaring.

"Ini buku punya siapa, sih? Sok misterius banget."

Meskipun Zara berkomentar seperti itu, pada kenyataannya Zara begitu penasaran. Lalu akhirnya ia membalik satu halaman lagi.

"Ah bodo amat, dah. Persetan sama penasaran," katanya.

Pada halaman ini, persis seperti di halaman sebelumnya tertulis sebuah pesan singkat yang aneh.

Bagaimana, sudah mau bertemu denganku atau belum? Tapi aku memiliki sebuah syarat. Jika kamu ingin menemuiku, menangislah. Lalu pergi ke sebuah taman. Di mana pun itu, kita pasti bertemu.


Zara tetap saja tidak paham meskipun sudah dua halaman ia buka. Lagi pula, apa-apaan dengan syaratnya itu? Benar-benar menyebalkan. Tidak mungkin seseorang yang sedang menangis mau-maunya menemui orang lain.

Itu artinya, si pemilik buku tidak akan bisa menemui Zara. Karena pertama, jika Zara menangis ia akan mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Lalu yang kedua, ia tidak akan pernah lagi menangis. Semesta, sayang sekali.

"Sayang banget, lo nggak akan pernah bisa ketemu sama gue."

Lalu Zara melempar asal buku kumal ke bagian samping tempat tidur dan menutup mata. Lagi pula, kenapa harus repot-repot menuruti kemauan sang pemilik buku itu? Bisa saja ini adalah sebuah keusilan.


Bagaimana, gaes?
I hope you enjoyed with my story, ehe.
See you very soon, muaaach

Dima lagi di depan orang-orang.

Zara liat kalo ada Dima mau mendekat

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro