Yang Memulai Pencarian
kejujuran
dan
diri sendiri
tidak ....
tidak boleh
sampai dibohongi
Hinggap perasaan seperti ini, perasaan di mana nurani sudah memulai pencarian, tetapi tidak tahu apa yang harus ditemukan. Ketika 'ingin' sudah mulai kehilangan tujuannya, dan dengan egois perasaan yang tidak tahu itu memaksa dalam perjalananannya untuk menemukan kelapangan. Lalu pada akhirnya manusia-manusia itu yang akan terkena keabstrakannya.
Pagi-pagi sekali, ketika orang tua bodoh itu masih belum terbangun dari tidurnya, Zara diam-diam pergi meninggalkan rumah. Malam kemarin, padahal memang tidak ia semogakan, hujan-hujan dari matanya itu turun sendiri. Ia tersadari. Dalam catatan kumal itu, syaratnya untuk pergi ke sebuah taman adalah menangis. Tanpa disengaja, syarat itu sudah Zara penuhi dan Zara memiliki segudang pertanyaan kepada sang pemilik buku itu nanti.
Aku tahu, sekuat apa pun kamu, kita adalah manusia
Kamu berhak menangis
Atau jika kamu mau, aku sarankan kamu
Cepat-cepat datang
Duduk dan bersandar di sebelahku
Biar aku pinjamkan pundakku
Kali ini, dalam tulisan kesekiannya, buku itu sedikit berhasil membuat senyum Zara kembali nampak setelah lama hilang disembunyikan waktu melalui orang tua sialan itu. Sebelum benar-benar keluar dari rumahnya, Zara tutup buku itu lalu memasukkannya ke dalam tas.
***
Manusia itu adalah manusia yang tidak pernah bisa tidur dalam malamnya. Sejak ia memilih untuk tinggal di indekos kecil ini, ada satu fasilitas yang tidak pernah Dima pakai dan selalu ia balik menghadap tembok dan tergantung begitu saja di permukaannya. Jarang sekali ia sentuh.
Ini bukan tentang di mana ia tidak percaya dengan dirinya sendiri. Akan tetapi, setiap manusia memiliki ketakutannya sendiri-sendiri. Hanya saja, ia bukan takut kepada cermin. Ia hanya takut kepada malam sampai-sampai ia tidak bisa tertidur nyenyak dalam rehatnya. Karena setiap kali gelap datang merundungnya, ia sudah tidak lagi sendirian. Begitulah ceritanya.
Tapi kali ini, Dima ingin berbicara dengan teman lamanya. Pada akhirnya, benda paling ia hindari itu ia balik dan mulai menunduk ketika pantulan dari dirinya sendiri mulai terlihat. Cukup lama hening sampai Dima siap untuk mengangkat kepalanya kembali, dan ia mulai tersenyum.
"Ah, kalau kamu sampai membalik benda yang paling kamu hindari seperti ini, apa kamu sedang butuh teman bicara? Kapan terakhir kali kamu mengajakku berbicara? Semenjak kamu bercerita tentang seorang perempuan yang terlihat seperti tidak diberkahi itu?"
Namun, ia mengabaikannya. "Kamu tahu sendiri kalau aku takut dengan malam, bukan?"
"Persis sekali."
"Jadi tolong untuk malam ini jangan terlalu menyebalkan dan mengejekku."
"Ya, ya, ya ... aku tidak akan banyak berkomentar. Karena kalau bukan oleh kecengenganmu itu, aku tidak akan pernah ada"
"Kalau gitu, berterima kasihlah."
"Sialan emang ...." Dima mengembuskan napas panjang. Entahlah untuk dirinya yang mana. "Jadi, apa yang mau kamu bicarakan denganku?"
"Baiklah, karena kamu adalah aku. Aku tidak perlu menyembunyikan apa-apa darimu. Kamu tahu sendiri bukan kalau aku sudah lama menemukan seorang gadis."
"Lalu?"
"Aku kira, gadis itu sulit sekali didekati. Aku hanya tidak menyangka, ide receh darimu itu akan benar-benar berhasil."
Dima tertawa. "Haha, jangan terlalu banyak bercanda kamu. Aku akui, diriku yang cengeng ini memang tampan. Bisa main sama tante-tante kayak kemarin. Padahal yang seharusnya bermain itu adalah aku. Tapi peranmu cukup bagus untuk berusaha menjadi sepertiku. Lalu kenapa untuk gadis lugu itu, kenapa kamu tidak bisa?"
"Entahlah. Aku hanya tidak bisa menyakitinya saja. Apa jangan-jangan aku menyukainya?"
"Kenapa kamu bertanya kepadaku? Aku adalah dirimu. Jadi, putuskan sendiri."
"Tapi bukan itu sebenarnya yang aku inginkan darimu."
"Lalu apa?"
"Aku ingin meminta sesuatu darimu."
"Minta apa?"
"Aku ingin kamu yang menjadi diriku ketika gadis itu datang untuk segelintir kejujuran dan menangis."
"Kenapa harus aku? Asal kamu tahu, aku adalah bagian dari dirimu yang bangsat itu. Tahu akibatnya?"
"Selama itu bukan dengan orang lain, terserah kamu saja mau kamu apakan dia."
"Anjing. Aku suka diriku yang bangsat seperti ini. Ahaha ...."
"Kita itu sama-sama bangsat. Jadi jangan mengejekku seperti itu."
"Aku tahu. Karena itu aku mengejekmu. Serahkan saja semuanya padaku."
"Aku percaya dengan diriku."
Malam yang hening itu, adalah sebuah saksi bahwa manusia yang ketakutan ini sedang mencari ketenangannya. Ia yang hanya bisa jujur dengan dirinya sendiri, satu-satunya hal pada semesta yang tidak pernah ia bohongi. Bukan seperti manusia-manusia bodoh itu.
***
Matahari belum benar-benar menampakkan keagungannya. Semesta masih merayap gelap. Akan tetapi, gadis itu sudah duduk di sebuah taman dalam perjalanan menuju kampusnya. Dalam tulisannya, di mana pun taman yang ingin ia datangi, seharusnya orang itu akan datang. Zara sudah tidak menangis, namun ia masih berharap.
"Kalau aku nggak nangis, apa masih boleh kalau aku datang ke taman?"
Tadinya, ia berbicara seperti itu hanya untuk dirinya sendiri. Namun tanpa ia ketahui, sebuah suara yang sebenarnya sudah tidak asing di kepalanya menjawab dari titik butanya.
"Aku? Kemana 'lo-gue' kamu yang sarkas itu?"
"D-Dima?" tanya Zara terkejut.
Laki-laki itu tersenyum. Tapi Zara merasa senyuman Dima kali ini begitu asing di matanya.
"Halo Zara," ucapnya sambil tersenyum.
"K-kok lo ada di sini?" tanya Zara. Gadis itu benar-benar terkejut.
"Tentu saja. Karena kamu ingin aku ada di sini."
"Maksudnya?"
"Apa kamu nggak sadar sesuatu?"
"Apaan, deh, Dima kagak jelas banget!"
Sikap Zara langsung kembali menjadi Zara yang dikenal orang lain yang bukan seutuhnya. Ia kembali menjadi Zara yang arogan dan tidak pedulian.
"Apa kamu lupa pakaian sama tas ini?" tanya Dima.
"Hah?"
Zara perhatikan Dima baik-baik dari atas sampai bawah. Lamat sekali. Sampai pada kilas balik membawanya tersadari, kenangannya kembali mengingat sesuatu yang belakangan ini membuatnya menjadi ragu.
"Ah, j-jadi .., orang yang punya buku sialan itu lo?" tembak Zara sedikit meninggikan suaranya.
Dengan tenang, Dima menjawab. "Obviously ... ya."
"Sialan! Jadi lo yang selama ini nyeret gue buat datang ke sini dan menangis?" Zara merajuk tidak jelas.
"Aku yakin sekali, kamu pasti sudah menangis."
Gadis itu terlihat begitu bingung. Sepertinya ia benar-benar tidak mengerti dengan kenyataan apa yang sedang dilihatnya pagi ini.
"Kenapa harus serumit itu Dima?"
"Entahlah. Siapa yang tahu?"
Walau masih dengan suasana yang canggung, Dima dan Zara duduk di sebuah bangku yang ada di sana. Sementara matahari mulai beranjak naik, tidak satu pun dari mereka yang memulai percakapan. Hening untuk beberapa saat.
"Jadi, rahasia apa yang mau lo kasih tahu ke gue?" tanya Zara.
"Perasaan nggak ada yang bilang kalau kamu bidadarinya."
"Dima—" terlanjur kesal, Zara mensunyikan suaranya lalu memukul-mukul bahu yang tadinya ada untuk meraih kepala itu agar bersandar di sana dan menangis, tetapi gadis itu justru terlihat marah. Akan tetapi laki-laki itu hanya diam. Ia sempat menunduk, sebelum pada akhirnya ia pegangi kedua tangan Zara, lalu mendekatkan kepalanya dan berbisik tepat di depan telinganya.
"Tentang taruhan kemarin, sebenarnya itu nggak gratis," ucapnya, lalu tersenyum dengan sedikit embusan napas membuat area sekitar leher Zara menggelinjang karena geli.
"Maksud lo?"
"Kamu tahu, Zara? Sebenarnya nggak ada yang cuma-cuma di dunia ini. Walaupun kemarin kamu yang memenangkannya, tetapi aku berhak meminta sesuatu darimu."
"Mau lo apa, sih?"
"Kalau denganku yang sekarang, kamu boleh jujur dan menjadi dirimu sendiri."
Zara tidak menjawab. Gadis itu semakin tidak mengerti dengan sikap Dima yang semakin berbeda dari Dima yang biasanya, atau ini karena ia tidak menyadari bahwa Dima adalah laki-laki yang selicik ini?
"Bagaimana? Kalau kamu mau jujur denganku tentang apa pun itu yang paling kamu inginkan, rahasia yang kamu ingin ketahui, akan aku beri tahu semuanya."
Pada akhirnya, tidak ada lagi yang bisa ia lakukan dan pasrah. Laki-laki itu sudah terlalu menang melawan dirinya. Walau dengan sedikit malu, Zara mulai menunjukkan sisi sejatinya kepada Dima yang selalu ia sembunyikan dari siapa pun tanpa terkecuali.
"A-aku ... cuma ingin tahu satu hal."
"Apa itu? Katakan saja."
"Kenapa harus aku?"
"Maksudmu?"
"Dari sekian banyak perempuan, kenapa kamu milih aku, Dima?"
"Ah, masalah itu," ujar Dima sebelum melanjutkan. "Baiklah. Harga atas kejujuran kamu pagi ini adalah jawaban."
"Tidak usah bertele-tele."
"Itu karena aku merasakan hal yang sama dari mata kamu. Kamu adalah orang yang sombong dan arogan. Tapi bagiku yang tidak pernah merasa diberkahi, aku bisa tahu kalau kamu juga merasakan hal yang sama."
"Maksudmu?"
Dima mengangkat salah satu sudut bibirnya untuk tersenyum. "Begini, tidak mungkin kan aku mengajak seseorang yang sudah bahagia untuk jatuh bersamaku? Untuk saat ini, itu saja jawaban dariku kenapa harus kamu."
Zara benar-benar tidak bisa mengerti. Laki-laki itu terlalu tabu untuk nuraninya. Apa selama ini laki-laki itu selalu memerhatikannya sampai ia bisa tahu dan merasakan hal yang seperti itu? Sial, sebenarnya Dima itu manusia yang seperti apa semesta? Kenapa dia terlalu membingungkan?
"Aku benar-benar tidak mengerti."
"Aku sengaja tidak membuatmu mengerti."
"Kenapa?"
"Karena jika kamu tahu dengan semudah itu, kamu tidak akan merasa terikat denganku. Dan aku nggak mau kamu pergi begitu saja."
"Sialan!"
Satu kata yang tersuarakan dari mulut Zara saat ini adalah perasaan yang sesungguhnya bagaimana Dima tidak memberikannya ruang untuk menyudahi kelakuan aneh dari laki-laki itu. Sampai-sampai ia harus merasa terikat seperti ini.
"Ada lagi yang mau kamu ketahui?"
"Tidak ada."
"Baguslah kalau kamu mengerti."
"Tapi karena kamu sudah membuatku merasa bingung seperti ini, aku ingin kamu melakukan sesuatu demi aku. Seperti yang kamu bilang, semua ini tidak gratis."
"Apa yang kamu mau?"
"Aku cuma mau bebas. Aku tidak mau terikat dengan apa pun dan siapa pun yang mengekangku terlalu berlebihan. Aku ingin menentukan kehidupanku sendiri. Aku punya nyawa dan keinginan sendiri. Bukan oleh orang lain."
Dima tersenyum. Seperti inilah kenyataan yang ia inginkan. Pada akhirnya, gadis itu pulang. Gadis itu sudah pulang kepada kejujuran dan jatuhnya. Tanpa ada keraguan apa pun, laki-laki itu menarik kepala Zara masuk ke dalam pelukannya.
"Di-Dima ... kamu ngapain?"
"Sini, lihatlah ke arahku."
"A-aku malu."
"Sebentar saja."
Dengan sedikit ragu, Zara mengangkat kepalanya untuk menatap kedua manik mata milik Dima. Pelukannya melonggar, tetapi untuk pertama kalinya, bibir mereka saling bersentuhan.
"Aku akan selalu siap menemanimu mencari kebebasanmu itu. Tapi sebagai gantinya, pastikan kamu memiliki cinta dan kasih sayang cukup untuk aku dan diriku. Mulai dari sekarang, kita akan sama-sama mencari."
Setelah itu, tanpa berkata apa-apa. Dima pergi begitu saja meninggalkan Zara. Tidak peduli bagaimanapun perasaannya, karena keinginan dirinya sudah terpenuhi, sudah saatnya ia kembali dan membiarkan si cengeng itu yang mengambil alih mulai dari sini. Dima tersenyum. Harusnya gadis itu paham. Bahwa kita adalah sama.
Bagian ini adalah jawaban atas kebingungan-kebingungan sebelumnya.
Silakan berasumsi seliar mungkin tentang Dima,
Lalu, sampai bertemu di lain waktu
Salam dari Dima dan Zara
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro