Sebelum Fajar Terbilang
manusia
takut
dan kehilangan
fase itu
tidak akan pernah berhenti
sebelum semesta
benar-benar bisa
beristirahat
Semenjak dahulu, catatan harian semesta tidak pernah lepas dari yang namanya mencintai dan merelakan kepergian. Hanya saja, kadang-kadang, yang menjadikannya rumit adalah bagaimana cara semesta mempersempit hati manusia sampai-sampai ia tidak bisa menerima perpisahan.
Salah satunya adalah dua manusia yang sedang jatuh cinta ini. Mereka adalah Pramono dan Aini. Kalau didengarkan, perjalanan mereka memang sangat manis dan mengirikan. Akan tetapi, entah kenapa, setiap kali manusia akan bergegas menuju ke dalam fase bahagia, semesta terlihat tidak suka.
Setelah menikah, Pram dan Aini dikaruniai satu orang anak perempuan yang begitu cantik. Pram bilang, ia mirip sekali dengan ibunya. Hanya saja, setelah wanita paling dicintainya itu melahirkan, kondisinya tidak pernah menjadi baik. Walau dari awal kesehatan Aini sering sekali terganggu, kali ini terlihat berbeda. Tentu saja Pram sangat khawatir. Ia membawa Aini ke rumah sakit dan setelah diperiksa, ternyata wanita paling dicintainya itu mengidap Anemia.
Karena Aini memiliki semangat hidup yang besar, masalah seperti ini, baginya, bukan apa-apa dibandingkan bagaimana sulitnya ia melahirkan karunia dari Tuhan. Beberapa bulan pasca melahirkan, Pram biarkan Aini kembali bersama rutinitasnya seperti biasa yaitu berkerja di sebuah perusahaan sebagai HRD. Namun karena semakin lama kondisinya semakin memburuk, Pram menyuruh Aini untuk berhenti bekerja dan fokus untuk membesarkan buah hati mereka saja.
Namun Aini bersikeras menolak dengan alasan bahwa ia masih mampu. Pada suatu malam, Pram dan Aini berdebat cukup hebat.
"Aini, aku kan sudah bilang sama kamu supaya berhenti bekerja. Kenapa kamu tidak pernah bisa mengabulkan permintaanku yang satu itu?"
"Mas Pram, ini bukan apa-apa. Aku nggak apa-apa, kok. Aku masih sanggup. Aku masih bisa bekerja. Aku sanggup mengurus Zara sambil bekerja."
"Tapi, Aini, lihat ... kondisi tubuhmu sudah benar-benar meminta istirahat. Setidaknya, biar aku yang mengerjakan perkerjaan yang berat. Kamu hanya perlu diam di rumah, merawat dirimu sendiri dan Zara. Aku tidak mau kamu kenapa-napa, Aini. Kenapa kamu tidak pernah mau mengerti? Aku hanya takut kehilanganmu, Aini. Hanya itu."
"Mas Pram, aku tidak akan ke mana-mana. Jadi kamu tenang saja," ucap Aini sambil tersenyum.
Setelah itu, selama beberapa hari Pram dan Aini tidak berbicara sama sekali. Meskipun mereka ada di satu atap yang sama, tetapi karena hatinya masih belum memiliki penerimaan yang cukup, Pram benar-benar tidak mengacuhkannya.
Sampai pada suatu malam ketika semesta mengambil Aini darinya, ia benar-benar tersadari. Jika selama ini, Aini selalu menyembunyikan sesuatu darinya. Dokter bilang, jika Aini sudah mengidap Anemia Berat sejak menginjak usia SMA. Namun karena gadis itu tidak ingin siapa pun tahu tentang penyakitnya, ia memilih untuk merahasiakannya sampai-sampai rahasia itu merenggut nyawanya sendiri. Pram merasa terbodohi. Selain keluarganya, tidak ada lagi yang mengetahui penyakit Aini.
"Aini, kenapa kamu menyembunyikan hal sebesar ini dari aku? Andai saja jika aku tahu penyakit ini dari dulu, tidak akan aku biarkan kamu menanggung beban ini sendirian." Begitulah, ucapan Pram ketika ia bersimpuh di depan rumah terakhir Aini.
"Lalu sekarang, Zara mewarisi semangat yang begitu besar darimu, Aini. Aku tidak ingin dia mengalami hal seberat dirimu. Itulah kenapa aku selalu protektif kepadanya. Dan sekarang, gadis itu entah sedang berada di mana. Maafkan aku, Aini. Sebagai seorang ayah, aku sudah gagal."
Pada malamnya, ia selalu menyempatkan diri untuk mengenang. Sampai saat ini, perasaannya selalu saja dipenuhi rasa bersalah. Itulah mengapa, untuk menebus kesalahannya, ia harus memerhatikan Zara sebaik mungkin. Akan tetapi, gadis itu sudah terlalu cepat tumbuh. Pram tersenyum, sepertinya ia harus mulai bisa menerima.
"Zara ... maafkan Bapak, Nak ...."
***
Beberapa jam setelah menempuh perjalanan yang cukup berat, akhirnya Dima, Dodi, dan Zara dapat berkumpul kembali dengan Fahri dan kawan-kawan. Sesampainya di puncak, semesta masih gelap. Fahri menyalakan api dari kayu bakar. Sementara Zara dan Dodi langsung tumbang di tendanya masing-masing. Malam ini, hanya ada manusia yang tidak bisa tidur dan yang kebetulan tidak bisa tidur.
"Kamu tidak beristirahat, Dima?" tanya Fahri.
"Pertanyaan itu juga berlaku untukmu, Fahri."
"Haha, aku hanya tidak bisa tidur."
"Kalau aku memang tidak pernah bisa tertidur. Dengan nyenyak maksudnya."
"Kenapa?"
"Karena aku takut gelap. Setiap aku memejamkan mata, semuanya pasti gelap."
"Tapi sekarang di sekelilingmu adalah gelap. Kenapa kamu tidak takut?"
Dima sedikit tersenyum. "Karena aku tidak sendirian. Makanya aku tidak takut."
"Aku rasa kamu orang yang menarik."
"Apa itu pujian untukku?"
"Entahlah. Aku juga bingung."
Sebelum matahari terbilang, dua manusia ini berbincang banyak sekali hal. Mengenai pencarian, kehilangan, dan kepulangan. Jika Fahri berkata alasan mengapa ia suka sekali mendaki adalah karena jika ia bisa dekat dengan alam, ia bisa tenang. Lalu Dima, laki-laki itu pun sepakat dengannya.
"Lalu, alasanmu mendaki apa, Dima?"
"Aku? Aku tidak mempunyai alasan khusus untuk mendaki. Tapi karena gadis yang bersamaku bilang dia ingin mendaki, dan aku sudah berkata akan seberusaha mungkin ada di sampingnya, itulah alasan kenapa aku ada di sini bersamanya sekarang."
"Apa kamu mencintainya?"
Pertanyaan dari Fahri kini hanya berakhir di hening. Memangnya, mencintai itu sendiri seperti apa rasanya? Jika ia tidak tahu bagaimana caranya mencintai, bahkan untuk dirinya sendiri, apa bisa ia mencintai orang lain? Tidak tahulah. Kata banyak orang, perasaan seperti itu memang sulit sekali dimengerti.
"Entahlah. Aku tidak tahu."
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu bagaimana caranya mencintai orang lain yang bukan diriku. Bahkan, aku juga tidak tahu apakah aku sudah mencintai diriku sendiri atau belum. Jika seperti itu, apa aku masih berhak?"
"Tentu saja, Dima. Setiap orang berhak mencintai dan dicintai. Aku sepakat denganmu kalau perasaan itu sulit sekali dimengerti. Tapi, perasaan itu ada bukan untuk dipikirkan. Perasaan itu ada untuk dirasakan. Mungkin selama ini, kamu sudah mencintai dan dicintai. Tapi, kamunya saja yang tidak sadar," ucap Fahri sedikit tertawa.
"Aku rasa, kamu ada bernarnya."
Tanpa terasa, waktu berlalu begitu saja. Perbincangan Fahri dan Dima harus berhenti di tengah jalan karena sepertinya fajar sudah akan terbilang. Laki-laki itu bergegas membangungan ketiga temannya. Sedang Dima, ia bergegas untuk segera membangunkan Zara.
Ini adalah kali kedua Zara menikmati matahari terbit dengan Dima. Ketika cahaya hangat dari sang fajar berbaur dengan udara-udara dingin dari puncak Gunung Prau, segala lelah atas perjuangannya kali ini seperti benar-benar hilang, yang diam-diam tanpa ia tahu, sudah mulai ada hati yang tersadari.
"Zara?" panggil Dima pelan.
"Iya?"
"Apa kamu mau membantuku?"
"Tentang apa?"
"Tapi, aku harap kamu memiliki cukup penerimaan untuk bisa memahami diriku. Apa kamu sanggup?"
"Memangnya apa yang harus aku lakukan, Dima?"
"Aku ingin mencintaimu, Zara. Hanya saja, aku tidak tahu bagaimana caranya. Tapi sebelum itu, agar aku pantas mencintaimu, ada rahasia besar yang harus aku beritahukan kepadamu. Dan itu adalah tujuanku ikut bersama rencana pelarianmu. Aku sudah lelah sendirian, Zara. Aku harap, kamu bisa lapang."
"Apa itu?" tanyanya.
"Akan aku beritahukan setelah ini. Lalu, setelah kamu tahu tahu segalanya tentangku, aku tidak akan melarangmu untuk membenciku."
"Kenapa aku harus membencimu, Dima?"
"Kamu percaya padaku, kan?"
"Ya."
"Zara ... aku tidak sebaik kelihatannya."
Pernyataan dari Dima kembali membuatnya bingung. Bahkan Zara tidak bisa menebak apa yang sedang Dima pikirkan. Akan tetapi, satu hal yang harus ia persiapkan dari sekarang adalah, ia harus memiliki sebuah penerimaan yang cukup untuk laki-laki aneh yang terlihat seperti sedang meminta pertolongan dengan senyumannya itu.
Sebentar lagi, Dima. Kamu boleh istirahat:')
As always, hope you enjoy ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro