Rencana Pelarian
Now Playing:
Bad Dreams - Faouzia
Little Note:
Gatau kenapa, walaupun arti dari lagu ini beda, tapi maknanya berasa sama buat part ini sama satu part selanjutnya.
Jadi,
Selamat membaca sambil mendengarkan:')
~
manusia
batas
perjuangan
lalu menemukan
ia tidak akan terikat
selama ia bisa berlari
Jika hati adalah pertahanan paling rapuh yang harus manusia jaga agar tidak kecewa, maka pikiran adalah penguasa adidaya yang memiliki kehendak mutlak atas perintah untuk dirinya. Ia harus menghempas segala bentuk rasa yang akan membuat hatinya menangis nanti. Padahal jauh dari lubuknya, ia adalah hal paling rentan itu sendiri.
Ia tidak tahu. Ia tidak tahu dengan apa yang sedang menyerang pikirannya saat ini sudah benar atau tidak. Akan tetapi, pertama kali dalam hidupnya, ia belum pernah merasa seyakin ini dengan dirinya sendiri. Gadis itu mengambil napas panjang, lalu mengembuskannya secara perlahan.
"Dor!"
"Astaga!"
"Hai."
"Dima ...."
"Kenapa? Terkejut?"
"Ya iyalah."
"Sedang apa? Aku lihat dari pintu gedung, kamu seperti orang yang sedang kebingungan?"
Di depan gedung fakultas memang ada sebuah taman milik salah satu unit kegiatan mahasiswa. Tidak tahulah. Tiba-tiba saja sambil menunggu Dima selesai ngampus, Zara berjalan mondar-mandir dengan segelintir pikiran yang sedang menginvasi dirinya.
"A-aku hanya sedang kepikiran sesuatu, Dima."
"Mau bercerita?"
"Bagaimana kalau di indekosmu?"
"Tidak apa. Memangnya kamu tidak akan pulang lagi?"
Zara tidak menjawab. Gadis itu menundukkan kepalanya, lalu meraih tangan Dima untuk cepat-cepat berjalan.
"Tidak tahu, yang penting kita ke sana aja dulu."
"Iya-iya."
Dima tidak tahu apa yang sedang dipikirkan gadis itu. Namun, ia cukup percaya dengan intuisinya. Sebentar lagi pasti akan terjadi hal yang benar-benar menarik. Zara, laki-laki ini akan sangat menantikannya.
***
"Nah, sampai kita. Jadi, apa yang ingin kamu ceritakan?"
"Duduk dulu, kenapa? Aku capek."
"Jalan sedikit juga."
"Sedikit? Dari kampus ke indekos kamu itu jauh banget."
"Nggak sampai dua ratus meter juga."
Sempat hening, sebelum pada akhirnya Zara mengembuskan napas panjang pemecah selaput hampa di antara manusia-manusia ini.
"Dima ...."
"Ya?"
"Gimana, ya, aku ngomongnya."
"Tinggal bicara saja, Zara. Apa susahnya?"
"Ini tuh susah banget."
"Apa kamu malu? Tidak perlu seperti itu denganku."
"Iya."
Dengan suara sedikit pelan, Zara memilih untuk menceritakan semua yang ada di dalam pikirannya kepada Dima. Ia harap, laki-laki itu mengerti. Bahwa ini adalah salah satu pencariannya. Salah satu pencarian yang sangat ia inginkan.
"Sebenarnya dari tadi aku selalu kepikiran."
"Kepikiran apa?"
"Aku ingin pergi dari kota ini. Tidak untuk selamanya. Aku hanya ingin pergi mencari kebebasan. Aku ingin lepas dari kenangan yang terus saja mengejarku ke mana pun aku pergi. Aku ingin menghirup udara segar, Dima, aku ingin mencari sesuatu yang baru," ucapnya lirih.
Dima sempat terkejut dengan apa saja yang dikatakan Zara. Tapi sesaat, laki-laki itu langsung tersenyum. Semesta, ini benar-benar akan menjadi hal paling menarik.
"Zara?"
"Apa?"
"Aku yakin, kamu pasti sedang bercanda."
"Dima, apa mukaku kelihatan seperti sedang bercanda?"
"Sepertinya?" ucap Dima sambil mengalihkan pandangannya.
"Aku serius, Dima."
Ketika Dima kembali menatap gadis itu, suasana benar-benar berubah menjadi tegang dan serius. Seolah-olah, Dima ingin ambil bagian dengan rencana menyenangkan ini. Kemudian, ia tersenyum.
"Lalu, apa yang kamu inginkan, Zara?"
"Tapi, aku tidak punya teman dan uang untuk melakukan hal segila ini."
"Apa kamu ingin memintaku menemanimu?"
"I-iya. Rasanya tidak mungkin kalau aku mengajak Dito pergi bersamaku. Dia tidak tahu apa-apa." ucap Zara sambil menunduk malu-malu.
"Memangnya aku tahu apa tentang kamu?" tanya Dima.
"Seenggaknya, kamu tidak sebaik dia."
"Kamu mengejekku, Zara?"
"Tidak. Aku hanya berkata sejujurnya."
"Sialan."
Akan tetapi, Zara tidak mendengar sedikit pun suara dari Dima setelah itu. Lalu ia mengangkat kepalanya, ternyata Dima sudah tidak ada di tempatnya. Zara sempat bingung, tetapi beberapa menit kemudian Dima kembali dengan membawa tiga kaleng bekas wafer yang ukurannya cukup besar lalu ia letakan di depan Zara.
"Kamu tidak perlu khawatir kalau soal uang. Bukalah," ujar Dima.
"Ini apa, Dima?"
"Kalau kamu ingin tahu, cepat buka."
"I-iya."
Zara membuka salah satu kaleng itu. Ia tidak tahu apa yang ada di dalamnya. Lalu ketika Zara buka, betapa terkejutnya ia ketika melihat apa yang sebenarnya tersimpan di dalam sana.
"Di-Dima ... i-ini ...."
"Ya, itu semua adalah uang."
"D-dari m-mana kamu d-dapat uang s-sebanyak ini?"
"Zara, sepertinya aku harus memberitahumu satu rahasia lagi tentangku."
Zara sampai dibuat menelan ludahnya sendiri ketika melihat uang yang ada di dalam kaleng itu. Ada banyak sekali gulungan uang yang tersimpan rapi di dalamnya. Jika Zara menebak, di satu gulungan itu berisikan uang sekitar lima ratus ribu dan gulungannya ada banyak sekali.
"Kamu tahu, Zara?"
"A-apa?"
"Aku adalah tipikal orang pekerja keras. Demi mendapatkan sesuatu yang aku inginkan, apa pun itu caranya, akan aku lakukan."
"T-termasuk cara yang kotor?" tanya Zara.
Dima mendekatkan wajahnya tepat di depan telinga Zara lalu berbisik.
"Ya."
Setelahnya ia menjauhkan lagi kepalanya. Zara hanya diam. Sempat hening beberapa saat. Sebelum laki-laki itu memulai tingkah usilnya lagi.
"Kenapa? Apa kamu terkejut?" tanya Dima sambil mengangkat salah satu sudut bibirnya.
"Kamu pasti terlalu banyak bercanda, kan?"
Laki-laki itu sedikit tertawa mengejek raut wajah tidak percaya milik Zara.
"Semesta saja suka bercanda, Zara. Kenapa aku tidak boleh?"
Menurutnya, bercandaan Dima kali ini tidak lucu. Karena ini adalah perkara yang serius. Tapi Dima, laki-laki itu seolah tidak merasakan apa-apa di dalam senyumnya.
"Jadi, apa kamu ikut?"
"Aku ikut. Tapi sepertinya ini sudah bukan lagi dari rencana pelarianmu, Zara. Karena aku juga sempat kepikiran sesuatu tentang aku dan kamu. Ada yang harus aku lakukan demi kebaikanku juga."
"B-baiklah."
***
Zara tidak tahu ada apa dengan Dima. Hanya saja, gadis itu seperti merasakan ada sosok lain tentangnya di dalam dirinya. Perbedaan hawa keberadaan ketika ia sedang berbincang di kampus dan di indekos benar-benar menyeramkan. Karena kerap kali Dima tersenyum ke arahnya, saat itu juga kepribadian Dima seperti berubah.
Sial, laki-laki itu terlalu banyak menyimpan rahasia. Ia ingin tahu ... ingin sekali. Akan tetapi ia tidak tahu harus apa dan bagaimana caranya agar Dima mau bercerita tentang apa pun itu jika itu mengenai dirinya.
"Kamu kenapa, Zara?"
"Ah, aku nggak apa-apa, kok."
"Apa kamu masih terkejut?"
Zara memutar bola mata malas. "Ya iyalah. Kamu pikir aku bisa percaya gitu aja sama kamu yang punya uang sebanyak itu? Aku rasa, butuh banyak waktu buat ngumpulin uang sebanyak itu."
"Ya, kamu benar soal itu."
"Memangnya kamu kerja dari kapan, Dima?"
"Aku? Aku bekerja sejak fisikku benar-benar mampu bekerja."
"Kenapa kamu ingin punya banyak uang?"
"Kamu terlalu cerewet, Zara." Dima mengembuskan napas panjang. "Kamu hanya perlu memastikan saja kalau kamu memiliki cinta dan kasih sayang yang cukup untuk aku dan diriku."
"Maksudnya?"
"Kalau kamu sudah paham dengan itu, kamu boleh bertanya lagi tentangku. Nanti akan aku kasih tahu semuanya."
Zara tidak menjawab. Kepalanya terlalu masif berpikir sampai-sampai ia kehilangan bahasanya untuk sesaat. Malam ini, karena Dima prihatin dengan satu fakta yang baru saja ia ketahui tentang dirinya, laki-laki itu mengajak Zara untuk menghirup udara segar di luar.
Sampai ada seorang wanita yang tidak sengaja melihatnya, dengan cepat, wanita itu menghampiri Dima membuat kesadaran Zara kembali.
"Alah, kebetulan macam apa ini? Akhirnya, gue bisa ketemu sama orang yang selama ini gue cari," ujarnya sambil tertawa. Wanita itu adalah Siska.
"Maaf, Mbak siapa, ya?" tanya Dima.
"Cih ...." Wanita itu mengumpat. "Lo emang benar-benar bangsat, ya, Dima. Padahal belum lama ini kita tidur bareng. Tapi lo udah lupa aja sama gue."
Yang terkejut bukan Dima, tetapi gadis yang sedang berdiri di sebelahnya.
"Maksudnya tidur bareng itu apa, ya, Mbak?" tanya Zara. Sementara Dima hanya diam mengamati.
"Alala ... siapa gadis imut, lucu, polos ini, Dima?" tanya Siska.
"Hmm ... anggap aja calon istri," jawabnya sedikit malas. Sedang gadis yang ada di sebelahnya memerah.
"Cih ... pantas aja lo lupa sama gue. Ternyata lo udah dapat yang baru. Tapi, ya udahlah. Karena malam itu sangat menyenangkan, gue nggak masalah sih. Walau duit gue harus hilang. Kira-kira, siapa, ya, yang ambil? Gue penasaran banget soalnya."
"Cih ...."
Lalu Sika mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinga Dima. "Apa itu lo?"
Setelah itu, Siska pergi meninggalkan Zara dan Dima dengan kebingungan dan kekesalan. Sialan, Dima pikir ia tidak akan bertemu lagi dengan wanita jalang itu.
"Hei, Dima ... siapa wanita itu?"
"Tidak tahu, Zara. Aku punya kebiasaan buruk melupakan hal-hal yang tidak penting."
Hope you enjoy:)
See you very soon 😳
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro