Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mengutuk dan Berdoa

semesta
pilihan
dan hati manusia
yang rapuh

meminta pengampunan





















Pernah datang seseorang bicara tentang manusia yang tidak akan bisa merasa cukup mengenai apa pun itu jika untuk dirinya sendiri. Katanya juga, manusia tidak boleh serakah. Nanti akan ada sepasang mata yang menangis lagi. Tapi semeta tidak memberi manusia pilihan untuk menjadi seseorang yang egois.

Hukum alam yang tidak pernah bisa ia patahkan adalah ketika siapa pun raga yang terlebih dahulu menangis pada dunia, mereka yang paling berhak. Padahal, sebenarnya tidak seperti itu. Manusia memiliki ruangnya sendiri-sendiri yang tidak boleh sampai dicampuri urusannya. Namun, satu orang paling menyebalkan itu tidak pernah mau mengerti.

"Dari mana saja kamu?" Lihat, di sana ada orang tua yang sedang berkacak pinggang terlihat akan marah.

"Kerja kelompok, Pak," jawabnya.

"Sampai selarut ini?"

"Aku sudah bukan lagi anak SMA. Tugasku juga lebih banyak."

"Apa yang kamu kerjakan sampai selarut ini? Bapak tidak pernah mengajarkan kamu untuk pulang lebih dari jam enam sore."

Zara mengembuskan napasnya panjang.

"Pak, bukannya ini memang kemauan Bapak? Mau aku pulang jam berapa pun, ya, jangan salahin aku. Kalau Bapak mau maksa aku supaya tetap ada di rumah jangan suruh aku kuliah," ujar Zara kesal, "aku juga punya kehidupan sendiri, Pak. Bapak juga. Tapi kenapa Bapak selalu mencampuri urusan aku?"

"Saya Bapak kamu, Zara! Saya berhak mengatur kehidupan kamu. Kamu tidak tahu betapa susahnya hidup di luaran sana. Apa kamu mau hidup luntang-lantung?"

"Bukan, yang aku rasakan bukan seperti itu," ujarnya. Sial, selalu saja seperti ini.

Zara tidak menjawab. Tanpa mau tahu apa-apa lagi, ia lekas pergi dan meninggalkan laki-laki paruh baya itu sendirian di ruang tamu.

"Zara! Zara! Mau ke mana kamu? Bapak belum selesai berbicara, Zara," ujar orang tua itu tinggi.

"Aku mau istirahat."

Ya. Istirahat adalah kata paling aman untuknya menjaga diri dari rasa-rasa bersalah sebagai benih yang nantinya akan menjadi sesal paling terkutuk. Berada di antara jalan-jalan kebimbangan yang patuh atau pembangkang, andai saja jika semesta memberinya pilihan lain, andai saja.

Ia kesal. Kesal sekali. Semesta, kalau kamu memberi manusia pilihan jangan terlalu sulit. Manusia ini punya mimpi. Banyak sekali. Tolong adil. Jangan karena siapa yang lahir duluan bukan berarti ia yang paling tahu. Ia punya nyawa dan logikanya sendiri. Siapa pun mereka tidak berhak atas dirinya. Tidak terkecuali orang tua itu.

Sesampainya di kamar, ada rintik-rintik manis yang jatuh menggurat sebuah bahasa yang kehilangan suara. Jika sudah seperti ini, batas antara benar dan salah pun sudah semakin tak waras. Lelah sebenarnya. Namun Zara masih tetap ingin menunggu. Penantian atas sebuah kepulangan yang benar-benar lapang, sampai ia bisa tidur dengan nyenyak pada malam, walau hujan terus turun dari sepasang matanya diam-diam.

Tempat ini adalah sakit hatinya. Sekeras apa pun ia berusaha, tempat ini adalah tangisannya. Tempat ini adalah peruntuh janjinya. Jika tidak di sini, ia tidak akan menangis. Namun, kenyataannya di sinilah ia bisa hidup dan bertahan. Tempatnya untuk pulang yang sampai saat ini masih belum dirindukan.

"Ah, buku itu ...."

Ia terpikirkan sesuatu. Buku kumal itu tidak berharga. Isinya hanya tulisan-tulisan tidak jelas dan ambigu. Tidak tahu saja. Buku itu hanya memiliki daya tarik jika semesta sedang tidak berada di pihaknya seperti sekarang ini.

Kemarin,

Aku tidak sengaja menemukan bidadari di jalan
Tidak tahu sedang apa dia di bumi
Mungkin saja dia tersesat,
Yang tidak mungkin adalah bidadari itu
Datang jauh-jauh dari langit untuk
Menemui manusia kumal seperti aku

Tapi dia tidak pernah tertawa
Apa senyumnya hilang?
Ke mana perginya?
Ah, begitu rupanya,
Ternyata bidadari itu sedang menangis
Padahal kalau senyum pasti cantik sekali

Tapi aku harap dia tidak akan pernah tersenyum,

Tidak selain kepadaku
Semesta tidak boleh melihat senyumnya
Aku akan menyembunyikan senyumnya
Kalau kamu mau tahu
Datang dan temui aku
Nanti akan kuberi tahu sebuah rahasia


"Aku sudah menangis. Seperti apa yang kamu mau. Tempat ini selalu berhasil membuatku menangis. Apa ini emang rencamu demi menggiringku masuk ke dalam kehidupanmu? Tapi kenapa harus serumit ini? Terus, kenapa harus aku?"

Zara masih tidak tahu tentang buku itu. Hanya saja, rasanya, satu dua baris tulisan yang ada di sana lama-lama seperti sedang memaksanya untuk jujur. Pada semestanya, pada dirinya, lalu pada hatinya, tentang apa yang diinginkannya, yang selama ini selalu berteriak, tetapi tidak pernah sampai pada telinganya.

***

Di pikirannya selalu saja ada bercandaan seperti ini: bahkan kamu tidak berhak atas kendali untuk dirimu sendiri. Peranmu itu hanya tinggal menunggu. Kamu tidak perlu repot-repot mencari makna dalam segelintir perjalanan yang tidak penting ini. Semesta tidak membutuhkanmu. Dia menganggapmu hanya seperti orang lewat saja.

Ternyata mengutuk memang semenyenangkan ini.

Malam ini, di sebuah taman yang sepi Dima sedang menanti sebuah kepulangan yang juga tidak datang-datang. Padahal sudah lama sejak ia menitipkan pesannya. Sepertinya manusia itu masih belum juga menangis. Ia tesenyum, lalu mengembuskan napas panjang sambil menyeringai.

"Memangnya hatimu itu terbuat dari apa, sih? Aku yakin kamu sudah lelah dan ingin menangis. Tapi kamu masih saja menolak untuk pulang. Padahal aku selalu menunggu."

Kepada segelintir gemintang yang agung, ia berdoa. Untuk seorang gadis yang mungkin saja sekarang ini sudah menangis, tetapi tidak tahu harus apa, ketuk hatinya dan sampaikan. Di sini, ada manusia yang sedang kehilangan jika ia tidak pulang-pulang.

***

Pukul satu dini hari Dima baru saja sampai di indekosnya. Setelah berbincang dengan penantian yang masih muram itu, ia lebih memilih pulang selesai berjalan-jalan sebentar mengesap udara malam dari satu taman ke taman lain. Baru saja ia membuka pintu indekosnya, Dima sudah dikejutkan dengan kedatangan Hardi yang seperti sedang mengambil ancang-ancang untuk memukul satu orang paling bangsat di hadapannya ini.

"Ah, Har—"

Belum selesai Dima akan menyapanya, laki-laki itu sudah memukul Dima sampai-sampai terhempas keluar dari pintu indekosnya dan terjatuh. Salah satu sudut bibirnya mengeluarkan bercak merah, tetapi ia justru tersenyum.

"Wow, bukannya ini pesta penyambutan yang sempurna?" katanya.

"Dih, dasar aneh lo."

Dima hanya menunduk sambil membersihkan sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit tetesan darah segar. Sebelum terdengar suara seperti seseorang yang sedang menahan tawa, lalu lama-lama tawa itu berubah menjadi tawa yang lepas dan tanpa ragu.

"Malah ketawa lagi."

Hardi menatap laki-laki yang sedang terduduk di hadapannya ini miris. Ia paham jika Dima ini adalah laki-laki yang aneh. Tapi ia tidak bisa menafsirkan seberapa aneh Dima dari kelakuannya saja. Ia kira, Dima akan balas memukulnya. Akan tetapi, ia malah tertawa seolah-olah sedang menunjukkan siapa dia yang sebenarnya dan menikmati rasa sakitnya.

Masih kesal sebenarnya ia dengan Dima dan pukulan itu tidak seberapa. Belum cukup untuk menjatuhkan segala kekesalannya. Tapi laki-laki itu berjalan ke arah Dima dan membantu manusia sialan itu untuk berdiri dan membopongnya ke dalam indekos.

"Kenapa malah kamu tolongin? Bukannya kamu sedang kesal?" tanya Dima.

"Kamu? Sejak kapan lo pakai aku-kamu?"

"Haa ... aku hanya mulai lelah berpura-pura. Aku sudah tidak bisa lagi."

"Terserah lo dah. Kagak ngerti gue. Mau seaneh apa pun lo, lo tetap aja Dima yang gue kenal. Walau kadang suka kurang ajar."

"Haha, terima kasih."

Hardi mengembuskan napas panjang. Dima memang sedikit menarik. Ia rasa, laki-laki itu seperti cangkang kumbang di pasir pantai yang sudah lama ditinggal oleh pemiliknya. Kosong dan menjadi setumpukan sampah tidak berguna yang rapuh.

"Tapi bukan berarti gue udah kagak kesal sama lo. Gue masih dendam pokoknya."

Dima tersenyum. "Satu pukulan cukup?"

"Penginnya sih lebih."

"Lakukan saja."

"Kagak ah, Entar muka lo makin jelek kalau gue pukulin."

"Si anjing."

Tapi, ada satu hal yang menurut Hardi tetap dan tidak berubah dari Dima. Laki-laki itu tidak pernah bisa berbicara dengan benar dan selalu saja kasar walau ia sudah sedikit menunjukkan manusia seperti apa dirinya itu. Namun, siapa yang tahu jika laki-laki ini sedang tidak berada dengannya. Sial. Dima terlalu menarik untuk ia amati perjalanannya.













See you very soon❤
Kalau ada typo dikomen aja ya. Soalnya suka ada yang lolos dari mata haha. Tengkyuu.

Salam dari Dima yg abis digebuj hardi ⚡
Kira kira beginilah ekspresi dia pas minta nambah dipukulin hardi wkwk
Ngeselin emang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro