file 9 - 1305022-5
16.04
Digenggamnya kotak yang sedikit penyok di sudut. Kotak karton kardus yang permukaannya ditutup lakban cokelat hampir seluruhnya, dengan kertas resi lebar tertempel.
Kotak itu kemudian diiris dan dibuka di teras. Dengan sudut pandang duduk, tangan mengambil sesuatu dari dalam. Jarinya diam di udara, lalu gemetar. Getarannya makin kuat sampai-sampai yang digenggam dibuang. Dia menyeret badan mundur, dengan cepat masuk kamar.
Napas memburu, perutnya kembang kempis. Detak jantung terdengar berdebar saat gawai jatuh di dada. Tangan yang menggigil mencengkeram, saking gemetar sampai tampilan berguncang.
Setelah agak tenang, dia putuskan mengecek sesuatu di dalam kotak yang terbuka itu. Tangannya mengibas di udara seraya mendekat. Memang ada yang aneh dengan kotak paketnya.
Isinya adalah gumpalan-gumpalan cokelat lembek yang berair, cairan merah lengket merembes membentuk genangan. Di antara gumpalan itu juga ada ranting putih kotor seperti tulang. Setelah dicermati, gumpalan tersebut mirip daging yang busuk.
Suara tangisan memenuhi pendengaran. Pandangan menyapu sekeliling mencari asalnya. Ternyata gawai yang lain tak sengaja menyetel iklan saluran video ratapan kucing sedih. Dia sempat mengira sumber suara dari isi paket.
Gumpalan di dalam paket diambil dengan tisu yang tarikannya tiga kali. Lapisan sebanyak itu masih saja terlihat cairan merah merembes. Gumpalan bulat yang diangkat terlihat kopong, berduri kecil-kecil, seukuran batu--atau bisa dibilang menyerupai sukulen kaktus.
Sempat terpikirkan itu kaktus yang busuk, yang berubah warna jadi cokelat, melembek, dan mengeluarkan lendir cokelat kemerahan.
Maka karena merasa aman, satu per satu gumpalan dimainkan. Barisan gumpalan berbentuk aneh dan berlendir itu ditata, lalu ditusuk secara acak menggunakan lidi. Gumpalan pun kempes dan mengeluarkan suara tangisan.
Tercipta musik yang harmoni dari tangisan gumpalan berlendir. Suara tangisan saling bersahutan membentuk pola teratur, tinggi rendahnya seimbang dan antara tangis satu dengan tangis lain terdengar mulus tanpa terjatuh.
Puas dengan apa yang dia lakukan, tetapi merasa waswas, kegiatan dihentikan.
"Enaknya lapor endak, ya?" Tebersit di benak untuk melaporkan insiden ini, mengingat gumpalan berlendir dan cairan merah di dalam paket membuat merinding. Namun, dia urungkan.
16.34
Indekosnya diserang berbagai suara. Jerit tangis dari kanan, teriakan marah dari belakang, musik rok tanpa vokal dari depan agak jauh.
Dia memilih keluar meski suara-suara itu cukup mengganggu. Namun, sesampai di lorong, semua meredam. Dari area tempat menjemur, sosok berbadan kecil bungkuk tertangkap muncul di area taman sukulen. "Hei, lihat itu," bisiknya, memperbesar layar. Teridentifikasi sosok tersebut adalah seorang lanjut usia berambut putih diikat, mengenakan baju kebaya dan rok jarik, tengah menyapu lantai taman dengan sapu lidi. "Hehe, ternyata Mbah Kos."
Merasa aman, sukulen yang dari tadi mengamati diajak mengobrol.
Sukulen itu ditanyai bagaimana kabarnya. Dijawab, kabarnya baik. Bagaimana suasana hatinya? Dijawab, tidak punya hati, bagaimanapun sedang senang. Apa terjadi sesuatu yang menyenangkan? Dijawab, bisa dibilang begitu walau sebenarnya tidak begitu. Kemudian dia ditawarkan mau es krim atau bakso. Dijawab, lebih suka bunuh orang.
Dia berusaha kembali ke kesadarannya dan saat menghadap kanan, mematung bungkuk wanita lanjut usia berbadan kecil. "Mari, Mbah," sapanya.
Wanita bungkuk itu tidak menjawab, hanya mengamati dengan sorot mata tajamnya, bulat memelotot. Dia beralih hadap kiri, tetapi karena tidak tahu mau apa, berbalik lagi dan jalan sambil sedikit merendahkan badan dan lengan kiri diluruskan ke bawah.
Dari area menjemur baju yang tidak dinaungi atap, suara ayam berkotek bersahut-sahutan. Mungkin mereka bertengkar telur siapa yang paling bagus. Memang, ayam betina jika bertelur, heboh seisi kampung. Ayam kampung.
Pemilik ayam kampung tertangkap dari lantai atas. Seorang pria berambut uban, mengenakan singlet dan celana pendek. Pria itu tengah berjalan melalui lorong bawah, menuju ujung yang lain. Maka, pria itu diikuti. Perlu dilakukan putaran dahulu dari area menjemur baju, lorong, hingga yang diuntit menghilang di balik atap.
Terdengar suara nyanyian dengan nada tinggi. Suaranya bergema seperti dipantulkan oleh dinding keramik di dalam ruangan minim lubang udara. Nyanyian itu diiringi oleh bunyi guyuran serta aliran air dari keran yang deras.
Kemudian dari arah sebaliknya terdengar suara kerisik, keresek, kerusung yang diinjak, dilanjut bunyi elektromagnetik yang naik turun, memuncak mendenging tinggi menggetarkan sedikit udara. Bunyi itu seakan melambung lalu menukik bergantian, seperti saat memilih saluran pada radio, dan memang itu radio karena telah dimulai penyiar mengumumkan kabar hari ini dan memberitahukan lagu yang diputar.
Suara nyanyian kalah. Radio lebih kuat. Nyanyian dari kamar mandi stop total. Lagu yang dimainkan adalah musik yang iramanya ditandai pukulan tetap gendang yang memberikan bunyi 'dang' dan 'dut', suara pria yang memeriahkan musik, dan penyanyi wanita yang cengkoknya memikat.
Tidak ada yang menarik dari dekat lorong dan lebih membangkitkan minat area di ujung sana, dia beralih gerak ke kanan. Sampai di sudut, di bawah adalah kandang ayam.
Adanya naungan atap-atap seng memberikan efek bayangan gelap.
Adanya kotek kokok dan musik dangdut mengisi latar suara.
Seorang pria tinggi tanpa busana berada di bagian gelap lantai bawah, mengayunkan tangan yang mengepal ke atas bergantian, menggoyang pinggulnya, meliukkan tungkai kiri dan kanan. Kulitnya tampak pucat dengan bekas borok di sana-sini. Bercak-bercak hitam juga memenuhi punggung, pantat, dan kedua paha.
Dia bergegas menarik diri dan lari ke lorong dekat kamarnya. Suara dangdut berserta radio rusak masih memenuhi pendengaran. Keputusannya setelah mengatur napas dan menormalkan detak jantung, memilih kembali menyorot kandang ayam dari atas untuk memastikan.
Orangnya bertambah satu. Wanita lanjut usia bungkuk ikut menari di samping pria bugil tadi. Keduanya menggoyangkan tubuh tanpa peduli alat vital mereka tampak. Gerakan makin menjadi tatkala mudik mencapai mode asyik yang bersemangat. Kedua orang telanjang itu menubrukkan badan lalu saling membelakangi dan menari, menabrakkan badan lagi dan berbalik untuk berjoget.
Pemandangan di luar akal tersebut lantas membuat dia melemas seketika, turun ke posisi jongkok. Keluar erangan dari mulutnya disusul batuk-batuk. Dia mengucap doa berkali-kali, amit-amit jabang bayi.
Tak mau berlama-lama di situ, dia berlari ke arah kamar. Namun, gerakan terburu-burunya menabrak seseorang yang melintas. Laki-laki bertubuh tinggi bernama Andrew. Dia meminta maaf lalu langsung mengacir. Namun, Andrew mengikutinya. Pikirnya Andrew hendak turun melalui tangga, tetapi setelah lewat, tidak turun. Andrew malah terus mengekorinya sampai di ujung lorong.
"Ada apa, ya?" Andrew tidak menyahut, saat disorot buang muka. Tidak terlihat ekspresi apa yang ditunjukkannya saat ini.
Karena tidak tahu maksudnya, dia putuskan langsung masuk kamar. Namun, Andrew memekik untuk mencegahnya. Andrew menunjuk ke arah pojok tempat karung berisi sampah. Dipikir Andrew meminta sesuatu, tetapi saat diambil barang random seperti kanebo misalnya, Andrew menolak dan terus menunjuk. Merasa merinding, dia pun masuk dan membanting daun pintu, memutar kunci dua kali.
Sore itu pendengaran pekak akan langkah kaki yang mondar-mandir di teras kamar. Tidak hanya satu orang, melainkan bertambah jadi tiga, terus berimbuh hingga sekiranya ada sepuluh pasang kaki terus-terusan bolak-balik.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro