Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

file 10 - 1305022-6

17.04

Orang-orang yang berbeda di lingkungan indekos ini sedang dilanda kesedihan, amarah memantul, ada juga yang gundah gulana. Ditandai dengan musik aneka aliran mulai dari tangisan, jeritan, dan pinta tolong.

Tak mau diganggu oleh mereka, dia menutup pintu dan kaca nako. Partikel debu di dalam kamar beterbangan, melayang-layang membentuk bayangan yang memantulkan sinar matahari. Pilar cahaya dari jendela bilah dua yang lepas kain lapnya meluncur seakan membentuk bangun menara miring.

Beralih pada benda-benda kecil berbaris pada pojokan. Mereka mengobrol. Isi percakapannya adalah ‘cap, cip, cup, kembang kuncup, enaknya matikan yang mana?’. Dimulai dengan kalimat dari sabun batangan, “Ayo kita bantu sukulen membunuh orang-orang yang mengganggu!” Lalu perbincangan memanjang dengan adanya balasan ‘wah!’ oleh benda-benda lain dan perebutan untuk diskusi lebih lanjut.

“Yang gendut itu bagaimana? Tampangnya mengesalkan,” usul pasta gigi.

“Kalau aku lebih setuju yang paling tua, dia baik di depan, menusuk di belakang,” ujar sikat gigi.

“Sudah, jangan berebut. Kalau dipikir-pikir, sukulen ada banyak, semua sudah diurus sama mereka. Kita tinggal menonton saja.” Perkataan sabun batangan yang asertif dan persuasif seketika membuat benda-benda lain yang mendengarkan setuju.

“Wah! Benar juga, aku juga berpikir sama!”

“Iya! Iya! Benar!” Pasta gigi dan sikat gigi mengiakan.

Begitu pun keempat dinding, lantai, langit-langit, jendela, kasur, lemari, ranjang, meja, laptop, ember, kipas angin duduk, kain lap, jaket, satu per satu barang bersahut-sahutan.

Sementara di luar, teras terasa begitu gaduh. Awalnya dipenuhi langkah kaki, tetapi kini sepi, hanya bayangan-bayangan yang dari suaranya seperti menabrak pagar besi, menghantam atap seng hingga tercipta dentuman.

Ketika meninggalkan kamar, terlihat bayangan berlubang-lubang menari-nari seakan berenang pada lantai semen, menyusuri tembok dan atap. Sorotnya berganti-ganti dari gelap ke kelabu seolah-olah mengalir melalui luas bidang tertentu.

Tak mau ketinggalan, pot-pot sukulen di dekat pagar pembatas meresonansi suara cempreng yang dinyanyikan dia, berbaur dengan bunyi denting logam. Lagu berbahasa asing tidak diiketahui artinya, tidak jelas intonasinya. Sesuka hati dia lantunkan lirik-lirik yang seperti lagu itu.

Tatkala menengok ke arah langit yang mulai disinari jingga pada kanvas birunya, tampak sesuatu terbang berbentuk lembaran kertas, yang kemudian jatuh di dekat kaki, lalu diambil olehnya. Pada kertas itu tidak ada tulisan apa pun, hanya kekosongan terpampang di atas persegi panjang buram.

Ketika menoleh ke atas lagi, selebaran-selebaran beterbangan di udara. Seakan-akan memeriahkan suasana yang sudah kacau sejak awal, persegi-persegi panjang buram berjatuhan memenuhi atap indekos. Seluruhnya disorot, pada genting tanah liat, pada atap seng, atap tetangga, lorong lantai atas, area tempat menjemur, dekat bak penampungan.

Dia kebingungan memungut satu per satu kemudian semua yang dipegang dibuang begitu saja ke udara lepas. Tatkala angin kencang menerpa, dalam sekejap mata, seluruh kertas melesap dari pandangan.

Dia mencari-cari ke arah mana selebaran kertas menghilang, dan setelah disorot ke area menjemur tanpa naungan atap, terlihat di atas lantai kertas-kertas tertata saling bertumpuk membentuk pola huruf-huruf, yang terangkai membentuk sebuah kata. Kata tersebut jika dibalik adalah ‘ide’, ‘edi’, tetapi yang benar adalah mati dalam bahasa internasional.

Pemandangan diakhiri dengan badai sesaat berlari membawa segenap kertas terbang naik ke langit, dikumpulkan seakan berada dalam satu gerombolan menyerupai burung.

Masih tertaut pada langit, kali ini cuaca seakan ikut menjadi-jadi. Awan-awan yang mulanya selembut kapas beralih kasar dan hitam, badan mereka yang bongsor saling bertabrakan dengan barbar. Dihasilkan bunyi gelegar yang memekakkan telinga, disusul kilat berbagai ukuran yang seharusnya lebih dahulu tertangkap.

Tak mau kalah, matahari yang seharusnya satu dan sudah turun, kini menggandakan diri, tetapi tidak berhasil membelah. Matahari kembar siam itu makin meningkatkan intensitas terik sinar sehingga tanaman-tanaman selain sukulen menjadi layu, daun menggulung dan batang merebah. Pantulan cahaya makin menyilaukan terutama dari benda logam serta kaca di sekitar.

Bulan pucat yang sudah menampakkan diri turut serta, yang ia lakukan hanya berputar-putar di tempat sesuai posisi, melebihi tertangkapnya kecepatan rotasi yang seharusnya oleh tangkapan mata.

Burung-burung memelesat dari balik awan yang masih cerah. Kawanan burung itu asli karena berhasil mengepakkan sayap, tenang  di udara meluncur menebas gerak angin. Mereka berukuran kecil dan berbulu badan cokelat dengan kepala putih.

Pada area menikmati pemandangan, burung-burung itu hinggap di pepohonan penghijauan, yang dari pencandraannya termasuk gelodok tiang, randu, juga buah-buahan seperti pohon jambu biji dan mangga.

Dahan-dahan pohon menari bersama angin ribut berlatar cuaca memanggang, burung-burung tampak menyerupai titik kecil pada tiap pinggir atas ranting. Dari kejauhan sini, mereka seperti monster raksasa berkulit keras dan bersisik.

Tak terkecuali makhluk-makhluk kecil di dekatnya. Semut-semut keluar dari lubang sarang, seakan diliputi kepanikan membawa nimfa-nimfa mereka berwarna putih pucat ke tempat lain yang tersembunyi dan dirasa aman. Begitu pula serangga terbang kupu-kupu biru nan cantik, capung merah merona, kumbang kepik, beterbangan acak di udara dan hampir saling menabrak. Belalang besar juga merentangkan sayap mereka meninggalkan area hijau.

Sedang asyik menikmati kekacauan, tiba-tiba bunyi giring-giring terdengar. Di dekat tertangkap mamalia berkaki empat dan berambut oranye dengan ekor angora, adalah hewan peliharaan bernama kucing. Kucing dengan kalung lonceng itu berlari saat bertatapan dan makin kencang ketika dikejar, lari menuruni tangga. Suara loncengnya terdengar bergema di lantai bawah.

Suara tersebut terus diikuti dengan mengandalkan gelombang yang diteruskan dinding dan lantai. Yang pada akhirnya membawa pada bagian belakang indekos, dari lantai dua, dari kamarnya sendiri. Melalui jendela bilah dua, kucing itu tertangkap pada halaman samping rumah tetangga. Ia sedang menggali tanah, pada mulutnya terjepit sebuah tulang saat dizum.

Dia berlari keluar lagi karena terdengar ayam-ayam di kandang lantai bawah pun berisik. Ada orang yang menarik keluar batas pembuka dan mengeluarkan ayam. Orang itu adalah manusia yang sama dengan pria yang berjoget telanjang, untungnya sekarang dia mengenakan singlet dan celana pendek. Ayam yang diambil hanya dielus-elus lalu dimasukkan kembali.

Tampilan beralih pada sukulen-sukulen. Namun, hanya tertangkap pada barisan pot-pot berisi media tanam kering, tanpa tanaman yang tumbuh subur menunjukkan keindahan dan keagungannya. Pot-pot itu kosong berbaris pada pojokan dekat bak penampungan air.

“Nak, tahu ke mana semua sukulenku pergi?”

“Wah, Kek! Semua sukulenku juga hilang. Ini saya sedang mencarinya. Ayo, kita cari sama-sama kalau begitu!”

Dia berlari dan pura-pura menangis berseru, “Sukulen-sukulenku! Sukulenku tersayang! Ah, ke mana mereka?"

Adalah sebuah gambaran bertema gelap, sulur-sulur menggulung dan mengering, batangnya busuk menghitam, terinjak-injak dan menyemburkan cairan merah pekat, jejak alas kaki tercetak memenuhi lorong dengan gumpalan basah lengket di tiapnya.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro