Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Prolog

Ada harga yang harus dibayar untuk setiap yang didapat, termasuk dengan kehilangan. Aku mengartikan sesuatu yang hilang sebagai sesuatu yang juga sudah aku usahakan untuk memperolehnya. Dan, aku memaknai bahwa apa yang aku dapatkan tidaklah selalu yang aku upayakan dan aku inginkan. Bijak, bukan? Ya, sewajarnya keluar dari pikiran seorang perempuan yang kini sudah menginjak usia tiga puluh tiga tahun.

Jika kehidupan romansaku diibaratkan sebagai sebuah novel, apa yang aku dapat sekarang akan menjadi sesuatu pada buku keduaku, setelah kehilangan menjadi akhir dari buku pertamaku.

Beberapa tahun dari kehilangan itu, aku dikenalkan dengan seorang lelaki yang pada akhir cerita baru bisa kusimpulkan bahwa dialah tokoh utama pria pada buku keduaku.

Sebelumnya, aku tidak berpikiran akan berada dalam situasi romantis yang menghubungkan aku dengan seorang lelaki seperti pada buku pertama. Di bayanganku, buku kedua adalah tentang aku yang bangun dan terlahir kembali, menjadi seorang Rengganis Arumina Satya yang berbeda. Aku yang menjadi lebih dewasa, tidak lagi periang dan menyenangkan, lebih tertutup dan hanya fokus soal pekerjaan. Sendiri yang biasanya menakutkanku, akan jadi nyaman dan aman yang aku butuhkan. Ramai yang sebelumnya menurunkan bahuku, akan membuatku menaikkan dagu. Ya, itulah secuil tentang aku di buku kedua.

Di buku pertama, aku berkenalan dengan banyak lelaki. Mulai dari yang menjalin hubungan denganku hanya selama tiga bulan, setengah tahun, sampai dengan yang berniat serius denganku setelah berpacaran selama setahun. Dengan seseorang yang kukenal sekilas, teman kerja yang berhubungan baik denganku sampai sekarang, sampai dengan pemilik bengkel tempatku bekerja dulu yang bertemu denganku karena sebuah kejadian tidak menyenangkan.

Di buku kedua, romansa yang tidak ada dalam bayanganku itu nyatanya datang tanpa salam. Berkali-kali aku berkenalan dengan seorang pria, berkali-kali itu pula berakhir asing. Keenggananku jelas tampak dari gestur dan bicaraku. Tidak ada perasaan ingin mengenalnya, mencari tahu tentangnya, siapa pun itu. Tidak peduli bagaimana rupanya, postur tubuhnya, profesinya, bagaimana ia menjalani hidup, aku sudah langsung menolaknya.

"Move-on, Mbak." Sam mengingatkanku dengan serius setelah usahanya yang tidak hanya sekali untuk mepertemukan aku dengan kawan maupun kenalannya. "Mas Juna juga nggak akan suka kalau Mbak kayak gini."

Ini seperti dialog klise pada kisah-kisah romansa saat seseorang ditinggalkan kekasihnya selamanya. Ya, kisah di buku pertamaku yang memperkenalkan aku pada kehilangan memang se-klise itu. Menyukai seseorang yang paling memahami dan mengenalku, menerima, dan mengajarkanku banyak hal baik benar-benar biasa saja layaknya kisah cinta manusia lain. Tapi, yang membuatnya tidak biasa adalah karena kakak sepupuku itulah yang jadi pemeran utama laki-laki di sana.

Mengingatnya, aku tidak menyangka kalau hal semacam itu akan menjadi konflik besar dalam kisah percintaanku. Tidak menyenangkan, memang. Ada waktu di mana aku terpikirkan, bagaimana bisa aku menyukai kakak sepupuku sendiri? Yang lebih mengerikan, kenapa bisa dulu kami berpikiran untuk hidup bersama-sama? Membayangkan menjadi pasangan, berumah tangga, atau mungkin mempunyai anak dan menjadi orang tua bersama, sekujur tubuhku merinding.

Sudah cukup banyak penyangkalan yang aku lakukan, benci pada diri sendiri juga bukan sesuatu yang hiperbolis. Mencapai tahap menerima pun bukan sesuatu yang mudah dan sebentar.

"Ini nggak ada hubungannya sama Kak Ajun ya!" Pantang untukku membawa-bawa nama itu ke dalam obrolan kami. Selain anggota keluarga lain, hanya Sam yang masih menyebutnya langsung di depan mukaku.

Begitulah kira-kira pertengkaranku dengan Sam yang terus berulang.

"Kalau cari yang kayak Mas Juna ya nggak akan ada, Mbak."

"SAM!"

Itulah yang selalu jadi pertengkaran kami. Bagaimanapun, Sam ada benarnya. Bahwa aku masih memagari hatiku, memasang kawat duri di atasnya yang akan sulit untuk dilampaui siapa saja tidak terkecuali kedua orangtuaku sendiri yang aku tinggalkan untuk menepi.

Aku pergi ke tempat yang sungguh baru untukku. Dengan begitu dinding berkawat duri yang kubangun semakin terawat dan mengilap. Tanpa aku melakukan apa-apa, siapa pun yang memanjatnya kalau tidak terluka pasti akan menyerah duluan, lebih enggan daripada aku yang juga tidak niat.

Kini, tiba saatnya waktuku pulang. Sam sungguh tidak mengabariku kalau anaknya sudah lahir. Jelas sekali kalau hubungan kami belum kembali nyaman. Bertemu dengannya nanti, setidaknya aku harus menyapanya walau aku sendiri juga cukup yakin kalau Sam tidak akan mengabaikanku begitu saja.

Baru kali ini destinasi pertamaku saat pulang adalah Rumah bukan ke Taman Makam. Untuk pertama kalinya juga aku berangkat di siang hari karena kesulitan mendapatkan tiket kereta yang biasanya kupesan jauh-jauh hari. Mendadak memesan tiket untuk perjalanan akhir pekan seperti sesuatu yang akan sia-sia. Ditambah lagi insiden ganjil - genap Jakarta yang cukup menguras waktu dan tenaga semakin membuatku malas membawa kendaraan sendiri. Jadilah, mau tidak mau, aku mengambil tiket yang tersisa. Tidak peduli dengan nomor kursi dan jam keberangkatan.

Seperti biasa, Kiki menyambutku pulang. Kuambil kucing oranye yang dulu tidak berani kusentuh itu. Kuletakkan dia di atas kursi untuk menikmati suara ceramah ibu-ibu pengajian komplek dari toak masjid sementara aku duduk di lantai, mengelus-elus punduk dan kepalanya, membuatnya sedikit memejamkan mata yang refleks membuatku tersenyum.

"Assalamu'alaikum ..."

Suara Bapak mengalihkan perhatianku dari Kiki. Tampak Bapak yang masih dengan pakaian kerjanya, langsung memasukkan motor tuanya.

"Masih dikunci ya, Neng?" tanya Bapak seraya merogoh saku jaketnya.

"Belum lihat, Pak. Baru juga datang," kataku seraya mengikuti langkah Bapak. "Tapi pagarnya nggak digembok, Pak. Kiki juga di luar."

"Ibuk pergi ngaji."

Benar. Aku melihat tas kerja Ibuk yang masih tergeletak di sofa. Sepatu pantofelnya, kerudungnya. Pastilah Ibuk terburu-buru.

Mengambilkan minum untuk Bapak dan aku, kami sedikit berbincang soal perjalananku, juga kenapa aku yang tumben-tumbenan tiba di waktu sore. Masih saja Ibuk belum datang. Sementara itu, Bapak pamit lebih dulu untuk membersihkan diri. Jadilah aku sendirian, menukar-nukar siaran di televisi yang sudah Bapak nyalakan. Tidak ada yang seru. Belakangan, aku juga sudah tidak menonton TV.

"Dari tadi, Neng?" Ibuk datang membawa dua kotak makanan. Yang satu berisi nasi dan lauknya, dan yang satunya lagi berisi kue-kue kecil.

"Baru, Buk. Itu Bapak lagi di air, ya, Buk. Neng juga nggak bawa apa-apa. Neng ke atas dulu," kataku terburu-buru tanpa ingin melihat bagaimana reaksi Ibuk yang sepertinya sudah terbiasa dengan aku yang seperti ini.

Kiki mengikuti langkahku sampai ikut masuk kamar. Lagi dan lagi aku terbuai godaannya untuk merebahkan diri di lantai. Kuperhatikan kucing yang badannya semakin gembul tersebut. Bapak dan Ibuk merawatnya dengan sangat baik.

Tidak mau berlama-lama menyia-nyiakan waktu, aku pun beranjak menuju lemari untuk mengambil pakaian tidurku. Mandi, makan, lalu tidur. Sepertinya nikmat. Badanku cukup lelah setelah perjalanan tadi.

"Eh, Ki ...." Aku menarik kakiku yang terasa geli karena Kiki ikut mendekatiku, seakan ingin tahu apa yang aku lakukan. Kucing itu naik ke rak paling bawah lemari. Bermaksud mengambilnya, memindahkannya, kardus polos yang terletak di sana, membuatku terduduk. Lamat-lamat aku melihatnya, seiring dengan berbagai macam ingatan yang kembali menyeruak. Sudah lama aku tidak menyentuhnya.

Pelan-pelan aku memindahkan Kiki yang secara mandiri turun dari tempat itu, beralih ke bawah meja riasku. Kotak yang kini bukan lagi bau khas kertas itu, tercampur dengan bau lemari yang sudah lama tidak dibuka. Lembap juga menyertainya. Semuanya masih sama dengan waktu terakhir aku menyimpannya bersamaan dengan buku catatan hitam yang tidak pernah lagi kubawa. Tidak ada yang berubah. Buku catatan yang pertama kali memenuhi penglihatanku begitu aku membuka kardusnya, langsung mengembalikanku pada Kiki, ikut bersandar di sisi meja.

Kubuka buku catatan yang kertas demi kertasnya seakan menempel saking sudah lamanya tidak kusentuh dan dibiarkan di tempat kedap udara. Sejenak kubiarkan diriku membacanya dengan duduk berselonjor di lantai. Kata demi kata, ingatan demi ingatan, berpikir kenapa aku menuliskan itu, di waktu apa aku menuliskannya. Semuanya terasa kembali. Aku seperti sedang menonton Rengganis Arumina Satya yang menghabiskan waktu di usia dua puluhannya. Apa yang dialaminya, yang dirasakannya, yang dipikirkannya.

Berbeda dengan tulisan-tulisan lamaku yang hanya kubaca sekilas, tulisan terakhir sebelum aku memutuskan untuk menyimpan buku catatan tersebut menahan mataku lebih lama. Melihat tanggal yang tertera di sudut kanan kertas, senyumku terulas. Sudah dua tahun lamanya sejak aku bertekad untuk tidak lagi menyertakan Kak Ajun menjadi orang yang ada dalam hidupku. Tidak ada lagi aku yang akan selalu menceritakan banyak hal yang aku alami, yang aku lalui, seolah-olah dia masih ada. Bukan untuk melupakannya. Hanya saja, aku tidak mau beranggapan kalau akan ada orang yang jadi tempatku bercerita. Ada orang yang jadi tempatku berkeluh kesah, yang secara tidak sadar jadi alasan untuk penentu langkah dan tujuanku.

Mungkin ini terakhir kali aku bercerita. Setelah kupikir-pikir, kalau aku tetap bercerita seperti ini, apa bedanya dengan aku yang seperti sangat bergantung pada kamu? Bukankah kamu yang mengingatkanku untuk tidak selalu bergantung, bukan hanya pada kamu tapi juga manusia lain?

Apa yang sedang kualami, yang sampai mengantarkanku pada keputusan itu? Napasku terhela, enggan mengingatnya lebih jauh.

Pandanganku yang jatuh pada jaket hitam yang terlipat sempurna di kotak itu memastikan bahwa ternyata memang selama itu aku tidak menghabiskan waktuku di kamar seperti sekarang. Jaket yang dulu setiap saat aku pulang akan selalu kulipat ulang untuk merapikannya. Bau jaket yang dulu masih tersisa aroma khas Kak Ajun, kini berganti bau dingin yang melekat.

"Neng ... ada Ayung." Bapak memanggilku, membuatku segera melipat jaket itu lagi. Tapi, belum selesai aku membereskan barang-barang lainnya, dari luar Lembayung memanggil-manggil sambil mengetuk pintu.

"Masuk aja, Yung, enggak dikunci," jawabku santai.

Pelan-pelan pintu terbuka, Lembayung mengintip sebelum akhirnya masuk sepenuhnya. Seakan aktivitasku ini bukan hal besar untuknya, anak itu merebahkan diri di lantai dengan wajah yang juga menempel di sana selagi mengelus-elus Kiki yang terduduk di sebelahnya.

"Bawa motor, Yung?"

"Enggak. Tadi sama Kakang."

Hah, benar saja! Anak itu masih enggan menemuiku.

"Kakang mau antarin box-set foto nikahan kliennya dulu. Nanti pulangnya lewat sini lagi," lanjut Lembayung, tidak mematahkan pikiranku.

"Oh ...." Aku teringat sesuatu dan mengambil ponselku lagi, mengetikkan sebuah pesan pada seseorang yang sudah cukup lama ini menjadi yang paling tahu kabarku.

"Beda ya kalau barang mahal. Udah lama nggak dipakai tapi masih bisa sebagus ini." Lembayung bangkit dari rebahannya, meraih jaket yang belum lagi kumasukkan ke dalam kotak.

"Mau Ayung pakai?" tanyaku seketika membuat Lembayung melihatku penuh. "Beneran! Enggak Mbak pakai juga. Mubazir."

"Mbak ...?"

Aku tidak mau banyak berkata-kata. Biar saja adik sepupuku itu dengan pertanyaannya, menyimpulkannya sendiri.

"Bukunya juga?" tanyanya lagi seakan menguji ucapanku.

Buru-buru kuambil buku catatan hitam itu. "Semuanya selain ini!" kataku yakin. "Eh, sepatu juga jangan!"

"Isinya apa, sih? Semacam buku harian gitu ya?" Baru kali ini adik sepupuku itu penasaran setelah berkali-kali melihatku menulis di sana, bahkan menjadi saksi akan air mataku yang tiba-tiba menyeruak di jam 3 pagi.

"Sejak kapan kamu tertarik soal ini, Yung?" tanyaku sedikit bercanda. "Lagi naksir seseorang ya?"

Lembayung tersenyum alih-alih sebal dengan keingintahuanku.

"Bener, kan? Siapa? Teman kampus? Atau cowok yang ketemu waktu demo? Yang mimpin orasi di depan gedung itu? Wah!"

Lembayung menggeleng. Senyum canggungnya melembut. "Mbak udah balik."

Aku tertegun, mengerti maksudnya. "Maaf, ya, Yung," ucapku, ingat bagaimana kami selalu bersama tiap kali ada kesempatan bertemu, namun dengan aku yang tidak hangat.

Matanya berkaca-kaca, mengundangku untuk memeluknya. Benar, bukan hanya aku yang kesulitan, bukan hanya aku yang ditinggalkan, juga bukan hanya aku yang perlu waktu dan usaha untuk menerima semuanya, menjalani hidup sebagaimana mestinya. Benteng yang kubangun itu juga berefek pada Lembayung.

"Maaf...." Sekali lagi aku mengatakannya, membiarkan ponselku yang berbunyi tanda pesan masuk.

"Mbak nggak kenapa-napa, kan?" Pertanyaan itu meluncur manis dari mulutnya sementara pelukan kami juga terurai.

Di buku keduaku ini, aku tidak selamanya membiarkan bentengku berlumut, kusam, dengan kawat duri yang berkarat sementara membiarkannya roboh pun hanya tinggal tunggu waktu.

Sebelum itu semua terjadi, aku bertemu dengan seseorang. Kemunculannya perlahan mengembalikan aku yang dulu, aku yang aku rindukan, aku yang tidak pernah hilang. Dia tidak tiba-tiba datang, berlari atau tersesat, berlindung dari terik matahari atau berteduh dari hujan. Dia juga tidak memanjat bentengku atau berusaha merobohkan pagarku. Dan, dia tidak sedang membersihkan lumut, mengecatnya ulang atau membangunnya kembali.

"Jadinya mau ke makam kapan?"

Ah, harusnya dia tidak menanyakan itu lagi. Apa dia tidak takut kalau aku akan berubah pikiran? Tapi tentu saja dia hanya akan membiarkannya. Urusannya cukup banyak, bukan hanya soal aku.[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro