Epilog
Ps:
Sedikit saran, baca lagi prolog-nya. Terima kasih udah baca sampai sejauh ini!
*****
Aku percaya takdir. Sungguh, aku percaya.
Kini, setelah memberanikan diri untuk pulang ke rumah dan bertemu langsung dengan Bapak dan Ibuk, makam Kak Ajun-lah yang ada dalam rencanaku, yang akan aku datangi pertama. Bersama orang yang menemani sakitku dua tahun ke belakang ketika orang lain membelakangiku, rasanya pasti akan berbeda.
Bersama dia, orang yang pasti tidak sabaran menunggu jawabanku selagi jari-jarinya menari di atas papan ketik sementara matanya tertuju pada layar yang menampilkan kode-kode yang tidak kumengerti. Dia yang di bayanganku, akan meneleponku ketika merasakan capek dengan pekerjaannya, perlu untuk mengeluh dan bersandar. Namun tidak. Dia menelepon untuk memastikan keadaanku. Aku yang bersandar padanya.
"Jangan galak galak dong, Fan...." ucapanku seketika membuat Lembayung membelalakkan matanya. "Itu kamu di mana? Aku belum lama nyampe. Habis ketemu Pak Wisnu tadi pagi, langsung deh ke sini. Untung aja dapat tiket."
"Aku masih ada kerjaan, sih, Mbak. Tapi kalau emang kamu udah nyampe rumah, aku ke sana. Boleh enggak?"
Satu yang sama darinya dengan sosok laki-laki yang ada dalam bayanganku; dia selalu meminta izinku. Dia, pemeran utama di buku keduaku. Buku yang dituliskan oleh-Nya, bukan olehku—yang berasal dari angan-anganku.
"Aku ...? Sejak kapan kamu pakai aku - kamu?" tanyaku, sekuat hati menahan tawa. Dan benar saja, dia mematikan panggilannya, seketika membuatku menjerit ingin sekali melempar ponselku.
"Bang Topan?" Lembayung berbisik, segera menyadarkanku. Dia kelihatannya tidak yakin dengan yang didengarnya. "Mbak...?"
Tidak mengindahkan kebingungan adik sepupuku itu, aku keluar kamar dan turun melewati Bapak dan Ibuk yang tengah bercengkrama di depan televisi. Sedikit menunduk, aku bergegas ke teras, duduk manis dengan Kiki yang naik ke pangkuanku, kemudian mengeluarkan ponselku hendak menghubungi kembali orang yang tahu-tahu sudah ada di depan rumah.
"Hai!" sapanya canggung.
Aku tidak bisa lagi menahan senyumku. Dia sama seperti yang di buku. Dia yang tidak berusaha dalam berpenampilan sampai tidak pernah membiarkanku menebak dengan benar dari mana dirinya sebelum menemuiku, atau memang sengaja pergi untuk bertemu denganku.
Dia yang bukan pemilik perusahaan start-up, namun benar dia orang yang ada di baliknya dengan angka-angka dan berbagai rumus yang akan menggerakkan perusahaan. Dia juga tidak mengendarai mobil, apalagi punya rumah sendiri. Dia senantiasa mengendarai motor yang sengaja dibawa pindah sejak kepergian kedua orangtuanya yang telah lama ditinggalkannya selagi ia tumbuh dewasa. Dia mengontrak rumah sederhana yang juga bisa jadi tempat kerjanya, namun tetap bisa menampung sahabat, kakak maupun adiknya jika berkunjung.
Dan dia yang menemaniku bertemu si Ratu Lebah sebelum mengakhiri hidupnya sendiri. Dia yang meyakinkanku untuk membaca pesan terakhir dari Karmila yang masih kupanggil Teh Mila, yang sampai detik terakhir hidupnya tidak bisa berucap kata 'Maaf'. Dia juga yang menjadi saksi dari pecahnya aliran darah yang sekian lama membekukanku.
Dari dia; cinta gila pada yang meninggalkanku, hingga benci berujung ketidakwarasan. Pada dia; keengganan telak atas yang mengamatiku melangkah sendirian, hingga penerimaan pasti tanpa bantahan.
Sakit kami berbeda, namun dia sama sepertiku. Ditinggalkan. Dia punya benteng dan pagarnya sendiri. Dia keluar lebih dulu dengan segala kesakitannya. Bentengnya tidak dibiarkannya berlumut maupun kusam, apalagi sampai memasang kawat duri. Selepas ditinggalkan, dia memilih untuk keluar, membersihkan semua reruntuhannya, mengecatnya ulang dan membiarkannya terkena sinar matahari.
Dia yang datang padaku, pada aku yang pergi meninggalkan reruntuhanku dan membiarkannya begitu saja selama lebih dari empat tahun. Dengan hangat yang sudah didapatnya, membersamainya, dia berjalan dengan dinginku, menularkannya padaku.
"Ikut Bapak salat gih!" pintaku, melirik ke dalam, melihat Bapak yang sudah siap dengan pakaian takwanya. "Kok udah di sini?"
"Gue tadi ada kerjaan di dekat sini."
"Sedekat itu?" tanyaku tidak yakin. Ah, Taufan, dia tidak pernah mau mengakui kalau dia melakukan banyak hal untukku. "Ke dalam dulu."
"Baru juga ke sini udah disuruh ke dalam."
Aku tertawa mendengar gerutuannya. Laki-laki di buku yang kutulis saat pemulihanku, mana ada dia seperti ini?
"Udah berani nyampe sini, loh, Fan!" Aku sepenuhnya keluar pagar, menyamperinya. "Ada Ayung. Tadi Sam ke sini. Tapi nggak ketemu juga sih...."
Taufan menghela napasnya, membuka helmnya. "Terus ... lo gimana?"
"Enggak apa-apa. Emang nggak ada yang tahu aku rehab. Selain Bapak sama Ibuk, kamu doang. Ayung juga tahunya waktu dia main ke tempat aku. Kamu kan yang ngasih tahu dia?"
"Ayung. Namanya Lembayung. Dia dia aja. Adik kamu itu."
"Kata orang yang ke kakaknya ngomong lo - gue seenak jidat," ledekku, tidak kehabisan bahan. "Eh, tadi kamu ngomong apa?" Aku menunggunya, ingin mendengarnya langsung.
"Yang mana, Mbak?" tanyanya, menjatuhkan harapanku.
"Beraninya di telepon doang!" protesku. "Aku - kamu," jawabku, sedikit konyol tapi tidak apa-apa. Tidak hanya di buku, aku senang dengan perbedaan seperti ini. Penyebutan, cara bicara, isi obrolan, itu semua hal besar namun mudah untuk jadi acuan perkembangan sebuah hubungan.
"Aku - kamu? ah ...." Taufan berdeham. "Lo beneran udah oke."
"Lagi nggak oke juga kamu suka kan?"
Taufan memalingkan wajahnya, membuatku tertawa lagi. Jika dipikir-pikir, bersama laki-laki ini, yang di luaran sana minim senyum, bicara pelan sekali dan seperlunya, lucu juga.
"Senyamannya kamu aja," kataku pada akhirnya. Gemas juga melihat orang tidak banyak tingkah yang salah tingkah begini. Di waktu sehatku sekarang, aku masih dengan pendapatku, kalau Taufan tidak pernah berkencan apalagi menjalin hubungan.
"Bukannya gitu, sih, Mbak—"
"Maaf, bentar," aku merasakan ponselku yang bergetar, melihat nama Lembayung di sana. Refleks aku melihat ke loteng rumah, tampak Lembayung melambaikan tangannya. "Baiknya aku cerita ke Ayung apa enggak ya, Fan?" tanyaku setelah memastikan Lembayung kembali masuk ke kamarku.
"Cerita apa?" tanya Taufan dengan kening berkerut. "Soal lo? atau—"
"Kak Ajun."
Melirik ke atas tempat Lembayung tadi, Taufan menghela napasnya, kembali melihatku. "Lo yakin nggak kenapa-napa?"
Taufan Abimana. Perlakuan seperti inilah yang membuatku sedemikian luluh. Aku tetap menjadi Manusia bersamanya, juga karenanya.
"Semua orang nganggap Kak Ajun baik. Di keluarga, aku doang kayaknya yang tahu. Aku, Teh Mila, teman-teman yang lain, kamu, orang-orang di Pusat Rehab."
Tidak menimpalinya, Taufan sepertinya ikut berpikir. "Mau ngobrol sama Anneke dulu nggak?"
Tanpa pikir panjang, aku mengiyakannya. Hampir setahun sejak keluar dari pusat rehab, aku belum pernah lagi bertemu dengannya, menghubunginya.
"Neng—eh, aya saha ieu?" Bapak membuka pagar lebih lebar, tak ayal membuat Ibuk juga keluar.
"Eh, Taufan ya?"
"Kamu udah kenal sama Ibuk?" tanyaku ragu.
Tidak menjawabnya, Taufan melewatiku, menyalami Bapak dan Ibuk. Langsung saja Bapak mengajaknya salat di masjid, meminjamkannya sandal jepit. Dia jauh lebih berani dari dugaanku, dari yang kutulis.
"Yakin baru ke sini?" tanyaku yang tentu saja tidak dijawabnya.
Ini seperti yang aku bayangkan. Kalau sampai di dalam nanti Ibuk memasak, menyiapkan makan malam, aku tidak tahu lagi ini apa. Tidak mungkin aku menulis takdirku sendiri. Taufan yang berusaha selagi aku tidak ada? Aku menoleh melihat punggungnya yang semakin jauh.
Ya, tidak berbeda denganku, dia juga berusaha membangun rumahnya yang baru.
Tinggal aku berdua dengan Ibuk. Sedikit berat langkahku menyamperinya. Benar berat. Kalau saja saat aku diberitahu tentang kenyataan yang ternyata lebih gelap dari yang sudah aku tahu, aku tidak langsung pulang dan melihat Ibuk bersama anak didiknya, memberi konseling gratis dan menyuarakan kesehatan mental remaja. Kalau saja selama aku di rumah mengurung diri, Ibuk tidak pergi praktik menemui pasiennya. Aku juga sakit, Buk. Neng sakit.
Aku menyeka air mataku, menarik napasku dalam-dalam. Kuperhatikan punggung Ibuk yang sedang sibuk dengan masakannya. Bagaimana reaksinya jika nanti ia tahu kalau keponakan kesayangannya tidak seperti yang dilihatnya selama ini?
"Mbak ...?"
Lembayung memergokiku dari atas. Segera aku mengusap wajahku, melangkahkan kakiku masuk.
"Ayung mau ikut makan enggak?" tanya Ibuk. "Tidur di sini kan?"
"Ah ... iya, Bi. Ayung kabarin Kakang dulu."
Bagaimana kalau mereka tahu? Mereka yang sudah melanjutkan hidupnya dengan sangat baik. Aku tidak kuasa bahkan sekadar membayangkannya saja. Tidak ada gunanya juga menjemur bangkai ke atas bukit. Biarkan bangkai tetap jadi bangkai. Hanya itu yang perlu aku usahakan. Aku hanya perlu membiarkannya. Lagi. Persis seperti saat Dia pergi, aku hanya perlu untuk tidak melakukan apa-apa.
Kusadari Lembayung yang tidak memutus tatapannya dariku. Sampai kemudian, dia beranjak kembali ke atas. Kuharap dia tidak menemukan apa-apa, tidak ada yang dicurigainya. Mengetahui kalau aku menjalani rehabilitasi sudah cukup membuatnya merasa bersalah yang padahal tidak ada hubungannya dengan dirinya. Cukup aku. Bagaimanapun, adik kandung dari orang yang memberi sakit luar biasa itu adalah adik sepupuku juga. Dia tetap harus menjalani hidupnya dengan baik.
"Neng," Ibuk memanggilku, segera aku menyeka air mataku lagi. "Taufan suka pedas nggak?"
Senyumku refleks terulas. Suka. Taufan suka pedas. Tidak seperti laki-laki di buku. "Taufan bisa makan sama kita, Buk."
Ibuk mengambil cabai yang sudah disisihkannya, memasukkannya ke dalam masakannya yang sudah terjerang.
"Buk—" ah, kenapa aku selalu ingin menangis tiap kali ingin bicara pada Ibuk. Sekian lama aku tidak pulang, menghindarinya bahkan sebelum pergi, aku tidak bisa terus seperti ini. Bagaimanapun, aku membutuhkannya. "Maaf."
Ibuk melihatku dengan tangis tertahannya. Pisau di tangannya dijatuhkannya, beralih memelukku.
"Maafin Neng, Buk...." Aku tidak bisa lagi menahan tangisku. Tidak kupedulikan Lembayung yang mungkin akan mendengar kami.
"Makasih udah pulang, Neng." Ibuk melepas pelukannya, melihatku seksama sebelum akhirnya memelukku lagi. "Makasih."
Selama di pusat rehabilitasi, aku tahu kalau Ibuk beberapa kali mengunjungiku meski kami tidak pernah mengobrol. Ibuk hanya melihatku dari jauh. Ibuk akan memasak untukku, membawakanku makanan, membelikanku pakaian, mengobrol dengan Anneke.
Sementara Bapak, suatu waktu Bapak datang dengan setelan kerjanya. Bapak banyak membicarakan apa yang terjadi di dunia luar meski aku hanya mendengarkannya tanpa bisa merespons. Sampai akhirnya Bapak menangis, aku baru bisa bicara padanya, ikut menangis dengannya. Tidak ada yang bisa kukatakan selain bilang kalau apa yang aku alami bukanlah salahnya.
Bapak dan Ibuk yang baik. Persis dengan yang aku tulis. Bedanya, hanya aku yang sulit untuk terbuka, membicarakan apa yang membuatku sedemikian sakit. Orang-orang yang dahulu kala membuatku sakit, persis juga, mereka yang menemaniku sembuh. Yang berbeda setelahnya, mereka diberi sakit yang sama denganku, di waktu dan tempat yang juga sama.
Yang terjadi saat itu adalah, Teh Naya menyamperiku ke Jakarta, bilang kalau dia tahu keberadaan Teh Mila. Kami semua termasuk Teh Denia dan Kak Alya, mengunjunginya. Dan tepat di depan mata kami, Teh Mila mengakhiri hidupnya, tidak lagi bisa diselamatkan. Banyak yang ditinggalkannya untuk kami. Surat-surat, gambarnya, sulaman, lukisan, hingga laptop berisi banyak gambar dan video yang perlahan membunuhku.
Kak Ajun dan Teh Mila pernah berkencan—menjalin hubungan. Tidak sampai di sana, jalan mereka cukup jauh, pun yang sudah mereka lakukan. Aku merasa ditipu selama ini dengan orang yang kukira menyembuhkanku. Aku merasa bodoh, tidak layak. Yang lebih mengerikan, dia yang membuatku merasakan banyak hal buruk itu sudah pergi meninggalkanku. Curang. Dia pergi dalam kondisi sebaik-baiknya. Kecuali mereka yang tahu, tidak satu pun orang yang ditinggalkannya dalam keadaan benci dan dendam.
Ya, ceritaku tidak sebaik di buku. Pun mereka. Teh Denia yang berkali-kali menolak untuk hamil, Teh Naya yang menyakiti badannya dengan melakukan banyak hal tanpa istirahat, serta Kak Alya dengan segala umpatannya menyumpah-serapahi Kak Ajun. Itulah sore yang lebih kelam di awal usia tiga puluhanku, menggantikan sore terkelamku sebelum usia dua puluhan. Gelap sore yang disertai hujan dan petir, lengkap dengan angin yang memorak-porandakan benteng dan pagarku.
"Ibuk mau baca tulisan Neng nggak?" Aku mengurai pelukanku dengan Ibuk, sedetik sebelum azan magrib berkumandang. Tulisanku, yang mungkin sudah waktunya Ibuk membacanya, cara yang dianjurkan untuk bisa menggaliku sekaligus jadi proses pemulihanku.
"Ibuk udah baca," jawab Ibuk, mengusap wajahnya yang kemerahan.
"Anneke yang kasih tahu?" tanyaku, mengingat wanita tua yang senantiasa merawatku, jadi teman ceritaku. Hanya dengannya aku bisa bicara meski katanya butuh waktu lama.
"Uhm ... terakhir sampai si 'Aku' nyuruh Mirza bawa Laras ke Psikiater."
Benar, Ibuk sudah membacanya.
"Terus mereka gimana?" tanya Ibuk. "Laras beneran sakit?"
Aku mengingat perempuan yang sering kulihat sejak layar laptop yang diberikan Anneke masih kosong tanpa satu huruf pun. Juga seorang lelaki yang kerap menjenguknya, yang tampak terlalu sempurna setelah pulih dari sakitnya. Aku ingin jadi seperti dirinya.
"Iya, Buk. Orangnya beneran ada."
"Ada? Kabar mereka gimana sekarang?"
Aku tidak tahu. Aku juga ingin tahu kabar mereka. Sekalian bertemu Anneke nanti, aku akan menanyakannya. Mungkin itu yang jadi prioritasku, mereka, dunia mereka yang menemaniku dalam perjalanan sembuh.
"Ibuk mau lanjut baca?" tanyaku, ingin juga membaca tulisanku yang secara ajaib membuat Anneke tahu apa saja masalahku. Masalah yang tidak pernah mau aku ceritakan pada konselor sekalipun, Anneke bisa tahu hanya dengan membaca tulisanku.
"Mau, kalau boleh," kata Ibuk dengan senyum. "Taufan yang asli kayak di sana juga nggak?"
Aku tertunduk, memilin-milin jemariku, merasakan cincin yang melingkar di jari manis tangan kiriku. "Dia yang bawa Neng ke sana, dia yang temanin, yang nungguin. Dia yang tahu semua ini." sedikit takut, aku mengangkat lengan bajuku, menunjukkan semua bekas lukaku. "Sampai Neng bisa ada di sini, ada Taufan, Buk." Dia pemeran utamanya.
Ibuk memandangku haru dengan senyumnya. Kali ini dibiarkannya air matanya lolos. Ibuk memegang lenganku, merasakan semua bekas lukaku. Pelan-pelan Ibuk membelai wajahku, menemukan luka di keningku, juga bekas memar di tulang pipi dan daguku. Ibuk tertunduk, tangisnya pecah. Setelah ini, aku hanya akan lihat ke depan menjalani takdirku.
"Di Mirza ada Taufan-nya, Buk. Tapi di Taufan, itu beneran Taufan."[]
*****
Pss:
Alohaaaaaaaa
Ya Allah aku udah lama banget ga nyapa kayak gini huhuuuu
Makasih banyak buat teman teman yang udah baca, terutama yang ngikutin update-nya sampe komen segala macem. Makasih udah ikut masuk ke ceritanya.
Aku mau minta maaf kalo ada yang kepalang baper soal Ganis dan Mirza. Aku pun sama soalnya 🥲 ini prolog - epilog tersulit yang aku tulis. Aku sampai harus bolak balik lihatnya takut ada yang miss. Make sure ini dan itu.
Buat yang suka banget sama Taufan, gimana? Puas nggak? HHAHAHAAA
Aku mau tau pesan dan kesannya selama baca cerita ini dongsss soal ceritanya juga kkkk aku mau tau banget!!!! Semoga kamu enggak keberatan.
Sekali lagi, makasih banyak yhaaaaa
Jangan dulu dihapus dari perpustakaan kamu. Sama kayak Prolog - Epilog, bakalan ada part pasangannya Epigraf.
Terima kasih!!! 💛💛💛
Salam hangat,
Andins
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro