9 | Ini tidak selucu itu, tapi kenapa juga aku tertawa?
Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Dari mana pun standarnya. Terlalu jauh jika mengukurnya dari apa yang sudah diatur Sang Maha Pencipta. Dari sesama manusia saja, berapa banyak manusia yang di luaran adalah sosok sempurna yang diidamkan siapa saja, tapi di dalam rumah tidak jauh dari kata bobrok. Bukan hal aneh juga jika kita melihat orang yang tampaknya biasa saja, tidak punya hal unggul, namun sempurna sebagai orang tua bagi anaknya dan membuat iri setiap orang tua karena baktinya sebagai anak.
Pertama kali saat Mirza berniatan untuk bisa lebih dekat denganku, menjalin hubungan, butuh waktu lama untukku menjawabnya karena aku tidak bisa menolaknya. Tidak ada yang kurang darinya selain aku yang sulit memastikan apa aku menyukainya atau tidak. Di sisi lain, aku juga bukan dalam fase di mana aku tidak ingin sendirian yang membuatku mudah menerima orang yang menyukaiku. Ibaratkan, selagi dia menyukaiku, mau denganku, aku akan menerimanya. Minimal aku tidak sendiri. Tidak ada lagi itu dalam kamusku. Sendiri sudah lama jadi temanku. Itu yang paling kubutuhkan, bukan sekadar aku inginkan.
Tapi, apa menjalin hubungan dengan sepupu sendiri itu adalah kekurangan? Tidak, setidaknya menurutku yang juga pernah dalam posisi serupa. Tapi tentu itu bukan sesuatu yang biasa saja untuk diungkapkan. Dengan Mirza yang begini, aku lebih ingin membiarkannya sendiri dulu. Tidak peduli bagaimana ia menungguku, aku lebih ingin dia tenang dulu. Aku ingin dia bicara lebih dulu, apa yang ingin disampaikannya.
"Mau saya yang nyetir? Atau saya perlu turun?" tanyaku akhirnya. "Take your time."
Aku sudah mau membuka pintu mobil, tapi Mirza lebih dulu menguncinya. "Saya antarin."
"Enggak apa-apa kalau kamu masih belum bisa bicarain ini. Mungkin kamu perlu mikir dulu, perlu waktu," ucapku yakin. "Enggak gampang ya?" tanyaku lagi, membayangkan situasi tadi dengan posisiku sekarang yang mengetahui kalau Mirza pernah berpacaran dengan sepupunya. "Lihat mantan yang 'orang lain' aja pun kadang enggak mudah kalau hubungannya berakhir dengan nggak baik. Apalagi sepupu, yang jelas punya hubungan keluarga. Sebaik apa pun hubungannya berakhir, sepakat buat nggak sama-sama lagi, buat nggak perjuangin hubungannya lagi, buat nggak terus maju...." Aku menggeleng, enggan melanjutkan pendapatku.
Bahunya menurun, kecemasannya juga memudar meski kelegaan tidak juga tersirat dari duduknya yang tidak santai.
"Boleh saya tahu, gimana kamu sama Laras sekarang?" tanyaku yang sedetik kemudian kusesali. "Maksud saya, perasaan kamu gimana?"
"Saya suka sama kamu dan mau jalan sama kamu. Enggak ada alasan lain kenapa saya bisa bawa kamu sampai sini. Soal Laras, saya cuma mau kamu tahu kalau saya pernah pacaran sama dia yang nggak lain sepupu saya sendiri. Kapan pun nanti, di depan sana, pasti ada waktunya ketemu."
"Dimengerti," kataku dengan anggukan kecil, siap untuk menyimaknya lebih lanjut. "Terus, ada lagi?"
"Heum ..." Mirza kini lebih rileks lagi. "Nis, dulu saya dekat sama perempuan yang akhirnya berhenti setelah tahu kalau saya pernah pacaran sama sepupu saya sendiri. Itu pun awalnya bukan karena saya yang bilang. Ya ... mungkin dia sendiri yang bisa menyimpulkan. Entah gimana saya kelihatannya waktu itu menurut dia."
"Menyimpulkannya dari mana?"
"Waktu lagi jalan sama dia, kebetulan saya ketemu Laras di luar. Sama kayak tadi, Laras bisa mudah manggil saya, nyapa, ngajak ngobrol. Sementara saya nggak begitu, Nis," pungkas Mirza yang membuatku mengingat lagi bagaimana reaksi Mirza tadi. "Terlepas dari Laras itu sepupu saya, yang kayaknya nggak akan mudah buat diterima orang lain, dulu, mungkin saya juga yang salah karena saya nggak mengenalkan dia ke Laras dengan baik. Lebih mungkin lagi kalau saya masih dalam fase sulit, belum bisa terbiasa ketemu Laras di hubungan kami yang udah beda. Canggung, enggak nyaman."
"Tapi kamu kenalin saya kan? Ke sepupu kamu yang lain juga," kataku yang langsung diangguki Mirza. Mungkin karena aku pernah mengalaminya juga, aku enggan menanyakan hal lain dari yang sudah dijelaskannya. "Kalau misalkan saya main ke butiknya Laras, enggak apa-apa?"
"Sama saya?" tanya Mirza tidak menangkap maksudku dengan baik, yang akhirnya membuatku tertawa. Selama ini Mirza terlalu pandai dalam hal memahami. Mendapatinya tidak seperti biasanya malah jadi tampak lucu untukku. "Loh, kenapa?"
"Enggak kenapa-napa. Maksud saya, kan ini saya lagi nggak ada proyek. Jadi saya bakalan masih di Bandung. Berarti bakalan ada waktu buat saya bisa main ke butiknya Laras. Gimana? Kalau kamu mau, bisa juga sama kamu. Kapan-kapan."
Mirza menahan senyumnya, mengangguk pelan. Sejenak aku melihatnya tanpa berkata-kata. Tidak ada lagi kerisauan yang tampak dari wajahnya. Cemas, ragu, kaku, tidak ada lagi. Kelegaannya yang perlahan muncul pun membuatku berpikiran kalau tidak ada salahnya aku juga sedikit memberitahukan hubunganku yang telah lalu.
"Kenapa?" tanya Mirza menyadari kalau aku diam saja memperhatikannya.
"Makasih ya?" kataku, meluruskan dudukku lagi. "Makasih udah ngomongin ini."
"Saya yang makasih, Nis."
"Saya tahu ini nggak gampang. Kenapa saya sesantai ini, enggak banyak tanya, itu karena saya pernah ada di posisi kamu," jelasku dengan mudah, tanpa pertimbangan sedikit pun. Melihat Mirza yang merespons sama sepertiku, diam dan tetap memasang telinga, aku pun melanjutkan, "Yah ... beda emang kalau cerita sama orang yang pernah ngalamin juga. Enggak akan kaget, heran atau bilang kita nggak masuk akal."
"Enggak masuk akal buat yang belum pernah ngalamin," Mirza tersenyum miris melengkapi.
"Orang lain yang tahu saya pernah ada di posisi itu, mungkin bakalan menganggap sikap dan pandangan saya kabur karena pernah ada di posisi persis kamu. Apa pun yang saya ucapin sekarang terkesan kayak pembelaan, pembenaran. Tapi Mirza, sepupu juga manusia. Yang terpenting kan enggak ada yang dilanggar juga."
Mirza menyunggingkan senyumnya. "Semua orang tahu kalau itu nggak melanggar apa pun, tapi tetap nggak mudah," jelasnya yang refleks aku angguki. "Terus, orangnya gimana sekarang? Hubungan kalian?"
Hanya Mirza yang menanyakan itu tapi bisa membuatku tersenyum dan dihujani banyak kenangan baik. Ya, sepahit apa pun yang aku rasakan sekarang, aku sudah merasakan banyak hal manis sebelumnya dari sana. "Nanti kalau udah waktunya, saya ajak ke tempatnya."
Kalau bukan dengan Mirza, yang juga pernah mengalami hal serupa, aku tidak tahu apa aku bisa mengatakan ini. Jangankan memberitahukan pengalamanku dulu, bahkan aku tak berpikir bahwa ada seseorang yang perlu tahu ceritaku ini. Aku tidak berpikiran untuk menjalin hubungan, menyukai seseorang yang datang padaku, membuka diri sampai kemudian menceritakannya dan mendengar pendapatnya, mengetahui reaksinya. Alur itu tidak ada dalam rencanaku. Selama ini hanya kata 'berbenah' yang aku pentingkan.
Tiba di rumah dengan perasaan lega dan nyaman, aku membiarkan Mirza mengobrol berdua saja dengan Bapak. Apalagi kalau bukan soal pekerjaannya, kesibukannya. Karena obrolannya dengan Bapak yang sedikit aku simak, aku jadi tahu kalau kedua orang tua Mirza sudah tidak ada di dunia ini. Ditambah lagi dia anak tunggal yang sama sepertiku. Ah, hal sepenting itu saja aku baru tahu. Benar, banyak hal tentangnya yang tidak aku tahu.
"Maaf," kataku saat mengantarkannya ke mobil.
"Maaf kenapa? Saya yang maaf karena buru-buru," timpal Mirza yang menolak tawaran Ibuk untuk makan malam dulu. "Jarang-jarang ke Bandung malah saya yang nggak nyediain waktu buat ketemu saudara-saudara."
Aku jelas mengerti maksudnya, turut senang juga karena itu berarti hubungannya dengan anggota keluarganya yang lain tidak dalam masalah. "Saya baru denger soal kamu dari obrolan sama Bapak tadi. Agak gimana aja, gitu," jelasku kikuk. "Saya nggak tahu kan karena emang saya yang nggak nanya. Kesannya kayak yang...." Aku berdecak, sulit untuk bilang kalau aku yang selama ini kurang berusaha, tidak meluangkan waktu, atau memang tidak mau tahu.
Mirza tersenyum lebar, tawanya menguar. "Saya juga yang nggak cerita, nggak ngasih tahu," ucapnya. "Kalau ada yang perlu kamu tahu, yang mau kamu tahu, enggak apa-apa banget kalau mau nanya. Tapi yang gitu tuh natural aja nggak, sih, Nis?"
"Justru karena itu natural, kenapa saya nggak sampai di titik sana?" tanyaku lebih pada diri sendiri. "Atau belum, mungkin?"
"Belum?" tanya Mirza dengan alis menukik. "Tapi kamu suka sama saya, kan?" lanjutnya, kali ini seperti meledekku, meniru nada bicaraku. Dan tentu saja aku tidak menjawabnya alih-alih menyuruhnya segera masuk ke mobil. "Balik ke Jakarta kapan?"
"Belum tahu jelasnya kapan. Pak Wisnu belum kasih kabar buat proyek berikutnya. Katanya masih tawar menawar," ungkapku.
Mirza yang sudah duduk di balik kemudi, mengangguk. Begitu pintu mobil kututup, Mirza menurunkan kacanya memanggilku yang menunggunya pergi. "Janji dulu," katanya, membuatku mendekat ke arahnya.
"Janji apa?"
"Buat lihat ke depan aja," ucapnya serius. "Bukan cuma kamu, tapi saya juga."
"Heum ... gimana kalau yang ada di belakang nantinya kelihatan di depan? Enggak sengaja ketemu."
"Itu kan di luar kuasa saya sama kamu. Yang jelas, baik saya dan kamu sama-sama nggak cari itu, kan?" tanya Mirza retorik.
"Kalau noleh, boleh?"
Mirza berpikir, kemudian mengangguk dengan wajah seriusnya. "Asal jangan sampai sakit leher aja."
Aku menahan tawaku. Ini tidak selucu itu, tapi kenapa juga aku tertawa? "Maksudnya jangan sampai balik lagi ke belakang?"
"Bisa. Sebenernya tergantung juga, menolehnya tuh kenapa, karena apa dan buat apa," jelas Mirza. "Tapi yang paling mungkin kan bisa aja jadi balik ke belakang."
"Atau malah jadi nggak mau lagi balik ke belakang," kataku melengkapi.
"Karena lehernya sakit?" tanya Mirza yang masih dengan leluconnya dan tetap membuatku tertawa. "Tuh kan ketawa. Udah ya," tutup Mirza kemudian mengucapkan salam.
Setelah Mirza benar-benar hilang dari pandanganku, aku kembali ke rumah dengan langkah yang lebih ringan. Entahlah, mungkin karena baik aku dan Mirza sama-sama sudah terbuka soal masa lalu kami. Juga, tidak ada lagi perasaan tidak nyaman karena terus berpikir bahwa usaha Mirza yang lebih sementara aku hanya ikut jalan.
Ibuk yang sedang mengobrol dengan Bapak menyambutku dengan tatapan hangat dan penuh perhatian. Anehnya, aku tidak merasa seperti sedang dikasihani. Tidak juga dikhawatiri yang sering membuatku balik kasihan sekaligus keberatan dipandang begitu. Mungkin memang sudah waktunya juga seperti ini.
Yah, bukan hanya aku dan Mirza yang perlu melihat ke depan saja untuk bisa jalan dalam hubungan kami sekarang. Aku, Ibuk dan juga Bapak, kami semua hanya perlu melihat ke depan untuk melanjutkan hidup. Tidak ada yang Bapak dan Ibuk katakan soal Mirza, juga soal hubunganku dengannya. Yang kulihat, yang aku rasakan, bagi mereka, mungkin yang terpenting adalah anaknya ini yang sekarang perlahan 'kembali'.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro