8 | Dunia yang sempit atau langkahku yang tidak seberapa?
Tebak, siapa yang aku lihat di pertemuan keluarga Mirza? Pertama, juru masak yang memberikan tester makanan di Hotel saat aku mengurus acara gathering perusahaan, tepat saat aku mengobrol dengan Teh Denia lagi untuk pertama kalinya. Sempat terpikirkan untuk pura-pura tidak mengenalnya, berlagak lupa atau apa saja, toh dia juga kelihatannya tidak begitu peduli. Tapi, seorang lelaki lain yang juga aku temui saat gathering itu, tampak mengingat-ingatku, lalu tersenyum dan berkata pada lelaki pertama kalau aku adalah klien mereka di Hotel beberapa tahun lalu.
Lupakan sejenak soal dua orang juru masak itu. Penampakan seorang lelaki lain yang tengah menggendong anak kecil seakan menyadarkanku kalau selama ini aku tidak pergi ke mana-mana, sejauh mana pun aku berlari, selama apa pun aku menepi. Taufan menghela napasnya begitu melihatku dengan tatapan tidak percayanya. Tidak pura-pura tidak mengenalku, atau tak peduli, Taufan justru melangkah ke arahku. Namun belum sempat lelaki itu bicara, Mirza lebih dulu menghampiriku usai memindahkan mobilnya.
"Ngobrol sama siapa tadi?" tanya Mirza, membuatku kehilangan Taufan yang entah pergi ke mana lagi.
"Oh ... itu tadi, orang Hotel tempat saya gathering di kantor dulu. Kebetulan, saya yang urus sama tim, jadi ketemu mereka langsung buat persiapan acaranya."
"Di kantor lama kamu yang di Bandung?" tanya Mirza memastikan. "Wah ... banyak yang saya belum tahu kayaknya."
Aku mengangguk kikuk menimpalinya. Benar juga. Kebanyakan hanya Mirza yang bercerita, itu pun lebih pada soal pekerjaannya.
"Katanya bukan acara gede, tapi banyak banget yang datang," ucapku, menyadari penuhnya parkiran dan orang yang entah datang dari mana saja.
"Keluarga sayanya emang nggak banyak. Tapi teman-temannya yang punya Resto ini yang banyak," tutur Mirza. "Nah, kalau ini sepupu saya," lanjutnya saat seorang lelaki berkacamata menghampiri kami. Perhatianku jatuh pada anak lelaki yang digendongnya, yang tadi juga digendong Taufan. Apa dia kerabatnya?
"Ah, ya ...." Aku mengulas senyum. "Rengganis." Aku menangkupkan tangan, mengikutinya yang kelihatan sedikit repot dengan anak di gendongannya.
"Saya Hari," katanya ramah.
"Yang dosen itu," lanjut Mirza dengan bangga mengatakannya walaupun dengan nada bercanda. "Senja mana, Yi?"
"Tuh, ngobrol sama adeknya. Udah lama nggak ketemu."
Aku mengikuti arah pandang Mirza yang tersenyum menyapa seorang perempuan berkerudung hijau mint. Lagi-lagi aku menemukan Taufan yang akhirnya bisa kusimpulkan kalau dia adalah adik ipar sepupunya Mirza.
Memperhatikan orang-orang yang aku temui beberapa menit ke belakang, dari masa lalu sampai masa sekarang, aku pikir sebenarnya jalan yang kutempuh tidak sejauh itu. Berapa tahun dari aku yang untuk pertama kalinya mengerjakan proyek di luar pekerjaan sampai bertemu dua orang juru masak itu? Di mana pula aku mengenal Taufan sampai kami bertemu di tempat yang jauh dan diisi orang-orang yang bahkan tidak ada di rumah tempat kami pertama kali bertemu? Sekarang ini aku seperti dihadapkan pada lingkaran sederhana yang sudah kulewati selama aku hidup.
"Teh Ganis, makan!" seru seorang lelaki yang lucunya masih ingat namaku. "Haykal," lanjutnya, sadar dengan wajah kikukku ketika hendak menjawabnya. Lelaki lain di sebelahnya geleng-geleng kepala menutup wajahnya. Ya, kali ini aku ingat persis kedua orang itu yang selalu menempel. Ditambah lagi sekarang jaket mereka sudah berganti dengan pakaian juru masak pada umumnya. Keduanya berdiri di balik meja, menyiapkan makanan yang kemudian disajikan di atas meja.
Mirza tertawa melihat kecanggunganku. "Itu tuh teman-temannya adik sepupu saya waktu di Hotel dulu. Mereka bareng-bareng buat menu di sini, sampai sekarang buka cabang pertamanya," katanya yang masih belum selesai dengan perkenalannya. "Haykal emang sekocak itu ya orangnya? Gampang kenal orang."
Aku mengangguk, kembali ingat masa-masa di mana aku menjadi salah satu pengurus gathering perusahaan, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah aku lakukan. Menemukan orang dengan kepribadian seperti Haykal adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam situasi kaku dan baru bahkan tidak diinginkan sekalipun. Saat aku bekerja setengah hati dengan Teh Denia yang membuat suasana jadi gelap dan menegangkan, Haykal memberi warna cerah pada kerja sama kami dan menjadikannya menyenangkan.
"Adik sepupu kamunya yang mana?" tanyaku kali ini, mengingat dari setiap orang yang ditemui Mirza belum ada yang dikenalkannya sebagai pemilik resto.
"Uhm ... tuh, yang lagi buat panekuk. Mau nggak?"
Aku mengikuti langkah Mirza tanpa menjawabnya. Aroma manis vanila langsung menguar di penciumanku saat hampir sampai di sana. Tepat saat kami berhenti, perempuan yang memakai apron pink pastel itu tersenyum melihatku dan Mirza bergantian. Dia perempuan dewasa yang tidak kelihatan dewasa. Bagaimana cara dia mengajak balita yang duduk tidak jauh dari tempatnya untuk bersalaman dengan Mirza, juga memohon pada Mirza yang mengisenginya dengan bilang bahwa kami buru-buru akan pergi. Manis sekali.
"Rame ya ...." Aku duduk di sebelah Mirza yang mengajak keponakannya tadi untuk makan panekuk bersama kami.
"Segini tuh masih banyak yang belum datang-atau mungkin emang nggak akan datang," jelas Mirza tampak tak begitu yakin.
Refleks aku mengangguk-angguk melihat sekitar. Dari banyaknya yang sudah Mirza kenalkan padaku, rasanya masih ada yang kurang. Bertanya pada Mirza pun segan, seakan aku ngebet untuk dikenalkan pada keluarga intinya. Tapi melihat bagaimana Mirza menyapa para sepupunya, setidaknya cukup menggambarkan bagaimana hubungan Mirza dengan keluarganya.
"Mama mana, Ya?" tanya Mirza saat adik sepupunya tadi menghampiri kami. "Adik-adik?"
"Enggak pada ke sini. Orang tua enggak ada yang ke sini juga," jawabnya dengan kekehan. "Yaya sama Valdi cuma ngajak teman-teman sama kerabat dekat aja. Yang masih pada muda."
"Heum ... giliran gue datang, Mama malah enggak ada."
Fathya tertawa kecil, "Ke rumah aja nanti, Bang. Lagian, kalau acara keluarga, Bang Mirza bakalan datang?" tanyanya, menarik perhatianku lebih jauh. "Tuh, Mbak, Bang Mirza tuh enggak pernah datang ke acara keluarga. Baru lagi loh ini ketemu Bang Mirza. Berapa tahun ya? Terakhir waktu Bang Ayi nikah, kan?"
Mirza mengangguk, mengatupkan mulutnya, tidak bisa membantah perkataan sang adik sepupu.
"Belum kenalan," ucap Fathya setelah menerima suapan es krim dari sang anak yang tenang dengan makanannya. "Fathya, adik sepupunya Bang Mirza."
"Saya Rengganis," Aku menjulurkan tangan. "Panggil Ganis aja."
"Ah ... iya. Tadi dengar Haykal manggil. Kok bisa kenal?"
Pertanyaan Fathya membuatku bercerita bagaimana kami bertemu. Mirza yang sebelumnya hanya mendengar cerita singkatku, ikut menyimakku. Ya ... beginilah kalau bertemu orang baru. Ada waktu di mana aku malas bercerita, tidak mau. Tapi dalam situasi seperti ini, tidak mungkin kalau aku berdiam diri. Sambutan tidak langsung yang aku dapati dari acara ini sedikit banyak membuat jiwaku di dalam sana perlahan hidup.
Kedatangan tamu lain membuat Fathya undur diri dari kami. Perempuan itu membawa serta sang anak, menjadikan kami tinggal berdua. Tidak membiarkan kami membuang waktu dengan kekosongan, Mirza mengajakku mencoba berbagai macam makanan. Segala hal menarik perhatian kami, termasuk soal orang-orang yang sudah dikenalkan Mirza padaku. Sepupunya yang ini, sepupunya yang itu, siapa ini dan siapa itu, kesibukan mereka. Aku cukup takjub dengan Mirza yang 'social butterfly', sebab hampir semua orang yang katanya bukan anggota keluarganya pun menyapanya. Bisa aku simpulkan kalau apa kata Fathya tadi, kenapa Mirza jarang sekali ada di acara keluarga, bukanlah karena masalah yang membuatnya enggan menunjukkan diri dan bertemu sanak saudaranya.
"Taufan?"
Tidak tahu kenapa, aku mengaduh begitu Mirza memanggil lelaki itu. Memalingkan muka darinya ataupun pura-pura tidak kenal bukanlah hal baik. Tapi sampai ketika Taufan menyapa Mirza, aku sedikit tak percaya saat Taufan bilang, "Saya kenal, Pak. Kakak sepupunya Samudera. Mbak Rengganis."
Jauh dari yang aku perkirakan. Menurutku, Taufan bukan orang yang akan seterbuka itu, tapi bukan juga yang akan menyembunyikannya atau berpura-pura. Dia hanya akan mengikuti alurnya, membiarkan aku yang lebih dulu bertindak. Sulit ditebak.
"Panggil Mas aja kalau gitu!" Mirza terkekeh. "Taufan ini perusahaannya yang bikin aplikasi di kantor. Dulu Ayi yang rekomendasiin dia."
Aku tahu persis apa pekerjaan Taufan. Samudera sangat ingin mengenalkannya padaku, mendekatkan kami. Mana mungkin aku tidak tahu kalau mendesain aplikasi adalah hal yang ditekuninya?
"Samudera yang waktu itu sama kamu ke kantor, ya, Fan?"
"Iya, Pak," jawab Taufan singkat. "Saya-"
"Saya tuh ada kerjaan," lanjut Mirza. "Keburu lupa. Mumpung ketemu. Saya ambil HP dulu. Tunggu sini ya?" katanya padaku dan Taufan, meninggalkan kami, dua orang asing yang sebenarnya saling mengenal ini, dengan segala keberatan yang tidak kami suarakan.
Ini lebih parah dari aku yang mendadak harus berada di situasi bersama orang baru yang sama sekali tidak aku tahu, tidak aku kenal. Dengan Taufan, aku jelas mengenalnya, sedikit banyak juga tahu dia. Kalau saja Taufan tadi pura-pura tidak mengenalku, atau keberatan dengan kepergian Mirza, mungkin akan lebih baik. Sekali lagi, hanya berdiam diri saat sedang bersama orang yang dikenal adalah hal terburuk yang sangat tidak ingin aku alami lagi.
"Itu kakak kamu ya?" tanyaku pada akhirnya, buka suara lebih dulu begitu melihat perempuan yang Mirza sebut 'Senja' tadi. "Yang dosen itu?"
Taufan mengangguk, mengantongi ponselnya. "Iya. Namanya Senja."
"Kayaknya nama tuh cermin kepribadian orang ya? Kelihatannya tenang banget orangnya," jelasku jujur, melihat bagaimana perempuan itu tampak santai meski sekitarnya sibuk. Tenang walau sekitarnya berisik.
"Terus, berhubung nama gue Taufan, berarti ribut dan mengganggu, gitu?"
Untuk pertama kalinya aku mendengar candaan lelaki itu. Tidak ada ketegangan maupun acuh tak acuh yang bagiku adalah nama tengahnya. Sedikit senyum terulas menghiasi wajahnya, juga tawa kecil yang keluar dari mulutnya.
"Ribut nggak selalu berisik. Mengganggu juga belum tentu merusak."
Jawabanku membuat Taufan memperhatikanku penuh. "Masalahnya itu," jawabnya serius.
"Masalahnya ...?" Aku tidak berpikir kalau ucapanku yang sebenarnya hanya untuk mengisi kekosongan kami tadi akan mengantarkanku pada keingintahuan atas perkataannya.
"Ribut nggak selalu berisik. Mengganggu juga belum tentu merusak."
Aku tidak bisa menahan decakanku mendengar jawaban Taufan yang menyalin persis ucapanku. "Ya ... selagi nggak merugikan orang lain kan?" tanyaku yang langsung dianggukinya.
"Tapi tetap berefek, kan?" tanya Taufan tanpa sadar aku setujui dalam hati.
"Tapi efeknya nggak pasti buruk, kan?" Aku masih belum selesai dengan keingintahuanku soal 'masalah' yang Taufan ucapkan.
"Sekalipun nggak berisik atau merusak, gimana bisa angin ribut kasih lo sesuatu yang positif, yang baik?"
"Bisa aja," jawabku yakin. "Kalau saya lagi di ruangan gelap tanpa suara, enggak tahu lagi di mana, angin ribut yang minimal ngegeser atap tempat saya tinggal itu bakalan kasih saya pencerahan; itu lagi siang atau malam. Daun-daun di pohon yang tadinya tenang pun bakalan jadi bersuara, bikin saya tahu kalau saya lagi ada di tempat yang nggak jauh dari pohon."
"Gimana kalau gara-gara angin ribut itu pohonnya malah justru nimpa tempat lo yang nggak tahu di mana itu?" Taufan meladeni ucapanku dengan tidak kalah seriusnya.
"Terus saya luka, gitu?" tanyaku takzim dengan percakapan kami. "Itu bukan apa-apa kalau akhirnya saya malah jadi bisa keluar dari tempat itu."
Taufan tidak lagi menjawab ucapanku. Ke mana lelaki yang tadi dengan mudahnya membalas perkataanku? Seakan tak memikirkan maksud dari pertanyaanku yang membawanya pada ucapan awalnya. Diamnya lah yang juga membuatku diam. Kami tidak sedekat itu untuk saling bercerita. Tapi aku juga enggan mematahkan situasi ini dengan canda, bilang kalau kami terlalu serius, mengobrol tidak jelas. Untungnya Mirza datang menghampiri kami, membuat aku dan Taufan kembali berjarak tanpa sadar.
"Fan, udah saya kirim langsung ke surel kamu. Nanti tolong dicek aja di kantor."
Taufan menggeleng, tidak keberatan dan langsung membuka ponselnya. Lelaki itu membacanya seksama, lalu tak lama kemudian pergi, kembali meninggalkan aku berdua dengan Mirza.
"Kapan ya saya punya rekan kerja kayak Taufan?" Mirza menggeleng takzim.
"Kenapa?" tanyaku ingin tahu. "Karena dia mau kerja di akhir pekan?"
Mirza menggeleng pasti. "Kalau karena itu, rekan kerja saya yang lain semuanya begitu."
"Terus ...?" Aku masih belum bisa menebak apa yang Mirza maksud.
"Di levelnya sekarang, sebenarnya Taufan tuh mampu dan lebih dari layak buat jadi Pemimpin. Tapi dia nggak mau. Berakhir jadi disegani sekaligus ditemani. Dia perlu kerja, tapi yang punya kerjaan yang lebih butuh dia. Bukan dia yang nurut jadwal, tapi jadwal dibikin karena dia. Cuma duduk di ruangan adem, kemejaan pake setelan formal gitu katanya enggak dia banget."
Pelan-pelan aku mencerna ucapan Mirza sampai mengerti maksudnya dengan membayangkan bagaimana sosok Taufan dalam pekerjaannya.
"Dia kayak gitu berarti berpeluang buat semena-mena dong entar?"
"Nah, di situ menariknya!" Mirza semangat menjelaskan. "Dia-"
"Mirza!"
Panggilan seseorang memutus ucapan Mirza. Senyumnya lenyap seketika. Pun binar matanya yang meredup. Lelaki itu menelan salivanya, menoleh pada arah suara yang semakin mendekat.
"Udah lama nggak ketemu! Kamu-eh?" Perempuan itu menghentikan ucapannya begitu melihatku. "Cantik. Saya Laras," ucap perempuan anggun itu, sejenak memindai penampilanku lalu menyodorkan tangannya.
"Rengganis," jawabku singkat dengan senyum simpul.
Berbeda dengan Mirza yang mengenalkan semua kerabatnya dengan senang hati, kali ini dia membiarkan aku bicara berdua saja dengan perempuan yang mengatakan kalau dia dan Mirza bersepupu. Laras memuji penampilanku, sampai dia menawarkanku untuk main ke butiknya. Tidak membiarkan kami lama-lama berbincang, Mirza mengajakku pulang. Sambil jalan aku menyapa orang-orang yang tadi dikenalkannya padaku sementara Mirza dengan cepat bilang kalau dia ada perlu.
Masuk ke mobil, Mirza tidak langsung mengendarainya. Lelaki itu menarik napasnya dalam-dalam, mengembuskannya keras. Aku merasa tidak berhak bertanya, membiarkannya mengatasi urusannya, melakukan apa yang perlu dilakukannya walau cuma diam.
"Nis," katanya setelah bermenit-menit kemudian, mematikan ponselnya yang menyala kemudian memasukkannya ke kotak tisu.
Aku langsung duduk menghadapnya, memberi perhatian penuh, menunggu ucapannya. Selama beberapa detik Mirza memalingkan wajahnya, menunduk, memejamkan mata, penuh kecemasan sampai tidak melanjutkan ucapannya. Aku masih belum bisa menebak ke mana arah pembicaraannya, apa yang dialaminya. Sampai kemudian Mirza bilang, "Saya pernah pacaran sama Laras."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro