7 | Seandainya kamu masih di sini-
Kalau aja aku gak main ke tempat Teh Naya, mungkin kali ini ceritaku bakalan kurang menyenangkan. Sedikit aja, Uwak Nurul alias ibundamu yang biasanya di sampingku, sepertinya tidak lagi bisa begitu. Aku juga bisa langsung menerimanya, mengertinya dan tidak masalah dengan itu. Ya ... kan sudah tiba masanya juga aku mengurus diriku, tidak lagi menghiraukan segala yang kamu tinggalkan, yang pada akhirnya sedikit banyak memberatkan langkahku.
Uhm ... tapi, bukannya kebanyakan yang aku tulis belakangan ini memang hal-hal yang kurang menyenangkan ya?
Mungkin ceritaku sekarang ini sedikit lebih baik. Dibilang menyenangkan, mungkin enggak. Aku ... cuma berpikir kalau ini penting buat diceritakan. Minggu kemarin aku ketemu orang-orang yang waktu itu merisakku. Walaupun aku udah nggak di 'situ' lagi, kenangan itu masih ada. Sesekali sakit tapi kemudian aku bercermin, melihat betapa hebatnya aku bisa sampai di sini.
Dulu aku pernah bertanya, apa mereka menyesali perbuatan mereka? Apa yang mereka rasakan saat melakukannya? Apa yang mereka dapatkan karenanya? Dan ... bagaimana perasaan mereka dewasa kini ketika ingat kalau masa dewasa muda mereka diisi dengan sesuatu yang menyakiti orang lain?
Beberapa jawabannya udah aku dapat dari Teh Naya yang jadi temanku cerita tiap kali pulang. Tapi, untuk pertama kalinya aku dengar itu dari Teh Denia yang lagi hamil. Dia merasa nggak bisa punya anak karena berpikir kalau dia nggak akan bisa jadi ibu yang baik. Aku nggak banyak cerita dengannya, dan enggak mau juga bersedih-sedih lagi karena itu. Tapi menurutku, dengan dia yang sadar akan kesalahannya, dan sampai sekarang jadi teman baik yang menyambutku pulang di saat semua orang seperti enggan melihatku, bagaimana bisa aku mendendam?
Menjadi baik adalah kesempatan untuk semua orang. Menurutku, sekalipun seseorang jadi tokoh antagonis di sebuah cerita terkenal, adalah protagonis di cerita lainnya yang tertumpuk buku lain atau mungkin belum dituliskan. Tapi menariknya, dalam ceritaku, di buku pertama mereka jadi si antagonis yang membuatku semakin takut buat sendirian. Dan di buku keduaku ... mereka protagonis yang menemani aku di sela kesendirian.
Yang berubah mungkin bukan orangnya, tapi bagaimana aku memandangnya. Bukan hanya aku yang menjadikan pertemuanku dengan mereka dulu sebagai konflik yang membangun karakterku. Tapi mereka juga sama. Kami sama-sama tumbuh dengan itu. Waktu memang tidak membantu, tapi aku, mereka, bukan batu. Kami sama-sama berjalan ke arah berbeda, melewati banyak rute yang pada akhirnya mempertemukan kami kembali. Dengan kami yang bertambah usia, membawa cerita kelam di pundak masing-masing.
Dulu, kamu yang membawaku pergi dari mereka yang membuatku sakit, perlahan memulihkan hingga aku sembuh. Sekarang, sepeninggal kamu yang pada akhirnya membawaku juga pergi dengan luka, mereka yang menyambutku pulang, mengawaniku, perlahan membasuh kesakitan lamaku juga luka baruku.
Dulu, kalau bukan karena mereka, bisa saja aku dan kamu berkeras hati untuk menahan perasaan masing-masing. Dan sekarang, kalau bukan karena kamu, sangat mungkin kalau aku jadi pendendam yang selamanya diingatkan sore kelam itu. Dari sebuah quote yang kubaca di Instagram, katanya, "memaafkan itu untuk diri sendiri." Benar, walaupun mungkin itu nggak aku ucapkan pada mereka, berkawan dengan mereka adalah lebih dari cukup.
Cukup lama sampai aku bertemu mereka kembali, selama itu juga aku gak mengenal maaf. Seperti yang kamu tahu sendiri, gimana aku hidup selama itu. Takut sendirian, melalui perkenalan demi perkenalan dengan banyak lelaki, sulit berteman. Bertemu dengan mereka lagi juga tidak mudah, yang ternyata bukan hanya untukku tapi juga mereka. Hampir 15 tahun berlalu, siapa sangka kalau kekelaman itu memberikanku sinar harap dalam gelap lain? Ya, aku sendiri juga nggak pernah menyangka. Dan mungkin ... kamu juga.
Seandainya kamu masih di sini-
Aku mencoret kalimat terakhir itu, kemudian menutupnya. Selama di rumah, sepertinya aku sudah banyak menulis di buku yang tidak pernah kubawa lagi itu. Tidak tahu kenapa, mungkin memang tempatnya, selalu ada yang ingin aku ceritakan. Hal-hal yang menurutku perlu ia tahu. Memang, tidak mudah meninggalkannya sepenuhnya. Tapi ini kemajuan baik. Dari yang awal mula kepergiannya, di mana aku banyak menuliskan apa yang aku alami, lalu sengaja meninggalkannya hanya agar tidak bergantung dengan itu. Lalu setiap pulang akan selalu ada cerita panjang yang aku tulis, berandai-andai kalau Kak Ajun masih ada di dunia ini. Hingga sekarang, aku yang hanya menuliskan hal yang memang perlu dia tahu.
Seperti yang aku bilang pada Faisal, kalau dulu Kak Ajun yang menemaniku. Ya ... sebenarnya menemani. Menjadi kawan, tidak peduli bagaimana sibuknya ia bekerja, menjadi pria dewasa. Setidaknya, meski ingin sekali aku melupakan perasaan kami dulu, tidak ingin membiarkannya menghalangi langkahku sekarang, aku tidak akan lupa dengan banyak hal baik yang sudah dilakukannya. Entah itu sekadar jadi pelajaran untukku, atau memberi pengaruh baik padaku sekarang yang tentu tidak bisa kuabaikan perannya.
Menutup kembali buku catatan bersampul hitam itu, aku memasukkannya ke lemari, meletakkannya tepat di bawah dus berisi barang-barang Kak Ajun yang beberapa waktu lalu sudah kubereskan. Sudah tiba perasaanku pada keinginan untuk mengembalikannya lewat Lembayung. Tapi setelah mengantarkannya pulang, kami tidak saling bertukar kabar. Pun untuk ke rumahnya, seperti yang sudah Uwak Nurul bilang, aku sungguh tidak akan datang meski bukan dalam rangka menjemput Lembayung untuk kembali pergi denganku. Setelah berhari-hari dari siang itu, setidaknya ucapan Uwak Nurul akan membantuku banyak untuk bisa pergi dengan langkah yang lebih ringan.
Hari ini aku berniat untuk menghabiskan hariku di rumah saja. Sudah selesai mandi, sedang tidak salat, pun sendirian, dengan senang hati aku merebahkan diri di kasurku yang sudah ganti alas. Aroma kain yang lama tersimpan di lemari, terlebih setelah melalui proses cuci yang ekstra dan dijemur di bawah sinar matahari yang begitu terangnya, selalu menenangkan. Aku bisa berlama-lama tiduran meski tidak tertidur ataupun memainkan gawai. Hanya membaringkan diri sambil memeluk bantal. Tambahan dengan rambutku yang sudah mengering, pun wangi lotion yang melembapkan kulit-bagaimana bisa hal sederhana seperti ini mampu memberikan ketenangan yang amat luar biasa?
Alunan lagu dari album terbaru Tulus yang habis kuputar pun berganti dengan lagu lamanya. Tidak berisik dan ramai, tapi bisa menemaniku yang sendiri tanpa melakukan apa-apa. Kubiarkan sinar matahari yang semakin menghangat menciumku. Tidak akan butuh waktu lama untuk aku bisa terlelap atau mati bosan sampai melakukan apa saja sampai-sampai keluar kamar bermain dengan Kiki. Berjalan santai ke mini-market yang baru dibangun dekat komplek juga bukan ide buruk.
Kantong belanja yang menggantung cukup menarik perhatianku selagi menyiapkan diri dengan cardigan dan kerudung tali. Teh Denia memberikanku baju yang sudah lama dibelinya saat ke Bali dengan Faisal. Aku belum sempat mencobanya, sekadar melihatnya, dan berpikir kalau itu akan cocok untukku pakai ke acara keluarga Mirza. Soal hubunganku dengan Mirza ... aku belum bisa menceritakannya pada siapa pun. Mungkin nanti, tidak lama lagi.
Hampir saja aku lupa bilang pada Bapak dan Ibuk, kalau-kalau nanti mereka kaget-meski tidak akan mungkin juga-kalau aku tiba-tiba dijemput seorang lelaki akhir pekan nanti. Biarlah mereka yang tahu lebih dulu.
Sudah siap untuk keluar, langkahku di tangga tertahan saat melihat Ibuk tengah berkutat dengan mesin jahitnya. Seiring dengan Ibuk yang menua, kaca mata yang dulu hanya dipakainya saat membaca kini hampir tidak pernah lepas darinya. Ibuk tampak tidak terusik dengan Kiki yang lalu lalang melewati kolong kursinya, bersandar di kakinya.
"Ki ... ngapain?!" Kuambil kucing gembrot itu yang sungguh berat. "Ibuk nggak ke sekolah?"
"Udah pulang, Neng. Cuma periksa berkas aja. Kan udah pada libur juga," timpal Ibuk yang kembali memasukkan benang warna lainnya ke jarum.
Sejak aku tidak lagi tinggal sepenuhnya di rumah, Ibuk juga menyibukkan diri dengan kembali ke sekolah setelah meninggalkannya cukup lama sejak kuliah Psikologi Profesi dan berakhir sebagai profesional yang hanya bekerja sesuai undangan. Ibuk yang sejak lama buka jasa praktik dengan kawan-kawannya, kini bekerjasama dengan situs kesehatan yang namanya sudah cukup terkenal. Ibuk bilang, selain membuatnya lebih sibuk, kembali ke sekolah mengisi harinya dengan bertemu banyak anak-anak.
Sudah bertahun-tahun lamanya, saat pulang seperti ini, selalu, aku lebih banyak menghabiskan waktu di luar ketimbang di rumah untuk sekadar mengobrol dengan Ibuk dan Bapak. Tapi, tiap kali ingin mengobrol, seperti ada yang menahanku. Mungkin aku yang takut menangis, tidak enak dengan apa yang Ibuk alami kini dengan keluarganya, tidak nyaman dengan Bapak yang selalu tampak menghiburku, bersikap santai dengan menganggap kalau apa yang sudah kami lalui adalah sejatinya takdir kami.
"Ki, kamu kebanyakan makan, kah?" Gemas sekali, aku memeluknya. Ah, Ibuk merawatnya dengan sangat baik.
"Kata murid Ibuk, Kiki obesitas. Disuruh diet," pungkas Ibuk. "Tuh makanannya sekarang." Ibuk menunjuk rak yang sepenuhnya diisi dengan perlengkapan Kiki. Mulai dari peralatan mandi, buang air sampai makan dan minum.
"Murid Ibuk itu main ke sini?" tanyaku sedikit antusias. Waktu sekolah dulu aku juga pernah begitu. Saat guruku berulang tahun.
"Iya," jawab Ibuk singkat. Meski tangannya tetap dengan kain dan benangnya, bisa kulihat kalau Ibuk tersenyum. Anak-anak itu pasti mengisi keramaian Ibuk juga.
Mungkin memang, menghabiskan waktu bersama anak-anak beranjak dewasa lebih menyenangkan. Tidak peduli berapa banyak waktu dan tenaga yang Ibuk habiskan, berapa juga uang yang didapat dari sana. Tetap bertemu manusia lain yang tidak mempermasalahkan hidup kami sekarang adalah yang kami butuhkan. Termasuk Ibuk yang juga mundur dari kegiatan PKK yang dulu aktif diikutinya. Pasti Ibuk tidak nyaman, jengah dengan berbagai obrolan yang adakalanya menyinggung.
Suatu waktu pernah kudengar dari Ibu-ibu PKK yang usai pengajian berkumpul di rumah kami. Kalau sebenarnya Ibuk dan Bapak menginginkan cucu, sudah waktunya. Itulah sebabnya Kiki bisa terawat sebaik itu. Aku tidak kesal mendengarnya meski aku mengerti ucapan itu sedikit menyindirku. Terlalu malas juga menimpalinya. Tapi dengan Ibuk yang bilang, "Kalau saya yang mau punya anak kecil, saya masih bisa hamil!" aku tidak nyaman mendengarnya meski Ibuk mengatakannya dengan candaan. Ternyata, seberpendidikan apa pun lingkungan Bapak dan Ibuk, secukup apa pun kelas sosial mereka, hal-hal seperti itu selalu jadi penilaian. Memuakkan.
"Buk," panggilku. Mungkin ini waktunya aku membicarakan soal Mirza. "Tahun baru nanti bakalan ke rumah Eyang nggak?"
"Enggak, Neng. Guru-guru di sekolah ngadain acara di Villa malam tahun baru nanti," kata Ibuk. "Neng mau ikut?"
"Emangnya boleh?"
"Ya ... boleh aja, Neng. Jatahnya kan emang buat keluarga. Sekalian gathering."
"Oh," sahutku, sejenak menimbang. "Tapi tahun baru nanti Neng ada acara juga, Buk. Ibuk sama Bapak, pulangnya jam berapa?"
"Udah sarapan juga pulang, Neng. Kenapa?"
"Uhm ... teman Neng mau ke sini."
Satu kalimat itu tepat kuucapkan bersamaan dengan Ibuk yang menggunting benangnya, pertanda jahitannya sudah selesai. Tidak menunggu Ibuk bertanya, aku lanjut berkata, "Namanya Mirza. Udah beberapa bulan ini Neng kerja sama dia, lagi dekat juga."
Yang kuharapkan adalah Ibuk yang sedikit saja menerbitkan senyumnya yang sudah lama tidak kulihat sebab aku yang jarang sekali bicara dengannya. Tapi tidak. Ibuk menatapku sejenak, membuka kacamatanya.
"Acara keluarganya, Buk. Belum tahu jelasnya. Tapi katanya itu launching cabang Restoran sepupunya," jelasku. Bukan karena Ibuk yang begitu ketat soal pergaulanku, dengan siapa aku berteman bahkan berkencan. Ibuk dan Bapak bukan orang tua seperti itu. Mereka amat sangat percaya padaku, membiarkan aku dengan pilihanku. Tapi menjelaskannya sedetail itu dalam urusan sekarang adalah perlu.
"Ibuk perlu nyiapin apa?" tanya Ibuk langsung. "Mau makan di rumah dulu?"
Aku tidak tahu harus merespons dengan apa atas tanggapan Ibuk. Tidak ada yang aku harapkan dari Ibuk selain dengan Ibuk yang cukup mendengarkan. Aku juga hanya perlu bercerita, ingin Ibuk menjadi orang yang tahu duluan bahkan sebelum Bapak. Setelah ini, mungkin Ibuk akan bicara dengan Bapak, lalu kemudian Bapak akan mengajakku bicara juga. Ah, déjà vu.
"Enggak perlu siapin apa-apa, Buk," tutupku akhirnya.
Lega, tenang, aku merasakannya jelas sekarang meski memberitahukan kalau aku sedang dekat dengan Mirza bukanlah beban. Sedikit berkaca, aku cukup bangga dengan diriku sekarang. Sesuatu yang tidak ada dalam bayanganku lagi setelah sekian lama, ternyata masih bisa aku alami. Seiring bertambahnya usia, apa yang sudah kulewati, berpengaruh banyak pada bagaimana sikapku sekarang.
Sampai tiba waktunya Mirza dalam perjalanan menjemputku, aku sudah siap dengan baju yang diberikan Teh Denia. Tidak butuh waktu lama untuk bersiap-siap karena sebelumnya telah memilih semua yang akan dikenakan. Ini jadi kebiasaan yang baru kusadari berlangsung beberapa tahun belakangan ini. Bukan hanya untuk bepergian atau acara, bahkan untuk bekerja pun aku selalu menyiapkannya malam hari sebelum dipakai paginya. Tidak ada lagi aku yang membuat orang lain menunggu saat berjanjian atau menjemputku. Aku benar-benar menyiapkannya.
Mirza yang bilang kalau dia sudah di jalan raya yang tidak jauh dari komplek perumahan tempat tinggalku, membuatku bergegas turun. Tampak Ibuk yang sedang menonton bersama Kiki, sementara Bapak masih duduk di teras dengan setelan yang belum digantinya sehabis dari masjid tadi.
"Jadi berangkat, Neng?" tanya Bapak, menyambut Kiki yang membuntutiku di belakang.
"Jadi, Pak. Orangnya bentar lagi datang," kataku seraya melihat ponsel. "Nah, itu kayaknya. Bentar, Pak." Aku membuka pagar, melihat ke arah kanan yang cukup banyak ditempati mobil. Tanpa perlu mencarinya jauh, mobil abu-abu bronze milik Mirza sudah terparkir dengan baik di belakang mobil Bapak yang belum dimasukkan sepulang dari Villa pagi tadi.
Mirza tersenyum begitu menyadari keberadaanku yang menunggunya. Dari kaca mobil, kulihat lelaki itu tengah meminum air mineral botolnya sebelum akhirnya membawanya keluar dan membuangnya ke tempat sampah di depan rumah tetangga.
"Ke dalam dulu?" tanyaku dengannya bersamaan yang pasti membuat kami sama-sama tertawa kecil. Astaga ... belum lama ini dari waktu kami bertemu, tidak jarang juga bertukar pesan bahkan menelepon.
"Ketemu Bapak sama Ibuk dulu ya?" tanyaku, memperjelas maksudku. "Sambil saya ambil tas."
Mirza mengiyakannya. Dia tampak cukup percaya diri. Tidak gugup maupun ragu. Apa memang kebanyakan orang dewasa seperti ini?
Tiba tepat di depan rumah, tampak Bapak yang tengah merapikan halaman samping, pertanda kalau ia akan memasukkan mobil. Melihat Mirza sekilas yang juga menungguku, aku pun melewati pagar yang telah dibuka. "Pak, ini Mirza," kataku, menyuruh Mirza masuk mengikutiku. Tidak mau menunggu Bapak bicara, aku buru-buru ke dalam mengambil tasku. Ibuk yang benar tidak menyiapkan apa-apa seperti yang kubilang, dengan baik mengikutiku, tahu ke mana arahku sekarang.
"Mirza, Bu," kata mirza, lebih dulu memperkenalkan diri.
Ibuk tersenyum ramah menyalaminya, bersama denganku memperhatikan Bapak yang bertanya pada Mirza ke mana kami akan pergi. Dengan tidak adanya sesi mengobrol atau tanya jawab yang tidak mau dulu kulewati untuk sekarang, Mirza izin membawaku pergi. Sampai kami masuk ke mobil, Mirza masih dengan gesturnya yang luwes. Raut wajahnya juga tidak tampak tegang ataupun tidak menyenangkan. Tetap seperti Mirza yang kukenal.
"Kenapa sering banget kita pakai baju matching?" tanya Mirza saat mobil tepat keluar komplek.
"Hah?" Aku melihat setelanku dan Mirza bergantian. Benar juga. Aku tidak begitu memperhatikan penampilannya tadi. Kemeja lengan sesiku berwarna kombinasi putih dan abu-abu keunguan sebatas paha dan celana abu-abu tua. Sementara aku, dress abu-abu tua dengan luaran kain Bali oversize berwarna putih, pink ungu dan abu-abu serta kerudung pink-nude. "Ini nggak terlalu formal, kan?" tanyaku sembari bercermin menilik riasan tipis yang kukenakan, serta outer pemberian Teh Denia. "Enggak yang ... gimana, gitu?" Aku menegakkan dudukku, menoleh pada Mirza yang wajahnya seringkali dihiasi senyum meski bibirnya tidak melengkung.
"Uhm ...." Mirza memalingkan wajahnya, mengatup mulutnya menahan senyum. "Cantik, Nis."
Untuk pertama kalinya Mirza memujiku, di saat jarang sekali aku mendengar kata itu. Sombong, cuek, tidak ramah, tidak bersahabat, penyendiri, hanya itu yang seringkali aku dengar. Entah itu tidak sengaja maupun dengan candaan.
"I know it," sahutku percaya diri, yang juga membuat Mirza terkekeh kecil. "Thank you."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro