6 | Orang-orang yang membuatku sakit dulu kini menemaniku sembuh
Aku masih belum tahu mana yang harus kulakukan lebih dulu. Bilang pada Bapak dan Ibuk atau justru 'berusaha' seperti yang juga sudah Mirza kerahkan? Semisal membeli pakaian baru untuk bertemu dengannya di acara keluarganya? Hhhhh lucu, ternyata bukan hanya saat bersama Mirza, Bandung pun kali ini mengembalikan aku yang lama walau sedikit. Selain untuk pekerjaan, sudah lama aku tidak berbelanja pakaian. Jadi sepertinya tidak berlebihan menyebutnya sebagai 'usaha'.
Teh Denia menjadi satu-satunya orang yang terlintas di benakku untuk bisa menemaniku. Sekalian bersua juga setelah sekian lama aku tidak pulang. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui bukan? Kalau mengajak Lembayung ... dengan dia yang akhirnya bilang kalau mau pulang ke rumahnya saja sudah syukur. Semalaman kemarin sepertinya anak itu berpikir ulang, untuk segera kembali ke kosannya atau menetap di rumah sementara kuliahnya sedang libur akhir tahun.
Sambil menunggu Lembayung selesai mandi, juga balasan pesan dari Teh Denia, kukeluarkan semua isi lemari. Selain karena semua pakaian terbaruku ada di Jakarta, tidak ada juga pakaian yang pas untuk dikenakan. Semuanya tampak terlalu lama dan ... tidak cocok untukku yang sekarang. Bagiku, baju-baju itu terlalu cerah. Ada dua kemungkinannya kalau aku memakainya; redupku yang akan terlalu kentara atau aku yang terbawa cerahnya. Melihatnya sembari bercermin membuatku sedikit merindukan diriku yang dulu. Aku di usia dua puluhan yang hidup dengan baik, yang selalu bisa menjalani apa yang datang padaku, juga meraih apa yang aku inginkan. Manis sekali.
Denting kecil yang terdengar bersamaan dengan jatuhnya baju-bajuku menghentikan lamunanku. Cincin yang sudah lama tidak kuketahui keberadaannya itu seperti memanggil-manggil, melengkapi kenangan lama yang harumnya seperti baju-baju itu. Tertutup, terlupakan, tidak disinari cahaya, tapi mampu menghangatkan dan mengingatkan akan kenangan baik. Lembayung yang selesai mandi mengambilnya lebih dulu. Tanpa perlu meniliknya detail, ia meletakkan benda tersebut di atas meja belajarku.
"Yung, mau ikut Mbak beli baju nggak?" Akhirnya kucoba menanyakannya, daripada menduga-duga. Sudah lama juga aku tidak jalan-jalan dengannya. Kalaupun Teh Denia membalas pesannya, biar saja aku membawa Lembayung jalan-jalan dulu. "Uhm ... sebelum Mbak antarin pulang."
"Enggak usah diantarin, Mbak," katanya sambil memakai lotion.
Lembayung memang sudah dewasa. Bahkan, kini dia hidup sendiri di luar kota untuk menempuh pendidikan. Tapi, tiap kali mengingatnya, bertemu dengannya, aku tetap berpikiran kalau dia adalah adik kecil yang selalu mengintiliku, ikut ke mana saja dan ingin sekali kubawa. Aku merindukan Lembayung yang banyak bicara, yang selalu ingin tahu walau kadang sok tahu.
"Nanti Mbak antarin," kataku tanpa tanda tanya. "Kalau mau main ya main aja dulu. Kabarin aja," lanjutku begitu melihat jam pada ponselku yang sudah menunjukkan pukul 10.
Teh Naya
Nis, kata Denia kamu lagi di Bandung ya?
Main sini dong
Bisa-bisanya Teh Denia tidak membaca pesanku yang masih bercentang satu, tapi bisa memberitahu Teh Naya kalau aku pulang. Sekali lagi aku memastikan kalau Teh Denia benar tidak membalasnya. Yah, mungkin saja dia sedang tidak dalam kondisi yang perlu menyalakan ponselnya. Mengingat hubungannya dengan Faisal sekarang, mengajaknya berbelanja juga tidak akan cukup untuk menghiburnya. Meski ini sama sekali bukan seperti Teh Denia, sepertinya masuk akal.
Kupastikan terlebih dulu kalau waktu untuk ke acara keluarga Mirza masih beberapa hari lagi, akhirnya aku mengiyakan tawaran Teh Naya. Menutup hari di kafenya sepertinya bukan ide buruk.
Tepat saat azan zuhur berkumandang, aku sudah tiba di depan rumah Lembayung. Gladia yang menyambut kedatangan kami, tampak sedang membantu Uwak Nurul berjalan ke dalam yang langsung digantikan Lembayung. Beralih, Gladia membantuku memasukkan motor, kemudian berbisik, "Mumpung udah pada pulang, aku sama Ibun tadi habis masak-masak!" katanya senang.
Bukan hanya aku yang terbebas dari anggota keluarga lain, Gladia juga tentu saja merasakannya. Keguguran kandungannya memang tidak lagi jadi pusat perhatian karena sakitnya Uwak Nurul, tapi menghadapi keramaian tetap terasa tidak enak dan membuat cemas. Benar kan kalau siklus umum di masyarakat itu bisa terjadi pada siapa saja terlepas dari status sosial dan atmosfir lingkungan yang dipijaki? Saat sendiri akan ditanya kapan punya pasangan, setelahnya akan ditanya kapan mau menikah, lalu pertanyaan kapan punya anak pun menyusul setelahnya. Mengerikan.
"Kamu nggak apa-apa naik motor sendiri?" tanyaku, melihat motor matic yang biasanya dipakai Gladia tampak habis dipakai, terlihat dari kantong plastik yang menggantung di sana.
"Itu tadi Sam yang pakai buat beli sarapan sama camilan sekalian," timpal Gladia. "Orangnya kerja!" Gladia terkekeh melihatku yang awas menyapu sekitar yang tidak menunjukkan tanda-tanda keberadaan Sam.
Aku hanya tertawa miris. Yah, hubunganku dengan Sam juga tidak membaik. Entah mungkin karena kami belum ada waktu mengobrol. Tapi mengingat bagaimana Sam menyela ucapan Bude Pia kemarin, itu sudah cukup untukku mengira kalau Sam tidak abai akan keberadaan dan posisiku.
"Udah makan Neng?" tanya Uwak Nurul yang keluar dari kamar mandi, sedikit mengagetkanku yang tengah memperhatikan seisi rumah yang tidak berubah.
"Belum, Wak," jawabku sambil lanjut menyalin kue-kue yang dibeli Sam. "Uwak udah mendingan, gitu? Udah bisa masak kayak gini," pandanganku tertuju melihat wajan di atas kompor yang masih menyala.
"Ah, enggak gerak juga nggak enak, Neng. Teh Gladia tadi yang masak. Uwak mah bantu dikit aja."
Gladia yang mengaduk masakannya, menggeleng kecil menoleh padaku. "Semuanya disiapin Ibun," katanya tanpa suara. "Ini dibiarin di sini dulu aja nggak apa-apa ya, Bun? Nanti kalau pada udah beres makannya, disalin."
"Enggak apa-apa. Tutupnya ada di lemari bawah, Teh," kata Uwak Nurul, sambil mengenakan mukenanya. "Neng lagi salat nggak? Antarin nasi buat Ayah ya? Titipin di satpam aja, nanti juga diantarin."
Lembayung menganggukinya saja tanpa kata. Namun bisa kulihat anak itu tidak bisa menyuarakan keengganannya yang kuharap hanya perkiraan burukku saja.
Mungkin memang aku yang salah melihat, kurang jauh mengamati sampai akhirnya berprasangka buruk tentangnya. Aku tahu kalau ini kebiasaan lama Uwak Nurul yang akan menyiapkan bekal untuk sang suami, bahkan sampai mengantarkannya seperti ini. Tapi siapa sangka kalau kebiasaan itu masih berlaku di saat Uwak Yana semakin dingin dan Uwak Nurul yang tidak dalam kondisi sehat.
Ada saatnya aku ingin sekali protes karena Uwak Yana yang acuk tak acuh saat Uwak Nurul sakit seperti sekarang. Belum lagi dengan statusnya sebagai ayah, hanya dengan melihat bagaimana Lembayung enggan menyinggungnya pun aku tidak begitu yakin kalau 'Beliau' tahu kondisi anak bungsunya itu, apa saja yang dilaluinya. Sam yang kelihatan jelas mengurus semuanya sendiri pun, seperti tidak ada dalam pandangannya.
Selain status hubunganku dengan Beliau, tidak ada yang bisa membuatku menghormati dan memahaminya. Entahlah, soal Uwak Yana, aku tidak bisa memandangnya dengan baik. Segalanya bias walaupun itu mungkin karena aku yang tidak begitu mengenalnya.
Aku yang sama sekali tidak berkeinginan untuk menawarkan diri untuk mengantarkan Lembayung tentu menarik perhatian Uwak Nurul. Tidak ada aku yang ikut campur, membantu menyiapkan bekal makan siang itu, atau membercandai Lembayung yang sudah lama tidak mengendarai motor.
"Jangan buruk sangka, Neng...."
"Wak-"
Uwak Nurul memalingkan pandangannya dariku, tampak enggan melanjutkan pembicaraannya. Selama ini, aku hanya dalam tahapan mengamati, tidak pernah sampai bicara. Aku bisa mengerti kalau semua orang punya sakit masing-masing setelah kepergian Kak Ajun. Aku tahu itu. Yang membuatku keras sekarang adalah karena yang ditinggalkannya melekat kuat padaku. Apa yang sudah kami usahakan, yang kami jalani, sampai gerbang tahapan kehidupan berikutnya itu tampak di depan mata, ia pergi, diambil oleh Sang Pemilik sebenarnya.
Aku tidak mau lagi dipenuhi andai-andai yang ujungnya membuatku menyalahkan diri sendiri. Sudah cukup kemarin-kemarin. Kali ini aku harus teguh berjalan ke depan, melihat dunia lain yang sekiranya bisa membuatku untuk tidak lagi melihat luka itu.
"Wak, Neng pamit ya?" Aku memutuskan untuk langsung pergi setelah menikmati makan siang dengan masakan buatan Gladia. "Nanti Neng ke sini lagi pas mau balik ke Jakarta aja bareng Ayung."
"Enggak usah, Neng."
"Ha?"
"Biarin Ayung sendiri aja."
Aku tidak bisa berpikir jernih menanggapi ucapan Uwak Nurul. Kenapa? Apa aku punya salah? Melirik Gladia, perempuan itu juga menaikkan bahunya, tidak mengerti.
Berakhir menyalami Uwak Nurul, aku pergi dengan bahu sedikit berat. Kali ini apa lagi? Apa Uwak Nurul tidak menyukai sikapku sampai-sampai enggan membiarkan Lembayung bersamaku? Yah, mungkin anaknya itu memang bukan urusanku. Aku punya urusan lain. Biar saja.
"Mbak ...." Lembayung yang belum menghabiskan makanannya, menyusulku keluar, membantuku mengeluarkan motor. Dia pasti merasa tidak nyaman dengan apa yang diucapkan sang ibunda.
"Udah waktunya mungkin, Yung. Kamu udah gede juga."
"Bukan gitu. Ibun cuma-"
Lagi-lagi anak itu dengan kedewasaannya. "Maaf, ya, Yung. Hati-hati," kataku berlalu pergi.
Dengan banyak pikiran aku menempuh perjalanan ke Kafe Teh Naya. Kalau saja Faisal tidak memanggilku, aku akan melewatkan tempat yang kini memakai banyak ornamen kayu setelah sebelumnya didominasi dengan warna hitam dan putih minimalis. Jauh sekali dari yang terakhir aku lihat.
Faisal membuang rokoknya, mengambil alih motorku yang ternyata cukup sulit diparkirkan karena mobilnya yang bersanding dengan mobil Teh Naya cukup memenuhi lahan parkir.
"Tumben ketemu di sini. Dari tadi, Sal?" tanyaku, teralihkan dengan penampakan Teh Naya yang sedang mengobrol serius dengan Teh Denia. Dari tempatnya, Teh Naya melihatku namun kembali berbicara dengan Teh Denia yang keduanya mendadak masuk ke area lebih dalam Kafe. "Kenapa?" tanyaku pada Faisal yang juga tertuju pada apa yang kulihat.
"Enggak apa-apa," jawab Faisal, menoleh ke dalam Kafe. "Mau makan nggak? Mau ngopi?"
Tanpa menjawabnya, aku hanya mengikuti langkah lelaki itu yang kemudian membawakanku pastry dan opera-cake.
"Kok nggak ngabarin ke sini? Kapan nyampe?" Faisal duduk di hadapanku. Lelaki itu menyuap cookies-nya yang tersaji bersamaan dengan espresso-nya.
"Uhm ... udah beberapa hari ini," jawabku singkat. "Kalian datang bareng, kan?" tanyaku tak bisa menahan senyumku.
Faisal menggeleng kecil, membuat senyumku memudar. Yah, Teh Denia mungkin benar sedang kesulitan. Skenarionya bisa jadi begini; Teh Denia datang lebih dulu, bertemu Teh Naya untuk bisa menghabiskan akhir pekannya dengan tenang. Namun masalahnya dengan Faisal yang belum menemukan titik terang, membawa lelaki itu datang ke sini mencarinya. Seperti itu?
"Nis, aku boleh nanya nggak?"
Pertanyaan Faisal sekadar kuangguki. Kue cokelat yang tidak pernah kulewatkan tiap kali ke Kafe ini masih saja memikat indera pengecapku sampai-sampai pertanyaan Faisal berikutnya tidak mampu menahanku untuk tidak menyuapnya lagi.
"Kamu sama Denia dulu ada masalah apa?"
"Waktu kuliah itu?" tanyaku, sedikit mengingat-ingat. "Bukannya aku udah cerita ya?"
"Iya, sih," Faisal menyandarkan tubuhnya lebih rileks. "Maksudnya, kamu ... dia nggak apa-apain kamu, kan?"
Keingintahuan Faisal kali ini benar-benar membuatku berhenti makan. Lebih dulu kuminta air mineral pada petugas kasir sampai kemudian duduk kembali dan meminumnya.
"Nis, aku tahu kalau nggak baik aku nanya gini sama kamu," kata Faisal yang tampak sekali tidak enak dengan keingintahuannya ini. "Tapi-"
"Kenapa?" tanyaku, ingin tahu lebih dulu maksud dari Faisal yang tiba-tiba ingin tahu lebih jelas permasalahan kami dulu. Entah apa yang terjadi pada Teh Denia sampai-sampai Faisal menanyakan ini.
"Denia hamil."
Aku cukup senang mendengar kabar itu. Namun dengan Teh Naya yang tampak menjauhkanku sejenak dari Teh Denia, pun Faisal yang sampai seperti ini, tentu ada masalah dalam hal itu. Aku tidak bisa menyuarakan kesenanganku, dan lebih ingin tahu soal hubungan mereka sampai akhirnya bertanya, "Enggak jadi dong? Ya kan?"
"Nis ...." Faisal menegakkan duduknya kembali, menarik napasnya dalam-dalam. "Justru karena itu dia minta pisah."
Bukan ini yang kudengar dari Teh Denia. Pun Faisal yang sebelumnya selalu tampak santai tiap kali aku menyinggung hubungan mereka yang seperti bukan suami - istri pada umumnya. Bak pasangan muda yang sekali-kali akur, lalu ribut, kemudian tiba-tiba pergi staycation bersama, sampai akhirnya tidak lagi pulang ke rumah yang mereka tinggali bersama dan tahu tahu berangkat kerja bersama dengan Teh Denia yang curi-curi kesempatan membawa Faisal untuk sarapan bersama di Hotel tempat kerjanya. Ya, aku tahu ceritanya. Itu sudah jadi rahasia umum di antara kami orang-orang terdekat mereka.
"Aku tahu Denia hamil dari Naya, Nis. Terus waktu aku tanyain, dia bilang kalau dia nggak hamil," Faisal tertawa miris. Lelaki itu tampak frustrasi. "Katanya, dia nggak mau punya anak. Dia nggak akan bisa jadi ibu yang baik. Gimana aku nggak gila Nis dengernya?"
Sedikitnya aku mengerti kenapa ini terkait dengan masalahku dengan Teh Denia dulu. Tapi aku masih perlu memastikannya. "Teh Denia takut anaknya ngalamin apa yang pernah aku alamin?" Aku menggeleng tak percaya. "Ya Allah ...."
"Nis...."
"Sal, aku nggak baik-baik aja setelah itu. Sampai sekarang, kalau lihat orang ngalamin kayak yang aku alamin dulu, walaupun cuma di film, aku langsung ingat aku sendiri. Aku nggak bisa biasa aja. Tapi aku udah nggak di sana, Sal...."
Wajah muram Faisal tidak berubah sedikitpun meski aku menjelaskan apa yang sebenarnya sudah aku lalui.
"Kamu salah satunya yang jadi teman waktu aku lagi memulihkan diri walaupun kamu nggak tahu apa yang udah aku alamin." Napasku terhela bersamaan dengan pandanganku yang memburam. Hidungku juga terasa perih. "Dulu, ada Kak Ajun juga yang bawa aku pergi dari sana. Sekarang ... orang-orang yang bikin aku sakit dulu yang temanin aku sembuh dari luka lainnya. Kalau Teh Denia gini, siklusnya bakalan terus berulang. Aku juga yang nggak enak, Sal."
Bermenit-menit berlalu, aku dan Faisal sama-sama terdiam. Teh Naya dan Teh Denia juga masih belum menampakkan diri. Waktuku terisi dengan kenangan sore paling kelamku yang tidak lagi menyakitkanku. Berpikir seandainya dulu tidak ada Kak Alya yang membawaku keluar dari sana, atau Kak Ajun yang perlahan membawaku pergi, lalu Faisal yang berada di hari-hariku yang perlahan menerang. Hingga aku bertemu Teh Denia dan Teh Naya yang jadi harap di kala gelapku kini, dan mengirimkan surel pada Teh Mila yang bagaimanapun ia tidak pernah membalasnya tetap mampu memberikanku kelegaan.
"Tolong sampein ke Teh Denia kalau aku udah nggak kenapa-napa lagi," kataku seraya bangkit. "Aku masih lama di sini. Mudah-mudahan cepat membaik, kalian juga nggak kenapa-napa, kita ketemu."
Faisal ikut berdiri dari duduknya. Lelaki itu mengantarkanku ke luar. Kali ini wajahnya tidak lagi begitu kusut. Yah, semoga saja pengakuanku tadi cukup untuknya.
"Nis, makasih ya...."
Aku memeluk helm yang sudah mau kupakai. Senyumku terulas. "Selamat ya, Sal...."
Tangis tertahan yang kami dengar membuat aku dan Faisal sama-sama menoleh ke arah suara. Teh Denia melihat kami dari samping Kafe yang tidak jauh dari letak motorku diparkir. Aku yang tadinya merasa baik-baik saja, tertular tangisnya. Buru-buru aku menyuruh Faisal pergi untuk menghiburnya, namun Teh Denia lebih dulu menghampiriku, memelukku erat. Teh Naya yang tampaknya membuntuti Teh Denia, melihat kami haru. Perempuan itu mengangguk kecil dengan senyum tipisnya. Sementara Faisal, lelaki itu tersenyum sambil meminta kunci motorku tanpa suara.
Ini sama sekali bukan kami yang hangat satu sama lain. Berbeda dengan bagaimana aku pada Teh Naya, dengan Teh Denia, kami layaknya kawan seumuran yang adakalanya saling ejek. Tidak jaga bicara pun bukan hal asing, terlebih sopan santun yang tidak ada dalam kamus kami. Bahkan dengan kompaknya kami membantah apa kata Faisal yang bilang kalau kami mempunyai banyak kemiripan.
Kalau Mirza tidak menelepon, kami mungkin akan berlama-lama membisu satu sama lain.
"Kenapa?" tanyaku begitu menjawab panggilan Mirza, sedikit melirik Teh Denia yang tampak ingin tahu siapa yang bicara denganku.
"Saya udah ngirimin poster promosi event maraton. Belum dilihat ya?" tanyanya yang aku angguki meski dia tak bisa melihatnya. "Kamu mau ikutan nggak?"
"Wah ... saya nggak pernah ikut-ikutan kayak gitu."
"Kalau yang sepedaannya mau nggak?"
"Enggak juga," jawabku. "Ehm ... kalau kamu mau ikutan, nanti saya usahain datang. Biasanya ada bazar gitu, kan?"
"Ah ... oke, oke. Nanti saya kabarin lagi ya? Dah!" tutupnya setelah mengucap salam.
Aku mengantongi kembali ponselku, acuh tak acuh pada Teh Denia yang tidak menyuarakan pertanyaannya yang kudapat dari raut wajahnya. Matanya yang agak sembap tidak menghalangiku untuk sedikit menjailinya dengan bermanis-manis ria, sesuatu yang tidak akan pernah kami lakukan di saat biasanya.
"Lihat, kan? Enggak kenapa-napa. Yah ... mungkin aku satu dari enggak banyaknya orang yang beruntung setelah ngalamin kejadian kayak gitu," pungkasku santai. "Tapi menurut aku, nih, ya, sadar kalau itu salah tuh udah cukup. Enggak mengulanginya, itu harus. Tapi nggak banyak yang bisa ngisi itu dengan jadi temannya."
Teh Denia yang kembali menangis, membuatku tertawa dan memeluknya. Orang lain mungkin tidak akan percaya kalau aku berada di sini dengan salah satu orang yang menyakitiku dulu. Tapi, sudah terlalu banyak ketidakmungkinan yang bukan lagi sekadar mungkin terjadi padaku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro