Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5 | Puing-puing yang ditinggalkannya

Nikah nggak harus punya anak, dan perempuan nggak harus nikah.

Aku nggak tahu darimana datangnya keberanianku bilang itu sama Bude Pia. Mungkin karena aku udah terlalu banyak diam selama ini. Aku juga tetap bisa menaikkan dagu menghadapi Uwak Yana yang pasti mendengar aku bilang begitu. Aku nggak lari darinya, tetap melihat matanya yang sedikitnya mengingatkan aku pada kamu. Masih seperti ayahmu yang kamu tahu; diamnya menyimpan banyak kata, juga ketidakpeduliannya yang menurutku adalah perhatiannya. Tapi memang ini yang aku butuhkan saat ini. Cukup diam saja, tidak perlu menyinggungku, apa pun itu yang akan dibicarakan, tidak perlu.

Harusnya, sekarang aku bercerita soal lelaki yang lagi dekat denganku. Untuk pertama kalinya setelah kamu pergi. Tapi tunggu dulu. Terlepas dari apa yang udah aku alami, aku sungguh berpikiran kalau perempuan nggak harus menikah, dan menikah pun nggak harus punya anak. Kata-kataku tadi menambah panjang pikiranku sampai muncul pertanyaan; Lalu kenapa aku menjalin hubungan dengan Mirza?

Sejujurnya, aku nggak berharap banyak dari hubungan kami. Bisa menjalin hubungan dengan seorang lelaki aja, membuka hati, membuka diri, adalah sesuatu yang nggak pernah lagi ada di bayanganku.

Mirza ... segalanya mungkin standar. Tapi yang paling aku suka dari Mirza, dia knowledgeable dan open minded. Aku pikir, mungkin mendiskusikan ini dengan Mirza enggak akan susah. Ini memang harus dibicarakan. Sebelum terlalu jauh atau terjadi kesalahpahaman di antara kami nantinya. Kebayang kan gimana situasi hubungan kami? Gimana juga orangnya? Dan ... gimana juga aku dalam hubungan ini?

Petir yang menyambar refleks membuatku meringkuk. Seperti pertanda buruk yang mendadak bernarasi di kepalaku. Segera kututup tirai jendela kamarku, membiarkannya sedikit saja menunjukkan penampakan di luar sana. Untung saja aku sudah tiba di rumah. Terjebak di rumah Uwak Nurul di saat banyak anggota keluarga lain bukanlah ide yang bagus.

Belum sempat kembali duduk, tampak Ibuk dan Bapak yang baru pulang. Ya, aku pulang duluan usai lilin aromaterapi yang mendukung ketenanganku terjatuh mengenai minyak tanah yang selama ini ditumpahkan sedikit demi sedikit oleh anggota keluargaku yang lain. Ketukan pelan pada pintu kamarku membuatku langsung menebak siapa di sana. Ibuk dan Bapak tidak pernah begitu. Benar saja, tanpa permisi Lembayung masuk, melepas kaus kaki dan kerudungnya. Dengan kasar ia menarik ikatan rambutnya, memijit-mijit kecil kepalanya.

Lain masalahku saat di bangku perkuliahan, lain lagi masalah yang menimpa Lembayung. Aku merasa berdosa karena tidak bisa membantunya banyak, mengingat bagaimana dulu Kak Ajun ada di sampingku dalam kesusahanku. Tapi tidak mengajaknya bicara adalah yang terbaik untuknya kini. Daripada kami ribut, menegangkan kembali urat kepala kami.

"Mbak ke Jakarta lagi kapan?"

"Uhm ... belum tahu. Lagi nggak ada proyek juga. Kayaknya udah tahun baru."

"Oh. Ya udah Ayung bareng Bang Topan aja lusa nanti."

Aku langsung menutup buku catatanku. "Kenapa buru-buru? Bukannya kuliah juga libur?"

Adik sepupuku itu tidak menjawabnya. Sebenarnya aku tahu alasannya kenapa Lembayung cepat-cepat pergi dari rumah. Suasana di rumah sekarang-sekarang ini memang tidak menyenangkan.

"Enggak usah bilang Teh Gladia. Ngerepotin. Aku bisa sendiri," kata Lembayung cepat saat aku meraih ponselku. "Ibun udah mendingan juga."

"Nah itu, justru karena Uwak Nurul udah mendingan. Mumpung libur, Yung ..." Sebisa mungkin aku menurunkan nada bicaraku. "Di waktu waktu lain, mana ada kan sengaja pulang?"

"Ish nggak ngaca!" Lembayung berbisik kecil sambil mengacak-acak rambutnya.

"Ck ... karena Mbak udah ngaca makanya bisa ngomong gitu," kataku tidak mau kalah. "Di sini aja dulu. Kalau nggak mau di rumah, ya di sini aja sama Mbak. Mbak juga nanti nanti bakalan ke sana."

"Kalau Ayung di sini bukannya malah nggak kelihatan baik ya?"

Di kota yang sama tapi tidak berada di rumahnya. Aku mengerti maksudnya. Tapi untuk apa juga dia langsung pergi?

"Kan memang nggak baik, bukan sekadar kelihatannya aja," kataku menolak bantahannya. "Ngejar apa sih di kampus tuh? Ada apa? Enggak punya kesibukan lain?"

Lembayung tak lagi bicara. Segera kukirimkan pesan pada Taufan, memastikan kalau mungkin Lembayung sudah bicara padanya.

Rengganis A. Satya
Taufan, lusa nanti berangkat jam berapa?
Naik kereta atau gimana?

Taufan
Ha?
Berangkat ke mana?

Rengganis A. Satya
Lah?
Ya ke Jakarta lah
Ke mana lagi

Apa Lembayung berbohong soal akan berangkat bersama Taufan?

Taufan
Gue gak ada rencana balik sih
Kenapa?

Balasan pesan dari Taufan menguatkan perkiraanku.

Rengganis A. Satya
Enggak jadi

Biarlah Taufan menganggapku apa, tiba-tiba mengirimkan pesan dengan tidak jelasnya. Nanti juga dia akan tahu.

Kulihat Lembayung yang kini tertidur di lantai. Ah, anak itu! Bagaimana aku mengertinya sekarang kadang mengalahkanku untuk marah, kesal, mengomelinya. Keputusan-keputusannya, langkah yang diambilnya, segalanya masuk akal. Kalau aku berada di posisinya pun bukan tidak mungkin aku bersikap sama. Kasihan, itu satu-satunya hal yang menggambarkan perasaanku pada Lembayung kini.

Kembali kubuka buku catatanku, melanjutkan ceritaku yang belum selesai.

Aku nggak suka dikasihani, tapi seringkali juga kasihan sama orang lain. Lembayung, aku nggak bisa bayar semua yang kamu kasih. Aku nggak bisa jadi seorang kakak yang baik, yang ada di sampingnya, dengar semua ceritanya.

Memang, Lembayung bukanlah Rengganis yang bakalan mudah mengeluh, menceritakan ini dan itu. Dan Rengganis juga bukan Arjuna yang senantiasa mendengarkan, mendukung dan menjadi yang paling tahu apa yang baiknya dilakukan. Apa yang harus aku lakuin sekarang? Memang, bukan aku satu-satunya orang di dekatnya. Tapi kalau bukan aku, siapa? Siapa pun orang di sekitarnya, sekarang, mereka melanjutkan hidupnya walaupun dengan ingatan dan bayangan kepergian kamu yang tidak terduga.

Melihat Lembayung, aku jadi berpikiran soal kedekatanku dengan Mirza. Sebelumnya, saat dengan Mirza, aku sama sekali tidak memikirkan ini, yang setelah kupikir-pikir, itu pertanda baik. Karena aku tidak lagi menyalahkan diri. Tapi melihat Lembayung, dengan segala perasaan tidak enak yang tiba-tiba muncul, apa yang bisa kulakukan? Menyalahkan semua orang dewasa itu, yang hidupnya pun sedemikian berubahnya?

Tentang hubungan Ibuk dan Uwak Yana yang semakin dingin. Uwak Yana yang acuh tak acuh pada ibundamu, bahkan dalam kondisi sakitnya sekarang. Melihat bagaimana Bapak yang dulu tidak berjarak dengannya, kini sebisa mungkin tidak berhubungan dengannya. Sampai pernah sekali aku memohon pada Bapak dan Ibuk agar tetap berhubungan baik dengan semuanya. Gimana pun aku nangis, enggak ada yang bisa diubah. Sampai kemudian aku pergi, benar-benar nggak ada yang berubah, jangankan membaik.

Ini jauh dari bayanganku, waktu aku khawatir memikirkan bagaimana kalau aku dan kamu yang sama-sama berusaha untuk bersama, direstui-Nya. Ini jauh lebih buruk dari aku dan kamu yang akan sedikit membuat orang tua kita canggung satu sama lain. Ini lebih buruk juga dari aku dan kamu yang mungkin akan memilih untuk hidup sendiri tanpa memikirkan keluarga besar. Dan, ini nggak lebih baik dari aku dan kamu yang menekan ego untuk tidak bersuara soal perasaan.

Aku kira tidak jadi denganmu adalah yang terbaik, sampai-sampai kepergianmu pun ada waktunya aku syukuri. Tapi ini tidak lebih baik dari apa pun. Ini jauh lebih buruk. Gimanapun aku pikirin, enggak ada satu pun solusi untuk bikin semuanya membaik walaupun enggak akan mungkin bisa lagi kayak sediakala.

Kalau digambarkan, ini kayak aku mau bantu orang yang terjatuh sementara aku juga berdarah. Melihat sekitar, mereka juga masih dengan lukanya. Angin besar itu pergi, tapi puing-puing bangunan yang roboh itu nggak lagi kembali kokoh. Semua orang sakit, jangankan untuk membangun. Membersihkan sisa bebatuan itu pun nggak kuasa, mungkin enggan. Dan aku, yang pergi membawa serta puing-puing itu, membangunnya ulang di tempat lain dalam waktu yang lama. Sampai kemudian aku membiarkannya berlumut, dipenuhi abu, menutupiku yang tidak juga sembuh.

Mendadak mataku berkaca-kaca. Tiap kali bercerita, menyurahkan perasaanku, ada saatnya aku membayangkan kalau aku sedang bercerita pada Kak Ajun. Dalam situasi tertentu pun bayangan kalau kami sedang mengobrol di pendopo belakang rumah mendiang eyang terasa nyata. Ah, sampai berapa lama lagi aku harus begini? Ini wajar, tapi tidak seharusnya juga aku masih seperti ini, di waktu yang sudah cukup lama. Sekarang ada Mirza yang berniat baik padaku. Aku tidak lagi boleh seperti ini.

Aku menutup buku catatan hitamku yang bagian kanannya semakin menipis, seakan mendukung pikiranku, kalau mungkin sudah waktunya juga aku tidak kembali. Pun telepon dari Mirza, refleks membuatku menjauhkan buku itu. Siang tadi aku meneleponnya untuk sedikit meredakan kekesalanku, mengisi waktu. Tapi tentu saja dia sedang sibuk. Sebelum menjawabnya, sejenak kulirik Lembayung yang kini beralih ke kasur bawah. Hujan di luar menambah kenikmatan tidurnya.

"Kenapa?" tanya Mirza yang mungkin heran dengan aku yang tiba-tiba meneleponnya.

"Enggak, sih. Tadi mau ngisi waktu luang aja," kataku jujur.

"Balik ke Jakarta kapan?"

Tidak ada pekerjaan yang membuatku harus cepat kembali. Pak Wisnu juga belum memberikan kabar untuk proyek mendatang. Tapi, dalam situasi sekarang, pergi adalah satu-satunya cara menyelamatkan diri.

"Belum tahu. Tapi kayaknya udah tahun baru," jawabku setelah mengingat-ingat apa yang akan aku lakukan selama di Bandung.

"Saya kayaknya bakalan ke Bandung juga. Ada acara keluarga. Mau ikut nggak?"

"Hah?!"

"Kecepetan, ya?"

Mengingat tujuan pendekatanku dengan Mirza, hal wajar kalau dia mau mengenalkanku pada keluarganya. Tapi ini benar-benar terlalu cepat.

"Saya boleh mikir dulu nggak?"

Seperti biasa Mirza tertawa mendengar kejujuranku. "Boleh, dong. Suaminya adik sepupu saya baru buka cabang restorannya. Bukan acara yang formal juga. Tapi mungkin kamu bakalan ketemu beberapa anggota keluarga saya yang lain."

Tampaknya keluarga besar Mirza memang menarik. Aku menemukan banyak hal baru karenanya. Dari yang sudah kudengar, ada sepupunya yang punya butik muslimah di kawasan Bandung. Sepupunya yang lain seorang dosen dan yang lainnya lagi seorang patissier.

"Ya udah, pikirin dulu aja. Nanti kabarin saya ya?"

"Uhm ... tanggal berapa, jam berapa, dan di mana?"

Di seberang sana Mirza mungkin tersenyum. Nada bicaranya berubah, menyiratkan kalau dia senang dengan responsku. "Saya jemput aja nanti boleh nggak?"

Sebelum mengulurkan tangan buat bantu yang terjatuh itu bangun, bukankah aku juga perlu melihat dunia lain untuk bisa kembali pulih?

"Saya ngobrol dulu sama Bapak Ibuk. Gimana?"

"Boleh banget, Nis!" seru Mirza.

Bagaimana mungkin dia takut, was-was ataupun tidak percaya diri? Dia sendiri pun sudah mau mengenalkanku pada keluarganya. Dengan dia yang berusaha, penuh pertimbangan, tidak ada salahnya juga aku yang tak kalah menimbangnya, mengusahakannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro