33 | Kamu percaya Takdir?
Setelah memastikan kalau aku benar Ganis yang dipanggilnya, Teh Mila membawaku ke ruangannya. Agaknya nyawaku tertinggal di koridor tempat aku melihat Laras yang terkejut melihat kedatangan Mirza tadi, sampai untuk berjalan pun aku seperti tengah mengapung mengikuti angin.
Segala yang kupersiapkan untuk bertemu Teh Mila tertelan habis, berubah jadi energi yang ikut bersama nyawaku di sana. Tak mengindahkan Teh Mila yang mempersilakanku duduk di sofa besar depan meja kerjanya, aku memilih duduk di kursi tinggi yang menghadapkanku langsung ke taman.
"Kebetulan itu spot favorit aku. Sebentar," Teh Mila menaikkan sedikit kaca jendelanya, juga tirai yang dibiarkannya terbuka. "Kamu mau minum apa?"
"Eh?" Aku mengumpulkan nyawaku kembali, melihat Teh Mila yang melangkah ke arah pantri kecil di sudut ruangan. "Apa aja, Yang merepotkan," jawabku, membuat perempuan yang tidak banyak berubah itu tertawa.
"Ganis still Ganis. It's been a while," katanya, menyalakan mesin kopinya namun kemudian mematikannya lagi. "Tunggu di sini sebentar."
Aku melihat Teh Mila yang berjalan keluar meninggalkanku, lalu kembali meluruskan dudukku, melihat pemandangan di depan sana. Menyambungkan untaian tali dari semua yang sudah kudapat, sepertinya aku sudah bisa menyimpulkan. Tempat ini, Mirza yang belum bercerita, juga keadaan Laras yang bisa kulihat langsung dengan mata kepalaku sendiri. Aku lebih tidak sabar dengan cerita Mirza nanti. Apa yang akan dikatakannya soal Laras, apa dia sudah bilang kalau ia melamarku, dan bagaimana juga reaksinya.
Merinding, aku merasakan hawa lain selagi aku memperhatikan mereka. Kalau bukan untuk memberi jawaban dari semua pertanyaan yang kusimpan dengan baik sampai tiba waktunya nanti, aku tidak tahu ini untuk apa. Semua yang ditunjukkan-Nya pasti ada artinya.
Di awal perkenalan dengan Mirza, melaluinya, aku sudah pernah ditunjukkan dunia yang pernah dan sedang aku lalui. Keterkaitan orang-orang di sekitarku dengannya, Sam, Taufan. Sampai sebelum aku melihat Mirza yang menjenguk Laras di sini, aku tidak pernah mempertanyakannya. Hingga sekarang, di tempat ini, hatiku mencelos menangkap semuanya. Bertemu dengan orang di masa laluku yang memberi luka, mengantarkanku pada dua orang di masa sekarangku yang semoga tidak memberi luka baru.
Aku percaya pada Mirza. Aku percaya kamu. Aku memeluk diri yang dihujani berbagai macam perasaan di satu waktu. Kaget saat Laras menolak Mirza mendekatinya, sedih saat Mirza tetap dengan usahanya berbicara meski Laras tak melihatnya, hingga was-was menunggu Laras meresponsnya. Aku menahan diri kuat-kuat untuk tidak menemani Mirza di sana. Takut, ingin tahu, aku tak tahu lagi.
Aku masih tidak bisa memutus pandanganku dari Mirza yang masih duduk di tempatnya. Kali ini, ia memperkecil jaraknya dengan Laras, melihat apa yang dikerjakannya. Apa yang Mirza bicarakan? Apa ada aku di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya menenggelamkanku dalam kegelisahan. Mungkin sudah waktunya aku bertanya pada Mirza, namun takut juga mendengar ceritanya.
Kapan?
Kegelisahanku tersapu dengan yang kuperhatikan. Mirza tampak menunjukkan cincin yang dipakainya pada Laras, mengukir senyumku. Namun sedetik kemudian, senyumku luntur saat Laras memeluknya. Mulai saat ini, aku ingin terus ingat dan mengatakan pada diri sendiri kalau Laras adalah sepupunya Mirza. Sedang sakit, sangat dekat dengannya, dan sudah sewajarnya seperti ini. Tapi tidak semudah itu. Aku hampir saja pindah tempat duduk, tepat saat melihat Laras menangis. Dan Mirza, tangannya baru terangkat beberapa detik kemudian, memeluknya balik. Kepalanya menengadah, pasti dia menahan tangisnya. Beberapa detik saja, Mirza menjauhkan dirinya lagi, tersenyum dan mengatakan sesuatu pada Laras.
Apa yang Mirza katakan? Apa ada aku di dalamnya? masih dengan pertanyaan yang sama, dengan jawaban dan alasan yang berbeda. Aku ingin tahu kabar Laras, ingin memeluknya juga. Pemandangan itu menghangatkan hatiku, menjauhkan semua kecurigaan dan segala pikiran buruk. Aku mengembuskan napasku pelan, memerhatikan Mirza yang kali ini duduk lebih dekat, bicara apa saja.
Lamunanku terputus dengan jentikan jari Teh Mila yang tepat dekat mukaku. Refleks aku meringkuk, meringis melihat kukunya yang panjang dengan kutek cokelat. Tubuhku gemetaran sampai jatuh ke lantai. Lemas selemas-lemasnya. Ah, tidak! Kenapa ini tetap terjadi padaku meski kejadiannya sudah sangat lama? Bayangan tentang sore itu, saat Teh Mila menamparku, cengkramannya, hingga membantingku ke dinding kelas. Pedih dan perihnya sama.
Tubuhku menegang tatkala Teh Mila terduduk memelukku, menangis. Berkali-kali ia mengucapkan maaf. Tangisnya menular padaku, sementara tubuhku semakin lemas, kian meringkuk. Orang bilang, tubuh selalu lebih cepat dari otak kita. Aku tidak bisa berlagak tidak apa-apa, sudah lupa. Selagi belum berdamai, sepertinya lima belas sampai dua puluh tahun pun tidak akan cukup.
"Maaf," kata Teh Mila. "Harusnya aku dengarin Naya," Teh Mila bangkit berdiri, menjauh dariku.
Dalam diamku, suara potongan kuku yang terdengar seperti jeritan kesakitannya. Tak sampai lima menit berikutnya, bau aseton pun menyeruak ke seluruh ruangan. Aku menegakkan kepalaku melihat Teh Mila yang menangis tersedu membersihkan kukunya. Menyadari kalau aku memperhatikannya, ia kembali tertunduk. Gerakan tangannya semakin keras membersihkan kuku-kukunya. Sampai ia kesal sendiri, botol berisi aseton itu jatuh hingga pecah.
"Naya udah ingatin aku buat jaga-jaga, tapi Denia bilang kamu udah nggak kenapa-napa, kalian semua juga dekat satu sama lain sampai sekarang."
Kesal dan sesal jelas sekali dari nada bicaranya. Dia bangkit dari duduknya, mencuci tangannya di wastafel sembari bercermin. Kudengar tawa yang berakhir dengan tangis. Ia tertunduk, mengikat rambut panjangnya asal. "Maaf...." tangisnya kian pilu. Bahunya naik turun seiring suara napasnya yang tersendat.
Bagaimana bisa dua orang yang sakit ada di dalam satu ruangan seperti ini?
Aku memalingkan wajahku darinya, mengusap wajahku yang basah. Kenapa semua datang dalam satu waktu?
Melihat sekeliling, kudapati kopi dan camilan yang sepertinya bawaan Teh Mila, berserakan di lantai. Aku tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaanku sekarang. Berusaha bangkit, aku mencari apa pun yang bisa membereskan kekacauan ruangan ini. Namun kudapati Teh Mila yang bercermin sambil memegang gunting sementara tangan kirinya memegang rambutnya. Segera aku berlari menujunya, menarik gunting itu. Kami terjatuh bersamaan, pun gunting yang tidak lagi akan berfungsi.
"Maaf ...."
"Enggak, aku nggak apa-apa. Aku udah nggak apa-apa," kataku, balik memeluknya setelah tak membalasnya tadi. "Udah lama. Aku emang harus lewatin ini."
Teh Mila mendongakkan wajahnya melihatku seksama. Entah apa yang dipikirkannya, namun air matanya terus mengalir.
"Aku udah nggak kenapa-napa," kataku lagi dengan sedikit tawa, namun justru membuatku ikut menangis lagi. Tanganku terangkat mengusap wajahnya yang masih saja cantik. Tidak ada yang berubah darinya selain dia yang semakin dewasa.
Berbeda dengan Teh Denia yang punya pertahanan diri nan kuat didukung dengan suaranya yang tegas dan berat, Teh Mila jauh lebih lembut. Seperti Teh Naya, namun versi antagonis dengan kelimpahan privilese. Seperti putri yang akan mencoba banyak hal baru dan berbeda begitu tiba di luar dan jauh dari jangkauan raja dan ratu. Dari gelap yang kulalui karenanya, aku mengenalnya lebih dulu meski tidak lama.
"Kamu beneran nggak apa-apa?" Teh Mila ragu hendak menyentuh bahuku, namun dengan cepat menarik tangannya lagi. "Aku harus apa biar bisa juga kayak kamu sama yang lain?" tanyanya pelan. "Walaupun yang aku lakuin dulu jauh beda sama mereka ... aku harus apa? Kamu mau aku ngapain?"
Aku menarik tangannya, menggenggamnya. Tidak ada lagi kukunya yang panjang dan berwarna. Rambutnya ... tidak. Itu yang membuatnya cantik dan jadi primadona kampus dulu. Waktu di mana dia pernah sedemikian bahagianya meski fana dan berakhir buruk. Beberapa tato di leher dan lengannya menarik perhatianku, pun telinganya yang dihiasi banyak anting yang berderet. Masih saja dia secantik ini. Dan tangannya, tidak ada satu pun cincin di sana. Aku segan menanyakannya.
"Aku udah cerai," kata Teh Mila. "Aku dengar dari Denia kalau kamu udah mau nikah. Makanya aku mau ketemu kamu."
"Buat nakut-nakutin aku?" tanyaku sinis.
Teh Mila tersenyum, mengusap wajahnya yang basah, membuat sekitaran matanya gelap terkena lunturan riasannya. Ia memintaku duduk kembali di tempat yang semula kupilih, yang masih menampakkan Mirza dengan usahanya bicara pada Laras. Entah sudah berapa menit berlalu sejak terakhir aku memperhatikan mereka, kali ini Laras mulai bicara juga.
Tapi tentu saja aku mengerti maksud Teh Mila. Aku harus selesai dulu dengan urusanku, dengan diriku sendiri. Ya, ini maksudnya, maksud dari selesai dengan diri sendiri. Didukung dengan rasa percayaku pada Mirza, juga apa yang sudah kulalui sebelum bertemu dengannya. Aku bisa lebih tenang menghadapi situasi ini.
Kedatangan petugas kebersihan menjeda lamunanku. Kulihat pria yang tampaknya masih sangat muda itu membersihkan tumpahan makanan dan minuman yang berserakan. Tak lama, setelah semuanya bersih, Teh Mila kembali menawarkan minum yang kali ini kujawab dengan benar.
"Waktu kunjungan di sini emangnya berapa lama, Teh?" tanyaku, melihat jam pada tanganku.
"Seharian juga bisa. Tapi proses buat pengajuan kunjungannya yang cukup lama," jelas Teh Mila, membuka lemarinya dan mengambil camilan dari sana. "Kayak kamu kemarin, enggak jauh beda. Kirim surel atau telepon juga bisa. Jadi nanti kami di sini yang ngatur waktunya."
"Aku kan lihat Teh Mila, bukan mau lihat pasien," jelasku belum mengerti.
"Iya, siapa pun yang masuk ke sini, prosesnya kayak gitu, Nis," tutur Teh Mila, berpikir sejenak. "Kami screening dulu pengunjungnya. Siapa mereka, apa hubungannya dengan pasien. Biasanya, keputusan kalau orang itu bisa menemui pasien atau enggak, berdasarkan dari rekam medis pasien tersebut. Konselor dan dokter mereka yang bakalan mutusin. Sekalipun keluarga, pasangan, dokter bisa aja mutusin kalau mereka belum boleh ketemu."
Aku mengangguk-angguk menyimak penjelasannya, berpikir kalau pasti benar masalah Laras ada kaitannya dengan Mirza. Atau ... Mirza memang sosok yang perlu bertemu dengannya di saat seperti ini.
"Kalau itu ...?" Aku mencari celah jawaban, menunjuk Laras. "Perempuan yang lagi gambar itu, yang nggak jauh dari laki-laki pakai kemeja navy."
"Kamu tahu dari mana dia lagi gambar? Sekelihatan itu ya?" Teh Mila meletakkan dua cangkir kopi, disusul dengan toples kukis dan wafer. Cukup detail, dilihat dari jarak di depan tempat duduk kami yang hanya menampakkan pergerakan. "Perempuan itu desainer butik premium. Di sini, dia banyak gambar desain baju, sampai menjahit juga. Yang cowok itu sepupunya," cerita Teh Mila, menyesap kopinya. "Mereka juga kayak kamu sama Juna. Bedanya-"
Tak menjawabnya, aku menyesap kopiku. Pandanganku masih terus ke arah Laras dan Mirza di sana. Sementara Teh Mila, dia tampak tak enak, sampai tak melanjutkan ceritanya lagi.
"Bedanya apa?" tanyaku tak ragu.
"Kamu kenal?" tanyanya dengan alis menukik, hingga pandangannya jatuh pada tanganku yang sedari tadi memain-mainkan cincin. "Dia-ah, itu calon suami kamu?" matanya meneduh, juga suaranya yang memelan.
Aku tidak bisa menyembunyikan senyumku, namun terasa janggal karena aku seperti sedang mengawasi mereka dengan curiga.
"Berarti kamu perempuan yang dia tulis di bukunya. Perempuan tanpa nama."
Pernyataan Teh Mila membuatku kembali menoleh padanya. Aku tidak bisa bohong, kalau aku ingin tahu lebih jelas tentang kondisi Laras. Adakalanya aku takut kalau penilaianku tentangnya salah. Dan sampai di sini pun, aku tidak bisa lega karena kenyataannya benar bahwa Laras sakit.
"Pasien yang sampai sini, terlepas dari hobi mereka, ada jurnal juga yang mereka isi," jelas Teh Mila, menangkap gesturku. "Mungkin ini jalannya buat bersihin nama aku. Jadi-"
"Enggak, nggak usah!" aku memotong ucapannya. "Profesional dikit dong Teh...." meski tak bisa dipungkiri kalau aku ingin tahu juga.
Teh Mila bersidekap, menelitiku lebih dekat dengan sedikit menunduk. "Kerjaan aku di sini lumayan, sih, Nis," Teh Mila menegakkan duduknya lagi dengan kaki bersitumpu. "Mereka yang sampai di tahap ini, aku yang screening," jelasnya singkat. "Sama kayak pengunjungnya, enggak semua yang sakit itu bisa sampai pemulihan di sini."
Iya dan Tidak, berseteru di otakku. Aku ingin tahu, namun aku tidak bisa mengabaikan bagaimana krusialnya privasi, apalagi menyangkut kesehatan mental yang bahkan masih disalahpahami banyak orang.
"Sebagai pengurus, penanggung jawab bagian ini, aku nggak akan mau ngasih tahu. Tapi sebagai orang yang kenal kamu, tahu kamu, yah ... sekalian memperbaiki hubungan juga, aku nggak masalah. Menurutku mereka juga nggak akan masalah kalau kamu tahu. Mungkin ada waktunya juga nanti kamu bakalan tahu."
Benar, nanti aku pasti akan mendengarnya dari Mirza. Namun dari sudut pandang lain, pasti akan berbeda, ada sesuatu yang lain.
"Oke, gimana?" tanyaku, menelan keraguanku.
Teh Mila menghela napasnya, berdecak kecil. "Mereka kayak kamu sama Juna. Kalau Juna ninggalin kamu karena dia pulang, perempuan itu beda lagi. Dia yang pergi, nggak sadar kalau dia sakit."
Dan dia baru merasakan sakit saat yang lainnya pergi.
"Yang mungkin perlu kamu tahu, yang bakalan bikin kamu tenang, uhm ... suaminya cukup sering ke sini. Lumayan bikin iri," kata Teh Mila, menarik perhatianku lagi padanya. "Bawain dia bunga, makanan, bacain cerita, malah pernah juga minta izin buat pinjam dapur. Mereka masak berdua. Enggak akan ada orang yang nyangka kalau dia sakit."
Sudah pasti kalau mereka tidak jadi bercerai.
"Terus, kenapa dia sampai masuk sini?" tanyaku, kemudian sadar kalau aku kedengarannya sangat ingin tahu. "Maksud aku-"
"Banyak. Menumpuk. Enggak dianggap sakit, enggak tahu kalau itu sakit."
Persis perkiraanku.
"Awalnya masalah dia sama kayak aku, tekanan dari keluarga, orang tua khususnya," jelas Teh Mila. "Dia anak satu-satunya, lahir dan besar di keluarga terpandang, berpendidikan. Bedanya, keluarganya religius." Teh Mila mengembuskan napasnya, menggeleng takzim melihat apa yang sedari tadi kami bicarakan. "Nikah pun dijodohin. Suami yang baik banget dan pengertian, tahu masalah dia, justru bikin dia tambah sakit, jangankan sembuh."
Aku menutup mulutku, tak bisa berkata-kata. Selain karena Laras yang anak tunggal, bukankah semuanya persis Kak Ajun?
"Kayak ... he's too perfect to be blamed but she doesn't want him." Teh Mila menoleh melihatku. "Kamu terlalu baik buat aku itu beneran ada."
Sepertinya cukup sampai di sana cerita Teh Mila. Aku tidak perlu tahu apa-apa lagi tentang Laras selain dari mulut Mirza sendiri. Kalau memang kami tetap berjalan, aku akan tahu apa yang perlu aku tahu. Aku percaya padanya.
"Kalau gitu, bukannya seharusnya dia berusaha buat baik juga?" tanyaku, muak dengan kalimat semacam itu. "Tinggal dianya aja kan? Dapat yang baik di saat banyak orang mau hal yang baik."
"Gimana bisa berusaha kalau dia sendiri nggak punya kemauan itu?" tanya Teh Mila, mengembalikan pandanganku ke taman lapang. "Kemauan bukan milik semua orang. Ada yang juga berusaha untuk itu. Kenapa sih harus mau? Gimana kalau nggak mau?" Teh Mila menghela napasnya. "Tapi suaminya tetap usaha. Sampai sejauh ini, dia sampai di sini, beresin satu persatu."
Aku tenggelam pada ceritanya, sampai tak sadar kalau Mirza tak lagi di sana. Tak lama kemudian, Laras juga menutup pekerjaannya, berdiri di sana dengan kepala menengadah, melihat langit yang masih saja cerah.
"Sedih juga ya, yang nggak bermaksud menyakiti pun bisa bikin orang lain sakit," kata Teh Mila, ikut melihat apa yang menarik fokusku.
"Yang bermaksud menyakiti juga enggak selalu bikin orang yang disakiti itu sakit."
Teh Mila melihatku sendu, kemudian tersenyum, seakan paham kalau aku sedang membicarakannya. "Berarti orang yang menyakiti itu yang sebenarnya sakit," pungkasnya.
Aku ikut merasakan sakitnya. Apa yang dialaminya setelah sore kelam itu? Tahu-tahu dia keluar dari kampus, meninggalkan teman-temannya yang juga punya jalan masing-masing. Yang aku tahu, Teh Denia tetap melanjutkan kuliahnya, sebagaimana Kak Alya yang tak lain adalah sahabat Kak Ajun. Sementara Teh Naya, dia keluar bersama Teh Mila namun akhirnya memilih melanjutkan kuliahnya di tempat lain yang sampai menjadikannya guru konseling hingga sekarang.
Tidak banyak yang aku tahu tentangnya, tapi aku bisa mengerti kenapa dia sakit meski tidak bisa diwajarkan juga. Di luaran sana, tetap banyak anak yang menjalani hidupnya dengan baik bagaimanapun tekanan datang dari keluarganya sendiri. Dan di luar sana, tetap banyak anak yang tidak bisa memanfaatkan hidupnya dengan baik bagaimanapun banyaknya kebaikan yang melingkupinya.
"Tenang, aku professional kok," Teh Mila tiba-tiba menunjukkan plakat profesinya di dalam lemari sebelum pintu keluar, menangkap kewaspadaanku, melihat ke arah lapangan sana, memastikan kalau Laras dan Mirza benar-benar sudah tidak di sana. "Aman. Aku masih di batas aman cerita kayak tadi."
Aku tertawa karenanya, untuk pertama kalinya. Tahu-tahu, aku kembali diberi peluk yang bukan lagi untuk menenangkan. Tubuhku tidak lagi menegang ataupun menolaknya. Ternyata, setelah lama waktu berlalu, tidak butuh waktu lama untuk mengganti ingatanku tentang perempuan ini.
"Hati-hati, ya, Nis," katanya, dengan senyum lebih hangat.
Dari lima belas tahun lalu hingga sebelum tiba di sini, aku tidak membayangkan kalau beginilah akhirnya.
Sepanjang jalan pulang, Anneke kembali mengantarkanku. Kali ini, dia yang mengundangku untuk kembali datang. Sampai aku bertanya ulang untuk memastikan ajakannya itu benar atau sekadar basa-basi.
"Mila banyak cerita tentang kamu dan teman-teman kuliahnya dulu."
Ah, mungkin ini. Kuanggap itu hal baik. Tidak tahu apa yang diketahuinya tentangku dari Teh Mila. Di pandangannya, apa aku korbannya? Atau seseorang yang juga ada di sore kelamnya? Yah, setidaknya, apa yang dulu dilakukan Teh Mila padaku tidak sekadar angin lalu untuknya.
"Gimana perasaanmu lihat Mila tadi?"
Anneke pasti tahu banyak.
"Saya pembimbingnya," jelas Anneke menangkap kebingunganku. "Dalam pekerjaannya sekarang, juga saat penyembuhan."
"Konselor?" tanyaku yang hanya dijawab Anneke dengan senyum. "Mungkin karena sudah lama, saya sudah dalam posisi siap buat sampai di sini," jelasku tak keberatan.
"Mungkin juga karena kamu sedang dalam kondisi yang luar biasa baik," Anneke memberi alternatif kemungkinan lain. "Pun Mila, dia juga sedang dalam suasana hati yang baik. Sebenarnya itu tergantung kamu."
"Maksudnya kondisi Teh Mila?" tanyaku memastikan. "Tergantung saya?" Aku mengingat bagaimana kami tadi. Ketika Teh Mila baru menunjukkan sakitnya ketika aku juga sakit.
"Sopan sekali kamu. Sepertinya ini juga yang membuatnya baik-baik saja selama bersama kamu tadi," jelas Anneke lagi, tidak terasa kalau halte tempatku menunggu kendaraan ke gerbang utama sudah kelihatan.
"Oh iya, boleh saya bertanya sesuatu?" Aku sengaja menghentikan langkahku, mengulur waktu. "Tempat ini, apa memang serahasia ini?"
Sungguh, bersama Teh Mila tadi, aku sampai lupa menyuarakan kecurigaanku akan tempat ini.
"Maksud saya, sebelum mengirim surel untuk bertemu Teh Mila, saya mencaritahu dulu soal tempat ini. Saya tidak tahu kalau tempatnya seperti ini, juga ada kendaraan yang mengantarkan saya sampai sini. Ponsel saya-"
Anneke lagi-lagi hanya tersenyum. "Bukankah kebanyakan orang tidak mau orang lain tahu kalau dirinya sakit?" tanya Anneke retorik. "Terlebih soal ini. Orang tua pun, tidak banyak dari mereka yang berterus terang soal kondisi anaknya. Jangankan itu, menerima pun belum tentu."
"Padahal, kebanyakan anak-anak yang sampai di sini juga karena mereka."
Anneke tidak menjawabnya, namun jelas kalau dia sepakat dengan ucapanku.
"Banyak juga dari mereka yang bukan tidak paham, tapi tidak mau, tidak menerima," jelas Anneke. "Orangtuamu tidak masuk di dalamnya. Itu yang perlu kamu syukuri."
Dulu, aku juga sering bertanya-tanya. Kenapa aku baik-baik saja? Sesekali merasa tidak baik, kembali ingat, namun selalu ada yang membuatku kembali dan melanjutkan hidup.
"Kalau orang tua saya bukan orang di bidang ini, tidak mengerti, apa saya akan tetap berakhir seperti ini?" tanyaku, tidak bisa menahan pertanyaanku.
"Kamu anak mereka, itu takdir. Tapi bagaimana kamu menjadi anak mereka, itu nasib," katanya, sedikit sulit kupahami. "Mereka orangtuamu, itu juga takdir. Tapi bagaimana mereka sebagai orangtua, itu nasib."
Sepanjang jalan menuju gerbang utama, aku memikirkan ucapan Anneke. Nasib dan takdir. Kalau begitu, mungkinkah kenapa aku sampai di sini juga termasuk takdir? Aku mendapat semua jawaban dari pertanyaanku, pun obat dari setiap luka yang tidak semuanya menyakitiku-di mana itu semua berasal dari nasib yang mengantarkanku.
Mendengarkan suara orang mengaji, langkahku terhenti mendapati Mirza yang berdiri tepat di tempat tujuanku. Dia memperhatikanku dalam diamnya. Aku menebak-nebak apa yang dipikirannya. Kalau dia bilang aku menguntit, mengikutinya, aku bisa mengerti walaupun kesal juga dianggap begitu.
"Kok nggak manggil?" tanyaku saat jarak kami semakin dekat, mendapati Mirza yang mulanya bingung, menerbitkan senyumnya. Sudah lama.
"Kirain halu, astaghfirullah...." Mirza terkekeh konyol. "Ada dosa kali, ya, ke kamu. Kayak dihantui."
Aku menahan tawaku. "Emang punya dosa apa?" tanyaku, menunggu jawabannya.
Mirza tak menjawabnya. Ia menyamakan langkahnya denganku, semakin dekat ke area masjid yang belum begitu ramai.
"Kamu nggak mau nanya kenapa aku di sini?" Aku menghentikan langkahku begitu hampir sampai di tangga bertuliskan 'BATAS SUCI'.
"Aku percaya kamu," jawabnya singkat sebelum menunduk, membuka sepatunya.
"Eh, percaya tuh sama Allah subhanahu wa ta'ala," candaku, tidak membuat Mirza tertawa namun tak membuat cerahku menggelap. "Kamu percaya takdir nggak?"[]
*****
A/N:
Sampai ketemu di EPILOG.
Makasih udah baca sampai sejauh ini!!! 💛💛💛
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro