Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

32 | Titik Temu

A/N:

Di awal, aku udah bilang kan kalau ini sekuel? Jadi, bakalan lebih baik kalau teman-teman emang baca Inspirasa buat masuk di bagian ini.

Sekalipun enggak (baca Inspirasa), menurutku masih bisa dimengerti sih kalau emang kamu nyimak detail-detail kecil di cerita ini~

Selamat baca!

*****

Tebak, apa yang aku lakukan selama Mirza pergi? Dengan jelasnya hubungan kami, sekiranya, apa yang tetap aku usahakan? SKSD dengan ibu kos yang tak lain adalah kerabatnya Mirza? Oh, tentu saja tidak. Di kosan, aku hanya tinggal tidur. Mana sempat cari perhatian dan unjuk diri? Bertemu kerabatnya yang lain, yang sudah dikenalkannya padaku, itu juga tidak. Main ke kantornya, atau ke rumahnya sekalian, tidak juga.

Menurutku, tidak merecoki Mirza dan pekerjaannya adalah bentuk usahaku. Tidak rewel minta dikabari, meneleponnya terus menerus, ingin bertemu atau sampai menyamperinya, aku tidak mau begitu. Untungnya, aku dan Mirza sama-sama butuh untuk saling bertukar kabar. Percaya yang kami sematkan pada satu sama lain, jadi pondasi kuat dari jarak yang terbentang.

Bukan hanya Mirza yang sibuk, aku juga. Ada saatnya aku yang meneleponnya duluan, tapi lebih sering Mirza duluan yang mengabari. Ah, jadi begini rasanya mendapatkan kepastian dan kejelasan. Benar-benar meringankan pikiran. Mau lanjut jalan atau tidak? Masih mau sama-sama atau tidak? Tidak ada kekhawatiran dan berbagai macam prasangka.

Ini sudah lebih dari sebulan, tapi kadang, aku ingin sekali jungkir balik tiap kali melihat cincin perak yang melingkar di jari manis kiriku. Sudah sejauh ini. Aku dan Mirza tiba di sini juga! Aku sudah bilang pada Ibuk dan Bapak, termasuk soal menolak ide Mirza untuk kami menikah dulu sebelum ia pergi. Dan sekali lagi, mereka masih dengan pengertian dan percayanya padaku.

Sebenarnya, aku tidak mau Mirza merasa terburu-buru. Itu saja. Aku sampai membayangkan, kenapa Mirza bisa tiba pada pemikiran untuk segera menikah dan membawaku, pasti karena ia sudah tahu ceritaku dan Kak Ajun dulu. Mirza yang aku tahu adalah Mirza yang serba terencana dan tertata. Tidak ada buru-buru dan ketergesaan dalam kamusnya. Aku tidak mau merusak itu. Yang penting sekarang, di pikiranku, aku sedang dalam rencana untuk menikah dengan Mirza. Itu saja.

Aku meraih ponselku, melihat gambar-gambar yang Mirza kirimkan. Apa kegiatannya, bagaimana ia menghabiskan hari. Rasanya, lebih banyak Mirza yang mengabariku. Meski begitu, ada saja yang menggangguku. Saat terbesit pikiran-pikiran buruk soal Mirza, aku akan langsung meneleponnya, yang kemudian mengembalikanku pada ucapan yang sering kami katakan satu sama lain; aku percaya kamu. Sebesar itu Mirza percaya padaku, sebesar itu pula aku percaya padanya.

"Eh, bentar, ini Teh Denia nelepon juga. Nanti aku telepon lagi ya?" kataku yang langsung dituruti Mirza dan langsung beralih menjawab panggilan Teh Denia.

"TANTE NGIRIM APA NIH BUKANNYA NENGOK AKU?!"

Suara Teh Denia dari teleponku yang terhubung dengan Faisal, membuatku tertawa. Pasti hadiah kirimanku sudah sampai. Ah, aku merindukan mereka! Bisa-bisanya aku lupa kalau Teh Denia sudah melahirkan. Kalau bukan karena bertukar pesan dengan Teh Naya yang bertanya kapan aku bisa pulang-karena katanya ada oleh-oleh untukku dari Makkah-sampai membicarakan banyak hal, aku pasti tidak akan tahu kalau anak Teh Denia sudah mau jalan tiga bulan. Ke mana saja aku selama ini? Jarang sekali buka status Whatsapp, apalagi media sosial. Sudah lama juga aku tidak bertukar kabar dengan Teh Denia maupun Faisal.

"Aku lagi banyak kerjaan banget, nih. Udah lama juga nggak pulang," jawabku, masih melihat penampakan rumah Teh Denia dan Faisal di layar ponselku. "Aku beneran lupa. Maaf...."

"Lupa atau lupa?" ledek Faisal, menyerahkan ponselnya yang langsung menampakkan muka Teh Denia. "Lihat tuh yang sibuk, shining, shimmering, splendid!"

Teh Denia menjauhkan muka Faisal yang muncul di bawah layar. "Aaaahhhhh so happy! Gimana ... gimana? Ada cerita apa?"

Aku refleks melihat cincinku, tanpa ragu mendekatkan tanganku pada kamera. "TADA!" seruku menunjukkannya.

Teh Denia yang menganga, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya sampai Faisal yang menutup mulutnya.

"Alhamdulillah, finally! Congratulation!" Faisal menyelamati, tak sadar dengan sang istri yang sudah berkaca-kaca. Ah, aku tidak menyangka ini!

"I'm happy for you." Teh Denia merengek.

"Ini sama Mirza, kan, Nis?" tanya Faisal sembarangan, sampai membuat Teh Denia menjauh darinya dan meminta maaf padaku.

"Aku beneran nanya, Yang. Astagfirullah...." suara Faisal yang jauh masih bisa kudengar.

"Rese banget! Bercandanya nggak tahu tempat!"

Aku menertawakannya. Dasar! Sudah punya anak pun, mereka masih saja seperti ini.

"Selamat karena anda berdua sudah jadi yang pertama saya kabari setelah Ibuk dan Bapak," candaku. "Enggak bakalan heboh, kan, please...."

"Enggak ... enggak. Aman! Paling anak-anak aja, biasa." Teh Denia meyakinkanku. "Terus ... terus, gimana? Kapan?"

Aku menghela napasku. Sungguh, aku juga tidak tahu kapan. Aku jelas tahu jadwal Mirza, tapi belum tahu juga kapan waktu tepatnya. Aku hanya perlu Mirza menyelesaikan pekerjaannya dulu dan pulang. Bahkan aku sama sekali tidak pernah mengungkitnya.

"Uhm ... nanti aku kabarin. Pasti!"

Teh Denia benar-benar tidak bisa menahan tangis harunya. Adakalanya aku senang karena orang-orang turut perhatian akan bagaimana aku melanjutkan hidup. Mereka ikut merasakan apa pun yang aku rasakan. Tapi, ada saatnya juga aku bertanya, kenapa orang-orang sampai sebegininya? apa aku memang sebegitunya kelihatan susah dan menyedihkan?

Bukan hanya Teh Denia yang sudah lima belas tahun mengenalku, tapi Taufan juga. Aku tidak pernah membayangkan kalau dia akan jadi orang yang selanjutnya tahu.

Sebelumnya, aku sudah beberapa kali melihatnya di kantor. Entah dia yang tidak melihatku, atau memang menghindariku. Tapi sepertinya Taufan tidak sedrama itu. Sampai di suatu waktu, aku duluan yang menyapanya di kantin, tepat saat istirahatku bersamaan dengan divisinya yang memenuhi tiap tempat duduk.

"Saya boleh duduk di sini, kan?" tanyaku, sembari mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kantin. Siap-siap saja kalau Taufan menolakku. Satu kelompok masuk, satu kelompok keluar. Sepertinya hanya aku yang sendiri, melipir dari rekan-rekanku yang mengajakku makan di salah satu restoran jepang tak jauh dari kantor.

"Duduk aja, Mbak. Saya udah kok," kata seorang teman Taufan. "Gue ke luar duluan, Fan," katanya, menepuk pundak Taufan, menunjuk area luar yang jadi tempat banyak orang merokok.

Tidak ada yang bersuara dari kami. Taufan yang melanjutkan makannya, sementara aku baru memulainya.

"Alhamdulillah," katanya setelah meminum air mineralnya, melirik cincin yang kupakai. "Nyampe sana juga. Syukur deh...."

"Emang kelihatan cincin sesuatu gitu ya?" tanyaku, menilik satu-satunya cincin yang menghiasi jariku.

"Pertama-tama, lo nggak pernah pakai perhiasan buat sehari-hari."

Ah, tidak. Aku benci seperti ini. Kenapa Taufan enteng sekali membicarakannya? Yah, memang benar dia pernah menyukaiku. Sedikit banyak, pasti dia memperhatikanku. Tapi aku tidak tahu kalau dia akan seperti ini.

"Gue udah usaha buat nggak ketemu lo loh ya? Gue nggak mau dikira aneh-aneh, Mbak," katanya santai, namun tidak begitu untukku.

"Kamu diomelin Sam ya?" tebakku. "Sorry...."

"Sedikit," katanya. "Tapi enggak, lah. Biarin aja."

"Tapi kamu masalah nggak?" tanyaku, masih dengan makananku. "Kalau saya sesantai ini duduk di depan kamu."

Taufan menimbangnya.

"Kalau saya sendiri lihatnya, kamu sebagai rekan kerjanya Mirza, kerabatnya, sahabatnya Sam juga. Sekarang malahan teman satu kantor saya juga. Bakalan lebih panjang buat kedepannya," aku sedikit menjelaskan pandanganku tentangnya.

"Enggak, nggak masalah," jawabnya beserta anggukan. "Dipikir-pikir, ngapain juga? Toh bakalan ketemu. Pasti."

"Terus kalau gitu, ngapain kamu nurutin Sam?" ledekku. "Dia khawatir banget kayaknya sama kamu. Dengan saya yang segampang ini nyamperin kamu ... yah, saya nggak sebaik itu. Sam pasti tahu makanya waspada banget kalau saya sesantai ini sama kamu."

"Kalau gitu, dia nggak akan mau dong ngenalin gue ke elo," Taufan menyeringai. "Lo baik, Mbak. Buat orang yang nggak sat-set beresin dan lurusin sesuatu, perlu orang yang kayak lo," tuturnya, yang aku anggap sebagai pujian. "Sekarang lo kelihatan happy dan sehat juga," ujar Taufan yang sungguh tidak kusangka. "Good for you. Turut senang!"

Senyumku jauh lebih lega setelah mendengar ucapannya. Ucapan yang bukan sekadar penghiburan untuk dirinya, bukan pula untuk memperlurus kesalahpahaman.

"Ah, gue nggak suka yang happy kayak lo gini," canda Taufan yang lagi membuatku terbahak. "Pasti berisik, ribet."

"Kamu sukanya yang dark problematik dan cuek gitu ya?" tebakku yang ditertawai Taufan. "Enggak boleh gitu, Fan! Nanti kamu kalau ketemu yang gitu, kamu suka, dia juga bakalan cerah lagi. Dia yang biasanya sendiri, bakalan jadi selalu kamu. Harusnya kamu senang dong? berarti kan, selama dengan kamu orangnya sedemikian berubah. Kamu juga dia butuhkan. Bakalan kebawa senang juga ke diri kamunya."

Taufan tak menimpalinya lagi, namun jelas ia memikirkan ucapanku. Sampai akhirnya, dia berkata, "Makasih, Mbak."

Ini deja vu. Seperti aku dan Faisal yang lebih dekat setelah kami berpisah. Meski belum pernah menjalin hubungan dengan Taufan, seperti ini rasanya lebih menenangkan. Taufan yang tidak canggung, apalagi aku. Pun aku yang tidak segan, dan Taufan yang juga semakin ringan berhadapan denganku.

Tapi sepertinya, menceritakannya pada Mirza adalah ide buruk. Bukan karena Mirza cemburu, tapi karena dia diam saja sampai aku berpikiran kalau dia tidak suka aku membicarakan Taufan.

"Kamu marah?" tanyaku, tak membuat Mirza menutup pekerjaan yang masih ditekuninya. Hanya sebagian dirinya yang tampak di layar teleponku, sementara sebagiannya lagi adalah penampakan hotel tempatnya menginap. "Ngomong dong, Mirza. Kalau nggak suka, bilang. Aku dari tadi cerita, tapi kamu ham-heum-ham-heum doang."

"Bukan gitu, Rengganis...." Mirza meluruskan ponselnya, yang membuatnya memenuhi layar ponselku. "Aku lagi banyak kerjaan. Banyak revisi."

Aku jadi merasa bersalah. "Kenapa nggak bilang? Tadi aku nanya dulu loh ya mau telepon kamu. Terus kata kamu; iya, oke, silakan, ditunggu."

"Pengen ngobrol aja. Biar ada teman. Kangen."

Sejujur dan semudah apa pun aku bilang merindukannya, banyak memujinya, mendapatkan hal serupa tidak bisa membuatku biasa saja. Aku mensyukurinya sekaligus menyesal kenapa tidak langsung menerima saat dia bilang mau menikah denganku dulu sebelum pergi.

Saat aku yang bilang, maka Mirza yang akan meredakannya. Pun sebaliknya, saat Mirza yang bilang, aku tak akan menimpalinya. Kami tidak mau terlarut dalam suasana yang akan membuat kami lupa. Ini seperti; kami tahu masalah apa yang akan datang pada kami kalau menempuh jalan ini, namun kami tetap pada jalan yang akan mengantarkan kami pada masalah itu.

"Kenapa nggak telepon duluan aja?" tanyaku yang masih bisa membuat Mirza salah tingkah. Menyebalkan rasanya karena kami sama-sama tahu batasannya, yang seringkali jadi senjata kalau kami akan baik-baik saja. "Kayaknya harus dikurang-kurangin deh, Mirza."

Mirza mengangguk setuju. "Iya. Dikurangin. Diusahain."

"Kalau aku cuekin jangan marah ya?" Aku mengembalikan tawanya. "Kamu juga, aku nggak apa-apa kalau enggak kamu kabarin-eung ... tapi bohong."

"Haha ... iya, iya, ngerti. Makasih udah ngingetin," katanya, kembali pada pekerjaannya.

Aku menimbang kembali apa yang akan aku bicarakan padanya. "Oh iya," aku dan Mirza mengucapkannya berbarengan, yang lagi membuat kami sama-sama tertawa. "Aku dulu ya?" pintaku yang disetujui Mirza langsung. "Taufan udah tahu. Aku nggak sengaja cerita, dia ngeuh aku pakai cincin."

"Terus Sam gimana?" tanya Mirza, kembali fokus dengan obrolan kami. "Kamu masih belum mau bilang?"

"Nanti juga bakalan tahu-"

"Aku kalau jadi Sam bakalan marah banget! Yang adiknya kamu tuh siapa, sih? Taufan atau dia?"

Aku meringis membayangkan Sam meributkan itu. "Enggak, lah! Dia bakalan ngerti."

"Aku nggak ikut-ikutan ya?!" telak, Mirza angkat tangan. Seperti biasa, dia tidak pernah ikut campur soal urusanku dengan Sam yang sekali lagi hilang kontak, tidak ada kabar sejak membantuku beres-beres pindahan. "Mending kamu kasih tahu sekarang. Enggak lucu banget kalau dia tahunya dari Taufan. Jangan gitu, ah, Nis! Atau aku aja yang ngasih tahu?"

"Biar aku aja! aku pikirin dulu gimana bagusnya," kataku, tidak mau memperpanjangnya, tidak mau juga kalau Mirza ikut campur dalam masalahku dengan Sam yang tidak akan pernah selesai. "Tadi kamu mau ngomong apa?" tanyaku yang sesungguhnya mengalihkan.

"Sebentar," Mirza meninggalkan ponselnya, lalu kembali membawa sebotol air mineral yang kemudian diminumnya seperempat. Sepertinya sesuatu yang serius. "Uhm ... aku udah bilang Mama-nya Yaya. Soal kamu. Ibunya Ayi pasti udah tahu juga."

Lagi, Mirza sudah ambil langkah duluan. Sementara aku bercerita pada orang yang bukan keluargaku, Mirza berbeda. Aku bahkan masih belum juga mengenalkannya pada keluarga besarku. Pun soal Laras, apa dia sudah tahu? Lalu, bagaimana kabarnya sekarang? Selagi Mirza belum memberitahuku, aku tidak mau juga menanyakannya.

"Kamu nggak apa-apa kan di kosan? Enggak direcokin? Ibunya Ayi nggak rusuh, sih. Cuman, kali aja nanti diajak ngobrol." Mirza mengingatkan. "Ah ... anaknya! Kalau pas Ayi ke sana, kamu-"

"Kerjaan kamu masih lama nggak?"

Aku tahu apa yang akan Mirza bicarakan. Kenapa juga dia perlu khawatir soal sepupunya yang satu itu?

"Sesuai jadwal ya?" tanyaku lagi, membuat Mirza melihat laptopnya.

"Harusnya bisa lebih cepat, sih. Banyak jadwal yang jadi kolektif. Di seminar kemarin, aku udah ketemu orang-orang yang mau aku temuin. Ini revisi tuh buat kirim proposalnya ke mereka aja. Jadi nanti kalau oke, aku tinggal datang buat presentasi," jelas Mirza panjang lebar, lupa dengan kecemasannya. "Masih lama, sih, kalau itu. Bisa nanti, tergantung merekanya juga. Kenapa?"

"Bulan depan rencananya aku bakalan pulang," aku melihat kalender di meja, melihat tanggal-tanggal yang sudah kutandai dengan jadwalku juga. "Pas tanggal merah. Kamu bersedia buat ikut nggak?"

Mirza tersenyum dengan mulut terkatup rapat. Pasti ini lucu untuknya.

"Kamu bersedia nggak, kamu mau nggak, kamu bisa nggak. Nis, ya Allah...."

Sesimpel itu. Bukan hal baru, hal biasa lainnya yang masih membuatku takjub.

Kami tidak pernah mengambil keputusan sepihak. Selalu bertanya, mendiskusikan kebersediaan kami satu sama lain. Benar, ini lucu. Di usia kami yang sudah 30an, kami masih bisa merasakan dan mengalami hal seperti yang orang-orang seusia kami lalui lebih dulu.

Sungguh, ini lucu. Kalau aku lihat dari sudut pandang lain, melihat bagaimana aku dan Mirza sampai di fase ini, aku gemas sendiri. Sama juga dengan orang-orang yang sudah tahu kalau kami sampai di sini, aku dan mereka juga turut senang-bahagia. Apa yang kelihatan dari wajah kami juga tampak dari mereka yang mendengarnya. Termasuk Teh Naya yang tahu tahu mengunjungiku di akhir pekan.

"Ah, Ganiissssssss!!!" Teh Naya memelukku erat. "Huwaaaa aku udah tahu dari Denia, tapi dengar dari kamu langsung rasanya beda lagi! Selamat!!!"

"Heuh, Teh Denia, yang katanya nggak akan bocor!"

Teh Naya tertawa mendengar dumelanku. "Itu dia nggak sengaja bilang. Jadi tuh-" Teh Naya tampak ragu melanjutkan ceritanya. Ia berdeham, meluruskan kembali duduknya. "Nis, aku nggak bermaksud ngerusak kebahagiaan kamu. Tapi, ada yang perlu kamu tahu."

Ucapan Teh Naya cukup membuatku deg-degan. Hal semacam apa yang perlu aku tahu, yang sampai membuat Teh Naya bilang tidak mau merusak kebahagiaanku?

"Kenapa?" tanyaku tak sabar. "Soal Mirza? Kenapa? Pernah lihat dia di mana? Sama siapa?"

Teh Naya tertawa kecil, menepuk kakiku. "Enggak ... bukan itu! Mirza kayaknya enggak aneh-aneh, deh, orangnya. Bisa-bisanya kamu!"

"Ya, abis, bilangnya gitu. Gimana ... gimana? Ada cerita apa yang perlu aku tahu?" tanyaku semakin tak sabar.

"Mila," satu nama yang bertahun-tahun tidak pernah aku dengar. "Aku ketemu Mila. Kamila. Dia nanya kabar kamu."

Detik itu juga, memoriku berputar ke lima belas tahun lalu. Sore terkelamku di kampus impianku. Teh Denia dan Teh Naya yang namanya sudah bersih di ingatanku, kembali dengan segala kotornya.

"Nis...."

"Teh Mila gimana kabarnya?" tanyaku, tak membiarkan ingatanku mengganggu. "Dia ingat aku?"

Tak berlama-lama menceritakannya, Teh Naya langsung mengirimkanku gambar kertas bertuliskan alamat dan kontak surel.

Segenap hati aku mempersiapkan diri untuk menemuinya. Kejadian gelap itu sudah berlangsung lama. Aku juga sudah dewasa. Seharusnya aku baik-baik saja. Mengingat lagi bagaimana aku bertemu Teh Naya, lalu Teh Denia, hingga Kak Alya yang senantiasa meluangkan waktunya untuk bertemu denganku bagaimanapun kami jarang sekali bertukar kabar. Sejauh ini, aku baik-baik saja. Aku bisa menghadapi mereka semua.

PLUTO HEALING CENTER.

Aku menghela napasku membaca tulisan besar di gerbang. Kendaraan khusus yang mengantarkanku dari jalan utama, pamit setelah seorang wanita paruh baya menyambutku. Orang yang sepertinya meneleponku setelah aku mengirimkan surel pada mereka untuk bertemu Teh Mila.

"Rengganis temannya Kamila?" tanyanya ramah. "Saya Anneke, pengurus di bagian Ibu dan Anak."

Aku menjabat tangannya yang keriput, lalu mengikuti langkahnya. Selagi mendengarkan penjelasannya, aku melihat-lihat bangunan yang lebih tampak seperti Universitas ketimbang pusat rehabilitasi swasta. Jauh berbeda dengan yang sudah kucaritahu lebih dulu sebelum akhirnya memutuskan untuk berangkat.

"Silakan ditunggu, saya panggilkan Mila dulu," katanya, izin meninggalkanku.

Bukankah ini cukup mencurigakan? Selain ada kendaraan khusus yang mengantarkanku dari gerbang utama, ponselku juga ditahan. Pun di pintu masuk, ada mesin pemindai seperti di Bandara. Ah ... harusnya aku bertanya pada Ibuk. Sedikit banyak, mungkin saja Ibuk tahu kalau ada tempat semacam ini di dunia yang ditekuninya.

Yang aku dengar dari Teh Naya, katanya Teh Mila juga pengurus di tempat ini. Orangtuanya yang merupakan orang penting, berinvestasi, yang menjadikannya punya hak untuk ambil bagian dalam kepengurusannya.

Melihat lalu lalang orang, aku masih belum menemukan tanda-tanda keberadaan Teh Mila. Semakin dalam, semakin sepi. Namun bisa kudengar suara-suara dari setiap sudut koridor ruangan. Sepertinya banyak kejutan di balik pintu. Berbagai macam manusia dengan dunianya.

Tidak tahan berdiam diri saja, aku lanjut melihat-lihat ke bagian lain. Sepenelusuranku, denah tempat ini seperti proses penyembuhan. Mulai dari tempat orang-orang yang masih tidak tahu sakitnya yang berupa ruangan-ruangan dengan nama dokter pada pintunya. Kemudian mereka yang mengobatinya, dilihat dari areanya yang persis rumah sakit dan tempat terapi fisik. Hingga berakhir pada penyembuhan dan kembali hidup, taman lapang nan luas menyambut pandanganku.

Ada yang melukis, bermain alat musik, menulis, membaca, menyulam hingga berkebun. Aku tak sadar sudah sampai sejauh ini. Tempat ini satu-satunya bagian di mana orang-orang hanya berpakaian biasa. Tidak ada dokter, perawat, tidak ada yang berseragam. Hanya ada orang seperti Anneke tadi yang berkeliling dan menyapa, diam-diam mengawasi.

Semakin tertarik, langkahku sampai juga di ujung koridor. Hingga aku berbalik, mataku menangkap sosok perempuan yang aku kenal.

"Laras...?"

"MIRZA!?"

"GANIS?"[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro