Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31 | ... yang sebenarnya

Aku menunggu Mirza yang pamit untuk bersih-bersih dulu. Di perjalanan tadi, aku tidak mengobrol dengannya. Bicara jika ditanya, yang kebanyakan hanya iya dan tidak. Ini seperti di awal hubungan kami dulu, saat masih perkenalan. Tidak tahu kenapa, aku mendadak malas saja. Bukan aku tidak mau kalau hubungan kami tetap berjalan, hanya saja, ini melelahkan.

Salah, memang. Aku sendiri yang minta agar Mirza pergi, yang artinya membuat jeda dalam hubungan kami. Tapi ini sungguh melelahkan. Ibaratkan, kalau Mirza melamarku, mengajakku menikah, maka aku akan langsung mengiyakannya tanpa pikir panjang lagi. Aku tidak perlu tahu ini dan itu lagi, soal Laras juga, aku tidak perlu tahu sekarang. Bukannya bermaksud sembarangan, namun, apa pun keputusanku, agaknya akhirnya akan selalu sama. Aku ingin hubunganku dan Mirza tetap berjalan. Tidak ada lagi yang perlu aku pikirkan, aku percaya padanya.

"Mau ngopi nggak?" Mirza datang dari luar membawa serta tas kerjanya. Pakaiannya tak ada bedanya dengan setelannya tadi selain warna dan merek. Baju kaos dan celana training. "Oh, nanti, bentar," katanya, menyadari tatapanku yang menghakimi penampilannya. "Ada yang perlu dikerjain, sebentar," katanya seraya menata perlengkapan kerjanya yang mendadak pindah ke pantri. Laptopnya, tabletnya, juga buku catatannya.

Aku menggeser dudukku, membantunya menata meja. Sejenak, aku tertegun melihatnya dari samping. Di mobil tadi aku benar-benar diam. Aku terlalu kaget untuk bertemu lagi dengannya. Maksudnya, aku yakin kalau kami akan tetap bertemu, bersama, hanya saja aku tak menyangka kalau hari itu datangnya pagi ini. Selain tidak ada obrolan, aku juga tidak berani melihatnya. Namun sekarang, bisa-bisanya aku sesantai ini memperhatikannya.

Baru kali ini aku melihat Mirza dengan potongan rambut yang menutup leher dan belakang telinganya. Bulu halus juga menghiasi rahangnya, sementara ia membiarkan janggutnya menutupi dagu. Kelihatan lebih dewasa, namun aku tetap bisa melihatnya sebagai Mirza. Bukan seperti orang yang sedang pusing, atau malas mengurus diri saking sibuknya. Mirza hanya ... ah, untuk pertama kalinya aku canggung memujinya. Benar seperti saat awal-awal perkenalan. Kalau dulu karena belum kenal dan belum tertarik. Kali ini, aku hanya malu saja. Segan. Apa katanya kalau aku tahu-tahu bilang bahwa dia semakin tampan?

"Kamu belum ambil minum ya?" tanyanya, beralih mengambil dua botol air mineral yang tersusun rapi di rak bersama minuman kemasan lainnya. "Belum sarapan juga kan?"

Aku menganggukinya pelan, tetap memperhatikannya yang sama sekali tampak tidak terganggu. Sampai ia duduk di sebelahku, aku bisa mencium baunya yang refleks membuatku bergeser.

"Dari tadi aku biarin, loh, Mbak Ganis," katanya seraya membuka laptop, sama sekali tak melihatku yang masih tetap dengan pemandangan di depanku.

"Terganggu nggak?" tanyaku, membuatnya menoleh, membuatku terkesiap "Cakep, loh."

Mirza tertawa. Sial! Ini bukan pertama kalinya aku melihat Mirza dengan pakaian rumahan, tapi, lama tidak bertemu membuatnya lebih berbahaya. Tak sampai membuatku sanggup menahan diri untuk sekadar berucap.

"Berani banget, aku. Maaf," aku memalingkan wajah darinya, bangkit dari dudukku, melihat-lihat apa saja yang ada di pantri selain Mirza. "Aku tuh bingung, malu banget juga ketemu kamu. Enggak tahu harus ngapain, harus apa."

"Butuh segini lamanya buat kamu kayak gini?" tanya Mirza, berhasil membuatku kembali melihatnya.

"Kayak gini, gimana?" kenapa juga bicaraku mendadak gugup. Astaga!

Mirza tersenyum puas, kembali pada layar tabletnya. Aku tak bertanya lebih lanjut. Kembali duduk di bangku yang sedikit jauh darinya, aku bisa cukup jelas melihatnya yang sibuk membaca sesuatu di layar. Berita ekonomi? politik? membuka media sosial? Tidak tahu. Yang aku perhatikan raut wajah dan gesturnya. Jauh lebih menarik daripada berita-berita memusingkan itu. Sesekali keningnya berkerut, atau alisnya menukik, hingga decakan yang keluar dari mulutnya dengan berbagai macam ekspresi dan reaksi.

"Kalau jadinya gini, aku bisa bilang break tuh bukan ide yang buruk," katanya, sekali lagi sadar kalau aku memperhatikannya.

Ini tidak ada dalam bayanganku, mengingat kalau Mirza tidak mengenal kata break. Ditambah lagi ucapan terakhirnya yang ingin kejelasan dari ucapan terakhirku saat menyuruhnya pergi. Kukira Mirza akan malas melihatku, atau ... yah, cuek, mengabaikanku. Tapi ini jauh dari ekspektasiku meski aku cukup berharap kalau kami akan tetap bersama-setelah mengantarkannya sarapan waktu itu dan ternyata Mirza meresponsnya dengan baik.

Baru sekitar satu jam bersamanya, aku masih belum menangkap jawaban dari pertanyaanku yang sebenarnya takut salah arti. Apa dia tidak masalah dengan enam bulan kemarin? Lalu ... apa dia sungguh menangkap dengan jelas maksudku untuknya menemani Laras dulu yang bukan berarti kalau aku ingin mengakhiri hubungan dengannya? Melihatnya seperti ini, apa sungguh kami tetap berjalan? Hahaha ... soal percintaan, aku masih jadi Rengganis yang payah dan serba takut!

"Kamu beneran mau nge-kos di tempat ibunya Ayi?" tanyanya, menepuk bangku di sebelahnya yang secara langsung kutolak dan kembali membuatnya tersenyum, menggeleng-gelengkan kepalanya. "Enggak apa-apa?"

Aku belum bisa menjawabnya, yang sebenarnya, itu tergantung ke mana berjalannya hubungan kami sekarang.

"Bukannya udah mulai nyaman ya naik Busway sama KRL?" tanyanya, kembali bangkit dari duduknya dan membuka kulkas. "Ada jadwalnya, berasa banget juga kerjanya, lihat macam-macam orang di kereta, naik gerbong khusus perempuan."

Kenapa ini persis ceritaku pada Ibuk dan Bapak? Hatiku seketika bergelenyar, seperti ada kupu-kupu yang menggelitiki perutku. Aku tidak mau membayangkan kalau Mirza ke rumah, bertemu dengan Bapak dan Ibuk tanpa ada aku. Kalau iya, apa yang mereka bicarakan? Kenapa juga Bapak dan Ibuk tidak sedikitpun memberitahuku?

Bau mentega yang dipanaskan, mengusir pikiranku. Aku lebih tertarik melihat Mirza yang entah sedang membuat apa ketimbang berhayal. Yang nyata sudah di depan mata, kenapa pula aku perlu memikirkan yang belum tentu?

"Bapak kayaknya nyuruh aku bawa mobil sendiri biar nggak sering keluar sama kamu," kataku tepat saat Mirza menuangkan telur ke panci.

"Oh, itu. Bapak bilang kok, gimana kalau kamu pakai mobil sendiri. Bapak bilang buat jangan tersinggung karena kamu bawa kendaraan sendiri," jelas Mirza, tetap pada masakannya. "Katanya biar aku fokus kerja juga, enggak diribetin kamu, enggak terbebani. Uhm-" Mirza menggantungkan ucapannya. "Biar nggak sering berduaan juga."

"Itu kamu tahu! Terus kenapa nyamperin?" tanyaku, tidak ingin kalau pemahamanku salah.

"Ya kan kamu mau nyari kosan. Mau pindah," jawabnya santai, seakan enam bulan kemarin tidak ada dalam hubungan kami. "Aku udah bilang ke Bapak juga."

Lupakan sejenak soal Mirza yang meminta izin Bapak. "Terus ngapain minta tolong Taufan kalau kamu tetap temanin aku juga?" tanyaku gemas. Aku sudah tahu jawabannya, namun tetap ingin mendengarnya langsung dari Mirza. Cari penyakit, memang.

"Aku baru ada waktu, Rengganis," katanya, satu tembakan tepat yang sama sekali tidak melukaiku. "Ya, maaf kalau malah jadi ribet. Kan kamu juga tahu, waktu itu aku lagi nggak bisa temanin kamu. Enggak boleh."

Bumerang. Kembali soal aku, karena keputusanku sendiri. Yah, aku mengerti. Aku hanya sedang cari gara-gara.

"Enggak ngerti lagi aku sama kamu," kataku sesungguhnya, benar-benar tidak mengerti. Bukan mau cari perkara. Tidak mengerti dalam banyak hal. Kenapa Mirza datang kembali dengan sesantai ini? Kenapa juga jalannya ternyata jauh lebih jelas dariku? Usaha yang aku sebut-sebut, hingga perasaan malu pada Sam dan Lembayung yang adakalanya melingkupiku, sepertinya tidak ada apa-apanya. "Usaha sama pengertian aku habis di kamu, kayaknya," ucapku pelan, tidak bisa berpikir lagi.

"Sama dong kalau gitu," timpal Mirza begitu tenang. "Tolong ambilin keju dong, parutannya di sana juga," Mirza menunjuk kulkas.

"Kenapa nggak dikeluarin dari tadi?!" kekesalanku terluapkan juga. "Keras gini, mana bisa diparut?" Aku inisiatif mengambil pisau, mengiris keju dengan segala kesoktahuanku akan apa yang akan dibuat Mirza.

"Nah, tuh bisa!" Mirza mengikat rambutnya, mengambil separuh lagi kewarasanku. "Panas ya? Ya ampun...," katanya begitu aku mundur menjauh lagi darinya dan kembali ke tempatku. "Lumayan kan?" tanyanya seraya membuka penyedot udara di atas kompor yang masih belum otomatis.

Aku tidak tahu lagi kami berdua sedang apa dan akan ke mana. Aku yang mudah dibungkam dengan semua sikap Mirza, dan Mirza yang tidak ambil pusing dengan masalah kami. Ibaratkan, Masalah hanyalah sesuatu yang memang sewajarnya ada dalam hubungan kami.

"Kamu ketemu Bapak kapan?" Aku berusaha duduk dengan nyaman kembali, yang bodohnya didukung dengan pertanyaan yang sama sekali tidak membantuku untuk santai. "Kamu ke rumah?"

"Uhm ... iya, pas lagi ada kerjaan ke Bandung," jawab Mirza sekenanya, masih pada ommelette keju yang sudah disiapkannya di atas piring, lengkap dengan roti yang sudah dibakarnya.

"Terus...?" Fokusku terbagi. Antara lapar, penasaran dan lagi-lagi soal mempertahankan kewarasanku yang membuatku kembali mondar-mandir mengelilingi pantri, melihat berbagai macam perabot sampai tulisan-tulisan pada post-it yang ditempel di mana saja. Ah, sudah benar Bapak tidak membiarkan aku berduaan dengannya. "Bapak sama Ibuk, tahu dong?"

"Rahasia," Mirza menyuruhku duduk sembari meletakkan piring di atas meja tengah pantri, juga sebotol saus sambal. "Ini nggak terlalu pedas, sih. Kalau mau, tambahin saus sendiri aja ya!"

Kali ini saja, biarkan aku berandai-andai. Kalau memang aku jadi bersama Mirza, sepertinya 90% masalah umum yang (katanya) biasa terjadi dalam rumah tangga akan teratasi. Lihat saja, masalah memang seyogianya ada. Bukan sesuatu yang bisa mengubah kami satu sama lain. Meributkannya, mengurusnya, sampai kalau bisa menyelesaikannya. Selesai.

"Kamu nggak mau marah, gitu?" tanyaku, menunggu Mirza menyuap makanannya lebih dulu.

"Aku duluan yang bikin kamu marah," katanya, memotong rotinya sebelum memasukkannya ke dalam mulut. "Makan dulu, keburu keras entar." Mirza menarik piringku selagi ia mengunyah makanannya, membagi roti jadi beberapa bagian yang tinggal aku suap.

"Kamu bersedia nikah sama aku nggak?" kataku sembrono, sampai membuat Mirza menahan piring yang sudah hendak digesernya ke hadapanku. "Nanti aja jawabnya. Aku langsung nanya karena nggak tahu semenit kemudian masih mau nanya itu atau enggak," lanjutku, mulai menyicipi sarapan yang ternyata benar, tidak pedas.

"Nis...."

"Terima kasih Pak Mirza," aku menyuap lagi makananku, mengabaikan Mirza yang jelas tidak bisa mengabaikan pertanyaanku tadi. "Hari gini ada yang kerja ya?" tanyaku, benar melihat bagaimana kantor tampak sangat hidup. Bukan sekadar basa-basi untuk mengisi kekosongan kami. Ada yang baru datang, ada yang keluar dari pantri, ada juga yang berpakaian persis Mirza yang artinya orang tersebut juga baru pulang maraton yang diadakan sebuah merek air mineral.

"Kebetulan ada. Pas lagi ada yang beresin proyek juga. Udah mau tenggat." Mirza memberitahukan. "Kalau nggak ada siapa-siapa, mana mau aku bawa kamu ke sini," tuturnya jujur, cukup menghangatkan.

Sejauh ini, aku percaya kalau Mirza yang seperti ini bukan sekadar sebagai dirinya yang serba menyesuaikan. Mulai dari saat aku menyamperinya ke rumah, Mirza mempersilakan aku untuk masuk atau menunggunya di luar yang akhirnya ambil jalan tengah dengan menunggunya di teras. Mirza juga bilang kapan sebaiknya aku ke rumahnya, di mana itu saat Bibi juga sedang di rumah. Soal perkenalan, Mirza dengan segala persiapannya, mengenalkanku pada siapa saja 'keluarganya', orang terdekatnya. Yang paling penting, Mirza juga berani ke rumah, tidak selesai sampai aku turun dari mobilnya saja. Mirza pasti akan menyapa Bapak dan Ibuk.

Yah, kembali pada niat awal kami. Baik aku dan Mirza sama-sama ingin menjalani hubungan serius atas nama pernikahan. Selagi jalan, kami juga bersiap-siap. Mulai dari yang kecil, yang dari kami sendiri masing-masing, hingga untuk satu sama lain. Setelah ini, yang terburuk, kalau kami tidak jadi, aku tidak yakin akan ada lagi hubungan semacam ini yang bisa dan mau aku jalani. Entah standarku yang akan semakin tinggi, atau aku yang sudah lelah.

"Eh, aku aja," kataku, mengambil alih piringku dan piring Mirza sekalian, mencucinya. Pandanganku jatuh ke sisi wastafel, melihat kotak makanku. Tidak, aku tidak akan mengungkitnya. Di sisi satunya, aku melihat bunga dengan vas botol kaca berisi air yang persis dengan bunga yang Mirza belikan untukku, yang tidak sampai aku ambil.

Selesai, aku kembali ke tempat duduk yang ditinggalkan Mirza. Dia bilang akan berganti pakaian dulu. Selagi laptopnya dibiarkan terbuka, aku melihat pekerjaannya. Agak ragu, namun salindia yang tampak di layar cukup menarik minat bacaku. Proyek Ruang Kreatif yang belum diberinya nama. Pembukaan, rencana kerja, sampai dengan sistemnya, aku akui kalau Mirza memang sangat baik di bidang yang ditekuninya. Seakan apa yang dilihatnya bisa jadi bahan yang kemudian diolah kepalanya sampai menjadi ide. Menonton saja bisa jadi ide untuknya. Mengobrol, ikut berbagai kegiatan olahraga yang ditekuninya, semua jadi bekal untuknya.

Mungkin ini bedanya ahli kreatif, aku tak bisa berhenti membaca salindianya. Singkat namun mudah dimengerti. Nama Sam dan Taufan di sana sebagai team-developer, semakin menarik perhatianku. Sepertinya inilah yang sedang sibuk mereka kerjakan. Hingga tiba di halaman rencana agenda kerja, aku tak bisa melewatkannya begitu saja. Nama Mirza yang memenuhi setiap kolom tugas, cukup menjelaskan kalau Mirza memang sesibuk itu bahkan setelah proyek mereka rampung. Proses yang sangat panjang.

"Oh, ini yang lagi Sam sama Taufan kerjain," Mirza yang kembali dengan pakaian yang sudah berganti, membiarkanku mengamati pekerjaannya. "Itu nanti buat sistem pelatihan wirausaha muda. Jadi nanti tuh mereka masukin proposal bisnis. Dari sana, baru deh dikasihtahu bakalan dapat layanan apa aja. Dari permodalan sampai realisasi produk dan penjualan di lapangan. Kalau bagus, bisa sampai R&D segala."

"Lumayan juga," aku mengembalikan laptopnya.

"Heum ... aku minta kerjasama dengan komunitas wirausaha muda, pemerintah, sama Dinas Sosial khususnya. Buat permodalan, kami cuma ngarahin aja. Jadi, aku bakalan urusin itu dulu kalau sistemnya udah jadi. Aku minta tolong Pak Wisnu juga yang syukurnya support banget," cerita Mirza semangat.

Belum pernah aku lihat Mirza secerah ini.

"Aku sama teman-teman di sini sediain buat promosi sama desainnya. Terus, aku ada beberapa teman praktisi, sih, buat bantu pelatihan nanti. Semacam jadi mentor, mungkin? Ayi juga udah oke, katanya. Dia kebetulan buat program juga di kampusnya, udah dapat gambarannya. Kamu juga bisa ikut, kan?"

Dengan senang hati aku mengiyakannya. Aku tidak punya jawaban lain.

"Kamu pasti tahu Silicon Valley. Aku tuh terinspirasi dari sana, tapi, ya ... skalanya masih kecil. Buat lokal aja, sementara ini fokusnya ke bidang food n beverage dulu, terus lebih ke anak muda yang udah punya ide produknya terlepas dia masih sekolah atau mungkin kuliah," lanjut Mirza menjelaskan, sementara aku masih membaca bahan presentasinya. "Jadi-"

"Pasti sibuk banget ya?" Aku kembali melihat kolom jadwal, menghela napas melihat rinciannya. "Presentasi, uji coba program, sosialisasi program-" besar sekali cita-citanya, rencananya, sampai yang sudah diusahakannya sejauh ini.

"Aku mau support dari kamu," katanya tepat saat aku mengembalikan laptopnya, memberiku perasaan baru yang tidak pernah aku dapatkan dari orang lain. "PR aku masih banyak, Nis. Rencananya, aku maunya kita nikah dulu." Mirza merogoh tasnya, mengeluarkan kotak cincin yang dulu sudah pernah ditunjukkannya padaku. "Aku bersedia nikah sama kamu."

Aku tidak menjawabnya. Aku masih mau mendengar semua yang ingin dikatakannya.

"Uhm ... aku udah dengar dari Sam, kalau mungkin kamu bakalan nolak kalau disuruh nunggu. Soal kamu yang dulu-" Mirza melihatku lembut. "I'm sorry to hear that. Aku bakalan ngusahain kamu nggak ngalamin itu buat kedua kalinya. Jadi, aku mau kita nikah dulu. Aku nggak akan bisa ninggalin kamu. Aku mau bawa kamu, aku mau kamu ikut."

Enam bulan lamanya, tahu-tahu sampai di sini. Hampir setahun, kami sampai juga di sini.

"Aku udah sempat ngobrol sama Bapak, sama Ibuk. Mereka tetap nyerahin ke kamu jawabannya," tutur Mirza. "Aku akhirnya ngerti, kenapa kamu bisa kayak sekarang, yang sebaik ini, enggak lepas dari keluarga sebaik itu." Mirza menarik napasnya dalam-dalam. "Aku juga bakalan usahain itu."

Aku masih belum menimpalinya, jangankan untuk menjawab.

"Nis, ngomong dong...." Mirza memelas. "Ada yang kamu nggak enak dengernya? Yang nggak pas sama kamu? Atau aku terlalu maksa?"

"Gimana kalau kamu udah ngusahain buat aku nggak ngalamin ditinggalin buat kedua kalinya, tapi hasilnya tetap sama?" tanyaku, seketika mengubah raut muka Mirza 180 derajat. Bagaimanapun berbedanya-baik dari aku maupun Mirza yang penuh perisapan-aku tidak bisa mengabaikan apa yang pernah terjadi padaku. "Kamu nggak perlu janjiin apa-apa. Kamu juga nggak perlu kasih tahu apa aja yang udah kamu lakuin, yang udah kamu tahu."

"Nis...."

"Aku cuma mau kerjaan kamu lancar dan berhasil. Itu bakalan bermanfaat banget buat jangka panjang," kataku, kembali melihat laptopnya. "Bisa buat program CSR-" tiba-tiba saja air mataku meleleh. Kuat-kuat aku menahan agar tidak menangis. "Kamu tahu nggak, Kak Ajun waktu pergi tuh, dia lagi ngurus program CSR kantornya. Di daerah terdampak bencana, Kak Ajun sama timnya pasang jaringan di sana. Dan, yah ... kamu pasti udah tahu ceritanya."

Sekali lagi di hari yang sama, aku melihat Mirza yang hampir menangis.

"Tesis aku bahas itu, agak lama tapi nggak masalah, aku dapat cumlaude. Kamu harus baca nanti," kataku, mendadak merasa tidak enak menceritakan ini pada Mirza. "Soal asuransi, tanggung jawab perusahaan. Yah ... orang baik, kepergiannya juga bermanfaat buat orang lain. Yang tadinya cuma mau tahu, mempelajarinya, sampai protes dan nggak terima, jadi teralihkan ke sana."

Mirza menengadahkan kepalanya, mungkin sedang menahan tangisnya yang terlalu kentara. Ah, orang bilang, kalau laki-laki sudah menangis di hadapanmu, itulah sejujurnya perasaannya. Aku harap itu benar.

"Uhm ... aku cuma mau minta, yang buat program ini juga bisa bermanfaat dalam jangka panjang," kataku, berhasil membuat Mirza berdiri dari duduknya, menjauhkan diri dariku. "Hati-hati, baik-baik. Balik lagi pas semuanya beres," terangku lugas, tak peduli dengan suaraku yang sedikit serak. "Siapa tahu aku nanti mau kuliah lagi. Kamu harus balik baik-baik, bantuin aku buat disertasi dari program kamu itu."

Mirza tertawa, mengusap kedua matanya dan kembali duduk, meminum air mineralnya.

"Ah ... aku udah di fase ini," aku menyadari sesuatu, berbicara santai soal kepergian Kak Ajun dengan orang lain. "Aku sama kamu direstui kali ya?"

Mirza berdecak meski senyumnya terpancar. Ia kembali berdiri dan mengambil kunci mobil Bapak, membuatku mengikutinya.

"Kamu ada jadwal ke Bandung kan di proposal yang tadi? Kalau bawa mobil Bapak aja, gimana?" tanyaku, membuat Mirza meletakkan ponselnya lagi yang semula diraihnya. "Apa aku minta tolong Sam aja ya? Enggak akan aku pakai juga. Tapi aku lagi musuhan sama dia...."

"Nanti kamu telepon Bapak aja dulu," Mirza menimpali sekenanya. Ah, pasti dia masih berpikir soal perkataanku yang merusak rencananya. Pasti dia juga tahu kalau aku dan Sam sedang ribut. Lagi.

Memasang sabuk pengaman, aku merogoh ponsel dalam tasku, yang juga masih tidak menunjukkan balasan pesan dari Sam. Lembayung tak memberi kabar, Taufan apa lagi. Aku mengantongi ponselku lagi.

Kembali bersama Mirza yang duduk di balik kemudi, pandanganku jatuh pada jam tangan yang dipakainya. Jam tangan kami yang sama. Dia juga masih memakainya.

"Cincin tadi boleh aku pakai sekarang nggak?" tanyaku, yang sebenarnya jadi jawabanku.[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro