30 | Setelah hampir tujuh tahun dan satu semester
"Mbak nggak salah ngomong kan, Yung?" tanyaku pada Lembayung yang kuyakin tidak tidur meski ia memejamkan matanya. Ya, dia pura-pura tidur dan membiarkanku menangis sepuasnya. "Sama Sam, Mbak nggak salah ngomong. Sama kakang kamu."
Tak peduli apa pun, aku hanya ingin Sam mengabariku. Itu cukup untuk menghapus rasa bersalahku. Sedari tadi kucoba menghubunginya, namun ponselnya tidak aktif. Mengirimkan pesan pun, hanya berakhir dengan mengetik kemudian menghapusnya lagi. Terlalu banyak yang ingin aku katakan padanya. Sepertinya ini pertama kalinya kami ribut soal hal lain selain aku yang disuruhnya move-on, yang ternyata tidak lebih mudah juga.
"Emangnya kenapa kalau Bang Topan tadi nganterin Mbak?" Lembayung bertanya, masih dengan mata yang terpejam.
Jelas, Lembayung bukan bingung dengan keributan kami yang langsung di depan matanya tadi. Dia hanya butuh waktu untuk mencerna semua yang ternyata tidak cukup untuk disimpulkannya.
"Kakang juga kenapa? Urusan apa yang Kakang tinggalin?"
Terlalu banyak yang masuk ke kepalanya. Yah, sekali lagi, seharusnya aku bisa menahan diri. Sekali lagi.
"Sama Mas Mirza juga, kenapa?" tanya Lembayung, kali ini sambil mendudukkan dirinya, melihatku beberapa detik, kemudian tertawa remeh.
"Kamu mau Mbak jawab yang mana dulu?" tanyaku, yang kembali membuat Lembayung memperhatikan televisi yang dibiarkannya menyala. "Menurut kamu, Mas Juna bakalan gimana?"
Mendengar nama Kak Ajun disebut, anak itu melihatku kembali. Tatapannya berkilat tajam, namun dengan kuat ditahannya agar tidak dihunuskannya padaku.
"Mbak udah serius sama Mirza, udah jalan bareng sampai udah jauh banget, udah usaha ini dan itu buat kami bareng-bareng," ceritaku, sedikit miris dengan lanjutannya. "Terus kami pisah jalan, tapi tetap ke tujuan yang sama."
"Pisah jalan kenapa?" tanya Lembayung, mematikan televisi.
"Karena di jalan yang mau kami lewatin, ada sesuatu yang Mbak nggak bisa buat lewatinnya. Enggak bisa, enggak mau. Masalahnya, Mirza juga sama nggak maunya. Tapi kondisinya, dia harus lewat sana. Mau nggak mau. Sesuatu yang ke manapun tujuannya, dengan siapa pun dia jalan, dia tetap harus lewatin itu. Sampai akhirnya ..." Aku menarik napasku dalam-dalam, melihat Lembayung penuh. "Mbak ketemu sesuatu yang lain waktu lanjut jalan. Sesuatu yang Mbak butuh, yang sebelumnya nggak sadar Mbak lewatin gitu aja sebelum mutusin buat jalan sama Mirza."
"Mbak tahu dari mana kalau Mbak butuh sesuatu itu?" Lembayung kian serius. "Ah ... Mas Juna bakalan pusing dengarin ini. Enggak bakalan ada solusi. Yang ada malah udah dimarahin duluan."
Ya, dulu ini yang sering membuatnya mengomeliku meski akhirnya dimarahi juga dengan berbagai macam petuah sebab-akibat, baik-buruk, dan segala macamnya.
"Maksudnya Bang Topan sama Mas Mirza?" Lembayung tertawa masam. "Kalau ada Mas Mirza, masih jalan sama-sama, Mbak bakalan kepikiran butuh sesuatu itu nggak?"
Ya, tidak akan. Aku tidak akan terpikirkan itu. Sebelum datang Mirza, aku bahkan tidak tahu apa yang aku butuhkan selain melanjutkan hidup dengan baik.
"Apa sesuatu yang sekarang Mbak butuhin itu, Mbak butuhin juga di waktu sebelum ketemu Mas Mirza?"
Benar, Lembayung sungguh adik kecil Arjuna Sandi Airlangga yang sudah dewasa.
"Enggak, kan?" Lembayung menjawab pertanyaannya sendiri. "Mbak, yang jalan tuh bukan cuma Mbak sama Mas Mirza. Sesuatu itu juga lagi jalan. Sama, dia juga punya tujuan."
Tidak salah. Siapa aku sampai harus merasa seberdosa ini menerima bantuan Taufan di saat hubunganku dengan Mirza sedang berjalan tidak baik? Taufan juga punya jalannya sendiri. Apa pula Mirza yang meminta bantuannya di saat dia sendiri tidak bisa melakukannya? Itu bukan sesuatu yang besar untuk Taufan. Ah, menyebalkan! Aku seperti dibutakan dengan sikap Mirza yang mengantarkanku pada masalah lain. Baginya ia hanya ingin membantuku, sementara aku harus menghadapi ini semua.
"Kamu kok nggak marahin Mbak?" tanyaku. "Enggak kesal, gitu? Taufan loh ini! Kalian kan-"
Lembayung tertawa, tawa yang meledekku, namun kemudian tatapannya menyiratkan kekecewaan. "Segitunya, ya, Mbak?" tanyanya dengan suara memelan. "Ayung ke Mbak. Selama ini. Maaf."
Lembayung yang polos dan jujur seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa itu, kembali di waktu yang tepat. Ya, aku butuh ini. Tidak ada lagi Lembayung yang membuatku merasa serba salah.
"Bang Topan juga nggak perlu dibelain. Enggak perlu diarahin, dikasihanin. Bang Topan juga punya jalannya sendiri, Mbak," lanjutnya, sekali lagi mengingatkan.
"Kalau di posisi Kakang kamu, jawabannya bakalan beda kan?" tanyaku, kembali melihat layar ponselku yang mati. Masih belum ada tanda-tanda pesan masuk dari Sam, atau Gladia, maupun Taufan. Mereka semua yang aku kabari. "Ah, Mbak gue minta tolong teman gue yang udah dia tolak dulu. Ah, teman gue kenapa mau-maunya dimintain tolong orang yang nggak mau jalan sama dia? Ah, adik gue nggak boleh kayak gini juga. Ya ... perempuan yang ditinggalin kakak gue nggak seharusnya gini di waktu jalan sama cowok lain."
"Itu kata Kakang apa kata Mbak sendiri?" tanyanya, menyalakan TV lagi, menukar-nukar kanalnya. "Orang nggak gampang berubah, emang," ucapnya pelan sekali menyindirku. Seakan lupa kalau tempat tinggalku tidak punya banyak benda yang bisa meredam suara.
Cukup. Aku tidak bisa lagi bicara dengan Lembayung. Aku sudah tahu jawabannya. Kali ini aku hanya butuh Sam mengabariku.
"Sam, dengarin Mbak. Ini pasti masih ceklis satu." Yang sayangnya tidak karena pesan suaraku terkirim. Ceklis dua abu-abu. "Uhm ... Mbak nggak akan minta maaf soal omongan Mbak tadi," lanjutku, membuat Lembayung sampai mengalihkan pandangannya dari layar televisi. "Kamu harus jalanin hidup kamu sendiri. Hidup yang bukan dengan bayang-bayang Mas Juna."
Lembayung kian memusatkan perhatiannya padaku sementara Film yang ditontonnya dibiarkannya terus berputar.
"Maaf-makasih buat semuanya. Kamu udah meluangkan banyak waktu buat Mbak, apa aja, kamu udah bantuin Mbak selama ini, sampai sejauh ini. Mbak lihat itu sebagai Samudera, enggak lihat Kak Ajun segala. Sebagai Samudera yang dulu nggak begitu dekat sama Mbak, yang nggak pernah banyak ngobrol, jangankan buat luangin waktu." Aku menjauhkan ponselku, melihat kalau pesan suaraku yang juga sudah terkirim. "Sampai Mbak bilang gini, Mbak baik-baik aja. Jadi, Mbak harap kalau kamu juga baik-baik aja. Sekarang Mbak bisa sendiri. Jadi, jalanin hidup kamu sendiri. Hidup sebagai Samudera yang biasanya banyak main, senang-senang, banyak teman, ngelakuin banyak hal, bisa ngerjain semuanya." Aku menghela napasku lagi, tak terasa kalau mataku sudah berkaca-kaca. "Jadi Samudera lagi, yang sekarang udah berkeluarga."
Selesai. Aku melemparkan ponselku ke balik sofa dan berharap agar aku tidak mendengarnya ulang. Tidak butuh tanggapan Sam, aku hanya perlu mengatakan semua maksudku selama ini.
Selanjutnya, aku harus membatalkan sewa kos. Ini tidak akan nyaman, tapi lebih baik tidak nyaman sekarang daripada kedepannya terus seperti ini. Pertama-tama, aku harus mulai dengan meminta kontak ibu kos pada Taufan.
"Seserius itu ya Mbak?" tanya Lembayung, lebih dulu mengambil ponsel yang tinggal sejengkal lagi kujangkau. "Kakang."
"Kamu nggak ngerasa gitu juga, Yung?" tanyaku, meminta ponselku yang kembali dilemparkan Lembayung ke atas ranjang. "Ah, iya, kamu lebih sering pulang ke tempat Mbak. Bukan ke rumah. Mana bisa tahu?"
"Enggak usah sok tahu, deh, Mbak!"
Aku duduk di sebelahnya, melihat televisi yang menayangkan berita malam. "Yung, udah waktunya kita ngomongin ini. Soal Kak Ajun." Aku tidak mau melihat wajah anak itu sekarang, reaksinya. "Mas Juna."
Lembayung tak menimpali, beralih menukar-nukar apa yang dari tadi sekadar menyala. Lagi dan lagi, anak itu menghindari obrolan ini.
"Yung, Mbak juga sama. Enggak baik-baik aja. Butuh waktu lama buat nggak lagi bilang; Ah iya, nggak ada yang bisa dimintain tolong lagi. Ah, iya, nggak bisa minta temanin lagi. Ah, iya, nggak bisa cerita lagi, nggak ada yang bisa diajak ngobrol lagi. Lama. Mbak yang tiba-tiba lanjut S2, enggak langsung bisa bikin Mbak nggak lagi mikir itu. Terima tawaran kerja di luar kota, ngerjain apa aja yang Mbak bisa ... enggak cukup dengan itu," aku membalikkan badanku, melihat Lembayung yang masih terduduk tegak di tempatnya. "Sampai Mbak nggak pernah minta tolong lagi, sampai Mbak serba sendiri dan nggak perlu teman, sampai Mbak nggak pernah cerita lagi. Juga ... sampai Mbak nggak pernah ngobrol lagi.
"Payah, emang. Sepayah itu." Untuk pertama kalinya aku bisa menyuarakan ini. "Kalau nggak ada makanan, seharusnya cari, bukan malah nggak makan. Mbak nggak gitu, Yung. Sampai Mbak nggak pernah lagi ngerasain lapar."
"Tahu-tahu kurang gizi, sakit, malnutrisi," Lembayung menyahuti, ia menolehkan kepalanya melihatku, kemudian meluruskannya lagi, membiarkan televisi menampilkan film komedi zaman dulu yang tidak membuatnya tertawa. "Masalahnya bukan makan atau enggak, tapi gimana buat bisa tetap hidup. Buat sehat, jawabannya nggak selalu dengan makan, Mbak. Ada olahraga, tidur cukup, bergaul sama orang, bersenang-senang. Ini bukan soal lapar."
Kalah. Soal Kak Ajun, aku tidak ada apa-apanya dibandingkan Lembayung. Kali ini rasanya aku hanya sedang membela diri, menunjukkan betapa lemahnya aku sepeninggalnya.
"Tapi beberapa orang cuma butuh makan buat hidup, enggak peduli itu sehat atau enggak. Yang penting mereka nggak lapar dan tetap bisa jalanin hidup."
"Mbak...."
Aku menggeleng, tidak masalah dengan perkataannya. "Hebat kamu, Yung."
"Enggak. Sama sekali enggak. Mbak cuma nggak tahu."
Sakit. "Selain nggak ngobrol, nggak cerita, ternyata Mbak juga nggak bisa dengar lagi." Aku tertawa hambar. "Mbak nggak bisa lihat lagi."
"Mbak ...." Lembayung menggeser duduknya. "Enggak gitu. Kalau Mbak nggak bisa lihat lagi, nggak bisa dengar, Mbak nggak akan bisa ngomong kayak tadi ke Kakang. Mbak juga nggak akan biarin Ayung datang dan ketemu Mbak."
Ah ... anak ini! Aku menahan diri untuk tidak memeluknya, yang hanya akan berakhir dengan air mataku yang akan kembali keluar. "Harusnya Mbak yang hibur kamu, Yung," Aku menutup wajahku, merasakan air mataku yang membasahi telapak tanganku. "Mbak malu. Sama kamu, sama Sam, sama Uwak Nurul, Uwak Yana, sama semuanya."
Beberapa detik tak menimpaliku, tiba-tiba aku merasakan kalau Lembayung memelukku, membuat tangisku kian pecah. Kakak macam apa aku sekarang? Tak lama, ia juga menangis. Untuk pertama kalinya, sepengetahuanku, setelah hampir tujuh tahun lamanya dari kepergiannya. Sampai kami tertidur, dan tetap pada alarm tubuh kami yang akan terbangun saat azan subuh berkumandang.
Tidak ada balasan pesan dari Taufan, apalagi Sam. Pesanku sekadar dibaca. Lembayung juga, hanya ditinggal mandi, tanpa pamit anak itu tahu-tahu pergi. Yah, dia pasti perlu waktu setelah kami bercerita semalam. Aku mengerti itu. Akhirnya, aku pergi sendiri untuk membatalkan sewa kos. Ibu Kos pasti mengerti. Pasti. Tidak akan nyaman kalau aku di sana. Rasanya seperti sedang mengejar-ngejar Mirza di ketidakpastian hubungan kami. Tidak. Aku tidak mau seperti itu. Toh dia juga tidak meneleponku lagi. Ini akan segera berakhir.
Membiarkan barang-barang yang sudah dikemas tetap di dalam mobil, aku pun berangkat sendirian. Ya ... sendirian lagi. Kali ini tidak tahu akan sampai kapan. Apa aku akan kembali tidak bisa merasakan lapar? Atau seperti kata Lembayung, akan ada banyak hal bisa membuatku tetap hidup? Nasib mujur Bapak menyuruh Sam mengantarkan mobil untukku. Sejujurnya, itu sedikit mendukung kepercayaan diriku.
"Pak, mobilnya Neng bawa lagi ya kalau pas ke Bandung?" tanyaku di telepon, tepat saat masuk ke lift. "Neng lagi cari kosan yang dekat kantor juga. Bisa jalan kaki. Ya ... minimal naik bus aja sekali. Udah."
"Pakai aja, Neng. Nanti juga pasti butuh. Kalau mau pulang, mau pergi pergi, kan gampang kalau bawa mobil sendiri."
Secepat ini waktu berlalu. Dulu, mana pernah Bapak membiarkanku membawa kendaraan sendiri? Sesimpel motor saja, kalau bukan karena pekerjaan, aku tidak akan belajar berkendara.
"Biar Neng nggak sama Mirza terus ya?" candaku, mengingat-ingat kalau belakangan, aku pasti pulang bersama Mirza. Bapak dan Ibuk juga tidak pernah mengingatkanku. Entah itu berarti buruk atau tidak.
"Kenapa Neng?" Suara Ibuk mampu membuat ketenanganku riuh. "Neng kenapa?"
Ah, dasar! Kenapa begini saja air mataku bisa kembali berkumpul di pelupuk?
"Neng ada yang perlu dikerjain dulu. Nanti Neng telepon lagi kalau udah beres," tutupku, melihat tanda kalau sudah sampai di lantai parkiran, dan pintu perlahan terbuka. "Assalamu'alaikum...."
"Wa'alaikumussalam...." Suara yang bukan dari telepon. "Lift sini tetap bisa nerima sinyal telepon ya?"
Sudah lama. Kalau orang di hadapanku yang masih dengan setelan olahraganya ini kuliah, dia sudah menghabiskan waktu satu semester dan sedang dalam masa libur.
"Hai!" sapanya. Masih dengan senyum yang sama.
Berpisah di depan lift, dan kembali bertemu di tempat yang sama.
"Aku boleh masuk nggak?" tanyanya, mengalihkan wajahnya dariku. "Pasti enggak. Jangan, jangan dibolehin."
Aku masih tidak menimpalinya, membiarkannya dengan canggung dan kebingungan yang tidak akan aku patahkan. Aku butuh beberapa detik untuk melihatnya, memastikan kalau ini masih Mirza yang sama.
"Nis...."
Kali ini, setelah berpisah untuk berpikir ulang, aku tidak tahu kami bertemu kembali untuk apa.
"Apa kabar?" Hanya dua kata, namun membuat Mirza kembali melihatku dengan semestinya. Aku tidak tahan membiarkannya begitu saja. "Kamu ke sini mau balikin kotak makan aku?"
Mirza menggeleng pelan, dengan senyum tertahannya. Lelaki itu menampungkan tangan, meminta kunci mobil yang sedari tadi kupegang. "Kamu mau aku temanin nggak?" tanyanya. "Enggak-aku boleh temanin kamu nggak?" Mirza merevisi pertanyaannya.
Masih dengan Mirza yang sama, yang sangat hati-hati dalam memilih kata. Masih juga dengan Mirza yang sama, yang tidak membiarkan aku berharap padanya.
"Kamu mau temanin aku nggak?" Seharusnya aku marah padanya. "Kamu bersedia temanin aku nggak?"
Mirza terkesiap, membalikkan badannya, kemudian menutup mulutnya dan mengembuskan napasnya kasar.
"Mirza...."
Lelaki itu berbalik melihatku lagi. Matanya memerah, seperti sedang menahan tangisnya. "Kangen banget kamu manggil aku," katanya dengan suara tersendat.
Sesimpel itu. Sampai aku lupa kalau seharusnya aku marah padanya.
Aku juga.
Aku tidak sekuat itu. Lagi pula setelah dipikir-pikir, dalam hubungan kami sampai akhirnya berpisah, aku yang menyuruhnya pergi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro