3 | Lelaki baik yang menyukaiku
Orang bilang, perempuan akan selalu tahu siapa laki-laki yang menyukainya. Itu benar. Aku tidak pernah takut salah menafsirkan atau dianggap terlalu percaya diri akan itu. Yang aku waspadai hanya kalau orang itu berlaku sama pada setiap perempuan, atau lebih parahnya dia menyukai lebih dari satu perempuan dalam waktu bersamaan. Itulah ciri-ciri manusia yang paling kubenci. Membingungkan. Belum lagi kalau orang itu tidak tegas, tidak bisa ambil keputusan, sulit membuat pergerakan. Bukan kejutan kalau dia akan tersalip, terlupakan, terabaikan dan tidak lagi menarik perhatian. Dibilang pengecut pun bukan sesuatu yang kasar.
Dan, di sinilah aku, dari tempat dudukku memperhatikan Mirza yang sedang memonitor timnya. Pria yang cakap dalam pekerjaannya itu sesekali melirikku, melemparkan senyumnya. Kemudian aku membandingkannya dengan bagaimana dia bersikap pada rekan kerjanya, rekan kerjaku yang lain. Entahlah, aku masih harus memastikan kalau dia memang berniat baik untuk pendekatan denganku. Meskipun sejak awal Pak Wisnu bilang soal niatan Mirza yang minta dikenalkan, aku tidak bisa yakin begitu saja.
"Jadi gimana, Nis?" tanya Pak Wisnu di obrolan pagi kami usai briefing.
"Belum tahu, Pak. Lihat nanti."
"Sudah dewasa gini kan yang penting itu mapan dan tanggung jawab. Soal agama, saya nggak akan kenalin dia ke kamu kalau dia enggak menjadikan itu pegangannya. Untuk jadi imam, kepala rumah tangga."
Ceramah-ceramah singkat itu yang seringkali membuatku melihat Pak Wisnu seperti orangtuaku sendiri di luar. Tidak ada penekanan, paksaan. Pak Wisnu juga tidak nyinyir, tidak ada menyindir.
"Kenalan aja dulu," kata Pak Wisnu menutup pembicaraan kami.
Berhari-hari mengamatinya usai pertemuan kami di luar pekerjaan waktu itu, makan bersama, banyak mengobrol meski urusan pekerjaan, aku masih belum menemukan jawaban soal keputusanku untuk berkenalan lebih jauh dengannya. Mirza pun tidak mendesakku, dia melakukannya dengan santai, terbuka dengan pendapatku, apa yang aku inginkan. Semuanya mengalir begitu saja.
Sebelum menjalin hubungan dengan seseorang, mungkin orang-orang akan mencaritahu kelebihan orang tersebut untuk bisa menyukainya, lalu tanpa sadar berpikiran tentang apa yang akan didapatkannya, apa yang akan berkurang darinya jika bersama. Namun tidak dalam kasusku dengan Mirza. Dengan lelaki-lelaki sebelumnya yang katanya tertarik padaku, aku bisa langsung menyimpulkan aku menyukainya atau tidak. Menemukan sesuatu yang kelak akan merugikanku pun adalah hal mudah. Berbeda dengan Mirza, aku mencari kekurangannya. Selama mengamatinya aku masih belum menemukan sesuatu yang kupikir kelak akan menyulitkanku.
Semua yang Pak Wisnu bilang tentangnya memang benar adanya. Berhubung Mirza menanyakan CV taaruf yang akan digunakannya untuk mengenalku lebih jauh, aku juga sempat mengira kalau dia bukan tipikal yang mau mengajakku makan berdua atau mungkin mengantarkan aku pulang. Aku yang mulanya ogah-ogahan pun penasaran, sampai bertanya padanya, "Kamu nggak apa-apa kayak gini?"
"Kayak gini gimana?"
"Ya ... makan berdua atau di mobil cuma berdua sama saya, gitu?"
"Mudah-mudahan," katanya mengundang kebingunganku. "Mudah-mudahan nggak apa-apa. Saya masih mikir gimana cara yang efektif buat kenal kamu lebih dekat tanpa melanggar norma dan aturan agama."
Aku tidak bisa tidak tertawa mendengar penjelasannya itu. Tidak bermaksud meledeknya, hanya saja, aku sendiri pun cukup terkejut dengan pengakuannya.
"Saya nggak ada waktu buat pacaran, enggak mau juga. Tapi yang paling penting, saya juga nggak bisa buru-buru kayak orang yang pakai proses taaruf walaupun saya memang udah mau nikah. Bukan bermaksud mau melecehkan sistemnya, tapi ...."
Lagi-lagi aku tertawa sampai dia melihatku dengan alis menukik. "Enggak kenapa-napa. Saya kira awalnya kamu begini itu karena saya."
"Merasa bersalah?"
"Sedikit. Apa dia melanggar prinsip yang dipegangnya, apa dia enggak lagi berpegang sama yang dipercayainya karena saya ...." Aku berkata sejujurnya. "Saya lumayan ngerti sih kalau soal itu. Ya ... walaupun nggak sejauh itu juga."
"Saya juga nggak sejauh itu, sih, Nis," ungkap Mirza. "Beneran. Bukan karena kamu bilang gitu juga. Saya pernah pacaran, pernah naksir-naksiran. Sekarang aja karena sibuk kerja, makin tua juga, lihat pengalaman teman-teman, orang lain. Lebih waspada, lebih terencana. Pakai konsep taaruf gitu menurut saya, sih, efektif walaupun saya belum bisa nerapin sepenuhnya."
Berkaca pada diriku sendiri, aku tidak berani untuk bertanya lebih lanjut tentang itu. "Oh ... laki-laki juga ternyata gitu ya?" tanyaku akhirnya. "Pertimbangannya banyak walaupun udah siap."
"Heum ... MBTI kamu apa?" candanya mengakhiri obrolan serius kami. Dari sana kami banyak mengobrol soal bidang yang kami tekuni. Cukup menyenangkan, menjadi sosok layaknya teman yang tidak pernah lagi kudapati selain Pak Wisnu.
Melihat Mirza, aku seperti melihat Faisal dalam versi yang lebih dewasa. Ah, adakalanya aku merindukan tipe pertemanan seperti bersama Faisal yang tentu saja tidak aku temukan pada orang lain. Sampai sekarang kami masih berteman baik. Kalau pulang, selalu, aku meluangkan waktu bertemu dengannya setidaknya makan siang bersama sekalian menyapa rekan kerja lamaku lainnya yang masih bertahan di sana.
Terakhir kali bertemu, aku menodongnya penjelasan soal rencana perceraiannya yang sudah diceritakan Teh Denia padaku lebih dulu. Teh Denia yang sudah hampir 4 tahun menjadi istrinya menumpahkan semua ceritanya. Permasalahan mereka persis Beno dan Alexa dalam novel terkenal karya Ika Natassa; Divortiare. Keduanya sibuk bekerja, membuat mereka kurang punya waktu bersama. Mulai dari perkenalan singkat, cocok dan nyaman satu sama lain, tahu-tahu lamaran kemudian menikah.
"Aku kenal Teh Denia sama Faisal sekaligus. Mana bisa aku jadi saksi?" kataku menolak mentah-mentah permintaan Teh Denia untuk urusan pengajuan perceraiannya. "Bingung aku entar."
"The friends of all is a friends of none," kata Teh Denia dengan segala obsesinya akan lirik-lirik lagu Taylor Swift yang sedikit aku tahu. "Syarat aja, Nis. Aku sama Faisal juga nggak akan datang waktu sidang. Biar langsung ketok palu aja. Pusing banget."
"Kalian diskusi biar nggak usah datang di persidangannya?"
"Iya."
Dari banyaknya orang sekitarku yang sudah menikah, merekalah yang ikut membuatku pusing. Mereka tidak memberi gambaran buruk akan pernikahan. Tidak juga membuatku jadi ingin segera menikah. Entahlah. Sampai aku pernah bertanya pada Mirza, dalam obrolan kami yang sedikit demi sedikit membuka diri satu sama lain, aku bertanya, "Tanggapan kamu kalau perempuan masih punya ambisi kerja, mau memapankan posisinya sampai rela buat cerai, itu gimana?"
"Kamu ngetes saya?"
"Iya, lah."
"Heum ... saya nggak akan ceraiin perempuan kayak gitu."
"Masa?"
"Iya. Kalau kayak gitu bukannya sebaiknya saya support ya?" tanya Mirza yang aku angguki pelan. "Menurut saya, selain saya yang bakalan bangga dengan istri saya, perempuan kayak gitu juga membanggakan diri saya sebagai suaminya. Mungkin bukan saya yang membuat dia bisa mencapai mimpinya, tapi saya bangga karena saya bisa punya istri seperti itu."
"Ah ... kebanggaan diri gitu, ya?"
"Iya. Kenapa? Kamu mau tetap kerja?"
"Loh, kok jadi ke sana? Belum sejauh itu," tegasku yang akhirnya membuat Mirza mengalah, sedikit menjaga jarak dariku. Memikirkan bagaimana dia mulai mendekatiku, bagaimana bisa aku menganggapnya kekanakan? Mungkin aku juga yang keterlaluan meresponsnya.
Semua itu tidak berlangsung lama. Aku yang juga merasa tidak enak, tanpa pikir panjang mengajaknya makan siang bersama saat berpapasan di kedai kopi. Setelah itu, hampir setiap hari kami makan siang bersama. Dia kembali menjadi Mirza yang biasanya. Sekarang saja dia menghampiriku setelah mengganti sandal jepitnya dengan slip-on.
"Mau makan sekarang?"
"Duluan aja. Saya masih ada kerjaan."
Seakan paham kalau itu yang selalu jadi alasanku, dia berkata, "Saya tungguin."
Belum sampai pikiranku keluar jadi bicara, dia melanjutkan, "Ah, jadi kayak yang maksa gini. Maaf ya. Mau nitip nggak?"
Aku menutup setengah laptopku, melihatnya tak percaya. Semakin lama kenapa aku jadi seperti melihat diriku yang lama dari sosoknya? Takut ini dan itu, berpikir banyak akan langkah yang akan diambilnya.
"Nis ...?"
Aku berpikir, membiarkannya menunggu.
"Kalau mau nitip kabarin aja ya," ucapnya seraya berbalik.
"Uhm ... kamu pesan dulu aja. Saya salat dulu, nanti saya nyusul."
Lelaki itu berbalik melihatku lagi dengan senyumnya yang terbit. Mirza mengangguk pelan, lalu dengan mudah mengubah rautnya begitu berpapasan dengan rekan kerjanya yang lain.
Selagi mengambil mukena dan tempat minumku, ponselku bergetar cukup lama. Tidak sampai aku menjawabnya, Gladia sang penelepon sudah mematikannya. Mungkin akan lebih baik kalau aku salat dulu kemudian makan siang lalu menghubunginya balik agar tidak terburu-buru. Namun, saat aku hendak menikmati nasi dan ayam penyet yang dipesankan Mirza, getaran beruntut dari ponsel di saku blazerku tidak bisa lagi kuabaikan.
Gladia
Mbak
Ibun masuk rumah sakit
Sam dari kantor barusan langsung antarin
Ayah juga lagi di luar kota
Ayung gak bisa dihubungi
Mataku melebar membaca pesan tersebut. Tanpa membalas pesan Gladia, aku langsung mengirimkan pesan pada Lembayung yang hanya menunjukkan centang satu.
"Astaghfirullah ...."
"Kenapa?" tanya Mirza di sela-sela makannya.
"Bentar ya," Aku langsung menyambungkan panggilan pada Lembayung.
"Iya, Mbak...." Anak itu langsung menjawabnya. Suaranya yang tersendat kupastikan karena kabar yang juga sudah didengarnya.
"Lagi di mana? Mau Mbak jemput nggak?"
"Ayung nggak dapat tiket," katanya yang kini disertai rengekan kecil.
"Mbak jemput ya? Tungguin di sana. Nanti Mbak kabarin." Panggilan kami berakhir begitu Lembayung berkata iya. Ayam penyet yang tadi membuatku menelan ludah kini tidak lagi mengundang selera.
"Mau ke mana? Mau saya antarin nggak?"
Dengan tegas aku menggeleng. Belum bisa memutuskan apa-apa soal Mirza, bagaimana bisa aku membawanya ke tempat yang pasti akan membuatnya bertemu keluargaku? Mungkin memang ini saatnya aku memutuskan untuk tidak lanjut pendekatan dengannya.
Namun, hari belum berganti, keputusanku yang hanya bertahan dua jam itu kembali tergoyahkan. Tidak bisakah sedikit saja Mirza menunjukkan sesuatu yang bisa membuatku memutuskan untuk bilang bahwa aku tidak menyukainya? Belum sempat aku bicara pada Pak Wisnu untuk minta cuti secara mendadak, Pak Wisnu sudah langsung bilang soal mobil kantor yang seperti biasa bisa aku pakai. Di saat aku masih mengukur dan mengatur pekerjaan yang akan aku tinggalkan, Mirza sudah lebih dulu menelepon Pak Wisnu langsung yang sedang bertolak ke Singapura untuk seminar.
"Kalau Mirza nggak bilang pun tetap akan saya izinkan, Nis," ucap Pak Wisnu setelah aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi sampai aku harus pulang setelah sekian lama. "Dia nggak bilang ini terkait urusanmu, loh, Nis. Mirza bilang sekarang bukan waktu yang bagus untuk outing mengingat cuaca yang seperti ini."
Terlepas dari alasan Mirza yang cukup masuk akal itu, aku tidak bisa tidak berterimakasih padanya. Kutarik napasku dalam-dalam, aku harus segera bicara padanya.
Usai mengabari Lembayung kalau aku akan menjemputnya usai subuh besok, aku pun mendatangi Mirza yang sedang duduk-duduk di depan kantor bersama satpam.
"Pulang sekarang?" tanyanya seraya berdiri, pamit pada satpam yang masih menikmati kopinya itu. "Enggak bawa kendaraan kan?" Seperti biasa ia memastikan.
"Saya mau bawa mobil kantor, sih, biar besok nggak perlu ke sini dulu."
"Beneran nggak mau saya antarin?"
Setelah hampir 4 tahun bekerja sendiri di Jakarta, tinggal di apartemen yang tidak jauh dari kantor, sampai bisa jalan kaki saja kalau memang ada waktu, kehadiran Mirza memberi warna lain akan kebiasaanku. Kadang Mirza menjemputku pagi-pagi sekali, pergi sarapan sampai berangkat kerja sama-sama. Malamnya, aku yang bisa berada di kantor selama hampir 12 jam akan diantarkannya pulang atau setidaknya kami akan malam bersama walau cuma di pantri.
"Ke apartemen kamu, besok juga." Mirza melengkapi setelah beberapa detik aku hanya melihatnya tanpa kata.
"Mirza, kamu kan nggak tahu siapa yang saya hubungi, apa keperluan saya sampai besok harus pulang."
"Kalau nggak keberatan, kasih tahu saya."
"Mirza...." Aku merasa perlu bicara dengannya, tapi merasa kurang pas juga di situasi buru-buru seperti sekarang. Tidak ada waktu untuk mengobrol. Yang kuperlukan adalah pulang dan beristirahat, menjernihkan pikiran serta mempersiapkan diri bertemu sanak saudara. "Makasih ya?"
Mirza mengangguk ragu, tak yakin dengan apa yang ditangkapnya soal terimakasihku. "Berarti bisa ketemu lagi kapan? Kan udah nggak kerja bareng lagi," katanya. "Eh, tapi kamu masih mau ketemu saya nggak?"
Ketidaknyamananku berganti tawa. Selalu dia bisa mengendurkan ketegangan. "Enggak mau mikir-mikir dulu?" tanyaku.
"Enggak," jawabnya yakin. "Itu pun kalau kamu mau," lanjutnya, tetap menyerahkan keputusan akhir padaku. "Kalau saya terkesan maksa, buru-buru, terlalu cepat, tolong bilang."
Aku bisa merasakan maksudnya berkata seperti itu. Sesuai dengan yang dikatakannya di awal kalau dia ingin serius, tidak punya waktu untuk sekadar berjalan tanpa tujuan.
"Heum ... uwak saya masuk rumah sakit," jelasku entah kenapa. "Orang tua yang paling dekat dengan saya selain Bapak dan Ibuk."
Mirza bersidekap, menghadapku penuh. Perlahan senyumnya terbit, kali ini terasa berbeda, sampai aku merasa perlu untuk tidak berhadapan dengannya, melanjutkan langkahku khidmat menuju mobil. Dia tidak menanyakan apa-apa, hanya mendengarkan ceritaku, menimpali sesekali sampai kami tiba di parkiran.
"Saya cuma mau bilang makasih banyak karena kamu udah telepon Pak Wisnu."
"Saya nggak lagi berusaha buat bikin kamu nerima saya, Nis."
Memang tidak. Aku tahu bagaimana laku orang yang sedang cari perhatian, sedang berusaha, yang sedang mengatur sebaik-baiknya bagaimana dia ingin dilihat pun aku tahu.
"Besok besok boleh kabari saya nggak?" tanyanya. "Boleh kalau saya masih hubungin kamu?"
Sebelumnya kami tidak pernah bertukar pesan secara intens. Hanya menanyakan akan makan siang apa, ajakan sarapan bareng, urusan pekerjaan lainnya. Itu pun tidak sering, tidak setiap hari.
"Eung ... besok saya kabarin kalau udah berangkat," kataku seraya melambaikan tangan masuk ke mobil.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro