Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28 |Orang-orang yang menyayanginya

Kalau Mirza tahu apa yang kubutuhkan, kenapa tidak dia saja yang menemaniku? Ah, Rengganis ... tidak cukup untukku tahu kalau Mirza masih tetap menjadi sebagaimana dirinya padaku meski secara fisik dia tidak bersamaku. Aku tahu jawabannya, tapi, kenapa juga dia harus meminta tolong Taufan? Apa dia tidak tahu kalau kami pernah didekatkan? Lagi pula, tahu maupun tidak, aku sedikit keberatan dengan itu. Ya, sedikit. Sebab langkahku tidak demikian.

Di menit sekarang saat mengabari Taufan, aku merasa sedang berselingkuh rrrrrrrr tapi sedetik kemudian aku bisa biasa saja, bersiap-siap, meninggalkan jauh-jauh kenyataan di belakang kalau Taufan pernah menyukaiku.

Dengan asal aku memilih pakaian; kaos krem yang menenggelamkan badanku serta rok plisket cokelat susu yang senada dengan motif pada kerudung abu-abu yang juga sudah kusiapkan. Aku hampir saja berganti pakaian, mengingat Taufan yang pasti akan membawa motornya untuk menjemputku. Tapi tidak, aku tidak akan kerepotan karena pakaianku. Aku hanya perlu memakai sepatu yang biasa kugunakan untuk pergi dan pulang kantor. Sepatu yang nyaman untuk kubawa berjalan-jalan lama.

Di sela waktu bersiapku, aku masih berpikir untuk mengirimkan pesan pada Mirza. Sejak semalam, bahkan. Apa aku perlu mengabarinya? Apa mungkin Taufan sudah memberitahukannya? Ah, menyebalkan! Aku tidak enak pergi berdua seperti ini dengan Taufan sekalipun atas pinta Mirza. Aku harus menetralisir perasaan ini agar bisa biasa-biasa saja dengan Taufan nanti. Aku hanya perlu berpikir kalau dia kerabat Mirza, temannya Sam juga. Sudah. Tidak lebih dari itu. Seharusnya kami yang sekarang satu kantor, cukup membantuku mengingat bahwa dia orang yang bekerja di perusahaan yang sama denganku.

Ah, sudahlah! Mempertimbangkannya lagi hanya akan semakin banyak membuang waktuku. Aku bergegas mematut diri sebelum melangkah ke luar. Sejenak kulihat isi apartemenku. Yah, sudah waktunya aku pergi. Kenyataan kalau kantorku jauh bukan sekadar alasan. Sambil jalan aku bisa memikirkan apa yang sebaiknya aku katakan saat bertemu Pak Wisnu nanti sembari mengembalikan kunci.

Mungkin karena aku sudah terbiasa juga, aku tidak perlu lagi mengecek jadwal KRL. Aku hanya perlu memastikan kartu transportasiku ada isinya, lalu menuju rute rel kereta yang akan mengantarkanku ke tujuan. Tidak lama menunggu, aku langsung memilih masuk ke gerbong kereta yang sudah cukup penuh. Stasiun demi stasiun yang kulewati, tidak luput dari perhatianku. Kalau tempatku turun terlewatkan, sama saja akan memakan waktuku lebih banyak.

Begitu sampai di stasiun terakhir sebelum stasiun tujuanku, aku langsung mengabari Taufan kalau aku akan segera sampai.
Akhir pekan, tak ada bedanya dengan hari-hari kerja. Stasiun masih saja penuh. Aku bergegas menaiki tangga, menuju ke gerbang keluar. Tahu-tahu Taufan sudah menungguku di dekat tangga. Setelah satu kantor dengannya, biasa melihatnya memakai setelan kerja, sudah lama aku tidak melihatnya yang seperti ini. Dengan pakaian santai, di mana kamu tidak akan bisa menebaknya ke mana tujuannya. Apa dia akan bekerja, bertemu teman atau mungkin sekadar keluar cari angin. Celana kargo krem, kaos putih dan kemeja flanel sebagai luarannya, Taufan sekali.

"Beneran kamu udah nggak suka saya. Enggak effort," candaku, membuat wajahnya tampak kian sebal setelah paginya di hari libur sedikit berantakan karena harus menemaniku. "Enggak nunggu lama, kan?"

"Lo nggak suka gue karena gue nggak effort?" tanya Taufan serius, tidak menjawab pertanyaanku.

"Fan, enggak gitu," aku menolehkan wajahku, melihatnya selagi kami menuruni tangga. "Kayaknya ini yang bikin saya nggak tahu kalau dulu kamu suka saya. Enggak ada bedanya. Gitu, loh, Fan."

"Ah, paham ... paham. Thanks." Taufan lanjut jalan sementara aku tetap menurutinya. "Terus kenapa di awal tadi bilang gue nggak effort? Lo ngarep gue dandan dan sedikit lebih gaya?"

"Itu-" Aku sedikit salah tingkah. Kupikir, bersikap sesantai itu padanya akan meredakan ketidakenakan dan perasaan canggungku padanya. Tapi salah juga aku mengungkit hal seperti itu. "-uhm ... maaf."

Taufan tertawa, tidak cukup mampu memecahkan kegelisahanku. "Enggak apa-apa. Gue ngerti maksud lo," timpal Taufan seraya membuka tas selempangnya. "Lo bawa kartu kan?"

Aku melihat sekelilingku, menyadari kalau kami sudah hampir sampai di halte bus. "Saya kira kamu bawa motor."

"Emang mau gue boncengin naik motor kayak gitu?" tanya Taufan, membuat bahuku menurun. Apa lelaki ini berpikir sampai sejauh itu? Ah ... aku tidak suka lelaki rendah diri.

"Kamu nggak suka saya lagi karena-"

"Jadi nggak nih?!" Taufan menampungkan tangannya. "Kalau masih mau dibahas, gue balik."

"Ya ... maaf." Seperti anak ayam, aku mengikuti langkah cepat Taufan sembari mengeluarkan kartu transportasiku. Kuperhatikan Taufan yang memainkan ponselnya. Ah ... bagaimana bisa lelaki seperti Taufan yang bahkan membuat Mirza kagum malah rendah diri? Anggap aku sok tahu. Tapi aku yakin kalau lelaki ini tidak berpengalaman dalam berurusan dengan perempuan. Setidaknya, belum pernah berhubungan lama dan serius dengan perempuan mana pun.

Ini perasaan lain. Dengan mudah aku bisa menepikan kenyataan kami satu sama lain. Tapi entah kenapa, aku merasa kalau tidak ada salahnya dekat dengannya.

"Kamu nggak ada janji lain, kan, Fan?" tanyaku begitu masuk bus. "Kali aja Mirza merepotkan kamu minta tolong kayak gini."

Taufan menggeleng. "Enggak. Santai aja," jawabnya singkat. "Udah, ah, Mbak. Lo nggak usah nggak enakan gitu sama gue."

"Ya ... kali aja, kamu mau pergi kencan, gitu," kataku kian memelan, berhasil membuat Taufan menoleh penuh padaku. "Saya nggak ngeledek kamu. Beneran! Sumpah!"

Taufan memalingkan wajahnya. Bisa kulihat lelaki itu tersenyum. Ah, apa Taufan juga tipikal kebanyakan orang, yang akan mulai santai ketika perasaannya hilang? Taufan jadi lebih banyak bicara, benar-benar rileks dan apa adanya. Dia tidak lagi kaku atau menghindari matanya dariku. Aku terlalu menghindarinya sampai tidak sadar bagaimana dia dulu.

"Fan, Mirza enggak bilang apa-apa?" tanyaku setelah memeriksa ponselku yang langsung memunculkan ruang pesanku dengan Mirza yang tidak kubersihkan. "Soal apa, gitu? Apa aja, yang dia bilang kamu, yang sebaiknya aku tahu."

Taufan yang berdiri di depanku, menunjuk sebuah kursi, menyuruhku duduk. Dia tidak menjawabnya, aku pun tidak mengindahkan apa yang dibilangnya dan membiarkan orang lain duduk.

Turun dari bus, aku kembali mengikuti Taufan. Dia sudah seperti pemandu jalan, menunjukkan mini-market, warung tradisional hingga gedung kantor kami yang tampak dari tempat kami menelusuri jalan. Aku baru tahu kalau Taufan orang jakarta asli yang baru ke luar kota saat dapat pekerjaan. Sepanjang perjalanan, itulah yang kami bicarakan. Tidak ada lagi obrolan yang menyinggung soal pendekatan kami dulu, apalagi soal Mirza.

"Fan...." panggilku lagi setelah lagi-lagi merasa ada yang salah. Euh ... seperti sedang berselingkuh? Ya, semacam itu. Seperti melakukan sesuatu sembunyi-sembunyi.

"Kenapa sih, Mbak?" tanyanya mulai kesal sampai menghentikan langkahnya. "Capek? Enggak suka lingkungannya?"

"Bukan!" jawabku tak kalah gemas. "Mirza ... saya nggak enak. Kamu ngabarin dia kan?"

"Kenapa enggak lo aja yang ngabarin?" tanya Taufan dengan nada meledek. "Ah, gue ngerti. Pantas aja Mas Mirza bilang gitu. Lo-nya gini."

"Gini gimana? Mirza bilang apa?" tanyaku cepat.

"Katanya, kalau lo ada perlu, butuh bantuan, bantuin aja. Jangan nggak enak ke dia, gitu." Taufan melirikku sekilas, berdeham dan melanjutkan langkahnya lagi. "Soal kontrakan juga, gue udah bilang kok ke Mas Mirza. Lo kira lo doang yang nggak enak, Mbak? Gue juga, lah!"

Penjelasan Taufan membuatku tercenung. Pandanganku tak lagi melihat sekitar. Pikiranku penuh dengan Mirza Mirza dan Mirza. Sebegitunya dia memahamiku.

"Mbak, itu yang pagar kayu," Taufan menunjuk ke bangunan yang berada di ujung jalan. "Kalau jadi, nanti gue tunjukin jalan yang gampang buat ke kantor. Lo bisa jalan kaki. Enggak sampai satu kilo."

Aku menyimak penjelasan Taufan betul betul selagi memindai lingkungan yang kalau jadi akan kutempati. Tidak berbeda jauh dengan lingkungan rumah Bapak dan Ibuk di Bandung. Komplek padat penduduk dengan akses jalan yang mencukupi. Aku mengira-ngira berapa biaya sewa kos, menghitung-hitung anggaranku. Jika benar bisa ditempuh dengan jalan kaki untuk sampai ke kantor, seharusnya aku bisa menabung lebih.

"Gimana lingkungannya? Oke, kan?" tanyanya yang kuangguki dengan cepat. "Sebenernya bisa lebih dekat lagi buat ke kantor kalau lewat jalan pintas. Tapi, ya, gitu, lewat kuburan."

"Enggak apa-apa. Saya hafal ayat kursi."

Taufan terbahak. "Lo beneran udah enggak canggung sama gue," katanya tiba-tiba, yang ternyata berpikir sama denganku. "Tapi, Mbak, ini gue nggak bilang Mas Mirza soal kosannya," katanya seraya mengeluarkan ponselnya lagi. "Ini kosan ibunya Bang Ayi. Enggak apa-apa?"

Kebingungan pada wajahku terhapuskan angin yang berembus kencang. Baru kali ini kulihat wajah tidak enak Taufan.

"Gue takut dikira sok tahu atau ikut campur. Tapi maksud gue, biar all-in aja. Lo nggak bakalan banyak butuh bantuan gue. Aman deh, pokoknya!"

Tawaku menyembur. "Jadi kamu keberatan bantuin saya?" ledekku, mengembalikan wajah sebalnya. "Makasih banget loh, Fan. Mirza nggak tahu kan?"

"Enggak. Tapi kalau dia nanya, nanti gue kasih tahu kok."

"Oke. Makasih ya!" Aku baru bisa menghela napasku lega. "Tapi nggak usah dikasihtahu, deh. Biarin aja. Bilang aja saya nggak mau dia tahu."

"Paling nanti juga ketahuan," jawab Taufan, sedikit mengintip ke celah pagar rumah yang kami tuju.

"Justru itu! Biar seru, Fan!" Aku mendadak bersemangat membayangkan kalau suatu saat akan tiba-tiba bertemu Mirza di sini. "Fan-eh, kenapa?" tanyaku karena melihat wajah Taufan yang menyisakan senyum. "Ngiri ya?"

Taufan mengangguk, menghilangkan senyumku.

"Fan...."

"Enggak usah nggak enakan sama gue," katanya jual mahal, tidak terpengaruh dengan wajah memelasku.

"Percaya diri, deh, Fan. Perempuan kalau udah nyaman dan suka, mau cowoknya pakai motor, kerja lapangan yang nggak gaya gaya banget pun, bakalan jalan aja," tuturku, menimbang-nimbang agar apa yang akan kuucapkan tidak terlalu menyinggungnya. "Enggak ada salahnya juga jadi apa adanya, tapi effort tuh perlu. Seenggaknya, kamu meluangkan waktu."

"Kata orang yang hubungannya lagi bermasalah," timpal Taufan tak ambil pusing. "Udah bermobil tuh orangnya, mapan dan berakhlak. Effort-nya gede banget pula."

Sindiran Taufan membuatku tertawa miris. "Beneran, Fan. Saya-"

Tiba-tiba pintu gerbang terbuka lebih lebar. Seorang wanita paruh baya, menyapa Taufan dengan hangat. Pun Taufan, dia langsung menunduk menyalaminya.

"Ibu tadi habis dari air. Anak-anak lagi pada sibuk juga kayaknya. Masuk, Fan," katanya, mengomandoi langkah kami.

"Maaf, ya, Bu, mendadak gini," kata Taufan, mengajakku duduk di teras sang empunya kosan.

"Ih, enggak apa-apa. Rezekinya juga, mungkin. Lagi ada yang kosong. Paling baru semingguan," jawab wanita tersebut, yang tak lama kemudian menyuguhkan kami teh hangat. "Ini-" ucapannya terpotong, melihatku lamat-lamat.

"Teman kerja, Bu," jawab Taufan, meminum teh hangatnya dengan melirikku, yang ikut membuatku juga meminum teh hangatku. "Mas Mirza belum ke sini lagi, ya, Bu?"

Mendengar nama Mirza disebut, aku menegakkan dudukku yang mulai tidak nyaman, memasang telinga.

"Oh, Ija? Minggu lalu ke sini. Habis sepedaan, biasa," katanya, tersenyum memergokiku memperhatikannya, yang lagi-lagi membuatku membenarkan posisi duduk. "Masih kerja sama Mirza, Pan? Kata si Kakak udah dapat kerjaan baru, kan?"

"Alhamdulillah masih, Bu. Sama Mas Mirza kan kerjaan lepas. Orang kantor lama juga nyerahin aja. Kalau yang baru ini, ngantor tiap hari kayak biasanya. Di belakang sini, dekat," jelas Taufan yang tak luput dari perhatianku.

"Enggak di Bandung lagi atuh?" tanyanya yang hanya dikekehi Taufan. "Sering-sering ke sini. Ada temannya juga, kan?"

Aku memalingkan wajahku, tersenyum kikuk. Berteriak dalam hati tidak ada gunanya.

"Sebentar, Ibu ngambil kuncinya dulu." Wanita tersebut bangkit dari duduknya, kemudian masuk ke rumahnya, meninggalkan aku dan Taufan berdua.

"Mbak, sorry. Gue nggak kepikiran bakalan bilang lo sama Mas Mirza-"

"Enggak apa-apa. Saya juga bingung kalau dikenalin bawa-bawa Mirza segala. Jelek ke saya, apalagi Mirza. Makasih banget, ya, Fan."

Seperti tidak menyangka akan jawabanku, Taufan yang gugup sedikit demi sedikit kembali santai.

"Kamu tunggu sini aja," kataku begitu ibu kos keluar rumahnya.

Pandanganku tak lepas dari setiap inci bangunan kosan. Dari luar tidak tampak besar, lebih kelihatan seperti rumah tinggal biasa. Dari depan, kosan perempuan ada di sebelah kiri dengan jumlah 5 kamar, sementara di bagian kiri untuk laki-laki yang juga tersedia 5 kamar. Rumah sang pemilik kosan tepat di tengah seperti pembatas. Di depan kamar tersedia kursi dan meja serta akses ke dapur bersama, juga tangga untuk naik ke jemuran.

"Ini nggak ada penjaganya, ya, Bu?" tanyaku setelah pintu kosan yang akan kutempati, dibuka.

"Ada, Mbak. Tapi malam ke pagi aja. Jam segini udah pulang. Insya Allah aman. Dekat ke pos komplek juga, kan. Kalau ada perlu apa-apa, bisa langsung ke Ibu," jelasnya panjang lebar sembari membuka jendela dan pintu kamar mandi. "Mbak-nya kayak siapa ya? Ibu kayak pernah lihat."

Refleks aku mengaduh, terpikirkan kalau mungkin Mirza sudah memberitahunya, atau bisa jadi tahu dari anaknya, siapa pun keluarganya. Tidak mustahil ia tahu, mengingat bagaimana hubungan kekeluargaan mereka.

"Uhm ... Bu, jangan kasih tahu Mirza ya?" pintaku langsung, menyingkirkan kemungkinan buruk bagaimana orang tua ini memandang hubungan kami.

Ucapanku seketika membuatnya kembali melihatku saksama, berpikir, sampai lima detik kemudian berkata, "Calonnya Mirza, ya? Astagfirullah, sampai lupa!"

Aku tersenyum kikuk. Antara senang dan canggung serta bingung sekaligus. Ke mana lagi aku harus membawa hubungan yang hampir saja kuakhiri tanpa berpikir apa yang sudah didapat dan dilalui?

"Insya Allah, Bu. Mirza udah cerita?" tanyaku hati-hati sekali.

"Enggak. Ke sininya juga jarang. Baru-baru lagi ketemu Ibu. Tapi Mama-nya Yaya bilang, kalau Mirza nanti ke rumah, tolong dibantuin."

"Ha?" Aku perlu mencerna maksud ucapannya. "Dibantuin?"

"Bapaknya Ayi kan udah nggak ada," jawabnya santai namun membuatku tidak enak. "Mama-nya Yaya itu adiknya Bapak-nya Ayi, adiknya ibunya Laras."

Rumit juga. Bahkan untuk mengenalkanku pada kerabatnya, Mirza harus menelusuri jalan sepanjang itu. Lagi-lagi terkait Laras. Yah, ikatan mereka tidak akan putus. Bagaimana kabar perempuan itu sekarang? Apa Mirza sudah berhasil membujuknya? Membawanya terapi, konseling atau sekalian berobat?

"Mirza-nya sibuk ya?" tanya ibu kosan selagi membuka lemari pakaian yang kosong. "Biarin. Anak Ibu juga dulu gitu. Udah deket, udah deket, malah pergi dulu. Ada aja yang dikerjain."

Ceritanya mengalihkanku dari perabotan yang aku bantu bersihkan. "Tapi jadi, kan, Bu?" tanyaku yang langsung dianggukinya, lengkap dengan senyum dan hamdalah yang diucapkannya dengan khidmat. "Jodoh mah nggak akan ke mana ya, Bu?" Aku semakin santai membicarakannya.

"Enggak akan ke mana-mana kalau diikat sama doa, sama usaha," jawabnya, masuk ke ulu hati. "Enggak cukup sama doa sendiri, minta ke orang tua. Kalau masih nggak cukup juga, balik lagi ke niat, dekatin Yang punya."

Nasihatnya menyedot perhatianku.

"Mirza baik. Enggak ada orang tua, usahanya yang jadi banyak, doanya yang panjang," Ibu kosan tertawa kecil. "Ibu juga bilang gini ke Mirza waktu terakhir ketemu minggu kemarin."

Kepalaku tertunduk lama memikirkannya. Sejauh itu.

"Tahunya diusahain juga sama yang dimintanya. Masya Allah...."

Pipiku memanas mendengarnya. Ditambah lagi tatapan hangat orang tua yang bahkan belum satu jam kukenal. Ya, sekarang waktunya aku yang berusaha.

"Malah jadi curhat gini. Maaf ya, Bu." Aku sedikit malu tiba-tiba jadi seterbuka ini dengan orang baru.

"Enggak apa-apa, ah! Mirza juga anak Ibu."

Mirza, kamu nggak sendirian. Banyak yang sayang sama kamu. Pandanganku mulai kabur. Aku menggigit bibirku, menahan tangisku yang akan pecah kalau saja aku tidak mendengar Taufan memanggil dari luar.

"Ya ... sebentar," Aku segera bangkit dari dudukku.

"Tadi siapa namanya?" tanya ibu kosan. "Jangan gara-gara Mirza jadi iya iya aja nge-kos di sini. Dilihat-lihat dulu, cocok apa enggak," pintanya, ikut berdiri.

"Ah, siap, Bu. Makasih ya, Bu." Aku pamit keluar lebih dulu, menyamperi Taufan yang sama sekali tidak menungguku usai memanggilku. "Kena-pa?"

"Astagfirullah, dasar orang tua! Anak sendiri mau pulang, sampai lupa," ucap Ibu kos terburu-buru melewatiku. "Sebentar, ya, Mbak."

Ini lebih gawat dari kedatangan Mirza! Apa yang bisa kukatakan pada Sam yang tiba-tiba datang bersama Hari dan Senja? Sepertinya segala sesuatu yang mengakibatkan perang dingin tidak pernah lama meninggalkan kami.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro