Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27 | Satu, Dua, Tiga Hal yang kudapat

Terakhir kali aku merasa ragu, gelisah, takut namun ingin tetap melangkah adalah ketika pertama kalinya mendatangi rumah Mirza. Butuh waktu lama untuk aku turun dari mobil dan mengetuk pintu rumahnya sampai akhirnya Mirza yang datang lebih dulu, mengetuk kaca pintu mobil dan menawarkan sarapan pagi yang dibelinya setelah bersepeda. Kali ini persis. Dengan perasaan yang sama, aku menyiapkan roti lapis yang Mirza berikan waktu itu, membuatnya sendiri dan berakhir di depan kantornya di Senin pagi.

Harapanku, aku ingin seperti dulu. Saat Mirza tiba-tiba datang, menegurku lebih dulu. Tapi kini berbeda. Sudah hampir sepuluh menit aku berdiri tak jauh dari gerbang yang sedikit terbuka. Aku sedikit mengintip dari celah antara pagar dan tembok dengan tangan memeluk kantong bawaan berisi makanan yang kusiapkan untuk Mirza. Masih sepi, seperti tidak ada kehidupan.

Ini langkah nekatku yang akhirnya kuambil. Sungguh, aku masih tidak tahu kabarnya. Hari ke hari, minggu ke minggu, sampai masa pelatihanku berakhir pun aku masih mempertimbangkan untuk menghubunginya. Walaupun aku tahu kalau Mirza juga sibuk dengan bisnisnya—yang sampai membuatnya menelepon Taufan untuk pengembangan aplikasi startup-nya—tentu saja tidak cukup memenuhi keingintahuanku. Tiap kali bertemu dan ada kesempatan untuk mengobrol dengan Taufan pun, selalu terbesit pikiran untuk menanyakan soal pekerjaannya dengan Mirza yang pasti akan sedikit memberiku pencerahan tentangnya. Tapi aku merasa tidak baik, yang akhirnya membuat pertanyaan itu tertinggal di tenggorokanku. Kalau sudah keterlaluan, bahkan aku sampai membutakan mata dan menulikan telinga dari Taufan.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mendekati gerbang. Berkali-kali aku menyemangati diri, bilang kalau semuanya akan baik-baik saja. Yah, ini langkah yang tepat. Sekadar memikirkannya hanya akan buang-buang waktu. Tidak akan baik untukku. Sebenarnya aku malu juga. Tiap kali mendatangi Mirza duluan, aku tidak pernah merasa kalau itu wajar. Aku ... mungkin benar aku jatuh padanya.

Ngeongan kucing yang membuntutiku refleks membuatku menutup mulut dengan tangan, berjongkok dan bersembunyi di balik tanaman yang menjulang dekat pos sekuriti. Kucing kecil yang tampaknya kelaparan dan hilang arah tersebut mengikuti arah kantong bawaanku, mengidu apa yang ada di dalamnya seakan tahu kalau itu sesuatu yang bisa dinikmatinya juga.

"Ah, meng...." Aku tak tahan untuk tidak mengusap puncak kepala si kucing yang matanya memelas. Kuputuskan untuk meletakkan bawaanku, membawa si kucing ke pangkuanku seraya melihat apa saja yang ada di dalam tasku.

"Masuk aja, Mbak!" sapa seorang sekuriti yang refleks membuatku menempelkan telunjukku di depan mulut. "Mas Mirza-nya bentar lagi pulang lari, kayaknya. Biasanya jam segini udah datang," bisiknya, ikut berjongkok di sebelahku sambil melihat jam tangannya.

Mengetahui kalau Mirza sungguh beraktivitas seperti biasanya, entah kenapa itu cukup untukku. Bagaimana kabarnya? Mungkinkah dia mempertimbangkan apa yang terakhir kali kami perdebatkan? soal Laras yang sebaiknya ditemani, setidaknya sampai ia ke Psikolog atau apa pun itu yang bisa membantunya. Atau mungkin dia sudah mulai melakukannya? Aku bisa mencaritahu jawabannya nanti.

"Saya boleh titip ini nggak, Pak?" Aku menyerahkan bekal sarapan yang kusiapkan pada Pak Sekuriti yang melemparkan sekeping kerupuk yang dikeluarkannya dari plastik bawaannya untuk kucing kecil yang langsung mengejarnya dan menikmatinya.

Sejenak Pak Sekuriti memperhatikan kantong hijau botol yang belum diterimanya. "Tapi Mas Mirza-nya puasa, Mbak. Gimana?" Ucapannya sedikit mematahkanku. Bukan karena kecewa Mirza tidak akan memakan bawaanku, hanya saja, aku tidak tahu dengan Mirza yang seperti ini. Dari semua hal, kenapa aku luput dari hal sepenting ini?

"Enggak apa-apa, Mbak? Takutnya, ngiranya gimana, gitu. Menghindari konflik," jelas Pak Sekuriti dengan kekehan, begitu pengertiannya akan permasalahan asmara anak muda. "Nanti langsung saya sampein ya, Mbak," kata Pak Sekuriti seraya bangkit meletakkan titipanku ke dalam posnya bersamaan dengan sarapan yang dibawanya dari luar tadi. "Enggak usah bilang dari Mbak Ganis?" tanyanya dengan senyum khas bapak-bapak yang tengah iseng mengejek anak muda.

"Bilang aja, enggak apa-apa, Pak," jawabku tanpa pikir panjang. Aku lebih ingin Mirza tahu kalau aku tetap Ganis yang seperti biasanya kepadanya, tapi terlalu takut untuk menghadapinya langsung. Aku ikut bangkit, merapikan pakaianku yang terlipat dan ditempeli rumput kering dengan pandangan menyapu seluruh area kantor. "Datangnya masih lama nggak ya?"

"Sebentar lagi, Mbak. Tadi saya—nah, itu! Udah datang kayaknya dari tadi."

Mengikuti arah tunjuknya, mataku membelalak tatkala mendapati Mirza yang tengah menyambungkan selang pada keran air. Jantungku seperti berdegup lebih keras, sementara keringat dingin mulai membasahi keningku. Masih pada tempatku yang semakin dalam masuk ke pos, aku memperhatikan lelaki yang sudah lama tidak kulihat itu. Segala pertanyaan tentang kabar dan apa yang dilakukannya, soalnya dengan Laras, semuanya luruh. Di detik ini, melihatnya saja sudah cukup.

Yang kudapat pertama, aku bisa melihatnya lagi.

"Pak, nanti kasihinnya kalau saya udah sampai sana ya?" pintaku, menunjuk bagian ujung pagar di sisi kanan yang akan kulalui sebelum pergi, namun akan tetap membuatku bisa melihat Mirza.

Pak Sekuriti tertawa kecil melihat kelakuanku, membuatku sedikit canggung dan malu sekaligus. "Siap, Mbak," katanya yang sudah mulai menikmati sarapannya. "Tapi ini saya sarapan dulu enggak apa-apa, Mbak?"

Tawaku hampir saja pecah kalau tidak ingat situasi yang sedang kuhadapi. Aku menahan tawaku, mengangguk kecil dan lanjut melihat Mirza yang berjongkok merapikan tanaman-tanamannya. Satu tanaman diikatnya, satunya lagi dibersihkannya dari daun-daun kering, ada juga buah yang dipetiknya. Ia kembali berdiri, lanjut menyiram tanaman-tanamannya.

"Mas Mirza udah jarang pulang tuh, Mbak. Saya yang sekuriti, tapi malah Mas Mirza yang lebih sering tinggal di kantor," tutur Pak Sekuriti yang tidak pernah kutahu namanya.

Yang kudapat kedua, aku tahu kesibukannya belakangan ini.

"Lagi sibuk banget ya, Pak?" tanyaku, masih dengan pandangan yang tertuju pada Mirza dan tanamannya.

"Lumayan, Mbak. Minggu lalu mah anak-anak juga sering tidur di sini. Segini udah lumayan longgar. Paling juga pada datang siang."

Ah ... aku rindu cerita-cerita Mirza soal proyek yang sedang dikerjakannya. Dari proses tawar menawar dengan klien sampai brain-storming, aku tidak pernah bosan dan malas mendengarkannya. Bertukar kabar soal kesibukan kami, keseharian kami yang bukan hanya soal pekerjaan, sampai urusan cucian luntur yang mengenai pakaian putih pun tidak luput dari obrolan kami. Aku merindukan itu.

"Sebentar ya, Pak," aku mengeluarkan buku catatanku, merobeknya asal. Sampai aku membuka tutup pulpen, mendadak aku tidak tahu harus menuliskan apa. Berbagai kata yang terlintas di otakku tak membuat tanganku bergerak untuk menuliskannya.

"Mas Mirza, Mbak...." perkataan Pak Sekuriti buru-buru membuatku mencari tempat untuk sembunyi. Konyol. Tapi sungguh, aku belum siap untuk mengobrol dengannya langsung.

Seakan mengerti, Pak Sekuriti bangkit dari duduknya, menyamperi seseorang di luar posnya yang tampaknya membutuhkannya. Kudengar mereka bercakap-cakap, membicarakan cabai dan tomat yang bebas dipetik kalau orang-orang kantor membutuhkannya untuk memasak di pantri. Sial! Aku jadi membayangkan hidup bersamanya di rumah Eyang di Lembang sana, menanam buah dan sayur, memetiknya langsung dari sana.

"Mas, ada titipan. Bentar...."

Aku menutup mulut, menahan napasku kuat-kuat. Pak Sekuriti hanya melirikku sekilas sebelum akhirnya membawa bekal yang kuberikan kemudian kembali pada Mirza yang menunggunya.

"Dari Mbak Ganis, Mas."

"Ganis ke sini," jawabnya yang kudengar dengan mata terpejam. "Belum lama ya perginya?"

Aku ingin melihat reaksi Mirza yang sesantai itu. Tapi aku kepayahan, ingin menuntaskan persembunyianku agar tidak sia-sia. Aku belum mau mengobrol dengannya. Egois sekali, memang. Tapi aku tidak seberani itu. Dan lagi, aku ingin menutup kuping dengan kedua tanganku. Namun di lain sisi, pendengaranku yang justru kian menajam seiring badanku yang kian meringkuk di kolong meja.

"Hatur nuhun, Pak?"

"Bedalah minantu urang sunda mah," Pak Sekuriti menertawakannya. "Sami-sami Kang Mirza."

"Hahaha ... Pak, ibunya mah orang jawa. Makasih ya, Pak."

Yang kudapat ketiga, aku tahu bagaimana ia padaku. Menjadi Mirza yang bagiku tetap sama. Ah, gila! Tidak bertemu dan mengobrol saja mampu membuat wajahku menghangat. Aku yakin kalau pipiku bersemu merah.

"Udah pergi, Mbak!" ujar Pak Sekuriti sedikit berbisik, membuatku berdiri dengan bebas dan sedikit mengintip ke kaca menatapi punggung Mirza yang kian menjauh.

"Makasih banyak, ya, Pak," aku mengembuskan napas keras. Antara lega karena tidak ketahuan, juga respons Mirza yang membuatku ingin pergi ke lapangan kosong dan berteriak kemudian mengempaskan diri ke tanah menatap langit cerah.

"Saya mah pengalaman sama yang gini gini," timpal Pak Sekuriti bangga.

"Siap, lah!" Aku ikut terkekeh dibuatnya. "Kapan-kapan kalau ke sini lagi, saya bikinin buat Bapak juga. Maaf banget ya, Pak." Kenapa juga aku tidak terpikirkan itu sejak awal? Etika dasar ketika meminta bantuan seseorang yang bahkan kamu tidak kenal. Memberinya sesuatu seharusnya bukanlah sesuatu yang sulit.

Pak Sekuriti mengangguk dengan senyum luar biasa ramah, mengantarkanku sampai keluar gerbang. "Bener, jodoh," katanya, sedikit membuatku kikuk menggaruk tengkuk.

"Mudah-mudahan ya, Pak. Doain," kataku tanpa ragu, yang dijawab senyum oleh Pak Sekuriti yang akhirnya kutahu namanya. Pak Asep. Sunda sekali. Dalam hati aku merapal, kelak, saat aku kembali, aku harus memberinya sesuatu juga.

Namun, entah kapan lagi aku bisa mengunjunginya. Aku sudah mulai sibuk dengan pekerjaanku yang bukan lagi sekadar pelatihan untuk diriku. Mulai dari rekrutmen dengan berbagai tahapannya, sampai saat mereka yang direkrut juga melakukan pelatihan. Ada lagi pelatihan untuk orang-orang lapangan, ada juga untuk orang kantor. Semuanya berbeda. Aku benar-benar sibuk.

Hari ke seratus enam puluh tujuh, aku mulai merasakan lelahnya menaiki kendaraan umum sejauh itu. Pulang hanya untuk tidur dan membersihkan diri. Waktu libur pun aku hanya akan berbaring, menonton, sesekali membaca buku yang jadi kebiasaan baruku. Sudah waktunya aku mencari kontrakan yang tidak jauh dari kantor. Yang bisa kutempuh dengan berjalan kaki, kalau bisa. Tidak apa-apa sedikit mahal. Yang penting waktu luangku sedikit lebih banyak sekalipun lembur seringkali menggerogotinya.

Sampai ketika di jalan pulang, aku mendapati motor Taufan yang terparkir di depan warung tenda. Aku cukup sering bertemu dengannya di sini, sekadar bertegur sapa. Tapi kali ini, aku masuk, membuat lelaki itu seketika mematikan rokoknya.

"Lagi santai kan?" tanyaku sebelum ambil duduk berhadapan dengannya.

"Uhm ... udah mau balik, sih," katanya, menunjukkan piring bekas makannya yang masih ada di atas meja, menggesernya jauh dari pandangan kami. "Kenapa, Mbak? Baru pulang?" tanyanya, melihat jam dinding yang sudah menujukkan pukul 9 malam.

Aku mengambil se-plastik rempeyek yang tersedia di tengah meja, membukanya dan mulai memakannya.

"Bu, Teh Manis-nya dong satu lagi. Yang anget ya?" pintanya pada sang penjual yang selesai membereskan bekas makan di meja lain.

"Buat saya?" tanyaku sempat-sempatnya, membuat lelaki itu memutar bola matanya. Yah, aku mulai terbiasa dengan Taufan yang memang begini adanya. Aku lebih sering tidak kaget dengan segala lakunya ketimbang dibuat kagum maupun penasaran bagaimanapun dia baik.

"Kalau lo nggak mau, buat gue aja, Mbak. Sesimpel itu."

Ya, Taufan sesimpel itu. Dia hanya melakukan sesuatu yang sepantasnya dilakukannya. Urusan bagaimana respons orang lain, dia tidak akan peduli. Tugasnya hanya sampai pada dirinya.

"Ini, Mas. Bonus aja, udah mau tutup," kata sang penjual, tersenyum melihatku. "Saya sambil beres-beres tutup enggak apa-apa ya?"

Aku jadi sedikit tidak enak, melihat sekeliling yang memang sudah tampak selesai. Hanya tinggal perlengkapan masak yang bertumpuk dalam sebuah baskom besar.

"Kenapa, Mbak?" tanya Taufan sembari menggeser teh hangatnya. "Eh, ini lo mau, kan?" katanya, hendak menarik lagi gelasnya.

Refleks aku menepuk lengannya. "Niat baik tuh harus sampai, Fan! Enggak boleh gitu!"

Taufan berdecak, mengenakan jaketnya. "Niat baik bakalan tetap jadi baik walaupun enggak sampai."

Aku memicingkan mata melihatnya dari balik gelas teh hangat yang sudah sampai ke mulutku. Ah, selalu seperti ini. Kami jarang sekali mengobrol panjang. Tapi selalu saja ada yang bisa membuatku berpikir dan mencaritahu apa yang dikatakannya lebih lanjut.

"Kalau niat baiknya sampai, bukannya lebih baik lagi ya?" tanyaku, meletakkan gelasku dan kembali memakan rempeyek yang tahu-tahu hampir habis. Tentu saja Taufan tidak menjawabnya. Dia sibuk membereskan tablet, ponsel dan lanyard yang dengan rapinya dimasukkan ke dalam ranselnya. "Kamu tahu kosan atau kontrakan kecil dekat-dekat sini nggak?" tanyaku, kembali pada niat awalku masuk ke warung tenda itu.

Taufan mengesampingkan semua pekerjaannya. Alisnya menukik menatapku. "Baru kepikiran sekarang buat pindah?"

Aku menjauhkan diri dari meja, menegakkan dudukku. "Baru ada waktu buat mikirin itu," jawabku asal. "Saya tuh udah sempat tanya senior yang lain. Tapi kan kamu tahu, bagian saya orangnya pada gitu semua. Saya mah low-budget."

Taufan tertawa mendecak. "Kalau lo aja low budget, gimana gue coba, Mbak?" ledeknya. "Mas Mirza tuh udah minta tolong gue dari lama soal ini. Tapi gue mah nunggu elo yang minta. Nanti kalau seperhatian itu, gue malah dikira naksir lo lagi. Enggak. Thanks."

"Lagi?" tanyaku salah fokus. "Kamu—?"

"Gue nggak tahu lo berdua kenapa. Ini karena Mas Mirza minta tolong gue aja. Enggak karena hal lain. Gue nggak mau ikut campur juga," jelas Taufan. "Besok ketemu di stasiun tempat lo turun. Gue jemput. Gue tahu kosan yang bagus buat lo."

"Fan...."

"Kenapa?"

"Kalau cuma karena nggak enak sama Mirza, enggak usah, deh. Saya-nya juga nggak enak sama kamu," kataku pelan, sungguh tidak enak pada lelaki yang pernah didekatkan Sam padaku.

"Karena gue pernah naksir lo?" tanyanya seraya bangkit berdiri. "Udah lewat."

"Taufan...."

Lelaki itu tertawa. "Beneran, Mbak. Ini gue jujur-jujuran aja, ya. Sam dekatin lo sama gue dulu tuh karena dia tahu gue naksir lo. Menurut lo, Sam bakalan asal ngenal-ngenalin teman dan kenalannya gitu aja sama lo? Enggak, lah!"

Aku mengembuskan napas kasar, memijat keningku yang mendadak sakit.

"Gue ngaku gini biar lo nggak salah paham aja sama Sam selama ini. Sama gue juga. Soal lo sama Mas Mirza ...," Taufan memotong ucapannya, melihatku penuh. "Sam ngarep banyak soal itu. Lo baik-baik sama dia. Sekarang, anggap aja gue lagi bantuin Sam buat wujudin itu."

Aku terpaku beberapa detik dalam dudukku, sampai Taufan menyerahkan tasku, mengajakku keluar warung tenda.

"Aduh, gue tuh beneran nggak suka ikut campur gini!" Taufan tampak merutuk, menggusar rambutnya yang dibiarkannya panjang. "Lagian, gue nggak suka orang nggak enakan, Mbak," tutup Taufan, meraih helm-nya.

Ingin sekali aku melemparkan tasku padanya. Bahkan dia tidak berbasa-basi untuk mengantarkanku ke stasiun atau apa pun itu. Ah, tapi aku tidak mau memikirkan kalau Mirza menitipkanku pada Taufan. Menggelikan! Tidak akan sampai sejauh itu! Tidak mungkin begitu!

"Saya juga nggak suka sama kamu!" timpalku tidak mau kalah, meluapkan kekesalanku yang tidak bisa kuungkapkan semuanya.

"Udah dapat Mas Mirza malah aneh kalau lo suka gue," ucapnya seperti bilang kalau satu tambah satu adalah dua. "Kabarin gue besok. Gue balik. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam...." Aku memperhatikan motor itu yang semakin menjauh.

Yang kudapat keempat, aku tahu, kalau bukan hanya aku yang tetap berjalan ke tujuan awal hubungan kami.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro