26 | Semalam sampai Seratus Hari setelahnya
Semalaman aku menangisi keputusanku-tidak, bukan, bukan karena keputusanku, tapi atas apa yang terjadi pada hubunganku dengan Mirza. Ini seperti sesuatu yang sama dan berbeda sekaligus. Ketika menjalin hubungan yang sudah tahu ke mana arahnya, dengan tujuan yang juga jelas, lengkap dengan segala risiko yang sudah terbayangkan sebelum melangkah. Aku jelas tahu sejak awal kalau ini sangat mungkin terjadi. Tapi bukankah risiko selalu bisa diakali?
Yang aku lupa, dalam urusan perasaan, akal tak selalu bisa ambil kendali. Perasaan tidak bisa diakali. Yang juga tak bisa diabaikan, bahwa hubungan tidak hanya terdiri dari dua orang.
Baru kali ini lagi aku menangis dalam salat, kemudian tidur di atas sajadah. Sehari lagi saja, aku minta izin Pak Wisnu untuk tidak ke kantor. Tak memedulikan jawabannya, aku beralih membereskan semua bawaanku, merapikan apartemen yang hanya kutinggalkan 3 hari.
Sesekali kulihat ruang pesanku dengan Mirza. Dia tetap menjawab pesanku semalam yang menanyakan apa dia sudah sampai atau belum meski baru dibalas subuh tadi. Dia juga tetap mengiyakan semua kataku soal bekal dari Ibuk dan Mama Fathya, mengingatkannya. Namun hanya sampai sana. Aku ragu menanyakan apa yang sedang dilakukannya, apa dia ke kantor atau tidak. Terakhir, aku mengirimkan pesan berisi satu kata. Maaf. Satu kata terakhir yang juga kuucapkan semalam. Itu saja. Dan Mirza hanya membacanya.
Sempat terpikirkan untuk meneleponnya, aku lebih takut kalau panggilanku tidak dijawab ketimbang kembali membahas soal keputusanku semalam. Demi kewarasanku, akhirnya aku meletakkan benda pintar itu di tempat yang jauh dari jangkauan serta pandanganku, lalu kembali fokus dengan beres-beresku saja. Seharian.
Tahu-tahu azan zuhur, aku membersihkan diri. Tahu-tahu azan ashar, aku bangun dari tidur siang di lantai tanpa alas yang tidak disengaja. Kemudian azan magrib, aku baru bertemu dengan nasi setelah hanya memakan bekal dari Ibuk yang menemani lamunanku. Azan isya, aku kembali mengambil telepon genggamku yang langsung memunculkan ruang pesanku dengan Mirza.
Mirza
Kata Pak Wisnu kamu nggak kerja
Kenapa?
Menimbang jawabanku, berulang kali aku mengetikkan pesan dan berakhir menghapusnya. Euh! Aku bukan mau mengakhiri hubunganku dengannya. Tapi tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain meminta Mirza untuk menemani Laras yang bagaimanapun adalah sepupunya; orang terdekatnya, segenap hati mengesampingkan bagaimana hubungan mereka dulu. Tapi tetap saja, aku yang tetap seperti ini padanya rasanya tidak benar.
Rengganis A. Satya
Capek
Besok juga kerja
Aku meletakkan ponselku kembali, menahan diri untuk tidak memikirkan bahan obrolan yang bisa memperpanjang chat kami. Sampai keesokan paginya, aku kembali terbangun di atas sajadahku. Sampai malam berikutnya, berikutnya, hampir sepekan. Cukup untukku tahu dan mengakui kalau aku tidak baik-baik saja dengan keputusanku.
Bertemu lagi dengan akhir pekan, aku kembali merasakan kekosongan itu. Tidak ada yang bisa kubereskan. Bahkan debu pun enggan mampir ke sela jendela hingga sudut meja. Pagi ke siang, siang ke sore, sampai jemuranku kering. Sore ke malam, datang bulan kian mempersulitku untuk mengisi waktu. Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk langsung menyetrika pakaianku saat itu juga sambil bertelepon dengan Ibuk.
"Lagi nggak salat, Neng?"
"Enggak, Buk," jawabku sambil menyemprotkan pewangi pakaian. "Ibuk lagi di mana ini?" Suara yang mampir di telingaku lebih ramai dari sebelumnya.
"Ini, Ibuk sama Bapak ke rumah Uwak Yana. Sekalian nengok Uwak Nurul. Kan Ibuk belum lihat lagi pas dari Rumah Sakit."
Ramai-ramai yang semakin terdengar membuatku bisa merasakan situasi di sana. Bisa kudengar Bude Pia yang menyeru-nyerukan sang cucu yang sedang aktif-aktifnya, Mbak Jani yang mengomel kecil dalam hati karena ibunya terlalu memanjakan anaknya, Gladia yang diam-diam memperhatikan drama itu semua, juga Samudera yang besar hati tetap menjadi dirinya dengan segala perannya, Uwak Nurul yang terduduk dengan segala kesenjaannya, serta Uwak Yana yang menjadi pusat keterhubungan semuanya.
"Assalamualaikum... "
"Oh, ada Uwak Latifah?" Aku dengan mudah menebak suara damai nan menyenangkan lainnya yang sudah lama tidak kujumpai.
"Iya, Neng. Uwak Latifah habis Umrah lagi, jadi sekalian ke sini, katanya. Tadinya mau kumpul di Lembang aja, di rumah Eyang. Tapi kan Uwak Nurul-nya masih agak susah kalau dibawa jalan-jalan."
Aku mengambil baju berikutnya, mencerna situasi di sana. Suara Ibuk yang terdengar sedang mengobrol dengan Uwak Latifah, mengisi waktu telepon kami. Kudengar Ibuk yang banyak bertanya perihal Umrah yang dijalaninya, serta Bude Pia yang juga ikut ke dalam obrolan. Tidak tahu kenapa, mendengar mereka semua berada dalam satu obrolan khas kakak beradik sekeluarga, cukup menenangkan. Sekian lama aku dihantui dengan mereka yang tanpa sadar saling mengungguli. Ck ... entahlah.
"Ibuk mau Umrah juga?" tanyaku setelah dirasa kalau Ibuk sudah kembali ke telepon kami.
"Insya Allah, Neng. Nanya aja dulu," jawab Ibuk. "Sama Neng juga yuk," suaranya semakin pelan.
Kali ini kudengar Ibuk yang seperti menjauh dari obrolan-obrolan kakak beradik tersebut.
"Neng ... kalau nanti Neng ajak Mirza juga, gimana?"
Aku bisa melihat diriku pada pantulan kaca jendela. Tersenyum, tidak tahu harus berkata apa. Aku bisa mengesampingkan soal harga diriku dengan tabungan yang akan langsung habis kalau dipakai berangkat ke Tanah Suci. Tapi soal Mirza? sungguh, aku sendiri bingung bagaimana menjelaskannya pada Ibuk. Setidaknya untuk sementara ini.
"Kalau Mirza mau. Siapa tahu kan, kalau udah nikah, bisa sekeluarga ke sana."
Tidak tahu kenapa, aku sama sekali tidak merasa terbebani dengan pinta Ibuk. Bingung, memang. Tapi sungguh, aku tidak merasa kalau itu sesuatu yang besar, yang berat bertengger di pundakku, atau seperti bom yang akan meledak pada waktunya.
"Insya Allah, ya, Buk." Hanya itu yang bisa kukatakan. Insya Allah. Dengan izin Allah, yang kali ini benar-benar kumaknai artinya.
"Ibuk juga enggak akan langsung sekarang sekarang ini berangkatnya. Nunggu anak-anak sekolah liburan dulu. Atur-atur waktunya juga."
Aku hanya mengiyakannya. Tidak ada kata lain yang bisa kubicarakan. Untungnya Ibuk yang mengakhiri panggilan kami duluan karena sudah masuk Azan Isya. Sedikit bercanda, Ibuk bilang kalau ia takut Pak Ustadz alias Uwak Yana mengomelinya.
Setelah panggilan kami berakhir, aku beralih menyalakan televisi. Yang penting, aku tidak sendirian. Itu saja. Membiarkannya menyala selagi aku membersihkan diri sampai membuat makan malam sepertinya pilihan tepat. Ah, mungkin benar seperti ini hidup orang-orang di Jakarta. Sendirian, hanya tahu kerja dan pulang tinggal istirahat. Aku sampai lupa dengan hobi yang tidak lagi kupunya. Selama hampir 5 tahun di Jakarta, segala yang kulakukan hanya soal keharusan, yang kalau tidak dilakukan maka aku tidak akan bisa hidup.
Hari Minggu, aku kembali menghabiskan waktuku dengan tidak ke mana-mana. Semua keperluanku sudah beres. Pakaian rapi, kulkas penuh, setiap sudut bersih, aku kembali menyalakan televisi. Setelah sekian lama, aku kembali mencari judul serial yang bisa kutonton seharian. Untuk pertama kalinya juga, aku memanfaatkan fasilitas langganan menonton yang otomatis tersambung dengan layanan internet. Menonton seharian, hanya untuk mengisi waktu.
Masuk hari Senin, aku memulai pagi dengan membersihkan diri, menyiapkan sarapan, dan kembali membuka aplikasi pesan pada ponselku. Setelah sepuluh hari, Mirza menghapus foto profilnya. Tidak ada lagi foto kami yang diambilnya dari insta-story pertamaku dengannya; foto lengan kami yang memakai jam tangan sama.
Harusnya aku tidak perlu kesal dengan ini. Semua karena keputusan sepihakku. Sekeras apa pun ketidakinginanku untuk mengakhiri hubungan kami, sekuat apa pun Mirza meyakinkanku, aku tidak bisa mengabaikan apa yang ada di sekitarnya. Akan lebih tidak menyenangkan kalau aku tetap bersamanya sementara ada bayang-bayang Laras yang kesakitan di sana. Meski Mirza bilang kalau kami tidak akan bertemu dengannya setiap hari, tetap saja.
Setelah melaluinya, mengalaminya sendiri, hubungan sepupu adalah yang paling rumit. Masih jauh untuk menyebutnya dekat sampai al-quran mengatakan bahwa mereka bukan mahram yang artinya boleh dinikahi, namun cukup dekat sampai tidak bisa memutuskan hubungannya begitu saja. Ya, aku masih mengingat ini, sesuatu yang banyak kupelajari sejak hubunganku dengan Kak Ajun yang tidak bisa lagi sekadar jalan tanpa bicara.
Telepon dari Pak Wisnu menghiasi Senin pagiku. Sedikit berdeham, aku meraih ponselku. Namun panggilan Pak Wisnu terputus, berganti dengan gambar yang Mirza hapus dari profilnya.
Pak Wisnu
Nis, tadi orang kantor sudah kirim guide untuk pelatihan
Nanti saya kirimkan dalam perjalanan
Saya ada jadwal sidang seharian ini
Bisa dibaca dulu
Aku mengecek ulang jadwal Pak Wisnu dalam sebulan yang selalu dibagikannya. Sidang, seminar, wisuda, seminar internasional, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya. Hanya dengan pekerjaan aku bisa tetap menjalani hidupku sekarang. Bangun pagi, bersiap-siap, berangkat kerja dan bertemu orang, berbicara. Ini yang namanya orang bilang, kalau hidup akan tetap melaju.
Kembali pada tampilan utama ponselku, tidak ada waktu untuk mengganti gambarnya. Tidak, aku tidak mau meluangkan waktu untuk itu. Ada waktunya nanti kalau kami benar selesai. Hhhhh Rengganis pengecut! Melihat wajahku sendiri di cermin, jelas ada yang berbeda. Badanku ... aku tak bisa menahan diri melihat punggungku yang tidak tegak. Mata yang tampak kuyu dan berkantung, tulang pipi yang terlihat lebih jelas. Mungkin ini saatnya aku harus meluangkan waktu untuk berolahraga, makan makanan yang baik, serta melihat dunia lain yang belum sempat aku pijaki.
"Pagi, Mbak!"
Sapaan petugas meja informasi, menyambut kedatanganku. Sejenak aku menghampiri mereka, bercakap tipis-tipis. Kuperhatikan mereka yang sudah mulai bekerja di saat aku baru menginjakkan kaki di lobi.
"Kopi, Mbak!" tawar seorang OB yang mengantarkan kopi.
"Nanti aja saya buat sendiri," jawabku, membuka-buka brosur yang tersusun di bagian sisi kanan meja.
"Mbak, jadi anak Sudirman nih, entar!" goda seorang resepsionis yang hanya kukekehi. "Mereka lagi buka lowongan besar-besaran kan buat gerai di mal baru?"
Aku belum berani mengatakan apa pun soal pekerjaanku nanti. Terlebih, aku belum resmi bergabung dengan perusahaan tersebut yang juga belum sepenuhnya kupahami. Alhasil, hanya senyum yang bisa kusampaikan. Yah, perusahaan terbuka yang mengelola banyak merek ritel terkenal di dunia. Aku belum tahu pasti di mana aku akan ditempatkan, apa saja yang aku kerjakan. Itu masih terlalu jauh. Kabar burung lebih cepat dari langkahku. Tapi setidaknya, aku sibuk. Belajar banyak hal yang hanya akan mengantarkanku pulang untuk tidur, tak peduli hari libur yang tetap membuatku lembur.
Setelah sebulan, nama Mirza masih ada di daftar chat-ku yang tertangkap layar tanpa perlu aku menggulirnya. Kalau bukan karena pesan panjang yang dikirimkan orang perusahaan baru, aku tidak akan membuka aplikasi pesan itu setelah terbiasa dengan membalas pesan lewat kolom notifikasi. Aku tidak menghapus obrolan kami, apalagi menghapus atau memblokir kontaknya. Tidak ada yang berbeda selain dari kami yang tidak lagi bertukar kabar, apalagi menelepon.
"Nis, siap-siap mulai pelatihan internal dulu awal bulan nanti. Setelah itu, baru kamu ikut mereka pelatihan karyawan. Udah ikut TOEFL lagi, kan?"
Yah, banyak hal baru yang mengisi waktuku untuk bekerja di tempat baru. Sedikit banyak aku khawatir dengan Pak Wisnu yang tidak memperpanjang izin perusahaannya. Alih-alih memintaku untuk melanjutkannya, memberi kepercayaan lebih, Beliau memilih agar aku bekerja di perusahaan lain yang menurutnya adalah pilihan terbaik untuk jenjang karierku.
Mencari-cari tempat tinggal yang dekat ke kantor, aku jadi berkelana menaiki kendaraan umum yang sebelumnya hanya sekali dua kali aku jajaki. Pak Wisnu sudah menawarkan agar aku tetap tinggal di apartemennya, tapi tentu saja aku menolaknya. Selain karena aku yang bukan lagi anak buahnya, aku juga ingin tempat tinggal yang tidak akan memakan waktuku lebih banyak untuk sampai di kantor. Namun sayang beribu sayang, menemukan tempat yang cocok sama sekali tidak mudah. Akhirnya, aku tetap tinggal di apartemen Pak Wisnu sementara ini. Untuk sampai ke tempat kerja, aku hanya perlu naik ojek ke stasiun lalu naik KRL dan transit di Stasiun besar, kemudian naik KRL lagi sebelum akhirnya menaiki busway. Melelahkan, bukan?
"Aduh, Neng, habis waktu di jalan kalau gitu mah," kata Bapak di telepon setelah aku menceritakan bagaimana hari-hariku di pekerjaan baru dan masih belum menemukan tempat tinggal cocok yang dekat dari kantor.
"Biarin, Pak. Pakai mobil juga sama aja habisin waktu di jalan. Macet. Belum lagi servis ini itu, ngurus pajaknya. Malas, ah!" pungkasku. "Nanti juga biasa."
"Terus Neng kapan ke sini?" kali ini, Ibuk yang bicara. "Kata Ibuk juga, kan! Kalau di kerjaan baru pasti bakalan susah buat pulang. Udah tiga bulan."
Aku menarik napasku dalam-dalam. Tiga bulan ... sudah selama itu. Tiga bulan juga aku tidak berhubungan dengan Mirza yang sungguh sama sekali tidak aku ketahui kabarnya. Tidak dari Pak Wisnu yang juga tidak pernah menyinggung hubungan kami, tidak dari Ibuk yang sejak awal tak banyak mencampuri urusan kami bagaimanapun ia menyambutnya, juga tidak dari keluarga yang sudah kami kenalkan pada masing-masing. Seperti halnya aku yang tidak pernah mengunggah kegiatanku di media sosial, Mirza juga seperti itu. Laman instagramnya yang bagai Museum, sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Gambar kami yang memotret satu sama lain, masih terpampang di sana sebagai unggahan terakhirnya.
"Belum juga seratus hari, Buk," candaku yang langsung mendapat omelan Ibuk. Padahal di waktu sebelum-sebelumnya, aku bisa tidak pulang hampir selama enam bulan. "Beres pelatihan ini, insya Allah Neng pulang. Semingguan lagi pelatihannya."
Seminggu lagi, aku masih harus bergelut untuk menyesuaikan diri. Makan di kantin karyawan adalah pilihan terbaik meski dengan jelas aku bisa menangkap bagaimana orang-orang memandangku. Sudah jadi rahasia umum kalau aku bisa bekerja di sana karena jaringan Pak Wisnu. Tapi aku tidak punya waktu untuk mendengarkannya ataupun berpura-pura. Aku hanya tahu bekerja untuk mendapatkan uang dan mengisi waktu. Tidak ada lagi khidmat dalam bekerja, apalagi bergaul, berusaha masuk untuk bisa bertahan.
"Mbak Ganis?"
Aku mengangkat wajahku dari makan siang jam 4 sore yang baru kuhabiskan dua suap. Refleks aku berdecak dengan senyum menyungging, melanjutkan makanku. Duniaku memang sesempit itu sampai-sampai aku tidak kaget dengan kemunculannya. Aku sudah terbiasa, sungguh. Kurang baik apa Tuhan pada hambanya ini yang seringkali dihadapkan pada situasi yang membuatnya malas bersosialisasi?
"Ini kalau nggak saya jawab, kamu nggak bakalan duduk, Fan?" tanyaku karena tak mendapati lelaki itu bergerak barang sesenti.
Dengan santainya, Taufan ambil duduk, tertawa remeh lengkap dengan decakannya. "Beneran kata Sam, lo semenyebalkan itu kalau udah kenal lama."
Aku tidak menyangkalnya. Bukankah semua orang juga begitu?
"Kamu pindah kerja ke sini?" tanyaku, menangkap langsung lanyard yang dipakainya. Persis dengan punyaku. "Bagian apa?"
"Developer, lah! Apa lagi?" jawabnya, menyendok kembali nasinya. "Eh, bentar, Mbak," katanya sambil melihat ponselnya yang dibiarkannya di atas meja. "Mas Mirza...?" ucapnya, refleks melihatku sebelum menjawab panggilannya.
Setelah seratus hari tidak lagi berhubungan dengannya, aku menyadari, kalau sibuk tidak membuatku jadi tidak ingin tahu kabarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro