25 | Kalau kamu mau, kalau kamu bersedia
"Ini kamu beneran mau bawa aku ke rumah Fathya?" Aku melihat sekeliling jalan yang kami lewati begitu mobil yang dikendarai Mirza melaju semakin pelan.
"Beneran, lah! Masa bohongan?" Dengan cekatan Mirza membelokkan mobilnya ke sebuah jalan yang semakin sempit. "Nyampe, udah."
"Ih, malu...." Aku sedikit menegakkan dudukku, melemparkan pandangan pada rumah yang ditunjuk Mirza. Tampak seorang wanita paruh baya yang sedang bermain dengan anak kecil yang kuduga anaknya Fathya, juga pria yang hanya memakai kaus kutang dan sarung, duduk santai memperhatikan mereka.
"Ini rumah tuh semacam basecamp aku sama sepupu-sepupu Laras yang lain," cerita Mirza. "Tiap ke Bandung, aku pasti tidur di sini. Kalau lagi kumpul-kumpul juga lebih sering di sini. Ayi malahan S2 sama S3 di Bandung, sempat nge-dosen di Nusa Jaya. Otomatis tidur di sini juga."
Aku mengikuti Mirza turun. Pandanganku jatuh pada buket bunga di bangku belakang yang semalam tidak kuambil. Masih tampak segar, terlebih lagi disirami sorot matahari yang menembus kaca mobil.
"Aku nunggu kamu yang ngambil, bukannya nggak ingat." Mirza menyadari keterdiamanku.
Selepas salat isya kemarin, Mirza langsung pulang. Tidak ada lagi pembicaraan soal cincin dan bilang pada Ibuk pun Bapak. Hubungan kami seperti menggantung, tapi tetap melaju. Ibuk yang membelikannya oleh-oleh, bahkan aku tidak keberatan untuk mengantarkan Ibuk berbelanja, tak terpikirkan untuk menolaknya. Aku sudah terbiasa seperti ini. Pulang dengan Mirza, makan malam bersama, dan kembali ke Jakarta dengan bekal dari Ibuk. Semua itu membuatku mudah untuk menepikan persoalan kami.
Saat menjemputku tadi malahan Mirza mengajakku untuk mengantarkan Ibuk dulu ke tempat praktiknya. Sekalian saja aku mengajaknya ke Kafe Teh Naya yang tidak jauh dari sana. Membeli kopi dan kue, bercerita soal siapa Teh Naya. Aku juga tidak keberatan mengenalkan Mirza pada kakak tingkatku itu, mengobrol cukup lama. Dan Mirza, dia lebih tertarik dengan aku yang bisa berkawan baik dengan perempuan-perempuan yang merisakku saat di bangku awal perkuliahan dulu, sejalan denganku untuk tidak mengisi waktu kami dengan obrolan soal Laras.
"Mbak Ganis!" sapa Fathya yang keluar dari rumahnya. "Kirain nggak jadi, loh, Bang!" serunya pada Mirza begitu kami sampai di halamannya.
"Jadi, Ya! Kan tadi gue-nggak masak, dong?" Mirza salah fokus, antara meladeni keusilan Fathya yang sebenarnya tampak sekali baru selesai masak, juga pria paruh baya yang beringsut ke dalam, membuatnya tersenyum lebar.
"Papa, nih! Udah Mama bilang Ija ke sininya sebelum makan siang," protes perempuan yang pasti ibunya Fathya. "Pergi salat sama Papa dulu, Ja! Udah mau azan tuh."
Lucu juga melihat Mirza disuruh salat begitu. Baru kali ini aku melihatnya menjadi seorang 'anak' terlepas dari mereka yang bukan orang tua langsungnya. Dengan sigap ia menurutinya, mengajak serta balita yang masih memakai seragam taman kanak-kanak.
"Ini yang namanya Ganis, teh?" Mama Fathya yang dengan logat sunda persis Bapak, menyinggung Mirza yang tengah mencari sandal.
Mirza mengusap tengkuknya, mengangguk kecil. "Iya, ini Ganis, Ma."
Mendengar langsung Mirza memanggilnya Mama, pastilah sedekat itu hubungan mereka. Bukan Tante, Bibi, Uwak, atau lain sebagainya. Keputusannya untuk membawaku pada mereka saja sudah jelas menggambarkan bagaimana hubungannya dengan keluarga ini.
"Aku keluar dulu. Kamu sama Fathya sebentar," pamit Mirza sembari mengamit lengan keponakannya yang terus membuntutinya malu-malu.
"Heuh, baru lagi ketemu omnya yang ini beberapa bulan ke belakang, tapi udah bisa lupa sama Om Ayi-nya," tutur Fathya, membenarkan kopiah anaknya. "Nanti kalau Om Ija nikah, kamu juga dilupain tahu, Dek!" canda Fathya yang disepakati kedua orangtuanya, sementara Mirza hanya melihatku dengan senyum tertahannya.
Sepeninggal Mirza, aku tidak tahu harus melakukan apa. Untungnya Fathya yang dengan cepat menyadari kebingunganku, membawaku untuk melakukan ini dan itu. Sesimpel menyicipi masakannya yang masih terjerang di kuali, atau mengaduk minuman dingin yang diraciknya.
"Yaya, ih! Enggak usah, Ganis, biarin sama Yaya aja," Mama Fathya mengingatkan.
"Enggak apa-apa, Bu. Saya nggak ngapa-ngapain juga," timpalku, memperhatikan Fathya yang melarutkan biji selasih.
"Yaya udah dikenalin duluan sama Mbak Ganis, Ma. Enggak SKSD juga," Fathya mengambil alih pekerjaanku, kemudian memasukkannya ke dalam kulkas. "Nanti tinggal dicampurin sama isiannya. Udah beres semua. Salat dulu aja yuk, Mbak!"
Aku mengikutinya ke lantai atas rumah tersebut seusai wudhu. Ruangan lepas yang cukup untuk jadi tempat berkumpul dan beristirahat. Ada beberapa lego yang dipajang pada rak menggantung, ada juga jajaran buku bisnis dan ekonomi, serta foto-foto lama yang menarik perhatianku.
"Yang tidur di sini orangnya banyak mirip hobi sama kesibukannya, jadi nggak pernah dirombak sama Mama," jelas Fathya, menyerahkan mukena yang masih bau lemari. "Bang Mirza juga baru-baru lagi ke sininya, tidur di sini. Sibuk terus sama bisnisnya. Sampai dimarahin Mama gara-gara milih tidur di Motel kalau lagi ke Bandung. Pas acara opening tempat kita ketemu waktu itu, baru lagi tuh aku ketemu Bang Mirza."
Cukup banyaknya yang diceritakan Fathya, membuatku mengerti situasi Mirza beberapa waktu ke belakang. Sekian lama menepikan diri dari orang-orang terdekat, bukanlah sesuatu yang dikarenakan persoalan kecil.
Selesai salat, kami kembali ke bawah. Mirza juga sudah kembali dengan Papa Fathya yang duduk di ruang tamu.
"Nis, lupa ya tadi?" Mirza menunjuk sekotak pastri yang kubeli di tempat Teh Naya. Ah, bagaimana bisa aku melupakan itu?
Aku langsung mengambilnya dan memberikannya pada Fathya.
"Ih, ini brand dosenku dulu, Mbak!" Fathya terkekeh kecil menerimanya.
"Oh ya?" Hampir saja aku lupa kalau Fathya orang pastri. Kenapa juga aku membawakannya sesuatu yang bisa dibuatnya sendiri? "Aku beli di tempat temanku, sih."
"Iya, jenis usahanya tuh emang buat ditaro di Kafe-kafe. Jadi, dosenku ini modal resep dan pelatihan patissier-nya. Kalau ada Kafe yang minta kerjasama, atau emang mau buka franchise, bisa juga," jelas Fathya sambil membawa kami ke meja makan.
"Ada ya bisnis begitu?" tanya Mirza yang ikut menyimak.
"Iya, Bang. Patissier-nya juga biasanya emang murid yang kursus di tempatnya," jelas Fathya lagi. "Jadi mereka pada udah sertifikasi. Produknya juga udah tersertifikat halal. Kafe yang nggak punya produk pastri jadi nggak usah ribet ngurusin itu, terima jadi aja. Konsinyasi level-up."
"Tuh, kalau lagi pada kumpul gini yang diobrolin enggak jauh jauh soal bisnis. Rumah rame. Kadang nggak ngerti juga apa yang diomongin. Belum aja ada Ayi sama Laras," Papa Fathya yang sudah mengganti sarungnya, membawa sang cucu ikut ke meja makan.
Mirza yang mengekorinya, melirikku, seakan menunggu reaksiku atas cerita yang membawa-bawa nama Laras. "Tapi kan jadi update ya, Pak," timpalku singkat, melambaikan tangan pada anak kecil berseragam sekolah hijau yang duduk di seberangku, seperti menyimak obrolan kami. "Udah sekolah ya? Namanya siapa?"
"Itu ... jawab tantenya," kata Fathya, menggoda sang anak yang malu-malu. "Cantik ya tantenya?" tanyanya yang membuat anaknya itu memeluknya, menyembunyikan wajahnya dariku.
"Heuh, masih kecil udah tahu perempuan," ledek Mirza yang tepat di sebelahnya, menggelitiki pinggangnya. "Namanya siapa tuh kata tantenya? Om Ija lupa."
"Alfa, Tante .... jawab, dong, Nak." Fathya membiarkan sang anak duduk sendiri, beralih pada kulkas, mengeluarkan minuman yang sudah diraciknya. "Muhammad Alfathurozi-" Fathya mendikte sang anak yang mengikuti ucapannya. "Rumi."
Keberadaan anak kecil itu jadi penghubung obrolan kami. Perhatian tak lepas darinya seiring dengan obrolan kami yang kian mengerucut. Mungkin karena aku sudah mengenalkan Mirza pada Bapak dan Ibuk duluan, aku jadi tahu apa-apa saja yang banyak orang tua tanyakan. Bertemu di mana, sudah berapa lama kenal, sejak kapan mulai dekat, sibuk apa, bagaimana dengan orang tua, dan lain sebagainya. Cukup standar.
Kalau saja aku tidak tahu hubungan keluarga ini dengan Mirza, mungkin aku akan mengira mereka adalah orang tuanya, atau minimal tante dan omnya. Alih-alih berkerabat karena Laras yang keponakannya langsung, aku malah melihat ini seperti aku dan Uwak Nurul. Dekat, akrab dan hangat. Tidak ada kecanggungan sedikitpun. Bahkan Mirza, bagaimanapun Fathya bercerita kalau Mirza baru-baru ini lagi ke rumah mereka, Mirza seperti di rumahnya sendiri alih-alih tamu.
Selama makan siang, lewat hal-hal kecil itu aku bisa mengenal Mirza dari mata orang lain, keluarganya, yang tahu masa kecilnya. Berbeda dengan yang kudengar dari Bibi, aku melihat sisi Mirza yang lain. Bagaimana Mirza remaja mulai ikut keluarga Laras sampai akhirnya dekat dengan keluarga besar mereka hingga dewasa ini. Kalau dulu, hanya dengan Laras ia bisa terhubung dan berkunjung ke rumah mereka. Tapi tidak dengan Mirza sekarang. Dia akan datang dengan sendirinya bak anak rantau yang sesekali pulang ke rumah.
Dan, dari mereka juga aku baru tahu kalau orang tua Laras meninggal beruntun tak lama setelah anaknya itu menikah. Mereka menganggap Laras sebagai sosok perempuan kuat dan mandiri yang tidak terganggu dengan apa pun yang menimpanya. Ibaratkan, hidupnya tetap berjalan sebagaimana mestinya apa pun keadaannya. Hhhh ... aku lebih banyak melihat Laras yang menggangguku. Alih-alih kagum, aku malah berpikiran kalau itu bentuk pertahanan dirinya yang kemudian menjelma sakit sampai tak disadari orang. Sampai obrolan itu tiba tentang perceraiannya....
"Enggak tahu, Ma. Ija aja baru tahu dari Yaya kemarin. Boro-boro tahu alasannya," jelas Mirza sedikit tak nyaman mendapat pertanyaan itu. Sesekali dia melihatku yang juga menunggu responsnya. "Kalau Laras nggak cerita, mungkin aja emang kita nggak perlu tahu. Siapa yang nyangka juga kalau jadinya kayak gini."
"Iya, sih, Bang. Padahal dulu Yaya ngiranya bakalan awet, punya anak kayak orang arab gitu nantinya." Fathya berandai-andai sambil menyuapi anaknya.
"Udah, ah! Ini ada yang lagi nyiapin buat nikah malah ngomongin orang pisah," Papa Fathya mengingatkan, melihatku sungkan. "Masalah rumah tangga, ya gitu, macam-macam, enggak terduga," lanjutnya yang kuangguki. "Perlu kesiapan, nggak cuma persiapan. Perlu kesepakatan juga, nggak cukup sampai perkenalan."
"Ih, Papa, waktu Yaya sama Valdi mana ada Papa begini?" Fathya meledek sang ayah, membuatku ikut tersenyum karena tawa bapak-bapaknya yang khas.
"Kan udah berapa juga anak Papa yang nikah?" Kali ini Mama Fathya yang menengahi. "Yaya dulu, terus Laras, Ayi ... sekarang Ija. Harus ada kemajuan atuh, Ya! Jadi belajar juga, anaknya macam-macam gitu."
Aku senang karena orang tua Fathya menganggap keponakan-keponakannya sebagai anak. Mungkin itu juga efek dari bagaimana mereka saling memanggil. Cukup jadi pelajaran untukku.
Seperti halnya Ibuk yang membekaliku, Mama Fathya juga membekali Mirza masakannya tadi, juga penganan kesukaan Mirza yang katanya sering dibuat Fathya.
"Mau ikut sama Om Ija?" Fathya mengantarkan kami sampai ke halaman membawa serta anaknya yang masih saja malu-malu melihatku. "Oh iya, Bang, kata Valdi maaf nggak bisa pulang."
Mirza tidak mempermasalahkannya, dan beralih pada Papa serta Mama Fathya yang menunggu kepergian kami dari ambang pintu, menyalaminya.
"Kuenya juga, nanti kalau ke sini bawa lagi toplesnya," pesannya yang mendapat seruan Mama-nya. "Itu sengaja ditoplesin, biar dibalikin, biar ke sini lagi."
"Iya ... iya!" Mirza menenteng kue kue itu. "Makasih ya, Ya!"
Fathya mengacungkan jempolnya. "Enggak mau nungguin Kak Laras dulu?"
Deg. Aku mendongak melihat Mirza yang menaikkan bahunya menjawab tanyaku. "Laras mau ke sini?"
"Tadi katanya habis survey kain mau mampir ke sini," Fathya memiringkan badannya, melihat jam dinding yang menggantung di dalam rumah.
"Enggak, deh," jawab Mirza langsung. "Senin kemarin gue sama Ganis udah ke butiknya, udah pamit juga."
Jawaban Mirza melegakanku. Tidak baik untuk kami bertemu perempuan itu untuk sekarang ini.
"Pak, Bu, pulang dulu. Makasih buat makan siangnya," pamitku setelah dirasa selesai, yang dijawab hati-hati dan pesan untuk kembali datang. "Fathya juga, makasih. Enak loh masakannya."
"Sering-sering ke sini aja Mbak, nanti aku masakin lagi," sambut Fathya ramah.
"Siap, segera," Aku tidak bisa menahan mulutku, dan refleks melihat Mirza yang berdecak, tersenyum memalingkan wajahnya melihat langit yang menggelap.
Mau dibawa ke mana? Aku tahu jawaban atas pertanyaan itu, tapi tidak bisa menjawabnya. Dan nanti, entah kami akan mendarat bersama-sama di tujuan yang sudah kami bicarakan sejak awal, atau salah satunya terjatuh saking lamanya berjalan menggantung. Ck ... sudah dibawa ke tempat-tempat dan bertemu orang-orang yang menunjukkan ke mana jalannya hubungan kami saja, tidak bisa membuatku mengabaikan banyak kemungkinan yang bisa saja tidak terpikirkan olehku.
"Tuh mobil Kak Laras!" seru Fathya, membuatku dan Mirza berbarengan melihat ke luar tempat perempuan yang dipanggil itu memarkirkan mobilnya.
Laras tampaknya menyadari keberadaan kami. Perempuan itu tidak langsung turun, tampak sedang berbincang lewat telepon genggamnya.
"Nanti gue ketok aja," kata Mirza ambil langkah. "Gue balik ya, keburu sore. Mau hujan juga kayaknya."
Membuntuti Mirza, dia sempat membalikkan badannya menghadapku. Mengerti maksudnya, aku mempersilakannya sebelum akhirnya benar mengetok kaca mobil Laras. Perempuan itu menoleh, tersenyum singkat melihatku dan Mirza bergantian.
"Defensif banget jadi orang!"
Mirza yang mendengar ucapanku, tampak memelas, seakan berkata agar aku tenang. Bagaimana bisa? Aku bahkan masih ingat bagaimana perempuan yang tengah keluar dari mobilnya itu cari gara-gara.
"Lagi pada di sini?" tanyanya, menekan kunci mobilnya yang menghasilkan bunyi. "Kirain udah pulang." Laras mematut dirinya pada kaca mobil, membenarkan bajunya yang sedikit kusut.
Aku tak bisa menahan helaan napasku, memalingkan pandanganku darinya.
"Lo masih bisa kerja?" tanya Mirza, membiarkan aku merespons sesuka hati.
"Bisa, lah! Emang gara-gara cerai dunia gue langsung berakhir, gitu?" timpalnya pongah.
Tidak menimpalinya, Mirza hanya memandangnya seksama, sampai perempuan itu risi dan bertanya, "Kenapa?"
"Lo sama Juna kenapa?"
"Baru lo tanyain?" Laras tertawa, menggeleng-gelengkan kepala. "Udahlah nggak usah dibahas. Enggak perlu lo tahu juga."
Tidak tahan melihat bagaimana dramanya perempuan itu, aku pamit untuk ke mobil duluan. Namun tentu saja Mirza menahanku. Dia bertanya lagi, "Lo kira gue nggak bisa tanya Juna?"
Pertanyaan itu akhirnya membungkam Laras. Beberapa detik, ia terdiam, tak bisa melihat Mirza.
"Gue bisa cari tahu sendiri kalau emang mau. Tapi Mama sama Papa, bisa-bisanya lo nggak ngasih tahu mereka," pungkas Mirza. "Ya udah, gue balik," tutupnya.
"Ja...." Laras kembali buka suara, membuat Mirza menghentikan langkahnya. "Lo jangan mau tahu, enggak usah cari tahu," katanya dengan suara bergetar.
Bullshit! Aku tak lagi menuruti Mirza, benar-benar pergi dari hadapan mereka.
"Setelah sekian lama, gue happy, gue juga tenang. Lo juga harus gitu, Ras."
Aku bisa mendengar Mirza, bahkan sampai menoleh melihatnya. Itu yang Laras bilang di telepon tempo hari. Mirza pasti mendengarnya.
"Congratulation!" jawab Laras dengan senyum. Matanya jelas kelihatan menahan tangis, hidungnya juga tampak kemerahan yang sepertinya perih. Kesombongan tidak lagi tersirat di wajahnya. "Gue ke dalam dulu," katanya pada Mirza sambil melirikku sekilas.
Saat itu juga aku bisa memutuskan. Tidak perlu menunggu Mirza bicara, bercerita soal rencananya. Cukup dengan bersamanya sepanjang perjalanan menuju Jakarta, aku tahu apa yang harus kulakukan.
"Mirza," panggilku setelah turun dari mobilnya.
"Kenapa?" Mirza menurunkan tas dan bawaanku lainnya, yang dengan tanpa izinku, dibawakannya sampai menuju lift. "Kalau masih soal Laras, kita obrolin nanti. Kamu capek, kan?"
Tidak ... tidak. Aku sudah sampai pada kesimpulan yang baiknya aku suarakan sekarang, bukan hanya dipikirkan semalaman nanti.
"Kamu yang lebih capek," jawabku yang diabaikannya. "Pasti nggak gampang buat bisa ngomong kayak tadi," ucapku perlahan.
"Kalau soal Laras-"
"Mungkin baiknya kamu temanin Laras dulu," potongku, menyuarakan keyakinanku. "Itu yang baik buat kamu, buat aku sama kamu."
"Nis...."
Aku memalingkan wajahku darinya, menekan tombol lift dan menggendong ranselku. "Kamu ingat kan obrolan kita dulu waktu pertama kali kamu ke rumah?" tanyaku, sedikit mengingat-ingat. "Kalau mungkin, di depan nanti kita ketemu yang di belakang, sesuatu yang di luar kuasa kita."
Mirza mengatupkan mulutnya erat, menarik napasnya dalam-dalam. Dia pasti mengingatnya. "Aku nggak akan-nggak mau balik ke belakang."
"Hubungan sepupu kamu sama Laras, itu juga di luar kuasa kita. Enggak bisa kamu putus hubungan sama dia, gimanapun kondisinya. Aku nggak mau senang dan tenang sama kamu dengan cara kayak gitu," jelasku, mengambil bawaanku yang lain di tangannya. "Aku percaya sama kamu."
Mirza berdecak, mengusap wajahnya kasar. "Sekarang banget ngomong gini?"
Aku mengangguk perlahan. "Iya. Sekarang. Udah jauh ya jalannya?" tanyaku retorik, memejamkan mata membayangkan seberapa jauh kami berjalan.
"Kamu nggak akan nyesel?" tanya Mirza meyakinkanku. "Nis, aku nggak masalah soal kita yang udah jalan jauh. Tapi-"
"Yakinin aku, kalau aku nggak akan nyesel dengan ini," jawabku sedikit serak. "Kalau kamu mau, kalau kamu bersedia."
"Aku mau yang pasti," jawab Mirza, tak mengindahkan pintu lift yang terbuka. "Ini maksud kamu gimana, sih?"
Ini Mirza yang kukenal, yang mau semuanya jelas. Aku belajar banyak darinya meski belum bisa jadi yang seperti itu. Tapi ini juga Mirza yang tidak kukenal, yang tidak mudah menangkap maksudku. Selama dengannya, aku terlalu terbiasa dengan aku yang bersembunyi di balik segalaku yang kabur.
"Maaf," tutupku, benar-benar meninggalkan Mirza.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro