24 | Lebih disayangkan kalau kami tidak jadi
Mirza tidak mengikutiku. Ya ... itu lebih baik untuk sekarang. Tidak mungkin aku membawanya ke depan mata keluarga besarku sementara sedetik sebelumnya kami ribut besar-keributan terbesar kami sejauh ini. Euh, Laras! Aku biasanya tak sampai hati menyebut orang gila, hilang akal, bagaimanapun kondisinya. Tapi Laras sungguh gila.
Mbak Jani yang juga datang dari luar, terdiam di sebelahku. Sedikit canggung, dia tersenyum menatapku. Beberapa detik hanya saling melihat, Mbak Jani duluan yang mengulurkan tangannya menyalamiku, memelukku. Ah, aku rindu suasana seperti ini. Mbak Jani sudah sibuk dengan keluarganya sendiri, juga, Bude Pia ibunya yang seringkali tiba menyebalkannya dengan segala sindirannya untukku, membuat Mbak Jani juga tidak nyaman denganku. Mengingatkan sang ibunda sudah sebisanya diusahakan. Tapi apa mau dikata kalau apa yang dikatakannya hanya berlaku dalam sehari itu saja, tidak untuk hari kemudian.
"Eh, Neng Ganis...." Bude Pia yang menggendong cucunya, menyapaku. "Sama siapa Neng ke sini? Kapan datangnya?"
Mbak Jani yang sudah melepas pelukannya, beralih mengambil sang anak di gendongan ibundanya.
"Kemarin sama Ayung juga, Bude," jawabku, menyalaminya. "Bude dari tadi di sini?"
"Baru datang juga. Tadi sekalian jemput Uwak-nya di Rumah Sakit," terang Bude Pia. "Masuk, Neng. Udah makan belum?"
Aku juga merindukan ini. Saat tidak ada omongan-omongan yang merusak mood-ku, memanaskan kepala. Bude Pia sesungguhnya luar biasa baik, menyenangkan juga, bawel. Tapi ya begitu, sudah waktunya juga aku direcokinya dengan berbagai macam peringatan. Kali ini, mungkin karena sedang tidak ada Ibuk juga, aku jadi tidak melihat Bude Pia yang meledek Ibuk tanpa sadar karena masih menjadi ibu, belum menjadi Nenek, belum punya menantu, dan lain sebagainya. Aku tidak bisa melihat Ibuk diperlakukan begitu walaupun oleh kakaknya sendiri. Terlebih lagi karena aku. Anak mana yang bisa santai dan cuek melihatnya?
"Neng buru-buru, Bude...." Sedikit bingung, aku menoleh ke ambang pintu yang pasti tidak akan membuatku langsung melihat mobil Mirza yang cukup jauh diparkir.
"Oh, mau langsung pulang ke Jakarta?" tanya Bude selagi mengecek nasi yang ditanak. "Sama Ayung juga?"
"Euh ...." Lagi-lagi aku bingung, mengedarkan pandanganku mencari keberadaan anak itu. "Neng cari Ayung dulu ya, Bude," kataku buru-buru.
Saking gugup dan mendesaknya, aku langsung bisa menemukan keberadaan Gladia yang bergegas mengambil rantang, langsung menghampirinya. "Nanti di rumah panasin aja ya, Mbak, biar enak makannya," pesan Gladia, membuka penutup panci.
"Iya nanti dipanasin," Mataku mengabsen setiap makanan yang disiapkan Gladia. "Yang mana aja pesanan Ibuk?" tanyaku sedikit berbisik.
"Sama ayang-nya ya?" Gladia yang sibuk menuangkan masakannya ke rantang, ikut berbisik. "Kok nggak dibawa masuk?"
Tidak ada waktu untuk menjelaskan dan bercerita. Mirza sedang menunggu di mobil, atau aku yang akan semakin tidak nyaman dengannya dan lupa dengan keributan kami tadi. Tidak. Jangan sampai. "Nanti aja aku cerita. Urgent!"
"Mbak mah, kemarin juga gitu. Nanti ... nanti," keluh Gladia. "Keburu anak aku lahir."
"Kamu hamil lagi?" Pandanganku turun ke perutnya, yang langsung dikekehi perempuan itu.
"Belum sih, Mbak. Doain ya! Kata dokter, aku udah sehat. Mudah-mudahan aja." Gladia menyerahkan rantang yang sudah ditumpuknya. Ah, bagaimana bisa aku luput soal ini, soal Gladia yang masih dalam masa pemulihannya usai keguguran. "Jangan lupa dipanasin supnya, terus, itu kerupuknya kata Bibi mau goreng sendiri aja. Udah aku jemur lagi biar tambah renyah. Nanti-"
Aku refleks memeluk Gladia, membuatnya berhenti bicara. Tangannya terangkat mengusap punggungku, "Doain aku juga ya...." Sungguh, aku butuh sekali untuk bercerita, mengobrol soal hubunganku dengan Mirza, yang hanya bisa kulakukan dengan Gladia.
"Tapi, aman-aman aja kan, Mbak?" Gladia memastikan, melepaskan pelukan kami, menyelidik wajahku.
Tanpa bisa ditahan, aku menggeleng jujur. "Makin maju, makin disiapin, enggak ada yang aman-aman aja, Glad."
Gladia mengangguk setuju, memelas melihatku. "Semoga baik-baik aja ya, Mbak."
Yah, itu juga harapanku. Entahlah.
Tidak memperpanjang obrolan, aku langsung menuju kamar Uwak Nurul. Sedikit mengintip dari balik dinding pintu yang terbuka, Uwak Nurul langsung memanggilku, menyuruhku masuk.
"Neng ngambil pesanan Ibuk aja, enggak akan lama," kataku, menunggu Uwak Nurul keluar kamarnya, lalu menyalaminya.
"Sendirian aja?" tanya Uwak sembari mengantarku ke ambang pintu. "Pulang kapan? Ayung tadi ke luar. Enggak tahu apa yang dikerjainnya."
Lagi dan lagi, aku tidak menjawab pertanyaan semacam itu. "Nanti Neng telepon aja Ayung-nya. Neng langsung pulang ya, Wak," Aku mengenakan sepatuku lagi asal, pamit pada semua orang di sana yang menjawab salamku.
Berbalik, langkahku tertahan saat berpapasan dengan Uwak Yana. Jantungku rasanya mau copot. Aku masih tidak bisa biasa dengannya. Sekadarnya, aku menyalaminya, bicara sebentar dan segera pamit.
"Hati-hati, Neng," kata Uwak Yana setelah menjawab salamku.
Aku menoleh, menganggukinya. Beberapa hal terasa lebih baik untukku sekarang. Mungkin efek suasana hatiku juga. Ah, tidak ada waktu untuk itu. Aku bergegas kembali ke mobil. Kulihat jam yang menunjukkan pukul setengah 5. Kunjungan sesingkat itu saja memakan waktu hampir setengah jam.
Dengan perasaan cemas menuju mobil Mirza, tampak ia yang sedang mengobrol dengan Samudera. Sedikit lebih maju, kulihat Lembayung juga di sana bersama sepedanya. Uh, anak-anak itu! Entah aku harus bersyukur atas keberadaan mereka yang secara tidak langsung banyak membantuku dalam situasi ini, atau tidak nyaman karena kembali harus ditunjukkan kalau Mirza sudah dekat dengan adik-adik sepupuku, yang pasti juga jadi pertimbanganku.
"Eh, Nis, udah?" Mirza kelihatan rileks, tidak ada lagi ketegangan, bahkan sisa senyum masih menghiasi wajahnya.
"Bukannya diajak masuk...." Lembayung menyindirku meski dengan suara pelan.
"Ayung, ah!" Sam mengingatkan, kemudian melirikku, menggeleng kecil. Yah, diam-diam, anak itu yang paling pengertian. "Itu tadi mau Sam antarin, tapi kata Bibi bakalan diambil Mbak aja," jelasnya melihat bawaanku.
"Udah, nih. Makasih ya," kataku, beralih pada Lembayung. "Dicariin Ibun-nya, Yung. Pamit dulu kalau mau ke mana-mana tuh!"
"Cuma ke warung juga," jawabnya, membawa sepedanya melaju.
"Makasih ya, Yung!" seru Mirza yang hanya disahuti Lembayung dengan lambaian tangannya tanpa menoleh.
"Makin nggak sopan itu anak! Sembrono banget!" keluh Samudera, sedikit tak enak melihat Mirza yang tertawa kecil memaklumi tingkah adiknya. "Udah ya, Mas. Beneran nggak akan masuk dulu?" Dari Mirza, pandangannya beralih melihatku dengan alis sedikit naik, mengernyit.
"Nantilah, segera," jawab Mirza yakin tanpa melihatku, membuat senyum adik sepupuku itu terbit.
"Siap, ditunggu ya Mas!" Sam menundukkan kepalanya. "Mbak, ke dalam dulu nih. Hati-hati!" katanya tampak buru-buru.
Bersamaan dengan itu, baik aku dan Mirza juga masuk ke mobil. Suasana yang sempat aku tinggalkan secara sepihak tadi, kembali. Bagaimanapun, kami harus mengakhiri hari ini sesuai rencana. Makan malam di rumah bersama Bapak dan Ibuk.
"Segera gimana maksud kamu?" tanyaku, tidak bisa lama-lama diam dan mempertahankan hawa dingin di antara kami.
"Apanya?" tanya Mirza, jelas sekali bukan karena dia tidak mengerti pertanyaanku.
"Sama Sam tadi," jawabku pelan. "Kalau segera, kenapa nggak ikut turun?"
"Ya Allah, Nis...." Mirza menghela napasnya. "Menurut kamu, setelah kamu kesel tadi, kamu nggak masalah kalau aku ikut turun, ketemu saudara-saudara kamu, gitu?"
Sekali lagi, Mirza dalam mode berdebat benar-benar menyebalkan. Tidak terbantahkan. Bukan karena dia yang menekan dan tidak mau kalah, tapi karena apa yang dikatakannya ada benarnya, membuatku kembali berpikir soal apa yang aku lakukan.
"Jangankan ketemu saudara kamu, sekarang aja, di rumah nanti, aku turun atau enggak? Ketemu Ibuk sama Bapak atau enggak? Aku mesti tanya kamu dulu, Nis," jelas Mirza. "Aku serius soal mau bilang ke Ibuk sama Bapak. Asal kamu tahu. Tinggal di kamunya. Boleh atau enggak."
Refleks aku melihat ke bangku belakang, letak sebuket bunga yang tadi sengaja dibelikannya untukku.
"Soal Laras, aku ngerti kenapa kamu gitu. Wajar. Aku malah bakalan ragu sama kamu kalau kamunya santai dan nggak permasalahin itu," jelas Mirza lagi. "Tapi Laras sepupu aku. Udah, gitu aja. Soal dia yang kayak gitu ke kamu tadi, aku juga nggak bakalan bela dia, enggak membenarkan, enggak mau memaklumi. Aku tahu dia. Di satu titik, emang ada waktunya kita butuh satu sama lain. Sekarang mungkin Laras yang lagi butuh aku."
Aku tidak bisa menimpalinya. Aku masih tetap pada pendirianku, kalau aku percaya pada Mirza, namun tidak pada Laras.
"Kondisinya yang emang lagi gini. Sama kayak aku. Laras juga sendirian, anak tunggal, orangtuanya udah enggak ada, Nis...."
Fakta lain yang baru kutahu. Lalu hanya Mirza yang bisa dimintainya bantuan? Yang bisa jadi tempat ternyamannya untuk bicara sementara Mirza sendiri sedang melanjutkan hidup yang porak poranda sepeninggalannya? Sampai mana lagi aku harus mengerti situasi mereka.
"Nis...."
"Salah ya omongan aku tadi?" tanyaku, masih belum cukup dengan apa yang kudengar. "Soal Laras ke Psikolog," lanjutku semakin pelan. "Aku nggak maksud nyinggung kamu. Tapi Laras baiknya-"
"Aku ngerti maksud kamu bilang gitu," jawab Mirza, menghempaskan punggungnya saat mendapati lampu merah. "Tapi kalau orangnya nggak merasa dia perlu, butuh, enggak merasa ada yang salah dengan dirinya, buat apa?"
"Kalau kamu yang bilang, siapa tahu aja, kan?" pintaku yang langsung dijawab dengan gelengan tegas Mirza. "Iya, aku nggak tahu apa-apa, nggak tahu banyak soal Laras selain yang terkait sama kamu. Tapi aku nggak bisa kalau dia terus kayak gitu."
Mirza menghela napasnya, menegakkan duduknya lagi, melajukan mobilnya lagi. "Kita kan nggak ketemu dia tiap hari juga."
"Tapi kan dia sepupu kamu, bakalan tetap terus berhubungan sama kamu," kataku, tetap dengan pendapatku. "Emang, buat beberapa orang, pengetahuan soal kesehatan mental tuh sesuatu yang mahal, kejauhan, atau mungkin memalukan. Tapi Laras nggak mungkin nggak ngerti dong, Mirza. Dia tahu kamu nggak baik-baik aja sampai konsul tiap pekan, konsumsi obat dan-"
"Laras tahu?" Mirza membelalak sampai menoleh melihatku.
"Masa kamu nggak tahu kalau Laras tahu?" tanyaku keheranan. Apa aku salah bicara?
Mirza yang tidak menjawabnya dan masih tampak berpikir, meyakinkanku kalau dia tidak tahu soal itu. Perlahan, dia memejamkan matanya, berdecak.
"Kamu nggak apa-apa kan?" Takut-takut, aku menilik raut wajahnya yang sedikit pucat. "Mirza...."
Mirza tertawa hambar, tak kuasa menyembunyikan kekecewaannya. Helaan napasnya kali ini lebih keras. "Bibi, ya ... dia pasti ke rumah pas waktunya Bibi di rumah, pas aku keluar kota."
Aku tidak lanjut membahasnya sementara Mirza masih kelihatan penuh dengan pikirannya. Aku bisa merasakan kalau laju mobil tidak lagi santai seperti tadi. Sampai kemudian kami tiba di jalan menuju rumah, Mirza memberhentikan mobilnya, sedikit jauh dari rumah. Dia mengotak-atik ponselnya, mengetikkan sesuatu.
"Mirza," panggilku pelan, sekali lagi menilik wajahnya yang menyiratkan kesal, kecewa dan tidak percaya.
"Bi, saya masih di Bandung. Takut lupa, nanti misalkan ada yang datang ke rumah, siapa aja, pas Bibi lagi ada di rumah, jangan dibiarin masuk ya, Bi," Mirza menatapku selagi mendengarkan Bibi yang diteleponnya. "Iya, Laras juga jangan. Anak-anak kantor. Pokoknya, kalau saya nggak telepon jangan dibiarin masuk." Tangannya memainkan gantungan pada tasku. "Kalau Mbak Ganis biarin aja ya, Bi. Heum, itu aja. Maaf ya, Bi. Keburu lupa ngabarin. Makasih."
Napasnya menderu. Pasti dia ingin berteriak, atau melemparkan apa saja mengeluarkan amarahnya. Namun tidak, Mirza memejamkan matanya, menarik napas pelan dan mengembuskannya perlahan. Bahunya naik turun selagi menunduk.
"Kamu marah ya?" tanyaku bodoh.
Mirza mengangkat kepalanya, menoleh padaku penuh. "Aku nggak marah sama kamu."
Aku tahu itu. "Kamu benar-benar nggak kasih tahu Laras?" tanyaku, memastikannya lagi. "Aku cuma sepintas dengar itu pas lagi ngobrol sama dia. Sebelum kamu cerita, aku udah tahu lebih dulu dari dia. Aku juga nggak tanya lebih lanjut. Ya ... kamu tahu sendiri aku ke Laras kayak gimana."
Mirza menghela napas kasar, mengembuskannya. "Yang aku nggak ngerti, maksud dia apa bilang gitu ke kamu? Apa urusannya?" Mirza tampak kewalahan dengan pikirannya sendiri. "Biar kamu mikir ulang buat sama aku, gitu? Atau buat ngasih tahu gimana aku sama dia dulu sampai aku konseling?"
Dengan yakin aku menggeleng. Masih jelas di ingatanku bagaimana Laras dengan bangganya mengatakan kalau Mirza sakit sepeninggalnya. Mengatakan semuanya pada Mirza hanya akan menambah buruk dirinya. "Kamu nggak usah mikirin itu. Lagian, pergi ke Psikiater, pergi konseling, itu nggak bikin kamu jadi buruk. Kamu paham ada yang salah sama kamu, butuh buat berobat, itu udah cukup. Kamu juga udah jujur sama aku tanpa aku singgung. Bahkan kamu udah sembuh. I'm so proud of you. Kamu nggak usah malu. Seenggaknya sama aku."
Mirza menelan salivanya, tersenyum sekilas. "Thankyou," ucapnya pelan. Wajahnya kini sudah sedikit lebih rileks. "Soal Laras, baiknya aku gimana?"
Seperti tahu kalau sedang dibicarakan, Laras menelepon. Kali ini tidak tahu apa tujuannya, tapi Mirza langsung mematikannya. "Yang baik buat kamu juga, buat aku sama kamu. Dia nggak biasa gini loh, Nis! Dia nggak pernah nelepon aku!" Mirza mengabaikan panggilannya, sekali lagi mematikan teleponnya. "What should I do?"
"Mirza...." Aku juga tidak punya solusi lain.
Sayup suara orang mengaji yang mulai terdengar, mengembalikan kami ke bumi. Mirza melajukan lagi mobilnya sampai depan rumah. Kubiarkan dia sejenak menjernihkan pikirannya. Sesekali ia melihat ponselnya yang mati total, lalu kembali melamun, mengembuskan napasnya kasar.
"Aku bisa bantu apa?" Ketidaknyamanan melingkupiku lagi. Aku butuh Laras tidak mengganggu kami, tapi dengan begitu Mirza juga perlu ambil langkah.
"Bingung aku, Nis." Ke sekian kalinya, Mirza mengembuskan napasnya kasar.
Aku tidak bisa menggampangkan kebingungan Mirza. Laras adalah sepupunya, jadi orang terdekatnya di masa-masa sulitnya sejak remaja. Sekalipun yang Laras lakukan tidak mengenakkannya, Mirza tidak bisa membiarkannya begitu saja.
"Bingung juga buat ikut turun apa enggak?" Asaku terputus, turun lebih dulu. Yah, setidaknya, Mirza mempertimbangkannya.
Beberapa saat terdiam, Mirza pun ikut membuka pintu mobilnya.
Dari luar, tampak Ibuk yang masih dengan setelan kerjanya, menyambut kami. Bapak juga sedang duduk di teras, kelihatan selesai mandi dan sudah berganti pakaian untuk ke masjid. Kiki yang tidak biasanya petang seperti ini di rumah pun, kelihatan sedang tidur di atas motorku. Yah, sore ini cukup hangat. Bahkan langit pun masih cerah, sedikit merah muda.
"Aku ikut Bapak ke Masjid ya," Mirza membuka pintu belakang mobilnya, mengganti sepatunya dengan sandal karet.
Lebih sayang kalau kami tidak jadi. Aku tidak menjawabnya, hanya memperhatikannya sambil menjinjing rantang. Tapi untuk kedepannya....
"Sini," Mirza mengambil alih bawaanku. Dia melangkah ke dalam rumah lebih dulu, setor muka ke Ibuk sebelum akhirnya pergi bersama Bapak.
Seperti tahu aku dan Mirza sedang tidak baik-baik saja, Ibuk menggeleng takzim, beralih membuka rantang dan memanaskan minyak.
Alih-alih membantu Ibuk, sejenak kuhempaskan diri ke sofa. Kiki yang seakan tahu aku ada di rumah, mengintip lewat celah pintu yang sedikit terbuka. Wajah kusutku sepertinya jadi agak lebih rapi. Tanpa ragu aku menyamperinya, mengangkat Kiki ke pangkuanku.
"Enggak mandi, Neng?" Ibuk agaknya tidak tahan dengan aku yang bermalas-malasan di sofa, bermain-main dengan Kiki yang penasaran akan mainan di tasku.
"Nanti, Buk. Pulang Mirza aja," jawabku seraya bangkit membiarkan Kiki dengan dunianya. "Sup-nya mau dipanasin sekarang nggak, Buk?" Kuperhatikan rantang yang semuanya masih terisi, belum disalin.
"Nanti aja ngedadak," Dengan cekatan Ibuk menggoyang-goyangkan kerupuk yang tengah disaring, membuat minyaknya turun sedikit demi sedikit. "Ketemu siapa aja tadi?"
"Tuh kan, Ibuk mah sengaja nyuruh Neng ke sana," protesku seraya mengambil beberapa piring saji.
"Kalau sengaja ngenalin juga mau kapan? Emangnya Neng balik ke sini tiap bulan? Enggak selalu kan saudara-saudara kumpul gitu?" tanya Ibuk beruntun.
Aku mendesah pelan, menggaruk kepalaku risau. "Lagian pada kumpul juga karena Uwak Nurul sakit. Enggak enak, ah!"
Dijawab begitu, Ibuk pun tak membalasnya. Mungkin menurutnya, alasanku ada benarnya. "Terus tadi gimana?" tanya Ibuk belum selesai. "Mirza-nya nggak dibawa turun? Enggak dibawa masuk?"
Ah, memang, jarang sekali Ibuk secerewet ini. Sesuatu yang kadang aku pertanyakan alih-alih syukuri. Tapi saat tiba begini, tidak enak juga. Dan lagi, tidak mungkin aku menceritakan situasiku dengan Mirza tadi. Belum untuk sekarang.
Sepanjang makan malam, aku hanya jadi pendengar. Bicara jika ditanya, itu saja. Sesekali Mirza menyinggungku, tidak membiarkan dirinya sendirian.
"Pulang ke Jakarta kapan, Za?" tanya Ibuk selesainya kami makan.
"Rencananya lusa, sih, Buk," jawab Mirza sambil melihatku. "Tapi nggak tahu Ganis, kalau masih ada perlu di sini."
Diam-diam Bapak memperhatikan kami, sesekali tersenyum. "Udah biasa bawa mobil jauh, Jakarta - Bandung mah dekat ya?"
Mirza tertawa kecil menganggukinya. "Enggak jauh jauh juga, Pak. Paling jauh ke Ciamis. Masih Jawa Barat."
"Oh, sampai ke Ciamis? Ada saudara di sana?" tanya Bapak lagi.
"Iya, Pak. Sepupu saya di sana," jelas Mirza, menoleh padaku sambil memberitahukan siapa sepupu yang dimaksudnya, yang tak lain adalah kakak iparnya Taufan. "Oh iya, Pak, Buk, saya izin bawa Ganis ke keluarga saya sebelum ke Jakarta nanti. Biar sekali jalan, enggak bolak-balik."
Dengan sangsi aku menatapnya, tidak tahu sama sekali rencana itu. Berbanding terbalik denganku, Ibuk dan Bapak menyambut baik izinnya, mempersilakannya, dan beralih membicarakan keluarganya yang sedikit banyak sudah kutahu, membuat pertanyaanku tertahan sampai azan isya berkumandang.
"Mau bawa aku ke mana?" tanyaku sebelum Bapak kembali mengajaknya salat di masjid.
"Ke rumah Mama sama Papa," jawabnya singkat. "Orangtuanya Yaya," lanjutnya, menangkap kebingunganku. "Fathya."
"Kamu tuh masih nanya aku buat ketemu Bapak sama Ibuk, tapi tahu-tahu-"
Mirza tertawa, menambah kekesalanku. "Kamu ngizinin aku turun walaupun belum ngebolehin aku ngomong ke Bapak sama Ibuk, ya udah, mikirin apa lagi?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro