23 | It will be fine, soon
Dalam bayanganmu, akan seperti apa jadinya kalau aku, Mirza dan Laras berhadapan langsung? Bertiga saja, tanpa ada orang lain, juga, bukan karena urusan yang tidak sengaja mempertemukan kami. Laras yang butuh bantuan Mirza, sementara Mirza yang juga membutuhkan aku supaya bisa membantu Laras. Dan aku ... dalam urusan ini, dalam bayanganku, tidak lebih, aku hanya akan menemani Mirza. Titik.
Laras menyambut kami dengan baik di sela pekerjaannya. Selagi mempersilakan kami duduk, dia meminta tolong karyawannya untuk membelikan minuman dan camilan di kafe yang tidak jauh dari butiknya.
"Ngobrol di sini aja enggak apa-apa ya? Udah pada makan kan?"
Aku mengangguk kecil, melihat ke sekeliling butik. Sudah dua kali ke tempat ini, tapi masih saja takjub dengan berbagai macam kain dan hasil desain Laras. Meski ada juga orang yang bertugas menjahit kain, Laras ambil bagian di pekerjaan-pekerjaan krusial. Memasang payet, misalkan. Tidak tahu apa saja yang digunakannya selain benang. Dengan santai, dia tetap duduk di tempatnya, menghadap dress yang dikenakan pada manekin selagi tangannya telaten menjahit di beberapa bagian yang menurutnya lebih baik tidak jahit mesin.
"Sebentar, ya. Nanggung. Sambil nunggu minumannya," kata Laras, menyadari kalau aku dan Mirza seperti tidak punya kerjaan.
"Tempat yang ini emang BEP-nya di tahun ke berapa?" tanya Mirza membuatku terkejut. Kenapa tidak sabaran sekali lelaki di sampingku ini? "Udah lama kan?"
"Kalau store sebelah, sih, iya udah lama. Udah lebih dari tiga tahun. Tapi butik ini baru setahunan lebih," tukas Laras. "Bisnis kayak gini jangan disamain sama jualan produk pabrikan. Beda hitungannya."
"Tapi enggak rugi kan?" tanya Mirza, yang masih dengan hitung-hitungannya.
"Enggak dong, Ja. Buktinya, tetap jalan." Laras berdiri dari duduknya, menepikan pekerjaannya yang kelihatannya sudah selesai. "Nis, maaf ya, sebentar."
Bukan masalah besar. Toh aku juga tidak diabaikan begitu saja. Laras mempersilakanku melihat-lihat, membiarkan aku mengobrol dengan asistennya, ikut masuk ke dalam obrolan kami juga menjawab pertanyaannku soal kain dan tetek bengeknya. Justru malah Mirza yang kelihatan bosan. Dia membuka-buka tabloid fesyen yang tak jauh dari sofa.
"Enggak ngabarin mau ke sini! Udah dengar dari Yaya, ya?" tanya Laras seraya menyuguhkan air mineral. "Yah ... enggak ada jalan lain," jelasnya santai, seakan perceraiannya bukan sesuatu yang besar. Sementara aku, bermodalkan memar pada badannya yang kulihat langsung, tentu hanya menganggap kalau ini bentuk pertahanan dirinya. Ditambah lagi dengan matanya yang gugup melihatku, aku paham bahwa perempuan itu khawatir seandainya aku buka mulut di belakangnya.
Kulihat Mirza yang sama sekali tidak menimpalinya-lebih ke enggan membahasnya-beralih merogoh sakunya sampai kemudian melirikku, menampungkan tangannya, "HP ...?" pintanya.
"Oh, iya...," Aku membuka tasku, mengambil ponsel yang dititipkannya padaku.
Sudut mataku menangkap jelas pergerakan Laras. Perempuan itu menyunggingkan senyum, memalingkan wajahnya seraya minum.
"Gue udah siapin surat perjanjiannya. Lo baca dulu aja. Kalau ada yang enggak lo setujui, biar gue tinjau dulu," jelas Laras sembari sibuk dengan ponselnya.
Mungkin sekarang waktunya sedang buruk. Aku kagum dengan Laras yang masih dengan kepercayaan dirinya. Keanggunannya melekat tak meninggalkannya. Mirza yang bilang kalau butiknya tampak sibuk, semakin menegakkan punggungnya. Yah, bagaimanapun kejatuhan dirinya dalam urusan romansa, sebagai perempuan dan dirinya sendiri, Laras tidak kehilangan diri.
Dalam diam aku hanya memperhatikan mereka. Sedikit banyak aku mengerti. Sampai minuman dan camilan untuk kami datang, aku hampir saja melipir untuk melihat-lihat lebih dalam. Tapi Mirza menarikku lebih dulu, mau tak mau membuatku kembali duduk. Laras yang diam-diam melihatnya, menyunggingkan senyum, kembali pada fokusnya pada kontrak yang ia tulis.
Aku tidak yakin dengan perasaanku melihat mereka yang mengobrol serius seperti ini. Sedikit cemburu karena Laras tampak pintar dan bersinar saat menerangkan bisnisnya selagi membahas surat perjanjian utang yang dibuatnya, pun Mirza yang tampak tidak keberatan menyimak segala penjelasan dari setiap pertanyaannya. Di sisi lain, bayangan ketika Laras dengan gilanya bersombong diri perkara kunci pintu rumah Mirza tak mengizinkanku untuk melihat bagaimana cemerlangnya wanita itu sekarang. Ah, aku benci situasi ini! Sebegininya aku tidak percaya diri sampai harus melihat keburukan orang lain untuk meninggikan diri?
"Kalau lo meninggal, utang dibayarkan lewat aset lo." Mirza mengangkat wajahnya dari surat perjanjian yang dibacanya pada ponsel. "Kalau gue yang meninggal, gimana?"
"Mirza...." Kali ini aku tidak bisa berdiam diri saja.
Mirza tertawa, "Utang tuh bukan cuma persoalan yang pinjam, tapi juga yang meminjamkan," jelasnya. "Nanti gue tambahin dikit buat poin yang ini. Selebihnya udah oke."
Laras mengangguk-angguk, memutar-mutar ponsel di tangannya. "Ganis mau lihat-lihat dulu?" tawarnya.
"Nanti aja, kapan-kapan saya sama ibu saya ke sini," jawabku langsung.
"Ah ... oke," Laras tersenyum. "Udah masuk, ya, Ja, uangnya," katanya sembari melihat pemberitahuan pada ponselnya, beralih melihat Mirza. "Lo di Bandung sampai kapan?"
Mirza melirikku, "Uhm ... kayaknya lusa. Enggak akan lama. Nanti gue titipin Yaya aja suratnya. Atau enggak, gue kirim ke sini aja nanti," tuturnya, bangkit dari duduknya. "Udah beres kan?"
Laras menggigit bibirnya, mengangguk pelan. Kalau tidak ada aku, mungkin Laras akan lebih leluasa. Tapi, kalau tidak denganku, aku juga tidak tahu Mirza akan seperti apa, akan bagaimana pertemuan mereka. Ah, setelah obrolan panjang kami tadi, tidak seharusnya aku terpikirkan lagi hal itu.
"Kamu beneran enggak mau lihat-lihat dulu?" tanya Mirza padaku, memastikan.
Menggeleng pasti, aku mengikuti langkahnya ke luar.
"Di sebelah lagi banyak koleksi baru buat daily. Barangkali mau lihat dulu," Laras yang mengantarkan kami sampai ambang pintu butiknya, kembali menawarkan. Raut wajah muramnya berubah senyum.
"Enggak, makasih. Lagi buru-buru juga," jawabku, melihat jam tangan yang belakangan ini senantiasa kukenakan.
"Emang udah jam berapa," Mirza ikut melihat jam tangannya, persis dengan yang diberikannya padaku, yang juga sedang kupakai. "Ini serius udah mau Ashar?"
Aku yakin Laras menyadari kalau kami memakai jam tangan yang sama. Reaksinya sama dengan saat Mirza meminta ponselnya padaku. Tersenyum kecil, memalingkan wajahnya.
"Ini beneran enggak ada yang lain-lain lagi, kan?" Mirza memastikan, yang langsung diangguki Laras. "Ya udah, gue balik. Soal lo sama Juna, I don't know what happened, but ... I know you. It will be fine, soon."
Pesan Mirza ikut menenangkanku. Kulihat Laras yang tersenyum lebih leluasa, mengangguk yakin, seakan memberitahukan kalau semua akan baik-baik saja. Dan sialnya itu tidak menyenangkanku, jangankan tenang. "Jangan mau tahu, enggak perlu tahu," candanya ringan, yang memberatkan untukku. Jangan sampai Mirza tahu. Aku teringat lagi kata-kata Laras waktu itu.
"Makasih, ya, Ja...." Laras beralih melihatku, dengan sorot yang lebih tenang. "Ganis juga. Ditunggu di sini sama ibunya."
Aku menganggukinya sekilas, kemudian benar-benar kembali menuju mobil bersama Mirza, melanjutkan perjalanan kami. Ke makam, lalu mengambil pesanan Ibuk di rumah Uwak Nurul. Selesai.
"Enggak ada yang ketinggalan kan?" tanya Mirza seraya memasang sabuk pengaman.
Mengingat-ingat, aku menggeleng. "Enggak ngeluarin apa-apa juga tadi dari tas," ucapku, ikut memasang sabuk pengaman.
"Kayaknya dia nggak pakai jasa pengacara, deh," ucap Mirza sembari mengeluarkan mobil dari parkiran yang cukup penuh. Ya, kami datang di waktu sibuk meski bukan akhir pekan. Ada ibu-ibu bersetelan guru yang sepertinya langsung melipir berbelanja begitu kelasnya selesai, ada juga seorang ibu yang membawa serta anaknya yang masih memakai baju sekolah. Dan yang lain, seorang perempuan yang membawa banyak kantong berlabel butik Laras.
"Apa mungkin emang nggak perlu pengacara?" Mirza bertanya-tanya sendiri.
"Kenapa nggak kamu tanyain aja tadi?" kekehku. "Takut ya?" Aku sedikit meledeknya, yang tanpa diduga, dibenarkan Mirza.
"Sedikit. Bukan soal gimana aku ke dia, tapi sebaliknya," Mirza menatap penuh lampu lalu lintas di depannya yang dengan cepat berganti ke warna merah. "Kalau kasihan, ya ... jelas."
Sedikit terlintas di benakku, kalau benar aku percaya Mirza, tapi tidak pada Laras. Bukan hal biasa melewati masa terpuruk seperti itu. Sekuat apa pun perempuan itu, bagaimanapun sibuknya. Bagaimana kalau nanti dia akan dengan mudah menghubungi Mirza, dan Mirza juga bermurah hati membuka diri, menawarkan bantuannya begitu saja? Mengingat bagaimana Laras yang selama ini kulihat berbagai macam sisinya, aku tidak asal menilainya buruk.
"Aku juga nggak yakin kalau dia kepepet banget. Uang segitu nggak gede buat dia, buat Juna juga." Mirza masih dengan ceritanya, tampak berpikir. "Enggak tahu deh!"
"Dia nggak bisa langsung bilang kalau dia udahan, tapi mau kamu tahu kalau dia udahan?" simpulku dengan tawa hambar. "Enggak tahu kenapa, tapi mungkin aja."
"Ya, I know her." Mirza lagi-lagi tidak membantah. "Bisa jadi."
"You know her, terus kenapa dia ninggalin kamu?" Kali ini aku yang tidak sabaran. Lebih gemas karena Mirza sesantai itu menanggapinya. "Oke, aku tahu dan ngerti banget itu. Enggak perlu kamu jawab. Aku percaya sama kamu, tapi enggak dengan Laras. Dengan gini aja, kamu ngerti kan dia kenapa? Sok-sok'an pinjem uang yang sebenarnya dia punya. Kalaupun enggak, mungkin dia bisa ngusahain ke yang lain."
"Nis ...." Mirza pelan sekali mengingatkan.
"Pikiran buruk aku nih ya, dia mau kamu nanya, kenapa? Kok bisa?" Aku membiarkan semua yang kupikirkan, terucapkan. "Jangan mau tahu. Halah!"
"Itu makanya aku bawa kamu, Nis," Mirza menghela napasnya. "Sekali lagi, gimana pun, aku sama Laras tuh ya sepupu. Aku ngomong kayak gitu ya ... sewajarnya juga."
Ya, itu wajar. Aku mengerti. Tapi, aku yang begini, menaruh curiga dan ketidakpercayaan pada Laras, itu juga wajar. Dengan Laras yang bilang padaku agar tidak memberitahu Mirza atas apa yang sudah aku tahu. Pun pada Mirza, dia bilang agar Mirza tidak perlu tahu. Lalu apa dengan yang dilakukannya sekarang? Sementara Mirza sendiri juga beranggapan kalau sangat mungkin kalau Laras tidak dalam keadaan butuh yang keterlaluan.
"Enggak pantas aku ngomong gini. Tapi, kalau kamu tahu dan ngerti dia gimana, aku nggak paham sebelah mananya yang bikin kamu sebegitunya dulu sama dia."
"Rengganis...."
"Ya maaf, Mirza. Tapi-"
"Aku tahu yang kamu nggak tahu," Mirza lanjut mengemudi, tidak lagi memperpanjang perdebatan kami.
Selama perjalanan menuju makam Kak Ajun, tak ada dari kami yang bicara. Sampai Mirza menepikan mobilnya ke masjid, lelaki itu tampak kelelahan. Ya, ini keributan kami lainnya. Baik aku dan Mirza sama-sama memutuskan untuk salat Ashar dulu sebelum melanjutkan perjalanan. Selesainya, berbeda denganku yang sudah sedikit lebih segar, Mirza kelihatan kalut. Aku sampai menawarkan diri untuk menyupirinya. Tapi Mirza tetaplah Mirza, yang akan menolaknya seperti biasa.
"Kamu lagi capek," kataku sedikit sebal. "Aku aja, Mirza!"
"Astaghfirullah, Nis...."
Baru kali ini aku tidak nyaman berada di dalam mobil bersama Mirza. Perjalanan menuju makam terasa sangat panjang. Belum lagi lalu lintas yang semakin padat.
Seperti sudah biasa ke tempat yang kami tuju, sudah tahu areanya, Mirza hanya sekali bertanya; di komplek mana kuburan Kak Ajun. Saat sampai, Mirza lebih dulu mengajakku membeli bunga dan air. Tak ketinggalan, seperti biasa aku meminjam sapu dan pengki pada penjaga makam yang kebetulan sedang duduk di pos.
"Oh, Teh, aya Eneng anu hijina deui," kata sang penjaga.
"Ayung?" tanya Mirza yang menguatkan perkiraanku.
Kembali ke tujuan, aku melewati lagi tempat parkir yang lengang. Kini mataku menangkap motor besar yang familier. Padahal tadi aku tidak melihatnya, atau mungkin tidak memedulikan apa saja yang ada di sekitar. Tepat beberapa langkah sampai di kuburan bernisankan Arjuna, kulihat Lembayung yang tertunduk sibuk. Entah apa yang dikerjakannya. Tangannya terbalut sarung karet, juga sepatu tinggi semata kaki yang melindungi ujung celananya.
"Assalamu'alaikum...." Aku menoleh pada Mirza yang mengucapkan salam. "Sendirian, Yung?" tanyanya.
"Eh, Kak. Wa'alaikumussalam," jawabnya, hanya mengacungkan tangannya yang kotor. Sekilas ia melirikku, kemudian melihat Mirza lagi. "Iya sendirian."
"Lagi ngerjain apa?" tanya Mirza penuh minat. Matanya mengabsen tiap bawaan Lembayung yang beberapa pasti dipinjamnya dari penjaga kuburan. Lima pot kecil tampak berjejer, sebagian sudah kosong dan sebagian lagi masih terisi.
Tanpa banyak bicara, Mirza ikut mengerjakan apa yang Lembayung tekuni. Yah, dunia mereka yang tidak aku mengerti. Aku hanya tahu menyiram tanaman, memetik bunga dan buah, merangkai bunga kalau perlu-itu pun untuk keperluan sendiri. Dari luar pagar, aku hanya memperhatikan pekerjaan mereka yang tidak memakan waktu lama karena saat kami datang tadi Lembayung sudah hampir menyelesaikannya.
"Ah, beres!" Lembayung membuka sarung tangannya. "Kak Mirza dulunya anak perkebunan juga?"
"Kayaknya udah cerita deh," selorohku yang langsung mendapat delikan dua orang sekaligus.
"Hobi aja, Yung," jawab Mirza. "Oh iya, kita nanti mau ke sana kok. Mau bareng?"
Lembayung menolaknya cepat. "Enggak. Ayung bawa motor, Kak. Duluan ya!"
"Hati-hati!" seruku saat Lembayung melewatiku begitu saja.
Sejenak Lembayung menoleh, menutup sisi wajahnya dengan kedua tangannya, menghalanginya dari pandangan Mirza. "Lagi marahan ya? Hahaha...." Anak itu menjulurkan lidahnya, kemudian berlalu.
Sepanjang Lembayung masih bisa dijangkau pandanganku, aku memperhatikannya. Anak itu dengan lihai mengeluarkan motor dari parkiran. Semua yang dipakainya 75% milik Kak Ajun, termasuk helmnya juga. Aku juga tidak mengerti kenapa Lembayung bisa tampak tinggi seperti itu. Kakinya jenjang, berbalut sepatu docmart yang kuyakin sedikit kebesaran.
"Nah, gitu kan bagus! Seneng lihatnya, nggak tegang tegang banget!" ledek Mirza, membersihkan beberapa bagian kuburan yang kembali kotor karena tanah yang tertiup angin.
"Belum tahu aja, sekarang doang dia kayak gitu. Nyampe rumahnya nanti, bisa kayak orang nggak kenal."
Mirza tertawa kecil mendengar dramaku dengan Lembayung. Alih-alih sebal, aku senang senyum itu kembali. Mirza yang mudah tersenyum, terkekeh. Mirza dalam mode berdebat cukup menyebalkan, tidak terbantahkan.
"Heh, berdoa! Malah lihatin aku," kata Mirza dengan mata sedikit terpejam.
Tak mengelaknya, aku ikut berdoa, menunduk. Untuk pertama kalinya aku mengunjungi Kak Ajun bersama seorang laki-laki. Seseorang yang kalau boleh, mudah-mudahan menjadi orang yang hidup bersamaku kelak. Tidak lupa kusiramkan air dan menaburkan helaian bunga yang dibungkus dalam daun pisang.
Selesainya, kami kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan ke rumah Uwak Nurul untuk mengambilkan pesanan Ibuk pada Gladia. Tak disangka, beberapa kendaraan memenuhi kawasan rumah tersebut yang semuanya familier. Bahkan kulihat Mbak Jani yang sibuk memperhatikan anaknya bermain sepeda.
"Ibuk nih...." Mendadak aku sebal dengan Ibuk yang menyuruhku mengambil pesanannya di sini. Kenapa bisa aku sampai melewatkan kemungkinan seperti ini? Uwak Nurul pulang dari rumah sakit. Sangat mungkin kalau akan ada banyak orang di rumahnya.
"Enggak apa-apa," kata Mirza. "Yuk!"
Salahnya, aku melihat nama Laras terpampang di layar ponsel Mirza yang diletakkannya pada dasbor. Suasana yang sudah kembali seperti semula tadi, mendadak muram lagi, dan semakin muram. Setidaknya untukku.
"Laras tuh," kataku, beralih sibuk membuka sabuk yang juga mendadak sulit kubuka.
"Angkat," ucap Mirza tanpa ragu. "Kamu yang angkat."
"Mirza...."
Tak menghiraukannya, Mirza menggeser gambar telepon berwarna hijau, kemudian menempelkannya ke telingaku tanpa bisa kuhindari.
"Ja...." Aku mendengar suara isak di sana. "Are you happy with her? Is she calm you down?"
Aku melirik Mirza yang menyerahkan sepenuhnya ponselnya, beralih membantuku membuka sabuk.
"Kamu beneran nggak mau tahu aku kenapa?"
"Kenapa?" Aku menjawabnya, membuat Mirza bertanya kenapa tanpa suara. Dadaku terasa sesak, tidak lagi sanggup sekadar mendengarkan. "Kenapa? Kenapa kalau Mirza senang? Kenapa kalau Mirza tenang? Is it really matter?"
Mirza mendesah pelan, seakan tahu apa yang kami bicarakan. "Saya tahu kamu nggak bodoh buat tahu kalau Mirza masih sama saya. Kabar baiknya, saya juga yang jawab telepon kamu. Udah puas?"
Laras tertawa kegilaan di seberang sana. "Mirza juga yang nyuruh kamu jawab telepon saya?"
Bukankah Laras yang lebih darurat untuk berobat ketimbang Mirza?
"Yah, padahal saya ngiranya kamu kasih tahu luka-luka saya. Tapi untung aja enggak."
Aku mengingat-ingat apa saja yang sudah kulihat, kemudian merasa bodoh seketika. Surat cerai, luka lebam, juga hubungannya dengan Juna sang suami.
"Saya udah khatam sama perempuan kayak kamu. Menurut kamu, saya bakalan percaya gitu aja?"
"Masa ...?" Laras sesantai itu meledekku. Dia benar-benar gila, lebih gila dari perempuan-perempuan yang pernah merisakku.
"Ibu saya psikolog. Kalau kamu mau-"
Ucapanku terpotong karena Mirza merebut ponselnya, tidak lagi membiarkan aku berbicara dengan Laras. Mirza tidak hanya mematikan panggilannya, tapi sekaligus teleponnya.
"Nis, aku nggak suka kamu ngomong gitu ke Laras."
"Kamu tersinggung?" Sungguh, aku tidak bisa menahan diri. "Oke, aku salah."
"Bukan gitu maksud aku, Nis...."
"Mirza, aku beneran percaya sama kamu. Tapi aku nggak percaya sama dia," tutupku, keluar lebih dulu meninggalkan Mirza.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro