Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21 | Gratitude Journal

Ah, begini rasanya di rumah tapi tetap menghasilkan uang. Memang, tidak begitu lama dari proyek terakhir yang aku tuntaskan. Lelah dan letihku masih terasa, tumpukan nama trainee dan biodata yang diberikan perusahaan klien masih ada dalam bayanganku, nama-nama khas anak yang lahir di akhir 90an alias Gen Z. Masih mudah dieja dan tidak asing. Tapi, menerima gaji saat santai di rumah begini rasanya lain. Kalau saja aku tinggal di daerah tempat tinggal orang-orang menyebalkan, aku akan dikira pesugihan atau memelihara tuyul.

Kadang, aku masih takjub dengan nominal gajiku. Yah, mungkin karena gaji yang kuterima tidak sebulan sekali. Bisa lebih, bisa juga kurang dari standar gaji di pekerjaanku sebelumnya. Di perusahaan ini, setiap proyek training selesai, maka tidak akan lama juga jumlah tabunganku bertambah. Di mana, proyek itu tidak selalu ada di setiap bulan. Sejauh ini jeda yang paling lama 3 sampai 4 bulan, saat-saat peak season, di mana perusahaan kebanyakan fokus pada laporan tahunan ketimbang pelatihan karyawan. Beruntungnya Pak Wisnu masih dengan profesi tetapnya sebagai dosen. Aku kecipratan pekerjaan yang tidak bisa diselesaikannya sendiri. Terlebih, aku jadi ikut belajar juga meski hanya lewat bahan presentasi yang aku buat.

Seakan tahu kalau aku sedang membaca mutasi rekeningku, Pak Wisnu menelepon.

"Gimana, Nis? Buat pelatihan DEI*, siap nggak?"
(Diversity, Equity and Inclusion. Pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang keberagaman, kesetaraan, dan inklusi di dalam lingkungan kerja.)

Aku segera membuka surel pekerjaanku. "Sebentar, Pak. DEI? Perusahaan gede dong, Pak?" Aku ingat betul pernah mempelajari ini saat kuliah magister di mana dosennya sendiri kenal dengan Pak Wisnu, yang juga membuat aku kembali terhubung dengan dosen pembimbingku saat kuliah S1 dulu itu.

"Kita enggak sendiri. Perusahaannya udah punya tim buat pelatihan SDM-nya. Tapi buat DEI, mereka baru coba tahun ini karena ada merek luar yang mau mereka kelola juga di Indonesia," jelas Pak Wisnu selagi aku membaca dokumen yang terlampir pada surel yang ternyata dikirim subuh tadi. "Gimana kira-kira?"

"Saya pelajari dulu, Pak." Aku mendadak pusing membaca rencana tahunan perusahaan yang akan bekerjasama dengan perusahaanku. Sudah lama. Sudah sangat lama aku tidak membaca laporan tahunan.

"Nanti kamu balik sini kita diskusikan langsung ya? Saya harap ini jadi. Peluangnya besar untuk kamu."

"Saya?" Aku menghela napas sejenak. "Kenapa, Pak? Enggak ada masalah kan?"

"Kamu harus berkembang juga, Rengganis...."

Sudah kuduga akan tiba saatnya kejadian begini. Perusahaan Pak Wisnu memang tidak besar. Tidak sampai 10 karyawan. Bahkan yang tetap hanya ada 5 termasuk aku dan Pak Wisnu sebagai penanggung jawab.

"Perusahaan besar, Nis. Kamu sudah berpengalaman juga, masih muda. Jalan kamu masih panjang buat berkarier. Fokus ilmu kita ini berkembang terus, enggak mungkin kalau kita diam di tempat."

Aku sangat mengerti maksud Pak Wisnu. Tapi ini terlalu tiba-tiba, entah aku yang belum siap sampai tidak terpikirkan ke sana.

Dulu Pak Wisnu sempat menawarkanku untuk menggantikannya jadi dosen di sebuah kampus swasta. Sayangnya, aku tidak sepercaya diri itu menjadi pendidik. Jiwaku tidak di sana. Jadi asisten dadakan Pak Wisnu saja aku langsung tahu kalau minat dan bakatku tidak di sana. Aku senang mempelajari terus soal manusia dalam dunia kerja lewat perkembangan ilmu pengetahuan. Tapi mempraktikkannya langsung lebih aku minati ketimbang menyampaikannya ulang pada orang lain. Mengajar ... yah, mengusahakannya pun bukan sesuatu yang mudah. Aku nyaman sebagai pekerja kantoran walaupun pada pekerjaanku sekarang bukan sebuah pekerjaan yang pasti ada. Klien berganti, sistem yang berbeda, juga target yang tidak selalu sama.

"Saya masih perlu bantuan kamu, tapi saya juga nggak bisa menjanjikan jenjang karier," terang Pak Wisnu. "Biar kamu pikirkan dulu. Nanti kita bicarakan lagi."

Panggilan berakhir. Sungguh, aku tidak pernah membayangkan kalau di usia sekarang aku masih harus berjuang dengan pekerjaanku. Maksudku, aku tidak pernah berpikir untuk pindah, beralih. Aku sudah cukup nyaman bekerja seperti ini. Tidak ada lagi yang aku kejar, tidak ada juga yang aku impikan.

Bangkit dari rebahan pagiku, tampak di cermin kalau wajahku sedikit sembap. Semalam, aku membaca kembali buku catatan hitam yang untuk pertama kalinya ingin sekali kubakar. Ini bukan lagi karena kesal pada diri sendiri yang selalu ingin bercerita pada Kak Ajun akan ini dan itu. Hanya ... aku ingin melenyapkannya saja. Sudah waktunya. Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja sekalipun menyimpannya jauh dari jangkauanku. Selagi buku itu ada, maka akan selalu ada waktu untukku sekadar membacanya.

Keluar dari kamar, Ibuk langsung menangkap wajah sembapku yang dilengkapi kusut. Dari bawah, Ibuk yang sedang membersihkan kulkas bertanya, "Mirza nanti ke sini jam berapa Neng?"

"Hah? Mirza?" Aku sedikit cengo. Kalau saja Kiki tidak melangkahi kakiku dengan sembrono, mungkin saja aku masih diam di tempat.

"Kan! Makanya jangan tidur pagi," ledek Ibuk, masih kedengaran saat aku mengambil ponsel ke kamar.

Siang ini rencananya kami memang mau keluar. Mirza mengajakku ke tempat Laras. Masih soal perempuan itu yang katanya ingin meminjam uang. Sebenarnya Mirza sudah lupa soal itu, pun aku yang tidak pernah lagi mengingatkannya. Tapi, entah dapat kabar apa dari keluarganya, semalam Mirza memintaku menemaninya bertemu Laras. Lagi pula belum ada rencana juga untuk Mirza ke rumah. Ibuk terlalu bersemangat.

Ibuk yang sibuk mengecek bahan-bahan masakan, mendongakkan kepalanya melihatku menuruni tangga. "Ibuk nggak ke pasar. Di tukang sayur juga nggak banyak pilihan. Nanti ambil masakan di tempat Kakang ya, Neng. Sekalian beli kue juga, apa aja. Ibuk belum beli-beli lagi. Kasihan Mirza ke sini nggak disuguhin apa-apa."

"Uhm ... kalau nanti malam aja gimana, Buk? Neng sama Mirza mau keluar dulu, ada perlu," jelasku. "Pas ada Bapak juga kan?"

"Emang buat malam, Neng," Ibuk mengelap tangannya, kemudian menggendong Kiki, membawanya duduk di dekatku. "Ibuk juga ada kerjaan dulu. Udah ada janji. Makanya Ibuk tanya, ke sini jam berapa nanti Mirza-nya? Biar Ibuk cepat juga pulangnya."

Seandainya pekerjaanku seperti Ibuk begini. Jangka panjang, tidak selalu di kantor, lepas waktu. Kadang di sekolah, kadang juga bertemu orang-orang yang perlu konseling, membuat janji, jadi pembicara seminar.

"Kenapa lagi atuh...." Ibuk memperhatikan keterdiamanku.

Ada saatnya aku tidak mau membicarakan pekerjaanku. Dan ini waktunya. Kepercayaan diriku sirna. Tawaran dari Pak Wisnu adalah peluang besar untuk peningkatan karierku. Aku ingin masa tuaku seperti Ibuk juga yang tetap punya banyak kegiatan. Tapi jika di perusahaan sebesar itu, bukankah ada poin-poin kontrak yang perlu aku petimbangkan? Meski belum pasti, belum ada kejelasan, bukankah kontrak untuk tidak menikah dulu biasanya ada untuk pegawai baru?

"Buk, sebelum nikah sama Bapak dulu, kerjaan Ibuk gimana?" tanyaku, tanpa takut dengan kemungkinan kalau Ibuk akan menggaliku.

"Ehm ... enggak gimana-gimana," jawab Ibuk menggantung. "Dulu waktu awal nikah, Ibuk di rumah aja. Kadang main ke rumah Eyang, ke tempat Uwak Yana. Ibuk sama sekali nggak kerja. Sambil istirahat juga, Neng."

"Istirahat? Kenapa?" tanyaku salah fokus.

"Kandungan Ibuk lemah. Dokter nganjurinnya gitu. Di rumah aja."

Ah, hampir saja aku lupa kalau Ibuk pernah keguguran. Cerita lama yang tidak pernah dibahas lagi oleh siapa pun. Aku yang seharusnya jadi anak kedua, berjarak cukup jauh dari kehamilan pertama Ibuk. Mengingat itu, pantas saja Ibuk luar biasa protektif, melakukan banyak hal demi aku anaknya seorang. Mengaitkannya dengan cerita Uwak Nurul kemarin, aku mengerti maksud semua yang sudah Ibuk lakukan sampai sejauh ini.

"Makasih, ya, Buk," ucapku cepat seraya berdiri.

"Eh, kenapa ujug-ujug gitu?" tanya Ibuk keheranan, membiarkan Kiki menikmati makanannya. "Kenapa, Neng?"

Terima kasih untuk semuanya. Tentu saja aku tidak menyuarakannya. Yang ada, aku akan menangis dibuatnya. Membicarakan apa yang Uwak Nurul ceritakan kemarin dengan Ibuk tentu berbeda rasanya. "Makasih weh," aku cengengesan. "Kemarin Ibuk nggak ngobrol apa-apa sama Mirza?"

"Enggak. Ibuk cuma nyuruh ke rumah aja. Kemarin kan nggak ketemu Bapak."

Raut kusutku tadi menerbitkan senyum. Antara gemas melihat Kiki Gembul yang fokus dengan makanannya, juga karena jawaban Ibuk. "Ibuk, ih! Kayak yang serius pisan jadinya...."

Ibuk tertawa kecil. "Emangnya Neng sama Mirza nggak serius?"

"Ya serius atuh, Buk. Tapi kesannya jadi gimana Ibuk kayak gitu."

"Neng, kalau udah serius, udah ada niat baik, cepetan kerjain. Jangan dilama-lama. Ke sana dulu, ke sini dulu. Ini dulu, itu dulu. Nanti kalau keduluan setan, gimana?"

Benar, di depan nanti tidak tahu lagi dalam bentuk apa 'setan' akan datang. Berbagai prasangka, keraguan, kebimbangan, ketidakyakinan, semuanya sudah aku alami selama hubunganku dengan Mirza berjalan.

"Kalau Neng bawa Mirza ke makam Kak Ajun nggak apa-apa kan ya, Buk?" Aku ingat ucapanku dulu pada Mirza tepat di kencan pertama kami. Gila sekali setelah dipikir-pikir. Kencan pertama dan langsung membuka rahasia sebesar itu. Heuh ... aku yang terlalu serius dengan masa laluku atau Mirza yang tidak main-main dengan rencana masa depannya.

Ibuk melihatku penuh, sampai beberapa detik kemudian menarik napasnya dalam-dalam. Sepertinya bukan pertanda baik.

"Mirza juga gitu, Buk," sejenak, aku mempertimbangkan sebanyak apa yang sebaiknya aku bagi dengan Ibuk. "Mirza sendirian juga, enggak punya siapa-siapa. Dari SMP udah ditinggal orangtuanya. Sampai akhirnya dia ditinggalin perempuan itu, yang bukan karena takdir, Mirza sakit."

Masih dengan perhatiannya yang penuh kepadaku, Ibuk tak berkata apa-apa. Jauh berbeda dengan Ibuk yang mudah sekali menebakku, aku tidak demikian. Apa yang Ibuk pikirkan sekarang? Apa Ibuk kasihan pada Mirza? Atau mungkin ... Ibuk kasihan pada anak satu-satunya ini.

Lama kami berdua sama-sama diam, aku beralih ke dapur membuat sarapan telatku. Tidak lupa kutawarkan juga Ibuk yang bersiap untuk mandi. Membakar roti yang ditemani dengan lamunan, sesekali kulihat ponselku yang menampilkan ruang pesanku dengan Mirza. Ragu ingin kuberitahukan kalau aku menceritakan tentangnya pada Ibuk. Sudut hatiku tercubit tatkala ingat; kalau di saat seperti ini aku bercerita pada Ibuk, lalu, Mirza berkeluh kesah pada siapa?

"Neng, kasihin ini ke Mirza nanti," kata Ibuk setelah siap dengan setelan kerjanya.

Sebuah buku yang tidak terlalu tebal tapi tidak juga tipis. Sampulnya putih polos dengan bayangan tulisan gambar apa saja di sini. Kertas di dalamnya juga putih bersih, tanpa tulisan maupun gambar. "Ini apa, Buk? Sekosong ini?"

"Gratitude Journal," Ibuk mengambil roti bakar yang sudah kupotong-potong ukuran sekali suap. "Biar nggak kepikiran terus kalau dia sendirian. Itu yang bikin sakit."

"Tapi Mirza udah sembuh, Buk...."

"Ibuk tahu, Neng. Kita kan nggak tahu kedepannya," jawab Ibuk enteng.

"Ibuk ngedoain Neng nggak jadi sama Mirza?" tanyaku sangsi. Tapi ... tentu saja tidak mungkin maksud Ibuk begitu!

"Ya Allah ... enggak gitu atuh, Neng! Ini mah jaga-jaga aja. Ibuk biasanya kasih ini ke anak-anak yang suka konseling di sekolah. Orang dewasa juga beberapa Ibuk kasih ini. Buat orang-orang yang ngerasa nggak punya siapa-siapa, nggak punya apa-apa, nggak tahu mau ke mana."

Kalau bisa untuk orang yang tidak tahu harus ke mana, harusnya aku juga memerlukan ini.

"Neng ... Ibuk nggak maksud sok tahu soal kondisi Mirza gimana." Ibuk memberikan pemahaman. Pelan, lembut sekali. "Enggak Neng kasihin juga nggak apa-apa."

"Terus, kalau gitu, kenapa Ibuk mau ngasih ini buat Mirza?" Aku ingin tahu alasan sebenarnya Ibuk sampai pada keputusan tersebut.

"Neng, orang yang pernah sakit, walaupun udah sembuh, bekas lukanya enggak akan hilang sepenuhnya. Minimal, dia bakalan ingat kalau udah pernah jatuh. Kalau lagi kayak gitu, bukannya bagus buat terus ingat apa aja yang bikin dia tetap jalan?"

Mirza
Nis
Dari tadi aku lihat kamu mengetik tapi pesannya enggak ada ada
Hahaha

Pesan beruntut dari Mirza mengalihkan pandanganku dari Ibuk. "Apa yang dia temuin di jalan, ke mana dia jalan, kenapa dia jalan."

"Hah? Gimana, Neng?" Ibuk mendengar bisikku.

Mirza
Jadi kan ke tempatnya Laras?
Serius enggak apa-apa?

Benar, Mirza bukan ditinggalkan karena takdir.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro