20 | Tentang Masa Kecil yang Terlewatkan
Pernahkah kamu membayangkan kalau perasaan hangat dan tenang saat bertemu seseorang, berganti dengan perasaan takut? Bukan, bukan takut yang menyeramkan. Bukan pula takut yang sampai membuat bulu kudukmu meremang, juga bulu-bulu halus pada tanganmu seketika berdiri. Dan bukan juga takut yang membuat keningmu mengeluarkan keringat dingin, membekukan tubuh atau disertai demam yang mendadak.
Aku memandangi Uwak Nurul yang membaca kalam Allah dengan posisi ranjang sedikit dimiringkan. Sudah lama aku tidak mendengarnya. Biasanya, ini akan jadi pengantarnya sebelum memberikan ceramah. Yah, sebenarnya Uwak Nurul kurang suka disebut sebagai penceramah maupun ustazah. Baginya, mengaji bersama ibu-ibu komplek atau ke manapun Uwak Nurul menjadi pemateri, adalah belajar juga untuknya. Di Pamflet kajian-kajian, kalau diperlukan, Uwak Nurul memilih menyertakan gelarnya sebagai Sarjana Pendidikan Agama saja, menolak halus disebut ustazah meski itu artinya guru yang juga sama saja.
Saat sampai tadi, Ibuk menyuruhku masuk menggantikannya, sementara Ibuk pamit untuk salat Zuhur. Uwak Yana yang katanya menjaga Uwak Nurul semalaman kemarin sedang pulang untuk sekadar istirahat dan berganti pakaian, lalu kembali lagi menjelang malam nanti bergantian dengan Ibuk yang pulang. Aku tahu ini sesuatu yang biasa untuk Uwak Nurul, bolak-balik Rumah Sakit karena ini dan itu. Tapi ini terlalu lengang. Atau hanya aku yang kesulitan untuk berhadapan dengan Uwak Nurul berdua saja seperti ini setelah ketidaknyamananku di pertemuan terakhir kami.
"Udah salat, Neng?" tanya Uwak Nurul sembari menutup Quran-nya, meletakannya kembali di nakas.
"Udah, Wak. Tadi salat di sini juga begitu nyampe," jelasku. "Ayung ...." Aku menoleh ke arah pintu, berharap sekali kalau anak itu kembali masuk meski sepertinya tidak mungkin.
"Biarin aja, Neng," Uwak Nurul jelas tahu maksudku.
Sepertinya benar kata orang-orang, selagi manusia hidup, masalah itu akan selalu ada. Tergantung bagaimana kita menghadapinya. Bagaimanapun aku mengerti itu, paham kalau manusia hidup berdampingan dengan masalah, bukan berarti aku bisa menganggapnya biasa. Dari satu masalah ke masalah lain. Dari khawatir dengan kemunculan Mirza di depan saudaraku yang lain, berganti dengan Lembayung yang sisi lainnya baru kali ini kulihat. Anak perempuan satu-satunya Uwak Nurul itu memilih duduk di luar bersama Gladia dan Sam setelah melihat ibundanya ini barang sebentar. Sedikit senang karena Mirza juga bersama mereka, mengobrol yang entah apa. Tapi Lembayung sepertinya memang sangat menghindari situasi ini.
Saat datang tadi aku langsung membiarkan Mirza mengobrol dengan Sam yang menyapa duluan. Gladia yang tersenyum-senyum meminta ceritaku, dengan senang hati mempersilakanku mengikuti Lembayung yang sudah lebih dulu masuk ke ruangan sang ibunda. Tak lama berselang, Ibuk keluar, menyapa Mirza sebentar kemudian menyuruhku untuk menggantikannya sebentar karena Lembayung ikut pamit untuk membeli minum yang kuyakin hanya alasannya saja.
Tidak tahu bagaimana jika aku di posisi Lembayung nanti. Tapi aku mengerti kenapa anak itu bisa sedingin dan sekeras ini. Yah, seperti batu yang membiarkan dirinya dikenai tetes demi tetes air, kemudian kering dimakan musim dan massa. Bukankah batu yang sedemikian kering itu juga akan bisa rapuh? Saat langkah demi langkah melewatinya, juga pijakan yang bertumpu padanya. Ah ... berat sekali. Sudah seharusnya aku mengalah saja dengan sikapnya.
"Neng, Mirza itu siapa?" tanya Uwak Nurul tiba-tiba. Pastilah Lembayung yang bilang kalau dia berangkat kemari denganku dan seorang lelaki yang entah dijelaskannya bagaimana.
"Oh, itu ..." Seharusnya aku tidak perlu ragu juga mengatakannya. "Lagi dekat, Wak. Insya Allah calon suami," ucapku sedikit tertahan mengingat omonganku pagi tadi pada Mirza.
Uwak Nurul tersenyum kecil, mengangguk-ngangguk. Wanita yang usianya semakin menunjukkan diri dalam setiap perubahan tubuhnya itu membenarkan posisi, membuatku bisa lebih jelas melihat badannya yang juga semakin kurus.
"Alhamdulillah. Aamiin, insya Allah," sahutnya, lega sekali kedengarannya meski pelan. Tatapannya penuh melihatku. "Maafin Uwak, ya, Neng...."
Tidak tahu maaf untuk apa, aku hanya menganggukinya. Meminta penjelasan hanya akan membuatku menangis. Lagi pula, seperti ini saja sudah cukup untuk mengusir ketidaknyamananku. Aku ingin hubunganku dengan Uwak Nurul tetap seperti ini. Uwak Nurul yang tak segan untuk memeluk bahkan mencium pipiku tanpa peduli keramaian maupun usiaku yang juga semakin dewasa. Jadi orang pertama yang akan kucari saat kami kumpul keluarga besar, juga jadi orang yang tanpa ragu dan pertimbangan untuk kukunjungi.
"Kita nggak tahu jodoh datangnya dari mana," Pandangan Uwak Nurul terarah pada jendela yang menampakkan terang. "Orangnya kenal sama Kakang yang riweuh mau ngenalin Neng sama teman-temannya yang lain, padahal Neng kenal sendiri di Jakarta."
Beda dengan Lembayung, beda juga dengan Sam. Hubunganku dengannya tidak membaik, begitu-begitu saja. Tapi, tahu-tahu mendengar Uwak Nurul begini, kupikir kami hanya menghindari keributan. Meski tidak tahu pasti, diam-diam mereka memperhatikan, mengetahui sampai kemudian mengerti. Seperti halnya aku pada mereka. Kami hanya tidak bersuara. Perekat hubungan kami yang sudah lama pergi itu tidak sampai menjatuhkan aku dan semuanya. Kami hanya sedikit berjarak, tertiup angin, merenggang tanpa pegangan, saling memunggungi hingga sesekali menoleh saat angin yang berbeda menimpa kami satu persatu.
"Jangan ngerasa bersalah sama yang udah lalu. Uwak juga perlu waktu buat sampai ngobrol di sini sama Neng," jelas Uwak Nurul, perlahan menarik lenganku, menggenggamnya.
Tidak banyak yang kudengar, tapi aku tahu pasti kalau hubungan Uwak Nurul dan Uwak Yana sang suami semakin mendingin selepas kepergian Kak Ajun. Uwak Yana yang semakin sibuk dengan pekerjaannya tak kenal usia, sementara Uwak Nurul yang juga kian ringkih tertatih. Sangat mungkin kalau ada aku di dalamnya, yang ikut jadi pemicunya. Ya ... hubunganku dengan Kak Ajun yang sudah cukup jauh. Bagaimana Uwak Yana dengan Ibuk yang tak lain adalah adik kandungnya sendiri, Uwak Yana sebagai kepala keluarga, sebagai ayah, dan sebagai yang paling dihormati, laki-laki satu-satunya di keluarga Eyang Farida.
"Dulu Neng belum lahir waktu Mas Juna suka main ke rumah kalau libur sekolah. Harus ketemu Bi Nuri, katanya. Anak kecil, biasa diajak main sama ibuk kamu waktu masih gadisnya, eh tahu-tahu ditinggal nikah," Uwak Nurul sedikit terkekeh, teringat masa kecil anak sulungnya. "Sampai dimarahin ayahnya, katanya, bibinya udah nikah juga, bakalan punya anak sendiri, enggak boleh gitu lagi. Dibilangin begitu malah makin lengket sama bibinya. Apalagi waktu mulai hamil kamu, Neng. Katanya, enggak sabar mau lihat bayi. Biar ada teman kalau main ke rumah Bibi."
Mataku terasa berat menyimak cerita Uwak Nurul. Bukan karena mengantuk. Aku tak tahu, antara senang dengan cerita saat Ibuk mengandungku atau kembali merasa bodoh dan konyol setelah mengetahui kalau itulah awal mula kedekatanku dengan Kak Ajun dulu.
"Biarin, anak kecil. Biarin main sama adiknya, jagain adiknya. Itu kata Uwak, kata ibuk kamu juga. Tapi enggak gitu kata Uwak Yana. Katanya, kita nggak tahu kedepannya bakalan gimana. Uwak sama ibuk kamu cuma bisa ngetawain, bercandain dan nggak ambil serius omongan itu."
Aku yakin kalau mataku sudah memerah bagaimanapun senyumku terulas mendengar cerita itu. Semuanya sudah lewat, tapi kenapa miris sekali rasanya?
"Terlebih, waktu itu lagi banyak juga kejadian aneh. Ada anak tetangga yang diculik, terus isu pelecehan anak-anak lagi rame juga. Ngeri. Ibuknya Neng bilang, biar Neng main di rumah aja, jangan ke mana-mana. Main sama Mas Juna aja, dibeliin mainan, apa aja."
Setetes air mataku mengalir tanpa kendali. Akhirnya, aku semakin mengerti dengan semua yang Bapak dan Ibuk berikan. Lebih dari sekadar kasih sayang seorang Raja dan Ratu. Ini soal perlindungan sang putri satu-satunya yang tidak akan pernah bisa lagi dimilikinya, dilahirkannya.
"Maaf, Uwak cuman-"
"Enggak apa-apa, Wak. Makasih banyak ceritanya."
Uwak Nurul mengangguk-angguk, menegakkan duduknya, mencondongkan badannya ke arahku. Dengan sigap aku menyambutnya setengah berdiri, balik memeluknya. Kurasakan kalau Uwak Nurul menangis, mengusap-usap punggungku. "Yah, udah waktunya Uwak cerita ini. Neng udah mau nikah juga, insya Allah," Uwak Nurul merenggangkan pelukannya, melihat wajahku dekat, mengusap pipiku yang sedikit lembap. "Walaupun boleh, Neng, itu nggak gampang. Enggak beres sampai di situ juga."
Aku sudah mengerti itu jauh setelah kepergian Kak Ajun. Saat aku memulihkan diri, menepi dan menyendiri. Saat aku banyak belajar, memastikan lagi kalau tidak ada yang salah denganku.
"Mudah-mudahan semuanya lancar ya, Neng. Sehat-sehat, baik-baik," katanya, melihatku dengan tatapannya yang teramat kurindukan. "Hati-hati."
Tidak ada yang bisa kukatakan selain kembali memeluknya. Sepuasnya aku menangis di sana. Tidak ada lagi yang terasa mengganjal. Perasaan yang terkadang berat itu kini berganti ringan. Tidak ada juga yang kurang walau sekalipun tidak ada yang pernah diambilnya. Hati yang berongga itu kembali dipenuhi aliran perasaan tenang dan nyaman.
Keluar dari ruang rawat inap Uwak Nurul, langsung kudapati Sam yang tengah memainkan ponselnya. Pandangan kami besitubruk, tak ada yang mengalah untuk memutusnya. Sampai kemunculan Mirza yang tak jauh dari belakang Sam, aku melambaikan tanganku padanya, melewati Sam begitu saja.
"Kenapa sih kayak orang musuhan gitu sama Sam?" tanya Mirza setelah kami bersisian.
"Enggak kenapa-napa," jawabku singkat. "Kalian beneran kenal?"
"Ehm," Mirza mengangguk. "Dia sama Taufan yang waktu itu ngurusin sistem komputer di kantor. Taufan yang desain, kan? Nah, kalau Sam tuh yang instalasinya. Gitu-gitulah kurang lebih. Masa enggak tahu kerjaan adik sepupunya?"
Bohong kalau aku tidak tahu apa pekerjaan Sam. Pekerjaan apa pun yang orang sebutkan tentangnya, aku akan percaya-percaya saja. Dia melakukan apa saja. Apa pun dikerjakannya. Dulu kupikir kalau Sam hanya ingin menyibukkan diri, mengisi waktunya lebih banyak. Sam bukan sosok yang akan mendaki untuk bisa berdiri di puncak tertinggi seperti sang kakak. Dia akan berjalan menjangkau seluruh belantara, memampukan diri untuk memahami semuanya.
"Aku tiba-tiba kepikiran, Sam gimana ya sekarang?" tanyaku retorik. Sulit untuk menerka bagaimana perasaan Sam seperginya Kak Ajun.
"Gimana apanya? Emang Sam kenapa?"
Aku menggeleng, sulit menyuarakannya. Bagaimanapun aku dan Sam tidak begitu dekat sebelum Kak Ajun meninggal, tapi aku lebih dari sekadar tahu bagaimana sebalnya anak itu saat orang-orang membandingkannya dengan sang kakak. Kak Ajun terlalu hebat dan baik, diam-diam menenggelamkan dan mengaburkan Sam dari permukaan. Dulu aku tidak begitu menaruh perhatian soal ini. Aku terhanyut melihat Kak Ajun yang justru semakin mendekatkan diri dengan Sam seiring bertambahnya usia mereka. Secara langsung aku melihat bagaimana murahnya Kak Ajun menjangkaunya, juga Sam yang tidak keberatan untuk menekukkan kaki.
"Ada waktunya aku iri lihat kakak beradik yang ribut-ribut lucu. Tapi di luar sana, ada seorang adik yang seringkali dibandingin dengan si kakak, dianggap produk gagal. Ada juga si kakak yang dunianya berakhir begitu dianggap kalah dari adik."
Mirza menarik napasnya dalam-dalam, melihatku sekilas. Aku tahu kalau ada yang sedang dipikirkannya, ada yang ingin diucapkannya. Namun, sampai kami tiba di pintu keluar pun, tak ada kata yang meluncur dari mulutnya.
"Dari sini kamu mau ke mana?" tanyaku, beralih ke pembicaraan lain. "Udah ngabarin saudara kamu yang di sini?"
"Nis...." Mirza membawaku duduk di tembok sisi taman yang menghadap parkiran. "Kamu masih mau break nggak?"
"Ih, Mirza...." Aku jadi tidak enak dengan keputusan yang tergesa-gesa kuutarakan tadi. "Maaf."
Mirza terkekeh kecil, berdeham. "Kamu pernah dengar nggak kenapa talak itu dianggap sah kalau laki-laki yang ngomong?"
Pura-pura tidak mengerti, berlagak tidak paham ke mana arah pertanyaannya, aku bangkit dari dudukku. Malu, benar-benar malu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro