Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2 | Dia yang didengarkannya

"Mbak, mau nggak dikenalin sama temanku?"

"Kalau Mbak bilang enggak pun ujung-ujungnya tetap dikenalin juga. Biasanya sih gitu."

"Iya juga, hehe ... tapi yang ini beneran, Mbak. Teman dekatku banget. Dari dulu mau ngenalin, sebelum yang kemarin-kemarin itu malahan."

"Terus ...?"

"Mau enggak?"

Tidak pernah ada kata iya dan tidak dariku saat Sam bilang soal niatnya untuk mengenalkan Taufan padaku. Tahu-tahu Taufan hadir di pernikahan Sam, dan adik sepupuku itu dengan berbagai caranya membuat kami berinteraksi. Dengan begitu aku sudah melihat langsung bagaimana Taufan yang diceritakan Sam. Untukku saat itu, kesan pertamanya cukup baik sampai aku mengerti kenapa Sam berkeinginan untuk mendekatkan kami. Taufan tidak banyak bicara, tidak pecicilan, tidak begitu menonjolkan diri namun mudah berbaur dan pandai ambil sikap akan sesuatu yang dihadapinya, dan yang jelas ... Taufan juga tidak SKSD padaku.

Sam yang tidak sabaran dan tidak merasa cukup dengan apa yang diamatinya saja, menanyakan progres kami. Lalu, aku hanya bisa bilang, "Ya ... nggak gimana gimana."

"Jadi?"

"Enggak dulu. Mbak banyak kerjaan, Sam. Enggak ada mikirin itu dulu."

"Mbak, aku juga nggak akan asal ngenalin teman, lah. Menurut Mbak aja kenapa aku mau ngenalin Taufan ke Mbak. Aku udah kenal dia banget. Waktu ke tempat Mbak juga aku nginep di rumahnya, tahu keluarganya segala macam."

"Mbak ngerti. Tapi enggak dulu kalau buat sekarang."

"Kalau nanti, iya?"

"Bukan gitu...."

Tidak ada yang bisa kukatakan pada Sam sementara yang diinginketahuinya adalah alasan dari keputusanku. Meski persis dengan apa yang dikatakan Sam kalau kali ini dia sungguh-sungguh mengenal lelaki yang akan didekatkannya denganku, aku sendiri yang belum bisa menjalani hal semacam itu. Tidak peduli kalau keluarga besar kami termasuk Ibuk dan Bapak juga mengenalnya-bahkan sebelum dia dikenalkan padaku-aku tetap tidak bisa.

Kamu tahu perasaan ketika kita bertemu seseorang yang menarik hati? Jantung seperti berdetak dalam kecepatan yang tidak normal, pun senyum yang akan terukir tanpa permisi, atau mendadak ingin pergi dan menjerit menahan segala macam hal yang ingin dilakukan termasuk bicara. Tapi aku tidak merasakan itu sama sekali, pun tidak ada keinginan untuk bertemu kembali.

Di pertemuan kedua, ketiga, bagaimanapun caranya, Sam tetap dengan usahanya untuk mendekatkan aku dengan Taufan. Tidak tahu kalau aku yang tidak bisa memberitahukan alasan jelasnya tentang ketidakinginanku atau memang Sam yang tidak bisa mengerti. Selain soal aku sendiri, aku tidak bisa menemukan alasan kenapa aku tidak menyukai Taufan karena memang tidak ada darinya yang membuatku tidak suka. Namun untuk menyebut kalau aku menyukainya juga tidak bisa.

Di saat itulah aku jadi lebih memperhatikan Taufan tiap kali kami berkesempatan bertemu. Aku sampai menilik penampilannya. Taufan bukan tipikal lelaki rapi dengan setelan formal. Lelaki itu membiarkan kumis tipisnya menghiasi wajahnya. Rambutnya sedikit panjang sampai menyentuh telinga dan kerah bajunya. Proporsi badannya pun pas. Bukan lelaki tinggi, tidak juga termasuk pendek. Tidak kurus namun juga tidak berisi. Wajahnya ... hidungnya mancung. Itu yang pertama kali aku tangkap. Bisa dibilang, untuk urusan fisik, Taufan menyejukkan pandangan. Sampai pada kesimpulan, bahwa aku yang memang sulit.

Masih mencoba mengamati lakunya, aku kemudian tahu kalau lelaki itu dekat dengan Lembayung. Mereka seringkali mengobrol, bercengkrama bersama menepi dari urusan keluarga, hingga Lembayung yang minta ditemani ke sana dan kemari tiap kali pulang. Sampai kemudian semuanya berubah menjadi kewaspadaan ketika aku semakin menyadari kedekatan mereka. Aku pun berkesimpulan kalau Taufan lah jawaban dari pertanyaanku soal Lembayung yang tidak pernah lagi menghubungiku, bercerita padaku.

"Jangan bergantung sama orang lain gitu, ah, Yung. Kalau ada apa-apa minta tolong Mbak aja," kataku pada suatu waktu kami bertemu.

Mungkin aku yang berlebihan, sebab Sam yang kebetulan mendengarku saat itu justru menertawakanku, mengejekku, mengatakan aku cemburu. Lembayung juga santai saja menjawab; kalau dalam beberapa hal, hanya Taufan yang bisa membantunya, dan ada waktunya hanya Taufan yang bisa dihubunginya. Yang semakin mengherankan adalah, Sam sebagai kakaknya pun tidak tersinggung dengan jawaban adiknya itu.

"Sam, kamu nggak takut kalau Ayung terlalu dekat sama teman kamu itu?"

"Taufan, Mbak, namanya."

"Ya ... itu. Enggak kepikiran apa?"

"Takut kenapa? Dia nggak aneh-aneh anaknya, Mbak. Tahu kerja doang. Kalau nggak aku yang ngenalin dia ke Mbak, mana tahu dia perempuan. Kalau enggak aku yang bawa dia, enggak akan tahu Bandung kayak gimana. Punya kakak perempuan, punya adik seumuran Ayung, keluarganya juga baik-baik aja. Apa yang perlu ditakutin?"

Sebegitunya Sam menjelaskan temannya, mana mungkin aku masih perlu khawatir. Tidak ada yang perlu dicemaskan.

Tapi tiba-tiba saja Sam berkata, "Sebaik itu. Aneh aja."

"Aneh kenapa?"

"Mbak nggak mau sama dia."

"Sam, gimana dia yang kamu lihat, belum tentu dia bisa gitu sama Mbak. Mbak bukan kakaknya, bukan ibunya, bukan adiknya, bukan temannya juga."

"Iya, tapi, sedikit aja, Mbak. Pelan-pelan aja. Dia juga ngerti kok."

"Ngerti gimana?"

"Ya ... kondisi Mbak, kenapa Mbak gini, kenapa Mbak gitu."

"Emangnya Mbak kenapa?"

"Move-on, Mbak. Mas Juna juga nggak akan suka kalau Mbak kayak gini."

Di situlah aku tidak lagi bersinggungan dengan Sam, sampai sekarang. Aku yang jarang pulang semakin membantuku untuk tidak bertemu dengannya. Aku dengan pekerjaanku, juga Sam yang tidak lagi ada menghubungiku.

Dengan minimnya komunikasiku dengan Sam, alih-alih melupakan Lembayung yang aku permasalahkan, aku semakin saja awas. Melihat bagaimana dunia zaman sekarang sudah sewajarnya aku mengkhawatirkan adik sepupuku itu. Entah bagaimana kehidupan kampus yang dijalaninya, yang kutahu kalau Lembayung tidak pernah pulang, sulit dihubungi, tidak pernah mengabari. Tahu kalau dia masuk organisasi terbesar di kampus pun dengan diam-diam mencaritahunya lewat media sosialnya yang tidak aktif.

Puncaknya saat aku pulang menengok Gladia yang keguguran untuk pertama kalinya. Aku mencari-cari Lembayung yang tidak menyahuti panggilan Uwak Nurul, hingga kemudian aku menemukannya baru kembali dari mini-market bersama Taufan dengan sekantong es krim yang dijinjingnya. Kekesalanku masih tertahankan sampai aku melihat sendiri Lembayung yang menepikan diri ke kamar begitu Taufan pulang. Tidak ada Taufan, maka tidak akan ada Lembayung. Bukan lagi menjaga jarak dariku, bagiku Lembayung lebih dari sekadar asing.

"Ayung kenapa?"

"Enggak kenapa-napa."

Aku tidak mau memaksanya bercerita, mengutarakan keluh kesahnya, apa yang diinginkannya, apa yang memberatkannya dengan tidak lagi menjadi Lembayung yang sama padaku. Tapi Lembayung yang asyik dengan ponselnya, mengetikkan sesuatu, membuatku akhirnya bertanya, "Taufan siapa kamu, sih, Yung?"

Lembayung yang awalnya sama sekali tidak melihatku, menegakkan duduknya, meletakkan ponsel yang ditekuninya. "Temennya Kakang, ya ... udah kayak sama kakak sendiri aja gimana."

Aku mencoba mengertinya dengan tidak lagi mempertanyakannya. Namun Lembayung yang sepertinya tidak berkenan dengan pertanyaanku, berkata, "Ayung sama Bang Taufan enggak akan sama kayak Mbak dengan Mas."

Seperti bom waktu yang terlambat meledak, ucapannya itu tidak mampu membakar dan menghancurkan aku yang sudah lebih dulu porak poranda. Sejak saat itu, hubungan kami yang sudah dingin semakin memburuk sampai sekarang. Aku yang tidak lagi berusaha untuk mendekatinya, pun Lembayung yang tidak mau repot-repot melibatkan aku dalam hidupnya.

Aku sama sekali tidak berpikiran kalau Lembayung menyukai Taufan seperti layaknya perempuan menyukai seorang lelaki walaupun awalnya ada kekhawatiran kalau Lembayung akan tertipu, mudah dikelabui, terkena 'gaslighting' atau masalah beracun lainnya terkait hubungan asmara. Yang aku sayangkan sekarang adalah perubahan Lembayung yang berefek besar padaku sampai-sampai aku mempertanyakan soal diriku sendiri. Perkataan yang tidak pernah kuduga akan keluar dari mulutnya sungguh menyesakkan dada. Bagaimana bisa aku biasa-biasa saja? Anggap saja aku tidak dewasa, tidak intropeksi, tidak menerima apa yang orang katakan. Tapi nama Kak Ajun yang selalu dikaitkan dalam permasalahanku bukanlah sesuatu yang bisa kubiarkan begitu saja.

"Nis, udah sampai." Mirza menyadarkan lamunanku. "Ngantuk ya?"

"Oh, sedikit," kataku sambil melihat jam tangan yang menunjukkan pukul delapan malam. "Makasih ya."

"Iya," katanya, membuka kunci pintu mobil. "Nis, kamu punya CV taaruf nggak?"

"Hah?!" Kantukku hilang seketika. "Eung ... taaruf?"

"Iya. Pengen tahu aja. Biar nggak banyak ngobrol dan ketemu juga."

Aku tidak tahu kalau akan sampai di sini. Tidak tahu juga kalau sebenarnya Mirza begitu.

"Saya mau serius, Nis."

Astaga ....

"Tapi kalau kamu nggak mau, ya ... enggak apa-apa. Sampai sini aja."

Jika aku bilang butuh waktu untuk memikirkannya, artinya aku menyukainya walaupun sedikit. Jika langsung bilang tidak, lagi-lagi aku dalam situasi tidak tahu apa yang bisa kukatakan untuk berkata tidak.

"Uhm ... buat kenalan dulu aja, kan?"

Mirza tertawa mendengar pertanyaanku. "Iya. Saya mau tahu kamu, mau kenal kamu."

"Wah...." Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan kagumku akan kelugasannya. Usia memang tidak bohong. "Gini aja, deh, Pak. Kita kan masih kerja bareng ya? Sebulanan lagi?" Aku mengingat-ingat. "Nah, tunggu aja dulu. Barangkali mau mikir-mikir lagi buat kenal saya. Itu juga kalau nggak keberatan."

Mirza tersenyum menganggukinya. Sedikitnya aku juga lega dengan responsnya. Langkahku pun ringan turun dari mobilnya, sampai masuk ke apartemen.

Keluar dari lift, aku bisa langsung melihat Lembayung yang duduk santai di depan pintu unitku. Kenapa anak itu kembali ke sini? Dan, kenapa juga dia tidak menghubungiku?

"Dari tadi?" tanyaku sambil membuka penutup tombol kunci pintu.

"Heum ... setengah jam?" katanya ragu.

"Sini," kataku menyuruhnya bangkit. "Kalau kamu mau ke sini, Mbak enggak ada, langsung masuk aja." Aku menunjukkan kombinasi angka untuk membuka pintu.

"Enggak akan sering ke sini juga."

"Tapi akan, kan?" Kami belum selesai berdebat sampai tiba di dalam. Lihatlah, bagaimanapun kami ribut, jika memang diperlukan kami akan tetap bicara.

Melepaskan kerudung dan outer-ku, aku merebahkan diri di sofa, menyalakan televisi untuk mengisi kesunyian kami. Lembayung yang sibuk dengan ponselnya membuatku juga mengambil benda tersebut dari tas selempangku.

0813xxxxxxxx
Halo
Ini gue Taufan
Tadi Ayung mau langsung balik ke kosannya
Gue suruh ke tempat lo aja
Udah malam
Gue juga langsung ke Bandung
Lain kali kalo Ayung hubungin gue, gue kabarin

Pesan panjang dari Taufan membuatku melirik adik sepupuku itu. "Dari mana tadi?"

"Ketemu teman."

"Teman?" Aku memastikan jawabannya yang asal.

"Iya."

"Langsung ke sini?"

"Emangnya nggak boleh?"

Masih dengan Lembayung yang menyebalkan.

Rengganis A. Satya
Ok
Thanks

Apa anak itu sudah mendapatkan uang yang dibutuhkannya? Kenapa dia tidak menanyakannya lagi? Tapi lagi pula, walaupun aku menanyakannya, Lembayung tidak akan menjelaskannya.

"Udah makan?"

"Udah."

Ya, tentu saja sudah. Taufan memperlakukannya dengan baik. Kalau saja Taufan tidak menyuruhnya untuk kembali ke tempatku, mungkin saja dia akan nekat kembali ke kosannya bagaimanapun caranya. Heum ... hanya lelaki itu yang sepertinya didengarkannya.

Rengganis A. Satya
Boleh tau gak, Ayung ada pinjam uang kamu atau enggak?
Kalau iya, biar saya ganti
Makasih sebelumnya

Taufan
Gue ada kok
Santai aja

Rengganis A. Satya
Bukannya apa apa
Namanya utang mesti dibayar
Ayung janjinya gimana kalau boleh tau?

Taufan
Enggak apa-apa
Santai aja
Enggak boleh tau

Aku sedikit bingung dengan balasannya karena lelaki itu tidak mengutip pesanku sama sekali.

"Kalau boleh tahu ... enggak boleh tahu. Ah...." Dengan bodohnya aku baru bisa mengerti dengan membaca pesanku kembali.

Taufan
Ayung udah gede
Biarin dia urus urusannya sendiri

Kenapa malah aku yang jadi seperti orang lain? Bukankah harusnya aku yang bilang agar dia tidak banyak membantunya?

Kembali kulihat Lembayung yang tetap dengan ponselnya meski kabel pengisi dayanya tersambung. Benar-benar. Keberadaanku tak ada pengaruhnya. Untuk apa juga aku bilang kalau aku akan mandi? Tidak perlu, bukan?

Selesai dengan urusanku, tahu-tahu Lembayung sudah merebahkan dirinya di ranjang bagian tepi. Dulu Lembayung yang seperti ini akan sangat mudah aku maklumi sementara izinnya meski hanya untuk masuk kamarku jadi sesuatu yang sangat menggemaskan untukku. Sudah terlalu malam untuk berdebat.

"Ganti baju dulu," kuberikan sepasang baju tidur yang belum sempat aku hadiahkan padanya di ulang tahunnya yang kulewatkan. Waktu di mana hari-hariku gelap, tanpa daya dan tanpa rasa.

Lembayung hanya menjawab 'iya'. Namun lima menit, sepuluh menit, anak itu tidak juga bergerak.

"Yung ...."

"Heum ...."

"Pernah dengar nggak kalimat 'di mana tanah dipijak di situ langit dijunjung'?"

Mendengar itu, Lembayung benar-benar duduk, menatapku penuh. "Apaan, sih, Mbak? Lebay banget!"

"Ck..." Ucapannya tidak membuatku sakit hati, tidak juga membuatku tersinggung. Tidak ada keinginan untuk memarahinya, mengingatkannya untuk berkata lebih sopan. "Kenapa malah jadi tersinggung? Orang Mbak cuma nanya."

"Ya nggak mungkinlah Mbak nggak tahu artinya."

Aku tak membalasnya lagi, lanjut merapikan tempat tidurku kemudian mengambil selimut untuk Lembayung.

Jika boleh meminta, malam ini aku ingin bermimpi tentang aku dan Lembayung yang bermain bersama, saling bercerita di mana hanya aku yang bisa jadi pendengarnya pun hanya dia yang jadi tempatku bicara, serta melakukan banyak hal menyenangkan yang hanya bisa kami lakukan berdua. Waktu aku mendapatkan tepuk tangan dari Lembayung kecil saat Ibuk bilang kalau aku ranking satu paralel, hingga saat Lembayung menyambutku sepulang wisuda, mengajakku jalan-jalan dan dengan cerewetnya menanyakan bagaimana perasaanku berbicara di podium sebagai perwakilan angkatan.

Seperti Tuhan menjawab permintaanku dengan hal yang lebih baik, dini hari di waktu aku terbangun, kulihat Lembayung tertidur dengan tenang. Wajahnya polos, tetap seperti adik kecil yang selalu mengajakku bertemu dan bercerita. Helaian rambutnya menghiasi wajahnya yang berpeluh. Sesekali ia merengut, bergeser, menarik selimutnya, meringkuk. Semoga yang dimimpikannya adalah sesuatu yang baik, hal-hal menyenangkan yang kami jalani bersama.

Di pagi hari kami sarapan bersama. Masih dengan Lembayung yang sibuk dengan ponselnya. Ingin sekali aku menariknya, atau membenamkan wajahnya pada benda itu tanpa peduli amukannya. Namun bunyi pemberitahuan dari ponselku membuat perhatianku teralihkan lagi darinya. Pesan dari Taufan sedikit menyelamatkan kami.

Taufan
Ini kontak ibu kosannya Ayung
Kali aja lo perlu sesuatu

Ternyata Taufan mengenal Lembayung sejauh itu. Aku saja tidak terpikirkan untuk punya kontak orang yang bisa ditanyai sesuatu untuk memastikan keberadaannya.

Rengganis A. Satya
Ayung udah gede
Biarin dia urus urusannya sendiri

Tidak tahu kenapa, aku merasa puas saja membalasnya dengan mengopi ucapannya tempo hari. Kukira Taufan akan membalasnya, mengatakan apa pun tentang aku yang tidak berterimakasih. Namun sampai Lembayung pergi pun, pesanku padanya hanya berakhir dua centang biru.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro