19 | Ruang Bersama
Pernahkah kamu berada dalam situasi di mana kamu tidak lagi bisa menahan ponsel dalam genggamanmu agar tidak jadi korban atas amarah yang bertumpuk? Lalu kamu yang tak lagi mampu meredam jerit, menelan semua serapah, dan luput dari berpikir kalau ada orang yang akan mendengarnya? Setelah bertahun-tahun sejak kepergiannya, aku lumpuh. Bertahun-tahun lamanya tetap menjalani hidup dengan baik, aku runtuh.
Keributan semalam antara aku dan Lembayung bukan apa-apa. Pagi tadi, anak itu sudah bersiap-siap entah ke mana. Di saat aku masih berpikir bagaimana caranya agar hubunganku dengan Mirza bisa melaju dengan baik dan nyaman tanpa perasaan mengganggu, Lembayung benar-benar merusaknya. Dia pergi tanpa pamit, seperti halnya datang tanpa permisi. Bagaimanapun aku tidak butuh izin dan persetujuannya, sikapnya tersebut bukanlah sesuatu yang sepele dan bisa diabaikan begitu saja.
Aku tidak bisa mendefinisikan dengan jelas bagaimana hubunganku dengan Lembayung-setidaknya sampai sebelum aku mengenalkan Mirza padanya. Setelah dibuat senang dengan dia yang dalam beberapa waktu ke belakang kembali menjadi adik menyebalkan dalam versi lucu dan menggemaskan, dalam waktu semalam perasaan itu lenyap seketika. Kukira Lembayung sudah benar-benar kembali dengan dirinya setelah lama hilang. Tapi tidak. Mungkin memang ini hasil akhir dari perjalanan yang kami lalui tertatih-tatih.
Seperti halnya aku, ditinggalkan orang terdekat yang memberi banyak pengaruh pada diri memang cukup menyakitkan. Tanpa aba-aba, tanpa tanda. Kami sama-sama bungkam akan hal tersebut, enggan membicarakannya. Sekali lagi, kami benar-benar tidak pernah membicarakannya. Seakan topik soal kepergiannya teronggok di sudut paling dalam ruang bersama kami. Dewasa dan jarak yang berlomba-lomba mencuri perhatian, mengantarkan kami keluar dari ruang itu perlahan-lahan. Saat kembali, yang tertinggal hanya aroma kepergian itu yang sama-sama kami abaikan, tak peduli betapa mengganggunya. Sampai-sampai, segala yang datang pada kami satu sama lain tak mendapat sambutan, jangankan untuk masuk ke ruangan.
Kehidupan Lembayung di luar sana yang selalu ingin kutahu, namun tidak pernah kuterima dengan pandangan baik. Pun aku, entah bagaimana Lembayung memandangku, aku selalu merasa kalau dia juga tidak pernah menganggap baik segala yang kujalani. Aku yang sebisa mungkin menjalani hidup seperti biasanya, pun Lembayung. Seakan kami tidak terusik dengan apa yang ada di dalam ruang yang kami tinggalkan. Sekalipun kami meninggalkan apa yang sudah meninggalkan kami lebih dulu, kami tidak pernah benar-benar meninggalkannya. Dia mengikuti kami, memengaruhi kami, dan kami berpura-pura tidak menghiraukannya.
Aku tidak bisa mengalah dengan berbasa-basi, menanyakan ke mana anak itu akan pergi. Apalagi menahannya. Biar saja kalau aku dianggap kekanakan, toh aku memang tidak sedewasa itu. Ini soal Mirza yang sama sekali tidak bersalah, buruk atau jahat sekalipun. Sampai tak lama berselang, anak itu kembali ke apartemenku tepat saat aku sedang bertelepon dengan Mirza. Sulit mendefinisikan bagaimana matanya bicara. Sendu namun tajam menusuk sampai-sampai aku mematikan panggilanku dengan Mirza secara sepihak dan bertanya, "Kenapa lagi, sih, Yung?"
Lagi dan lagi, Lembayung tak bicara. Mulutnya bungkam sampai ia kembali memakai sepatunya. Kali ini dia benar pamit, menatapku sejenak seraya tertawa kecil, membuang pandangannya.
"Kenapa?!" tanyaku lagi, tidak nyaman dilihat begitu.
"Enggak. Mbak kan udah punya hidup sendiri," katanya dengan suara datar. Aku tahu suara Lembayung sedikit berat. Hanya saja aku tidak suka dengan nada bicaranya, juga apa yang dibicarakannya.
"Kamu juga kan punya hidup sendiri. Terus masalahnya di mana? Emang cuma kamu yang punya hidup?" tanyaku, ingin mendengar langsung apa yang jadi keluh kesahnya yang selama ini hanya jadi dugaanku.
Lembayung tak menimpaliku. Dia hanya melihatku dengan tatapanya yang tidak berubah. Sedih yang bersembunyi di balik amarahnya masih tetap bisa kulihat. Kecewa pun bukan sesuatu yang mustahil. Saking tak tahannya, aku kembali bicara, "Kamu maunya gimana? Mbak nggak punya hidup, gitu? Enggak suka cowok lain? Diam di rumah, enggak ke mana-mana, enggak ngapa-ngapain, cuma melamun sampai nangis, ketawa kayak orang gila atau enggak makan sampai kurus kesakitan?" tanyaku, menyuarakan semuanya.
Mendengar ucapanku itu, Lembayung terpaku. "Enggak perlu kan Mbak ceritain ke kamu apa aja yang udah Mbak lewatin?" kataku lagi. "Sekarang kamu maunya apa? Mbak harus gimana?"
Matanya yang memerah segera disembunyikannya. Anak itu balik badan, benar-benar pergi entah ke mana. Langsung saja kukirimkan pesan pada Taufan, barangkali dia tahu ke mana Lembayung akan pergi. Bermenit-menit kulalui dengan menunggu pesanku dibaca. Membuka status whatsapp yang jarang sekali mengisi waktuku, melihat unggahan Gladia, teman-teman kerja lamaku, Teh Denia, sampai pada status Bude Pia. Syafakillah teteh sholehah ... kuat ... sehat.
"Teteh ...?" Aku ingat betul hanya Uwak Nurul yang dipanggil begitu di keluarga kami. Buru-buru aku menghubungi Lembayung yang tak menjawab teleponku. Pilihan terakhir dan terbaik, kuhubungi Ibuk, menanyakan kebenaran kabar kabur yang kutemukan.
"Uwak enggak kenapa-napa. Kayak biasa aja, dirawat. Habis jatuh di kamar mandi."
Air mataku langsung menyesak keluar. Bodoh rasanya jika aku bertanya kenapa Lembayung tidak bilang padaku. Dalam diam, aku hanya mendengarkan Ibuk yang menjelaskan kondisi Uwak Nurul.
Sambil menelepon Pak Wisnu, aku minta izin untuk pulang ke Bandung setidaknya 3 hari. Tidak lupa kubilang juga untuk meminjam mobil kantor. Tanpa banyak bertanya, Pak Wisnu langsung mengizinkanku dan bilang kalau aku perlu bekerja remote jika memang mendesak. Jadilah aku membawa beberapa perlengkapan kerjaku.
Tidak lama, Lembayung meneleponku balik. Dari seberang sana anak itu menangis, tak bicara apa-apa.
"Yung...."
"Terakhir waktu sama Mbak, kan, Ibun bilang biar Ayung sendiri aja," tersedu-sedu anak itu bicara. "Tapi Ayung enggak bisa sendiri aja, Mbak...."
Tangisnya menular. Aku memintanya menunggu di tempatnya sementara aku bersiap-siap. Belum selesai aku merapikan diri, Mirza meneleponku lagi. Dengan tergesa aku bilang kalau aku akan ke Bandung bersama Lembayung. Mudah saja ditebak kalau Mirza menawarkan diri untuk mengantarkan. Alih-alih tersanjung, untuk pertama kalinya aku benar-benar menumpahkan tangisku padanya. Semuanya. Bukan hanya soal hubunganku dengan Lembayung dan keluarga besarku, namun juga karena hubungan kami berdua.
"Nis...."
"Aku mau break sebentar aja boleh nggak?"
"Hah ...?" Kebingungannya jelas tergambarkan di benakku.
"Aku sama bingungnya dengan kamu Mirza. Aku juga nggak ngerti."
"Ya Allah, Nis...." Mirza mengembuskan napasnya kasar.
"Maaf...."
"Terserah. Pokoknya kamu tunggu di sana. Aku antarin. Kamu lagi kayak gitu mau nyetir?"
Dan beginilah hasil percakapan kami, apa yang kualami di sepertiga hari mingguku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, layar ponselku retak. Mirza di sebelahku hanya melirik sekilas, mengembuskan napasnya, menggeleng-geleng. Di bangku belakang, Lembayung terlelap dalam tidurnya. Matanya tidak kalah sembap dariku.
"Kayak gini mau nyetir sendiri?" sindir Mirza. "Bukan cuma handphone yang retak, kap depan mobil bisa ringsek juga."
"Siapa juga yang mau bawa mobil?!" kataku, malas ribut. "Naik kereta juga bisa, atau naik mobil travel aja."
Mirza tak lagi bicara, yang membuatku sedikit merasa bersalah. Tidak ada gunanya membahas apa pun, terlebih menjelaskan apa yang kukatakan di telepon tadi. Dengan tenangnya dia mengemudi. Macet dan suara klakson bukan gangguan besar untuknya. Enggan tertidur, aku memperhatikannya diam-diam. Mirza tidak bertanya ini dan itu tentang kenapa aku dan Lembayung bisa sampai begini. Pun Lembayung, entah apa yang dirasakannya saat tahu kalau Mirza akan menemani kami, anak itu biasa saja menyapa Mirza. Tampak canggung dan akrab sekaligus. Mirza juga tidak berbasa-basi, hanya mempersilakan agar Lembayung mengatur penutup AC-nya sendiri.
Meski sudah terbiasa perjalanan Jakarta - Bandung, dalam situasi seperti ini rasanya lama sekali. Mirza yang tampak mau tak mau harus mengerti situasi kami pun berinisiatif untuk berhenti di rest area. Dia memintaku menunggu di dalam mobil saja, dan aku menurutinya. Lembayung juga sendirian. Namun, belum lama Mirza pergi, tahu-tahu Lembayung menegakkan duduknya. "Kenapa minta diantarin Kak Mirza, sih?"
Aku memejamkan mataku, menahan segala ucapanku. Bukan waktunya untuk berdebat, apalagi menangis.
"Kenapa?" tanya Lembayung lagi. "Mau sekalian ngenalin Kak Mirza ke keluarga besar?"
Kalau tidak ingat situasi canggung ini, aku yakin kalau aku tak akan bisa menahan diri lagi untuk membicarakan semuanya. Ingin sekali aku bertanya, bagaimana jadinya jika Kak Ajun masih ada dan kami benar bersama? Apa Lembayung bisa menerimanya dengan baik? Hhhhh mendadak nyeri itu kembali muncul, perasaan takut, aneh dan tidak terima dengan situasi yang aku alami dulu kembali menusuk ulu hati. Bedanya kali ini, aku benar-benar merasakannya. Aku tidak bisa mengabaikannya lagi. Sesak karena air mata dan jerit yang mendesak keluar membuatku bergegas membuka pintu, keluar menyusul Mirza yang muncul dari arah ATM senter. Dia bertanya-tanya melihatku yang tiba-tiba menghampirinya.
"Ada yang mau dibeli?" tanyanya. Aku hanya menggeleng, membuatnya kembali bingung. "Terus ... kenapa-"
"Aku cari udara segar aja."
Mirza menatapku sangsi. Meski begitu, dia mengajakku masuk ke kedai kopi. Alunan musik klasik yang biasanya terdengar membosankan, kali ini sedikit menenangkanku. Aroma kopi dan roti yang menguar, juga suara orang bercakap-cakap yang sama sekali tidak kedengaran mengganggu. Ramai yang tenang, sunyi yang bersuara. Suasana favoritku beberapa tahun ke belakang.
"Lembayung sukanya apa?"
Deg. Aku menoleh pada Mirza yang memperhatikan daftar menu dengan saksama. Kalau Mirza tahu keributanku dengan Lembayung adalah karenanya sebagai salah satunya, apa dia bisa tetap begini?
"Enggak bagus nongol di depan keluarga pas lagi kayak gini," Mirza terkekeh kecil. "Minum dulu biar segeran dikit. Ice breaking juga, biar nggak terlalu kayak orang yang lagi marahan. Enggak setiap hari ketemu keluarga, masa iya sekalinya pulang malah pada kusut?"
Aku tak akan pernah berhenti untuk mengatakan kalau Mirza pandai menyesuaikan diri. Menyesuaikan dalam artian sesungguhnya, bagaimana caranya agar bisa sesuai. Tapi ini darinya, dari orang yang bahkan tidak punya tempat pulang. Mendadak aku memikirkan sebegitunya perbedaan kami.
"Kamu nggak mau nanya apa-apa?" tanyaku. "Semisal, kenapa aku mendadak harus pulang, gitu? Soal aku sama Lembayung juga. Kamu enggak mau tahu kami kenapa?"
Mirza menukikkan alisnya, sedikit berdecak. Belum menjawabnya, dia lebih dulu memesan 3 cup minuman dan berbagai macam roti dan pastry. Selesai membayarnya, dia membawaku sedikit bergeser agar tidak menghalangi antrean.
"Nanti kalau udah enggak mau break, pasti aku tanyain," ledek Mirza yang berhasil membuatku tersenyum untuk pertama kalinya di hari ini.
"Terus sekarang kenapa?" tanyaku kemudian. "Kenapa mau ngantarin aku sama Lembayung pulang? Kan lagi break."
"Break kan cuma kata kamu. Kalau kata aku enggak. Jadi ya terserah aku, terserah kamu juga," jelas Mirza serius. Dia sedikit memutar badannya melihatku. "Menurut aku enggak ada yang namanya friendzone atau mantan jadi teman. Teman ya teman, enggak ada naksir naksiran. Kalau jadi pasangan pun ya ... tetap pasangan. Pas misalkan putus, pastinya hilang kontak."
Sungguh jauh sekali dari apa yang aku alami. Dengan Faisal, bahkan kami berteman dekat sampai sekarang. Urusan naksir teman, aku juga pernah. Tapi benar juga, tidak ada kata 'teman' dalam hubunganku dengan Mirza. Awalnya sangat jelas kalau hubungan kami hanya kolega, kemudian saat Pak Wisnu bilang padaku bahwa Mirza menyukaiku barulah kami mulai dekat. Pantas juga kalau dia tidak sebegitu terbukanya dengan Laras, terlepas dari hubungan mereka juga yang akhirnya tidak kalah buruk.
"Terus kalau break, gimana?" tanyaku ingin tahu lebih lanjut.
Mirza mengangkat tangannya, mengambil pesanan kami terlebih dahulu. "Kalau break, alasannya apa? Sekarang ini kan antara aku sama kamu enggak ada masalah. Cuma, mungkin kamu yang lagi ada masalah. Lagian selama ini break yang orang-orang maksud tuh apa? Dalam hal aku sama kamu, mungkin kamu lagi butuh waktu. Ada yang perlu kamu selesaikan."
"Tahu dari mana?"
"Kamu nggak lupa kan kalau udah ngenalin aku ke adik sepupu kamu itu?" Mirza terang-terangan melihat Lembayung yang duduk menghadap ke luar dengan pintu yang dibiarkannya terbuka lebar. "Aku cuma menyimpulkan, kamu sama Lembayung pasti dekat banget. Lebih dari itu, Lembayung mungkin seseorang yang penting banget sampai bikin kamu mau ngenalin aku ke dia."
Sebenarnya aku kurang suka dengan orang-orang yang bisa membacaku seperti ini. Tapi dalam hubunganku dengannya, bukankah itu hal baik? Mirza mengerti kondisiku. Itu sudah lebih dari cukup. Tidak ada paksaan apalagi penghakiman. Ini hal baik untuk aku tetap dengannya, semakin yakin bersamanya.
"Kak Mirza, nanti ikut masuk, kan?" tanya Lembayung saat menerima minuman yang diberikan Mirza. "Aku bilang sama kakakku pulang diantarin sama Kak Mirza. Katanya ... kalian udah kenal?"
Apa maksud Lembayung itu Sam? Ah, satu lagi orang yang sulit kuhadapi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro