Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18 | Drama Makan Malam

Urusan Laras yang katanya meminta bantuan Mirza untuk meminjamkannya uang menambah daftar panjang hal yang membutuhkan waktu luang kami berdua. Sejujurnya aku tidak masalah kalau memang Mirza ingin menemui Laras sendiri. Apa juga yang perlu dikhawatirkan? Tapi dengan Mirza yang memintaku untuk menemaninya, bagaimana bisa aku menolaknya? Aku sudah melihat bagaimana Mirza berhadapan dengan Laras kemarin. Itu jauh lebih baik dari pertama kali aku melihatnya. Tapi tidak tahu juga kenapa Mirza minta ditemani. Mudah-mudahan saja tidak ada hal serius, khususnya pada Mirza yang tentu akan berdampak padaku juga.

Tapi, alih-alih terus menghubungi Mirza untuk menyelesaikan urusan mereka, Laras sama sekali tidak mengungkit hal itu lagi. Mirza sendiri pun bingung, malah aku yang memastikan kalau kalau Laras juga yang tidak nyaman karena keberadaanku. Sementara Mirza, dia tetap pada keputusannya, bahwa dia akan bersedia menghubungi atau datang lebih dulu kalau ada Juna di sana.

"Kenapa malah jadi kamu, sih, yang kepikiran?" Decakan Mirza terdengar jelas di telepon. "Udahlah, biarin aja. Kalau emang beneran butuh, pasti bakalan nelepon juga. Atau aku dengar dari yang lain. Emang aku doang yang bisa dimintain bantuan?"

Iya, sih, aku mengerti maksud Mirza. Tapi Laras juga pasti punya alasan lain kenapa dia meminta bantuan Mirza.

"Jangan sebaik ini, Nis...."

"Loh? Kok aku? Uang kan uang kamu. Aku cuma ingatin kamu aja. Bayangin kalau posisinya dibalik, pas kamu yang butuh."

"Bukannya gitu, Nis. Aku sendiri juga bingung dan nggak ngerti kenapa Laras sampai pinjam uang segala. Dia nggak sebutuh itu. Toko dia di mana-mana. Juna juga baik-baik aja keuangannya. Aku kenal dan tahu dia."

"Oke ... oke ..." Aku enggan membahasnya lagi. Tapi urusan perceraian hingga luka lebam Laras yang kuketahui, sampai dia sendiri yang bilang agar tidak memberitahu Mirza, bukankah ini membingungkan?

"Besok mau keluar nggak?" Mirza dengan kepandaiannya mengembalikan situasi. "Capek nggak?"

"Enggak."

"Tuh, kan. Singkat singkat. Kenapa, sih? Kamu maunya aku gimana sama Laras?" Suara Mirza memelan. "Udah, lah, Nis. Biarin aja."

"Iya, bukan urusan aku juga."

"Astagfirullahalazim...." Mirza yang beristigfar membuatku tertawa sampai-sampai diprotesi lelaki itu. "Kamu punya kontaknya Laras, kan? Kalau gitu kamu aja coba yang hubungin dia."

"Kok gitu?"

"Daripada kepikiran, kan?"

"Mirza...."

"Udahlah, jangan ngomongin itu. Biarin aja," tegas Mirza sekali lagi. "Kamu udah makan belum? Masih banyak kerjaan?"

Refleks aku mengangguk melihat layar laptopku yang masih menyala. Begini tidak enaknya waktu kerja fleksibel. Saat sedang ada proyek seperti ini, waktu waktu akhir pekan tidaklah berarti. Terlalu malas untuk ke kantor, meja ruang tengah pun kusulap jadi area kerja.

"Kamu sendiri? Masih di kantor?"

"Ini nelepon kamu tuh pas banget beres nonton Film Dokumenter sama anak-anak lain. Sekalian cari inspirasi. Lanjut Senin nanti lagi," jelas Mirza, kedengaran menguap. "Makan yuk!"

Lucu juga karena kami sama-sama diberi kesibukan di waktu yang sama. Juga keluangan waktu yang tidak jauh berbeda. Bukankah jalan kami sebegini mudahnya? Tinggal usaha kami saja untuk memanfaatkan itu.

"Eh, bentar," Pesan baru yang muncul di layar laptopku segera kulihat penuh.

Taufan
Ayung udah nyampe belum?
Tadi dari tempat gue
Mau gue anterin ke tempat lo tapi dianya enggak mau

"Kenapa?" tanya Mirza. "Masih banyak kerjaannya? Enggak bisa dikerjain besok besok?"

"Ini Taufan ngabarin, katanya Ayung mau ke sini."

"Hah? Taufan?" Mirza sedikit bingung dengan pemberitahuanku.

"Iya!" Kulihat jam yang sudah menunjukkan pukul 8 lebih 10 menit. Dengan cepat aku memutar otak. Sepertinya tidak akan masalah kalau aku mempertemukan Mirza dan Lembayung sekarang. "Kamu mau ke sini nggak?"

"Hah?"

"Ih, malah hah heh hah heh," ketusku yang lagi lagi ditertawai Mirza. "Ini Ayung kayaknya udah di jalan mau ke sini. Dia nggak ngabarin, tapi Taufan bilang katanya dia dari rumahnya. Kamu bisa ke sini nggak?"

"Serius?"

"Ya enggak masuk juga, Mirza! Maksud aku tuh...." Aku tergelak, gemas sekali dengan Mirza yang kebingungan seperti ini. "Kamu ke sini, kita makan di luar dekat sini aja. Kamu nanti ke sininya kalau Ibuk sama Bapak pas lagi di sini aja."

"Bentar, bentar. Satu satu, aku harus mencerna yang mana dulu?" Mirza mendadak lemot.

"Aku kan udah cerita kalau adiknya Taufan sama Ayung itu satu kampus," Pelan-pelan aku menjabarkan. "Terus Ayung tuh sekarang dari tempatnya Taufan, lagi on the way ke sini. Gitu loh Muhammad Adamas Mirza."

"Oh, oke ... oke. Lalu?" tanya Mirza dengan sisa gelak kebodohannya. "Aku ke sana, gitu? Enggak apa-apa?"

"Harusnya aku yang nanya gitu nggak, sih?" Aku sedikit gugup, bangkit dari tempat dudukku. "Kamu mau kan ketemu Ayung?"

"Ya mau, lah, Nis," jawab Mirza pasti. "Uhm, kalau gitu makan di tempat biasa aja, gimana?"

Tanpa ba-bi-bu aku langsung mengiyakan, bergegas mencuci muka. Belum sampai aku menemukan pakaian yang aku kenakan, Mirza langsung mengirim pesan gambar setelannya.

Mirza
Setelanku gini enggak apa-apa?

Waahhh aku tidak pernah membayangkan kalau aku tidak akan pernah bosan dengan Mirza yang serba menyesuaikan. Aku sungguh tidak bosan meski awalnya khawatir kalau Mirza tertekan, tidak percaya diri. Tapi memang beginilah Mirza. Dengan yakin aku mengakui kalau Mirza jauh lebih teratur dan penuh persiapan daripada aku yang terkadang tidak pikir panjang.

Rengganis A. Satya
Aku juga pakai outer doang sama kerudung rumahan hahaha
Enggak maksud males atau enggak effort
Maaf ya serba mendadak

Buru-buru aku mengambil cardigan di gantungan bajuku, meraih kerudung yang baru saja kulipat usai mengambilnya dari jemuran, kemudian sedikit memberi pelembap wajah dan bibir. Tidak lupa menyemprotkan sedikit parfum dan memakai handbody. Selesai. Berkejaran dengan Lembayung yang kuharap tidak akan duluan sampai, aku mengambil ponsel dan dompet, mengenakan sandal karet bergambar kelinci dan cepat cepat keluar mengunci pintu.

Sejenak mempertimbangkan untuk menunggu lift atau menuruni tangga, aku semakin dikhawatirkan dengan Lembayung yang mungkin akan tiba saat aku turun. Sampai tepat saat lift naik terbuka, napasku lega begitu mendapati Lembayung yang keluar dengan raut bingung melihat keberadaanku.

"Loh, Mbak...."

"Makan dulu yuk! Di dalam juga enggak ada apa-apa," kataku sambil merogoh ponselku di kantong piyama, mengirim pesan pada Taufan, mengabari kalau Lembayung sudah sampai.

"Ayung udah makan. Masih kenyang juga. Mbak aja deh yang pergi."

Tidak ada waktu untuk ribut. Beruntungnya lift turun langsung terbuka, yang menjadikanku cepat mengajak Lembayung masuk. Hanya ada kami berdua. Aku yang sesekali memeriksa ponselku, sementara Lembayung yang tampak kelelahan hanya menyandarkan kepalanya ke sisi lift. Mendadak perasaanku tidak nyaman dibuatnya.

"Capek ya? Sebentar aja," pintaku. "Di rumah beneran enggak ada apa-apa. Ayung nggak ngabarin juga mau ke sini."

Lembayung tak menimpalinya. Anak itu sungguh kelelahan. Tidak ada Lembayung yang biasanya asyik dengan ponselnya, atau banyak cakap cari gara-gara menjawab segala tanya.

"Ya udah deh balik lagi aja," kataku begitu sampai di bawah. "Mbak pesan makanannya dulu. Tungguin bentar."

"Keluar aja, udah tanggung juga," ajak Lembayung dengan langkah cepatnya.

Tak mau membuang waktu, aku menuju restoran yang tidak jauh dari apartemen. Kenapa ini rasanya lebih menegangkan daripada mengenalkan MIrza pada Bapak dan Ibuk? Ah, kupu-kupu yang berterbangan di perutku sekarang bukan dalam arti baik. Lembayung yang memimpin dengan langkah tergesa menjadikan nyaliku ciut. Harusnya aku tidak begini. Andai waktu bisa kuputar, aku akan mempersiapkan segalanya untuk mengenalkan Mirza pada Lembayung.

Restoran tidak terlalu ramai tapi juga tidak sepi. Samar kudengar orang-orang bercakap dengan orang yang menemani mereka makan, tapi tidak begitu berisik juga. Beberapa yang kulihat, ada tetangga unitku, ada juga orang yang sering berpapasan denganku di lift saat berangkat kerja. Mereka semua sama sepertiku dengan pakaian rumahan mereka.

"Ganis!" Mirza yang melambaikan tangannya langsung bisa kutemukan. Lembayung yang tidak tahu apa-apa hanya mengikuti langkahku tanpa bicara.

"Yung, itu...."

"Kenapa enggak disuruh masuk aja, sih?" tanya Lembayung cukup mengejutkanku. "Belum mandi juga."

Aku tak bisa menahan senyumku memindai penampilan Lembayung yang memakai celana jeans longgar dan kaus organisasi kampus sebagai dalaman kemejanya oversize-nya, sampai membuat Mirza yang menunggu kami di tempatnya, bertanya dengan tatapannya.

"Enggak apa-apa, Mirza juga baru pulang kerja," kataku lebih percaya diri. "Mirza, ini adik sepupuku. Adiknya Sam," jelasku lengkap, memperkenalkan sebelum duduk.

"Hai," sapa Mirza ramah. "Mau makan apa, Nis? Lembayung mau makan juga?" Mirza bangkit dari duduknya.

"Kayak biasa aja," jawabku seraya menarikkursi, melirik Lembayung. "Ayung ... mau apa?"

"Camilan sama es krimnya aja, Kak ... Bang ...?" kata Lembayung langsung pada Mirza.

Aku tidak mengira kalau Lembayung akan semudah ini menghadapinya. Yah, hubungan kami memang sedang baik juga. Entahlah, aku yang sudah telanjur berpikiran negatif duluan.

"Heum ... senyamannya aja," Mirza tidak keberatan dengan panggilan Lembayung. "Sebentar ya!"

Langkah Mirza yang menjauh berbarengan dengan helaan napas legaku. Beban di pundakku seperti terangkat.

"Mbak ngerti consent nggak, sih?"

"Hah?" Aku terperangah dengan ucapan Lembayung. "Consent buat apa?"

"Ngenalin cowoknya. Kenapa nggak bilang dulu? Emangnya Ayung mau dikenalin?"

Harusnya aku tidak terbang dulu melihat reaksi awal Lembayung tadi. Harusnya juga aku paham kalau Lembayung memang tidak semudah itu.

"Siapa yang mau ngenalin?" tanyaku, enggan memperpanjang masalah. Memang salahku juga karena tidak bilang dulu. "Mbak cuma mau makan sama Mirza, kebetulan ada kamu. Udah. Gitu aja. Lagian masalahnya di mana?" Lembayung tak menimpaliku. "Mbak nggak butuh tahu kamu suka dia apa enggak dia sama Mbak. Enggak butuh juga persetujuan kamu."

"Tapi butuh tahu kalau Ayung tahu. Gitu kan? Perlu validasi?" Lembayung menyeringai. "Perlu nunjukin, gini nih yang jalan sama Mbak sekarang." Dengan lihainya Lembayung meniru gaya bicaraku.

"Waahhh...." Kalau saja kami hanya sedang berdua, aku akan angkat kaki dari hadapannya. "Emang pentingnya apa ngenalin ke kamu? Bapak sama Ibuk udah tahu, Taufan abang kesayangan kamu itu juga tahu. Enggak mungkin juga kalau Sam kakang kamu itu juga enggak tahu."

Lembayung tidak lagi menimpali. Perempuan yang kini jauh dari kata lelah itu menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Dia hanya melihatku tanpa berkata-kata. Tidak mau kalah, aku melawan tatapan menyelidiknya. Mungkin yang di pikirannya, apa benar Mbak Ganis yang dikenalnya begini? Apa benar sudah waktunya untuk sampai di sini?

Kedatangan Mirza yang membawa serta pesanan makanannya, sedikit meredakan ketegangan kami. Lembayung juga menegakkan duduknya. Melihat Mirza yang hendak kembali mengambil pesanan yang tidak sampai dibawanya, anak itu bangkit berdiri, berkata kalau dia yang akan mengambilnya.

"Enggak sesusah itu," kata Mirza dengan senyum yang tak lepas, menoleh memperhatikan langkah Lembayung yang semakin menjauh. Raut wajahnya yang lega menjadikanku menelan bulat-bulat cerita dan kesusahanku. "Lembayung kayaknya baru banget dari kampus ya?"

"Iya," jawabku singkat, meraih makananku lebih dulu. "Kamu pesan apa?" Makanan pesanan Mirza menarik minat sekali. Steik dengan saus kecokelatan yang tersaji di atas mi tebal, lengkap dengan sayuran yang semuanya dipotong dadu.

Mirza mendekatkan piringnya padaku, sebelum sudut mataku menangkap Lembayung yang semakin dekat. Refleks aku berdeham, kembali pada makananku. Mirza yang langsung mengerti, menyisihkan sedikit mi dan daging yang sudha dipotongnya, kemudian menaruhnya ke atas piringku.

"Lembayung serius enggak mau makan?"

"Enggak Kak, makasih," jawabnya seraya menyendok es krimnya.

Di antara kami bertiga, harusnya aku yang menjadi penghubung percakapan. Tapi alih-alih, Mirza lah yang membuka percakapan. Dia bertanya ini dan itu soal kuliah Lembayung yang juga dijawab anak itu dengan lugas dan percaya dirinya.

"Public speaking kamu bagus kayaknya," puji Mirza yang hanya mendapat senyum singkat dari anak itu. "Tapi emang gitu, anak-anak yang ikut organisasi apalagi BEM atau apalah itu, ngomongnya bagus."

"Aku bukan anak organisasi tapi kata Pak Wisnu oke banget," timpalku yang langsung mendapat delikan mata Lembayung.

"Masa sih?" ledek Mirza yang kali ini membuat Lembayung tersedak es krimnya. "Tapi beneran, anak-anak di kantor, yang mereka dulunya anak BEM, presentasinya bagus bagus."

"Kebetulan aja," sanggah Lembayung yang selesai dengan makanannya. "Temanku di BEM ada yang susah buat ngomong. Dia perencana banget, kerjanya cepat dan taktikal, tapi serba sendiri. Enggak bagus juga buat tim."

"Susah atau takut?" tanya Mirza, tersenyum kecil. Bisa kulihat Lembayung menaruh perhatian penuh atas jawaban itu. "Beda loh yang susah ngomong dan takut. Banyak dari mereka yang kayak kamu jelasin tadi, takut buat bicara."

"Kalau gitu biasanya karena apa, Kak?" Lembayung tidak abai dengan perkataan Mirza ini.

"Karena dia tahu kalau ada yang lebih berhak dan bertanggungjawab soal itu. Bisa juga karena dia udah nyoba, tapi akhirnya disepelein, enggak dianggap, diremehin. Akhirnya malas."

"Berarti emang kerjasama dia juga yang enggak baik dengan yang lainnya," Lembayung menghela napasnya. "Komunikasi."

"Nah, itu. Sayang banget yang kayak gitu kalau enggak dilihat. Cuma perlu leader yang perhatian dan pengertian tapi tetap tegas aja. Cukup."

Aku tidak tahu harus melihat Lembayung yang kadang tidak kupercaya kalau dia sudah sedewasa ini dan menjadi Mahasiswi di kampus ternama, atau Mirza yang tidak pernah bosan untukku simak segala pembicaraannya meski bukan denganku. Mirza sangat bersemangat soal pekerjaannya, tapi Lembayung jelas serius menjalani apa yang jadi  pilihannya sendiri.

Setelah menit ke menit berlalu, obrolan demi obrolan yang didominasi oleh mereka berdua, akhirnya kami pun berpisah. Tidak butuh waktu lama untuk sampai kembali di tempatku. Lembayung menjatuhkan dirinya di lantai tepat di depan kulkas, membuka sepatu dan ranselnya, juga kerudungnya tanpa melepas jarumnya terlebih dahulu. Aku pun merebahkan diri di sofa sambil memainkan ponsel, menunggu pesan dari Mirza yang biasanya akan mengabari kalau sudah sampai rumah.

Memutar posisi, kuperhatikan Lembayung yang menggelung asal rambutnya sebelum akhirnya memusatkan perhatiannya pada ponselnya. Tubuhnya sedikit meringkuk sementara pipinya menempel ke lantai. Sesekali ia berganti posisi dan masih di tempatnya. Ah, anak itu! Ke mana perginya Lembayung yang tempo hari mengirim pesan-pesan singkat menanyakan kesibukan dan keberadaanku, menelepon mengadukan kuota internetnya yang habis, kartu ATM-nya yang tertelan mesin hingga kesalahan top-up saldo uang elektronik untuknya berkendara. Kerinduanku soal Lembayung si adik kecil yang selalu aku, seperti diambil tanpa sisa. Bukankah lebih baik kalau Lembayung tetap seperti biasanya, yang jangankan meminta tolong, sengaja kutanya saja dia selalu merasa bisa sendiri. Aku yang sudah ditarik kembali pada masa lampau, sedikit tidak rela dengannya yang ternyata masih seperti ini.

"Yung...."

"Kalau Mbak mau nikah, ya nikah aja!"

Kuharap perempuan yang tetap dan akan selalu menjadi adik kecil di mataku ini diam di tempatnya, tak lagi berkata-kata. Aku akan dengan senang hati melupakan keributan kami tadi, memeluknya erat, tidak peduli kalau tangis melengkapi. Tapi kemudian, dia melanjutkan, "Enggak usah mikirin Ayung segala!"

Apa juga yang aku harapkan? Kalau saja aku sedang tidak menahan tangis, ingin sekali aku meneriakinya. Dengan sisa-sisa tenagaku, aku menarik napas dalam-dalam kemudian berkata, "Mbak nggak butuh pendapat dan izin kamu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro