Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17 | Selangkah dari masa lalu

Mirza benar-benar pandai menyesuaikan diri. Aku sempat memikirkan seandainya aku yang harus terus mengajak Mirza ini dan itu agar bisa dekat dengan Faisal dan Teh Denia, tapi ternyata tidak. Apa kebanyakan laki-laki seperti itu? Sekalipun bertemu dengan orang baru, membicarakan hobi dan pekerjaan bukanlah sesuatu yang sulit bagi mereka. Mungkin efek lawan bicaranya juga. Sebab Faisal yang juga mudah bergaul, lelaki itu menyambut baik Mirza yang sedikit banyaknya sudah kuceritakan padanya dan juga Teh Denia.

Hal lain, sesuatu yang aku salut karena Mirza tidak begitu menampakkannya; Mirza punya banyak hal yang sangat mungkin untuk dia pamerkan sebagai modalnya untuk berkenalan dengan orang baru termasuk aku. Tapi dengan dia yang tidak begitu menunjukkannya lah yang justru membuatku tertarik. Aku tidak begitu terkejut dengan Mirza yang hobi bersepeda dari rumah ke kantor, juga merawat tanaman di halaman rumahnya, bahkan sampai memasak. Apa yang dipakainya juga bukan sesuatu yang bermerek mahal. Sekarang saja, saat dia mengobrol bersisian dengan Faisal yang serba necis bin parlente, Mirza tidak tenggelam dan redup dibuatnya.

"Cakep ya?"

Aku terbahak kecil mendengar ucapan Teh Denia yang mencoba berbagai macam sepatu yang menarik matanya.

"Sepatunya?" tanyaku konyol, memperhatikan Teh Denia di cermin.

"Itu ... yang lagi nungguin di luar. Yang ngobrol sama suami aku hehehe...."

Ah, kenapa aku masih belum terbiasa dengan Teh Denia mode begini? Sejak hamil, perempuan yang senantiasa membiarkan rambutnya terurai panjang menutup punggungnya ini semakin manis dan dewasa. Senyumnya yang biasanya pelit kini lebih sering menghiasi wajahnya. Bicaranya yang datar dan dingin didukung dengan suaranya yang sedikit berat, kini sedikit lebih bernada dan ringan.

"Aku suka dia dulu baru bisa nyadar kalau dia cakep."

Teh Denia sampai menolehkan wajahnya melihatku, "Bukan karena cakep dulu baru suka?"

"Itu bukannya Teh Denia ke Faisal ya?" ledekku yang membuat Teh Denia lanjut melihat ke rak sepatu olahraga.

"Iya, aku suka Faisal karena dia cakep. Kesananya, yah ... dibikin tambah cakep!" Aku bergidik ngeri dengan sikap Teh Denia sekarang, yang langsung disadarinya dengan tawa. "Menggelikan ya?" tanyanya, tahu pasti pikiranku. "Enggak tahu deh, Faisal juga bilang sejak aku hamil sedikit lebih normal."

"Enggak tsundere lagi?" Aku menggeleng-geleng. "Apa karena sempat mau pisah juga ya...."

"Bisa jadi! Faisal makin perhatian, akunya juga. Yah, sama-sama," jelas Teh Denia, mengajakku duduk dengan membawa serta sepatu lainnya yang ingin dicobanya. "Mungkin emang perlu ada masalah dulu buat bisa sampai sini."

Kalimat terakhir Teh Denia ikut membuatku berpikir. Kalau soal masalah, memang, Teh Denia dan Faisal jauh sekali dari kata itu. Keduanya saling mengisi. Umur mereka yang sama, bergaul di lingkungan yang juga tidak berbeda jauh, membuat mereka sama-sama tahu apa yang mereka jalani di luar meski sedang tidak bersama. Mereka bersenang-senang dengan kehidupan pernikahan mereka, cenderung santai menghadapi berbagai macam hal yang berpotensi meributkan semisal naiknya harga sembako dan bahan bakar. Atau urusan menjemur handuk sehabis mandi, misalkan. Entahlah, setahuku mereka tidak pernah ribut soal itu.

"Kandungannya sehat-sehat aja, kan?" tanyaku, melihat perut Teh Denia yang sudah tampak seperti perempuan hamil pada umumnya.

"Heum, alhamdulillah," katanya, mengusap perutnya. "Makin berasa hamilnya. Badan jadi sedikit berisi juga."

"Terus, udah USG yang buat tahu jenis kelamin itu?"

"Udah, sih," Teh Denia menegakkan duduknya, menoleh penuh melihatku yang duduk di sampingnya. "Tadinya kalau perempuan mau aku kasih nama Rengganis. Kalau boleh itu juga."

"Biar apa? Bercanda, ah!"

"Yah ... banyak ceritanya. Aku udah diskusiin ini juga sama Faisal. Kami berdua udah ada rencana juga buat ngomong sama kamu. Tapi ada bagusnya juga enggak jadi. Dipikir-pikir, nanti jadinya bias."

"Masih kepikiran?" Aku langsung merujuk pada masalah lama kami, yang juga membuat Teh Denia sempat ingin bercerai dan sulit menerima kehamilannya.

"Sekali-kali ada aja, Nis. Enggak tahu kenapa juga, aku lebih lega waktu tahu anakku laki-laki. Mungkin ini tandanya aku dikasih kesempatan buat terus maju, buat bisa hidup lebih baik."

Aku menarik napasku dalam-dalam, lega sekaligus senang mendengarnya.

"Kamu nggak mau marah aku bisa hidup sebaik ini setelah berbuat nggak baik sama kamu?" tanya Teh Denia, lagi dan lagi memastikan. "Aku, Naya, dan Mila yang walaupun enggak tahu di mana dia sekarang. Bisa dibilang, hidup kami sangat sangat baik."

"Syukurnya hidup aku juga baik, Teh," kataku yakin. "Enggak tahu kalau hidup aku enggak baik. Sekarang ini, aku terlalu sibuk mikirin banyak hal baik yang aku dapatin daripada mikirin yang lalu lalu."

"Termasuk Mirza?" goda Teh Denia sambil melihat sepatu yang dicobanya di cermin seberang kursi yang kami duduki. "Kamu sama dia udah ada rencana dong?"

"Heum ... udah aku bawa ke rumah, sih. Bapak sama Ibuk juga nyambut baik. Yah, pelan-pelan, lah. Aku juga udah pernah dibawa ke acara keluarganya. Yang aku fotoin waktu itu."

"Ah, yang kamu pakai baju dari aku itu ya?"

"Hu'um! Di sana aku malah ketemu Haykal sama chef yang cakep itu juga, yang waktu kita ketemu buat test-food acara kantor lamaku."

Sedikit tercengang, Teh Denia yang mengingat-ingat, berkata, "Oh, Bayu! Aku udah lama nggak lihat dia. Haykal mah masih di Hotel. Gimana dia? Udah jadi bapak-bapak buncit, gitu?"

"Yah, selayaknya bapak-bapak menolak tua. Masih gitu-gitu aja, makanya aku ingat."

"Siapa yang menolak tua?" Faisal mengejutkan kami. "Udah yuk, udah makin rame acaranya. Salat dulu sekalian ke bawah."

Teh Denia bangkit berdiri menuruti Faisal dan mengajaknya menghampiri penjaga toko dengan membawa dua buah sepatu yang sudah dicobanya. Mirza yang ternyata mengikuti Faisal, melihatku yang tidak menenteng apa-apa. "Kamu nggak ada yang naksir?"

"Yang naksir banyak, tapi lagi nggak butuh buat beli baru. Masih bisa kapan-kapan." Sungguh-sungguh aku mengatakannya. Padahal dulu aku suka sekali membeli sepatu hanya karena menarik mata dan bagus kupakai. "Kamu...?"

"Enggak, ah. Lagi nggak butuh juga."

Aku menarik Mirza keluar, melihat ke bawah tempat bazar berlangsung, yang benar sudah semakin dipadati pengunjung.

"Nanti pas aku setor muka ke Laras, kamu nggak apa-apa ikut?" tanyaku begitu mendapati booth bermerek butik Laras.

"Enggak apa-apa," kata Mirza, ikut melihat ke arah pandangku. "Eh, tapi itu kayaknya ada Juna juga. Sekalian. Udah lama nggak ketemu."

"Juna...?" Aku menajamkan penglihatanku. "Siapa? Yang mana?"

"Suaminya, yang lagi ngobrol di dekat panggung sama panitia." Mirza melihat keteganganku. "Ah ... itu, namanya beneran Juna. Dejuna Rafiq."

Kedatangan Faisal dan Teh Denia yang selesai dengan urusan belanjaan mereka, menekan keingintahuan dan kecemasanku sekaligus. Bukan perkara nama seperti yang Mirza kira. Tapi, sepertinya Laras memang menyembunyikan masalahnya dari semua orang.

Sesuai rencana, kami ke mushola dulu sebelum melihat-lihat pakaian di bazar. Ternyata, setelah kami kembali dari mushola, pelataran Mal yang digunakan untuk Bazar semakin ramai. Teh Denia yang memang senang berbelanja tidak membiarkan langkah cepatku melewatkan satu pun tenda yang diisi beragam merek kenamaan.

"Bisnisnya Laras berarti udah lumayan juga ya, Nis. Pangsa pasarnya macam-macam. Yang mahal dan eksklusifnya ada, yang pasaran gini juga ada," tutur Teh Denia yang paham betul jajaran merek pakaian yang kami lewati ini memang sudah punya banyak outlet dan dijual di department store.

Aku hanya melirik Mirza saat mendengar penjelasan Teh Denia. Kalau dibandingkan, aku kalah jauh dari Laras. Tapi, seakan tahu maksudku, Mirza menghela napasnya, menggeleng. Seperti enggan aku berendah diri.

"Ganis!"

Aku menoleh ke arah suara dan mendapati Laras dengan setelan formalnya. Tunik merah bata bercorak rumah tradisional Korea dan celana kulot krem, serta sepatu kulit sebatas mata kaki dengan hak sekitar 3cm yang menunjang tubuh semampainya. Aku bisa merasakan kalau air mukanya berubah begitu melihat keberadaan Mirza, tapi kemudian dia tersenyum, lanjut menyapa Teh Denia serta menangkupkan tangannya begitu melihat Faisal.

"Mau ada acara ya?" tanyaku, melihat arah kedatangannya tadi.

"Itu, mau ada penyerahan plakat. Saya kan buka outlet juga di sini," Laras menunjuk salah satu toko yang tertutup namun tampak sudah persis dengan toko milik Laras di Bandung yang sudah pernah kusinggahi. "Kamu lagi senggang nggak? Atau buru-buru?"

Refleks aku melihat Mirza yang tampak menebak-nebak ke arah mana Laras akan bicara. Teh Denia yang juga demikian, langsung berkata, "Mau minta tolong Ganis ya? Ada kok, ada waktu."

Ah, kalau saja aku menceritakan persoalanku dengan Laras, mungkin Teh Denia tidak akan sesemangat ini.

"Enggak apa-apa, Nis. Kita balik besok, kok." Faisal mendukung kebersediaan Teh Denia. Melihat Mirza, dia tampak mengetikkan sesuatu di ponselnya.

Mirza
Kalau kamu enggak nyaman, enggak usah aja
Kalau oke ya enggak apa-apa juga

"Mau ngapain? Lama nggak?" Aku membiarkan ponselku dalam genggaman, sedikit berbasa-basi, mencari celah untuk menolaknya.

"Buat foto media sosial sama laporan event aja di booth kami, sekalian promosi kilat. Sama Mbak Denia juga bisa banget!" jelas Laras panjang lebar. "Mau ya...?" pintanya terdengar memohon.

"Ras, gimana?" Seorang lelaki tampak terburu-buru menghampiri Laras. "Eh, Mirza? Ah iya, gue lupa, lo orang sini kan aslinya!"

"Kirain dari atas tadi gue salah lihat lo," sambut Mirza yang membuat Teh Denia dan Faisal menatapku bertanya. "Oh iya, ini Ganis. Lo mungkin udah dengar dari Laras. Kalau ini teman-temannya Ganis, Denia sama Faisal, sengaja main ke sini dari Bandung."

"Ah, iya ... iya. Saya Juna, suaminya Laras. Makasih udah datang," katanya, melemparkan ingatanku pada lebam di tubuh Laras serta surat dari pengadilan agama yang tidak sengaja kulihat. "Beres, kan? Yang buat di panggung nanti udah aku bilang ke panitianya. Kamu beresin ini aja dulu."

Laras melihat jam tangannya, "Nanti aja beres naik panggung. Udah rapi juga," katanya pasti. "Sekitar setengah jam sampai satu jam lagi paling lama. Sebelum Magrib kok. Enggak apa-apa kan?"

"Undangannya dibawa kan? Takutnya ada panitia yang rese," Juna menerangkan. "Duduk di depan aja sambil lihat peragaan busananya."

Kami hanya mengikuti ide Laras dan suaminya, mengisi kursi yang ditandai dengan nama butik Laras. Beberapa kursi sudah terisi orang yang kuduga kolega bisnis Laras dan Juna. Namun, Mirza yang menyalami mereka, juga mengenalkanku, sungguh di luar perkiraanku.

"Itu keluarganya Juna," bisik Mirza begitu kembali duduk. Aku yang masih terganggu dengan apa yang sudah kuketahui, tidak bisa biasa saja menanggapinya, sampai Mirza pun bertanya, "Kenapa?"

Kalau bukan karena Laras yang berkali-kali bilang dan menekankan untuk tidak bilang, aku tidak akan keberatan mengatakannya pada Mirza, memberitahukannya. Di sisi lain, Laras dan Juna begitu pandai menunjukkan kalau hubungan mereka baik-baik saja. Ditambah dengan keberadaan beberapa anggota keluarga Juna, siapa yang mengira kalau rumah tangga mereka di ambang perceraian?

"Kenapa?" tanya Mirza lagi karena aku tak kunjung bersuara.

"Keduluan kamu lagi. Ada aja yang kamu kenalin."

Mirza mengulas senyum sambil meluruskan duduknya. "Lagi waktunya aku aja kali."

Ponsel yang sedari tadi kuabaikan, lagi dan lagi bergetar. Aku bisa menebaknya kalau ini masih dengan Lembayung yang sedari tadi cerewet tumben-tumbenan bercerita ini dan itu, menanyakan kapan aku senggang dan bisa dikunjungi atau mengunjunginya.

"Adik sepupu kamu lagi?" tanya Mirza yang langsung kuangguki. "Dia sibuk apa? Masih sekolah?"

"Udah kuliah. Satu kampus sama adiknya Taufan," Aku mengetikkan balasan pesan untuk Lembayung, memberitahukan kalau aku masih di luar dan akan meneleponnya begitu pulang.

"Iseng juga, sih, kamu. Main nge-post foto aja. Dikepoin kan?"

Ya, aku juga yakinnya begitu. Lembayung bereaksi seperti ini karena foto yang kuunggah. Meski anak itu tidak menanyakan apa-apa, berlagak biasa saja. Tapi Lembayung yang kukenal memang seperti ini.

"Dia adiknya Kak Ajun. Adik bungsunya. Adiknya Samudera," pungkasku. "Beda sama Sam yang dengan senang hati ngenalin aku ke sana dan kemari, jadi yang nemenin aku buat tetap biasa aja, jalanin hidup yang gimanapun kondisinya bakalan tetap berjalan, Lembayung nggak gitu. Kadang kami jadi kayak orang yang bermusuhan, tiba-tiba dekat lagi walaupun ada ributnya, sebisa mungkin menghindari topik yang bersangkutan dengan dia yang meninggalkan kami."

"Berarti dia tahu kalau kamu sama kakaknya ...?" Mirza kedengaran ragu menanyakannya.

"Tahu. Keluargaku sama keluarga dia, semuanya tahu walaupun diam-diam," Aku memejamkan mataku sejenak begitu ingatan itu begitu jelas menghampiriku. Satu persatu, soal mereka semua yang sebenarnya tahu bagaimana kami satu sama lain. "Dulu, waktu pertama kali dengar cerita kamu, aku kira aku yang paling beruntung. Tapi setelah dengar dari Bibi, ingat juga gimana kamu ngenalin aku ke sepupu sepupu kamu, sampai sekarang ini, ternyata aku sama kamu punya kesusahan yang beda-beda, juga dengan efek dan bekas yang beda."

Mirza sedikit memiringkan duduknya melihatku. Kesibukan di atas panggung sama sekali tidak memecah fokusnya.

"Mungkin nanti aku nggak seringan kamu yang ngenalin aku ke keluarga kamu, kerabat-kerabat kamu lainnya juga. Tapi, kalau udah waktunya aku ngenalin dan bawa kamu ke keluarga besarku, semoga aku dan kamu dalam kondisi baik. Keluargaku yang lain juga. Semoga mereka terbuka, enggak drama dan nggak ngungkit hal-hal lain yang udah lalu."

Mirza yang mengamini ucapanku cukup melapangkan dadaku, meringankan pundakku juga. Setidaknya dia harus tahu apa yang akan dihadapinya nanti.

"Ngobrolin apa, sih, serius banget?!" Laras menghampiri kami, membawa beberapa kotak makanan ringan dan memberikannya. "Nis, nanti beneran bisa ke booth saya, kan? Ada sedikit oleh-oleh. Lumayan, belum ada di pasaran juga."

"Jadi. Saya sekalian ada yang mau dibeli juga kok," Aku menyerahkan kotak-kotak itu juga pada Teh Denia dan Faisal yang asyik bercakap.

"Kalau gitu, nanti langsung ke sana aja ya? Beres foto-foto, saya bakalan langsung ke sana juga," Laras menunjuk panggung yang sedang menampilkan peragaan busana dari berbagai macam merek pakaian. "Santai aja. Kalau ada apa-apa, bisa langsung kabari saya aja. Dah!" Laras undur diri dari hadapan kami, kembali pada kesibukannya.

"Terlepas dari hubungan kamu sama dia, aku beneran kagum sama dia. Seumuran kamu ada kan?" tanyaku, baru kali ini melihat Mirza mendelik yang bagiku lucu. "Ih, beneran!"

"Dia merintis ini bareng Juna. Laras orang design, kenal Juna yang orang bisnis. Jadinya punya usaha kayak gini," terang Mirza. "Yah, syukurnya usahanya jalan, umurnya panjang."

"Kamu kan orang bisnis juga," kataku, kali ini mendapati Mirza memutar bola matanya, mendecak. "Semua perempuan sama aja ya? Menyebalkan kayak gini, ungkit-ungkit masa lalu, malesin banget pokoknya!"

"Bodo amat!" Mirza mengedikkan bahu, membuatku tertawa. "Eh, aku ke toilet dulu bentar."

"Sendirian?" Aku sedikit mendongak melihatnya berdiri.

"Kenapa? Mau ikut?"

Mengingat kalau ini sudah tanggalnya, tidak ada salahnya juga aku ikut. "Aku perlu ke toilet juga kayaknya," kataku sambil memeriksa persediaan pembalutku di dalam tas, kemudian pamit sejenak pada Teh Denia yang menyimak acara.

Yang aku yakini, kalau aku sudah sebegini nyamannya, santai sampai urusan datang bulan, sedikit membicarakan masa lalu, meledeknya, menertawakan nasib, berarti pertanda baik untuk hubungan kami. Pertemuan Mirza dengan Laras yang sempat aku khawatirkan juga ternyata bukan apa-apa. Mereka berhadapan seperti biasa saja, bicara sewajarnya, tidak sedingin saat pertama kali aku melihatnya di acara keluarga mereka.

Selesai dengan urusanku, memastikan riasan dan penampilanku, aku pun keluar dan mendapati Mirza yang tidak jauh menunggu. Begitu hendak menghampirinya, kudapati dia sedang mengobrol dengan Laras. Kelihatannya juga serius. Sampai begitu aku menghentikan langkah untuk memberikan ruang dan waktu yang mungkin mereka perlukan, Laras yang sudah melihatku lebih dulu, undur diri terburu-buru.

"Laras ya?" tanyaku langsung, tidak mau pura-pura tidak tahu.

Mirza mengangguk tanpa menjawab apa-apa. Namun begitu kami hampir tiba kembali di keramaian, dia bertanya, "Kamu mau tahu dia bilang apa?"

"Ya ... kalau aku perlu tahu. Dan kalau kamu bersedia buat ngasih tahu."

"Dia perlu uang," jawab Mirza tidak keberatan. "Tapi buat apa? Di situ aku nggak ngertinya. Enggak mungkin kalau bangkrut, sih. Baru buka outlet di sini juga."

"Terus gimana? Mau kamu bantu?" Aku mengumpulkan semua yang sudah kutahu, mencoba menyimpulkannya. Barangkali ada kaitannya.

"Bukan itu masalahnya, Nis," Mirza membawaku ke sisi agar tidak menghalangi lalu lalang orang. "Maksud aku tuh, kenapa? Masalahnya di mana? Minta tolong tapi nggak mau bilang masalahnya, ya ... gimana juga?! Terus kalau emang perlu, harusnya dia ngomong sama Juna dong. Enggak bagus kayak begitu!"

Celoteh Mirza merapikan benang kusut di kepalaku. Bagaimanapun aku tahu, enggan rasanya aku menyimpulkan. Ini sama sekali bukan ranahku, tidak peduli soal hubunganku dengan Mirza sekarang.

"Nanti aja kalau udah agak santai, coba kamu tanyain lagi. Siapa tahu dia udah mau cerita dan beneran cuma bisa minta bantuan kamu," kataku tanpa pikir panjang. Mengingat bagaimana Laras selalu bilang agar jangan memberitahu Mirza terkait masalahnya, kupikir memang sudah darurat statusnya kalau dia sampai minta tolong begitu.

"Emang boleh ya jadi orang sebaik ini?" Mirza menghadapkan dirinya melihatku, melipat kedua tangannya, membuatku memalingkan wajah dan pergi duluan. "Temanin deh yuk ke Laras-nya nanti!" pintanya, menyusul langkahku.

"Aku baru tahu kalau kamu semenggelikan ini."

Mirza tertawa. Entah, sudah berapa banyak tawa dan senyum yang datang darinya dan karenanya seharian ini. "Beneran! Temanin ya? Oke?"

Tidak tahu apa maksud Laras sekarang yang kutahu sedang tidak baik-baik saja, tapi sungguh, tidak ada yang menyenangkan jadi orang yang lebih dulu mengetahui kabar buruk orang lain.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro